Masuk
“Kamu dan suamimu tidak bisa berada di satu perusahaan lagi. Ini sangat riskan bagi perusahaan. Pak Imran sekarang sudah menjabat sebagai manajer keuangan, jadi kamu yang harus mundur, Lun.”
Luna menghela napas panjang mendengar penuturan kepala HRD WR Company—perusahaan konstruksi terbesar di kota Jakarta—yang duduk di hadapannya.
“Aku sudah mendedikasikan diriku di perusahaan hampir 10 tahun, dan bapak tahu bagaimana loyalitasku pada perusahaan,” protes wanita berusia 35 tahun itu dengan nada kecewa.
“Aku tahu, Luna, dedikasimu di divisi operasional sangat luar biasa. Tapi kamu tidak mau ‘kan Imran yang resign dengan posisinya sekarang sebagai manajer keuangan?”
Luna menunduk menatap jemarinya yang saling meremas. Emosi bergejolak di dalam dadanya, tapi ia berusaha menekannya agar tidak meledak.
“Aku ingin menemui pimpinan untuk membicarakan masalah ini,” jawab Luna.
“Beliau sedang dirawat di rumah sakit. Jangan ganggu beliau dengan masalah kecil ini. Lagipula, perusahaan tak akan gulung tikar jika satu karyawannya keluar,” tegas kepala HRD itu.
Luna nyaris kehilangan kata-kata mendengar penuturan pria itu.
“Aku harap kamu tidak mempersulit perusahaan, mengingat suamimu masih bekerja di sini.”
Dada Luna terasa sesak. Ia sudah bekerja keras demi kemajuan perusahaan, tapi nyatanya pemutusan hubungan kerjalah yang didapat, dengan alasan yang tak masuk akal pula!
“Baiklah jika itu keputusan perusahaan,” Luna akhirnya berkata. “Tapi saya tidak akan mengundurkan diri. Silahkan PHK saya, dan penuhi kewajiban perusahaan pada saya,” tegasnya lalu berdiri dari duduknya dan meninggalkan ruangan HRD tanpa permisi.
Malam itu, Luna menunggu sang suami dengan gelisah. Wajahnya tampak menegang sambil memikirkan masalah yang ia hadapi saat ini.
Ia tidak rela harus melepas semua kerja kerasnya begitu saja. Ditambah lagi, ia masih harus menanggung biaya kuliah adik dan juga pengobatan ibunya yang sakit.
Memikirkan semua ini membuat Luna pening.
Tepat pukul sepuluh malam, sebuah mobil hitam berhenti di pintu pagar. Luna segera bergegas membukakan pagar.
Imran—suami Luna—akhirnya pulang ke rumah. Semenjak menjabat sebagai manager keuangan, pria itu hampir tiap hari lembur.
“Mas, makanlah dulu,” tawar Luna sambil menyiapkan makanan di meja makan.
“Ada masalah di rumah?” tanya Imran.
“Tidak di rumah, tapi di kantor,” jawab Luna.
Setelah Imran membersihkan tangannya di wastafel, ia duduk meraih piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang terhidang.
“Apa kamu juga tahu, Mas, kalau aku diminta mengundurkan diri dari perusahaan?” tanya Luna hati-hati.
Lelaki berbadan tegap dengan kumis tipis itu tampak tenang. “Aku sudah dengar dari Pak Iwan. Dan aku harap kamu menerimanya,” sahutnya. “Kamu bisa melamar pekerjaan di perusahaan lain. Atau kamu mengurus rumah dan Mora saja. Gajiku naik dua kali lipat, cukup untuk memenuhi kebutuhan kita,” jawab Imran.
Luna sesaat terdiam, menyaksikan sang suami yang makan dengan tenang seakan tidak peduli dengan masalah yang ia hadapi.
“Kamu ‘kan tahu Mas, aku harus membiayai pengobatan ibu dan kuliah adikku. Aku tidak bisa membiayai mereka dengan hasil keringatmu,” kata Luna.
“Kalau begitu, cari pekerjaan lain, Lun, tidak usah permasalahkan keputusan HRD!” tegas Imran, lalu bangkit dari duduknya. “Sudah ya, turuti saja apa kata perusahaan. Kamu mau aku ikut kena masalah?”
Setelah mengatakan itu, Imran pergi meninggalkan meja makan.
Luna menghela napas panjang. Perasaannya kini campur aduk.
Entah mengapa pria yang dicintainya sejak duduk di bangku kuliah itu semakin berubah akhir-akhir ini, menjadi cuek dan tidak acuh.
‘Sejak diangkat menjadi manager keuangan kamu berubah, Mas,’ batin Luna sedih.
Namun, ia berusaha tidak terlalu memikirkannya. Bukan salah Imran jika Luna harus mengundurkan diri, ‘kan?
**
Pada akhirnya, Luna terpaksa mengajukan pengunduran diri.
Meski berat melepas semua kerja kerasnya selama satu dekade terakhir, tapi Luna juga tidak ingin mempersulit suaminya.
Setelah mengundurkan diri, Luna memiliki banyak waktu luang. Karena itu, ia memutuskan untuk menjemput putrinya.
“Ma, besok Mama tidak usah jemput Mora,” ucap gadis 9 tahun itu dengan muka cemberut.
Luna tampak terkejut mendengar penuturan putrinya. “Kenapa, Sayang?” tanyanya mengerutkan dahi.
“Biar Papa saja yang jemput. Mora malu kalau dijemput pakai motor, nanti diledekin teman-teman kalau jemputnya pakai motor,” jawab Mora polos.
Luna tertegun, tak menyangka jika putrinya berpikiran seperti itu.
“Baiklah, besok Mora dijemput taksi online saja ya, seperti biasanya,” jawab Luna akhirnya.
“Oke, Ma,” Mora mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.
Sementara itu di sebuah kafe, dua pria tampak menikmati makan siang sambil bersenda gurau.
“Ini untuk Bapak karena sudah berhasil membuat Luna keluar dari perusahaan.” Imran menyodorkan amplop.
Pria berkepala botak itu meraih amplop dan membukanya. Ia tersenyum lebar ketika melihat tumpukan uang berwarna merah memenuhi amplop itu.
“Itu hal yang sangat mudah, Pak Imran. Soal pimpinan, aku sendiri yang akan mengatakan tentang resignnya Luna.”
“Oke,” sahut Imran. “Sebagai gantinya, aku merekomendasikan seseorang untuk menggantikan Luna. Jangan ragukan kemampuanya, ia punya banyak pengalaman di operasional dan lulusan terbaik di universitas yang sama denganku,” kata pria itu dengan antusias.
“Sebenarnya sudah ada beberapa kandidat yang melamar, tapi jika Pak Imran merekomendasikan seseorang, aku akan mempertimbangkannya asal….”
“Aku tahu, Pak. Nanti aku berikan uangnya sebagai tanda terima kasih,” kata Imran, mengerti maksud kepala HRD itu.
“Sepakat. Senang bekerja sama denganmu, Imran.”
Imran hanya menyungingkan senyum tipis, lalu melahap menu makan siang di hadapannya tanpa kata.
Agnes dan Iwan mencari tempat aman untuk berbicara.“Jadi apa rencanamu Agnes?” tanya Iwan.“Aku berniat menjadi istri Tuan Dargo dan mewarisi semua harta kekayaannya,” jelas Agnes pelan namun serius.“Ha..Ha…” Iwan tertawa, lalu berkata. ”Yang aku tahu Tuan Dargo memang hidung belang, sebelumnya ia memilik gundik, tapi tak satupun wanita yang dekat dengannya dijadikan istri sah, mereka hanya dijadikan simpanan,” jelas Iwan.“Betulkah …jadi hanya bersenang-senang dengan wanita?”“Betul, satu-satunya wanita yang dicintai istrinya tapi sayang istrinya kabur,” jelas Iwan.“Aku sudah dengar cerita itu, tapi apakah Tuan Dargo tidak berniat menikah lagi?”“Semoga kamu beruntung dan berjodoh dengan Tuan Dargo,” balas Iwan tersenyum kecil seakan meremehkan keinginan Agnes.“Kalau begitu, Aku akan buktikan jika aku bisa menaklukan pria tua itu dalam waktu beberapa bulan,” jawab Agnes dengan yakin.“Kamu memang ahlinya menaklukan pria , jika perlu bantuanku, Aku siap,” tawar Iwan.“Oke.”Agnes
Andini alias Agnes berjalan sejajar dengan Rina, sambil berbincang dan bercanda. Langkah kaki mereka menuju sebuah rumah mewah, sampai disana, para keryawan perkebunan, mulai berdatangan, semuanya tampak bahagia, karena acara seperti ini jarang di adakan.Agnes berjalan ke arah dalam, rumah, hidangan sudah tersaji di atas meja panjang dan besar, pera pekerja sudah duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan.“Duduk Andini, sebelum makan-makan biasanya Tuan Dargo akan menyampaikan sesuatu terlebih dahulu,” ucap Rina, Agnes hanya mengangguk dan duduk.Beberapa menit kemudian yang ditunggu para pekerja perkebunan datang, seorang pria yang berjalan menuju depan, senyum tampak menghiasi wajah tuanya yang sudah keriput. Lalu tak lama terdengar suara Tuan Dargo memecah keheningan.“Terima atas kedatangan kalian, seperti biasanya kita bersilahturahmi antar pekerja, dan selain itu saya akan membagikan bonus untuk kalian,” ucap Dargo.Semua pekerja sangat senang, Tuan Dargo dikenal, majikan yan
Pagi hari waktu subuh, Omar menyempatkan diri untuk jogging di sekitaran hotel, sementara Luna masih terlelap. Omar berlari kecil menembus hawa dingin, lalu berhenti di pasar, sebenarnya ia penasaran dengan cerita Luna yang melihat wanita mirip Dewi, oleh karena itu Omar mendatangi pasar, siapa tahu wanita yang mirip Dewi datang ke pasar lagi.Hingga matahari muncul tapi yang diharapkan Omar tak kunjung datang. Omar hanya bisa menarik napas dalam.‘Ahh sudahlah, Dewi atau bukan aku tak perlu memikirkannya. Sekarang aku memiliki Luna, Dewi masa laluku, jika benar duganku ia masih hidup dan sengaja bersembunyi, biarlah ia pasti memiliki alasan untuk melakukannya,’ batin Omar.Omar kembali berlari kecil, menyusurui jalan kecil pemukiman, rumah adat khas Bali sangat mendominasi pemukiman, hawa sejuk dan suasana tenang, pasti membuat betah penghuninya.Ketika Omar berlari kecil, tiba-tiba dari arah belakang ada seorang wanita yang menyalipnya, wanita dengan rambut warna merah tembaga, be
Beberapa minggu berlalu, keadaan Luna sudah pulih, bahkan sudah mulai beraktivitas seperti biasanya, ia kini berada di Omara Kontruksi, yang saat ini di pimpinnya, wajahnya kembali ceria setelah beberapa minggu yang lalu tampak masih bersedih kehilangan janinnya.“Bagaimana keadaanmu Lun?” tanya Bu Ina.“Aku sudah membaik, kata Dokter. Aku sudah boleh beraktivias, Aku mulai bekerja, Mas Omar juga sudah mengizinkanku untuk bekerja, supaya Aku tidak terlalu larut dalam kesedihan,” jawab Luna.“Kamu tahu ngak Lun, menurut kau keguguranmu kali ini ada baiknya, untuk pernikahanmu kedepannya, kalian bisa memiliki anak sendiri,“ jelas Ina.“Aku merasa bersalah pada Dewi, ia sahabatku aku berhutang budi padanya,“ desahan napas berat terdengar dari bibir Luna.“Sudahlah, toh Dewi sudah meninggal, tidak baik membicarakan orang sudah meninggal, sekarang fokuslah pada pernikahanmu, jangan sampai Omar terlepas, jaga suamiu dengan baik.” Ina berkata seraya tertawa kecil.Luna hanya tersenyum menang
Di Jakarta masih dengan kesibukannya yang luar biasa, seperti biasanya Omar pagi-pagi sudah berangkat, Luna untuk saat ini mengurangi ativitasnya di luar rumah, mengingat kandungannya yang masih rentan. Kini ia menyibukan diri berselancar di dunia maya , browshing tentang kehamilan, wanita yang semakin cantik itu kini fokus pada kehamilannya, walau janin yang di rahimnya adalah benih Omar dan Dewi, Luna tetap bersemangat dan menjaga kesehatannya.Luna berjalan ke arah jendela ruang tengah yang menghadap ke jalan, tangannya mengusap perut datarnya seraya tersenyum. Pagi itu mentari bersinar dengan cerahnya, hingga angin juga berhembus lembut, sangat menyejukan, tiba-tiba mata Luna tertarik pada sosok wanita yang berdiri di tepat depan jalan, wanita yang menutupi wajahnya dengan masker dan topi serta kaca mata itu seakan sedang mengawasi rumahnya.‘Siapa wanita itu, kenapa ia menatap lama rumah ini,’ batin Luna.Tapi Ketika mereka saling beradu pandang, dengan cepat wanita itu mengal
Luna tersenyum ke arah Omar, keduanya saling tatap dan melempar senyum, kemudian dokter memberi resep obat pada Luna, terutama obat penguat kandungan.“Terima kasih Dokter,” ucap Luna.Lalu Luna dan Omar pun meninggalkan ruangan dengan hati penuh harapan ada janin yang kini tumbuh di rahim Luna.“Kita akan rayakan kehamilanmu Luna, undanglah Mora ke rumah, kita makan malam, aku ingin memberitahukan Mora jika sebentar lagi adiknya akan lahir,” suruh Omar.“Betul Mas..Mora harus tahu kabar gembira ini dari kita, aku harap ia juga akan bahagia dengan kehadiran adiknya,” jawab Luna.Malam itu juga Mora memenuhi undangan Luna dan Omar, gadis kecil itu dijemput oleh sopir Omar. Setelah sampai di rumah mewah dimana sang ibu tinggal, Mora hanya berdecak kagum, melihat betapa mewahnya rumah yang di tempati Luna sekarang.“Selamat datang Mora, Mamah dan Papah Omar sangat senang kamu memenuhi undangan kami,” sapa Omar pada Mora.“Terima kasih Papah Omar,” sahut Mora.Lalu Luna mengajak Mora ke







