MasukLuna duduk di sofa ruang tamu, tangannya sibuk menggulir laman sebuah situs lowongan pekerjaan.
Berkali-kali ia menghela napas karena tidak menemukan pekerjaan yang sesuai.
Lama-lama, Luna merasa bosan, apalagi anaknya tak mau dijemput.
“Anak jaman sekarang gengsinya minta ampun,” gumam wanita itu.
Tak lama, ia mendengar sebuah mobil berhenti di depan pagar rumahnya. Luna mengintip dari balik jendela, dan terheran saat melihat mobil suaminya.
Ia melihat anaknya keluar dari dalam mobil. Luna bergegas keluar rumah, tapi belum sempat membuka pagar, mobil telah melaju pergi.
“Daah, Papa!” seru Mora sambil melambaikan tangannya.
“Mora, kamu dijemput Papa?” tanya Luna begitu pintu pagar besi itu dibukanya.
“Iya, Ma. Aku senang kalau yang jemput Papa, soalnya bawa mobil keren,” jawab anak itu sambil tersenyum semringah.
“Mora, Mama tidak senang kalau kamu berbicara seperti itu. Jangan terlalu terpukau dengan kemewahan, sayang, itu tidak baik,” nasehat Luna pada putri kecilnya itu.
“Teman Mora semua dijemput pakai mobil, Ma. Mora malu kalau Mama menjemput pakai motor,” jawab Mora dengan suara pelan.
Luna menghela napas. “Ya sudah, sekarang ganti baju dan makanlah,” katanya sambil mengusap pucuk kepala Mora.
Anak itu melakukan apa yang diminta ibunya. Setelah makan, Mora langsung masuk ke kamar, sementara Luna masih duduk di ruang makan.
“Maaf, Bu Luna, ini gelangnya tadi ada di saku celana Bapak,” ucap asisten rumah tangga menghampirinya.
Luna mengerutkan dahi, lalu meraih gelang emas model balok dengan kombinasi kaca yang menghiasi bagian tengah gelang.
Luna mengernyitkan dahinya, lalu mencoba gelang itu. ‘Gelang ini bukan untukku, ukurannya kebesaran di tanganku,’ batinnya.
“Mbok, coba berikan gelang ini pada Bapak, jangan bilang kalau aku sudah tahu,” pinta Luna pada pembantunya .
“Baik, Bu,” jawab Mbok Sumi meraih gelang yang disodorkan Luna padanya.
“Aku akan pergi sebentar, Mbok Sum jangan pulang dulu sebelum aku atau Pak Imran sampai rumah ya.”
Sumi mengangguk mengerti, lalu Luna beranjak menuju kamarnya mengambil tas dan berganti baju.
Dengan menaiki motor, wanita berambut sebahu itu melaju sedang membelah jalanan menuju sebuah sebuah perusahaan di pusat kota.
Hari ini ia ada janji wawancara, tapi tampaknya kali ini pun ia tidak berhasil.
Bahunya merosot begitu keluar dari ruangan dan berpamitan dengan HRD yang berkata akan menghubunginya jika diterima.
Ini sudah kesekian kalinya Luna melakukan wawancara kerja, tapi tidak kunjung mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya.
“Susah sekali mendapatkan pekerjaan tanpa koneksi,” gumam Luna.
Saat melewati minimarket, ia memarkirkan motornya dan menuju ATM yang ada di dalam.
Luna tampak sedih ketika melihat saldo rekeningnya yang semakin menipis, ia harus memberikan sejumlah uang pada adik dan juga ibunya. Tapi sayang saldonya tak mencukupi, ia juga merasa tidak enak jika meminta pada suaminya.
“Luna? Kamu Luna ‘kan?”
Sapaan seorang wanita bersuara lembut mengagetkannya.
Luna menoleh dan terbelalak. “Agnes? Kamu kembali ke Jakarta?”
Wanita bernama Agnes itu tersenyum lebar, “Iya, aku kembali Lun. Aku sudah puas berpetualang di luar negeri. Jadi sekarang aku memutuskan untuk menetap di Jakarta,” tuturnya ceria. “Kamu ada waktu? Kita berbincang sebentar di depan, bagaimana?”
Luna mengangguk. Kedua wanita sebaya itu menuju luar minimarket dan duduk di kursi. Agnes menyodorkan minuman soft drink pada Luna.
“Bagaimana kabarmu? Kamu terlihat lebih ramping Lun,” kata Agnes sambil memperhatikan Luna dari ujung kepala hingga kaki. Pandangannya tampak menilai. “Terakhir aku dengar kamu bergabung di perusahaan konstruksi terbesar di Jakarta?”
“Aku sudah resign dari WR Company.”
“Oh, sayang sekali,” senyum getir terbit di bibir Agnes.
Wanita berbadan proporsional dan berkulit putih bersih itu menatap ke arah Luna.
“Kamu masih ingat persaingan kita di kampus ‘kan? Kamu selalu mendapat nilai di atasku, dan kamu juga berhasil memenangkan hati Imran, kakak tingkat yang digilai hampir semua mahasiswi,” ucap Agnes sambil terkekeh, mengenang masa lalu.
“Tentu saja aku masih ingat,” sahut Luna, memaksakan seulas senyum. “Kami hidup bahagia dan dikaruniai putri cantik, Mora namanya.” Luna membuka tutup botol minuman kemasan dan meneguknya. ”Apa kamu sudah menikah?” tanya Luna menatap kembali Agnes.
“Belum, aku belum menemukan pria yang cocok. Jadi aku fokus pada pekerjaan dan bisnis onlineku. Saat ini aku sedang mencari pekerjaan di Jakarta,” jelas Agnes, terdengar bangga dengan pencapaiannya.
Luna mengangguk. Sebenarnya, ia tidak terlalu akrab dengan Agnes. Bertemu seperti ini membuatnya sedikit canggung.
“Aku senang mendengarnya,” kata Luna akhirnya. “Oh, ini sudah hampir sore, aku harus pulang,” Luna pamit seraya bangkit dari duduknya.
“Kamu butuh tumpangan?” tawar Agnes.
“Tidak, aku membawa motor,” sahut Luna sambil tersenyum kaku.
“Oh, oke,” kata Agnes. Ia berjalan ke sebuah sedan mewah warna merah sambil melambaikan tangannya pada Luna.
Melihat itu, Luna sudah memastikan jika teman satu kampusnya itu sekarang sudah menjadi orang sukses.
Luna berjalan pelan menuju motornya, lalu mengendarainya menuju jalanan yang semakin ramai di jam pulang kantor.
**
Sementara itu, Imran baru saja tiba di rumah. Wajahnya tampak tegang saat berjalan cepat menuju laundry room. Ia tampak sibuk mencari sesuatu.
“Pak Imran mencari ini?”
Suara Sumi mengejutkan pria itu. Ia menoleh dan tampak lega begitu melihat gelang yang disodorkan oleh si pembantu.
“Ah, syukurlah kamu yang menemukannya,” ujar Imran. “Ini sebenarnya untuk Luna, aku ingin memberi kejutan di hari ulang tahunnya,” jelasnya, lalu meraih gelang dari tangan Sumi.
“Itu gelang yang sangat bagus, Pak. Bu Luna pasti senang,” kata Sumi sambil tersenyum.
“Jangan bilang Luna ya, Mbok!”
Ucapan tegas dari Imran membuat Sumi menelan ludah. “Ba-baik, Pak. Kalau begitu saya permisi pulang dulu.”
Buru-buru, wanita paruh baya itu undur diri.
Sementara Imran memasukan gelang di saku celananya setelah kembali menghela napas panjang.
“Hampir saja ….”
Agnes dan Iwan mencari tempat aman untuk berbicara.“Jadi apa rencanamu Agnes?” tanya Iwan.“Aku berniat menjadi istri Tuan Dargo dan mewarisi semua harta kekayaannya,” jelas Agnes pelan namun serius.“Ha..Ha…” Iwan tertawa, lalu berkata. ”Yang aku tahu Tuan Dargo memang hidung belang, sebelumnya ia memilik gundik, tapi tak satupun wanita yang dekat dengannya dijadikan istri sah, mereka hanya dijadikan simpanan,” jelas Iwan.“Betulkah …jadi hanya bersenang-senang dengan wanita?”“Betul, satu-satunya wanita yang dicintai istrinya tapi sayang istrinya kabur,” jelas Iwan.“Aku sudah dengar cerita itu, tapi apakah Tuan Dargo tidak berniat menikah lagi?”“Semoga kamu beruntung dan berjodoh dengan Tuan Dargo,” balas Iwan tersenyum kecil seakan meremehkan keinginan Agnes.“Kalau begitu, Aku akan buktikan jika aku bisa menaklukan pria tua itu dalam waktu beberapa bulan,” jawab Agnes dengan yakin.“Kamu memang ahlinya menaklukan pria , jika perlu bantuanku, Aku siap,” tawar Iwan.“Oke.”Agnes
Andini alias Agnes berjalan sejajar dengan Rina, sambil berbincang dan bercanda. Langkah kaki mereka menuju sebuah rumah mewah, sampai disana, para keryawan perkebunan, mulai berdatangan, semuanya tampak bahagia, karena acara seperti ini jarang di adakan.Agnes berjalan ke arah dalam, rumah, hidangan sudah tersaji di atas meja panjang dan besar, pera pekerja sudah duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan.“Duduk Andini, sebelum makan-makan biasanya Tuan Dargo akan menyampaikan sesuatu terlebih dahulu,” ucap Rina, Agnes hanya mengangguk dan duduk.Beberapa menit kemudian yang ditunggu para pekerja perkebunan datang, seorang pria yang berjalan menuju depan, senyum tampak menghiasi wajah tuanya yang sudah keriput. Lalu tak lama terdengar suara Tuan Dargo memecah keheningan.“Terima atas kedatangan kalian, seperti biasanya kita bersilahturahmi antar pekerja, dan selain itu saya akan membagikan bonus untuk kalian,” ucap Dargo.Semua pekerja sangat senang, Tuan Dargo dikenal, majikan yan
Pagi hari waktu subuh, Omar menyempatkan diri untuk jogging di sekitaran hotel, sementara Luna masih terlelap. Omar berlari kecil menembus hawa dingin, lalu berhenti di pasar, sebenarnya ia penasaran dengan cerita Luna yang melihat wanita mirip Dewi, oleh karena itu Omar mendatangi pasar, siapa tahu wanita yang mirip Dewi datang ke pasar lagi.Hingga matahari muncul tapi yang diharapkan Omar tak kunjung datang. Omar hanya bisa menarik napas dalam.‘Ahh sudahlah, Dewi atau bukan aku tak perlu memikirkannya. Sekarang aku memiliki Luna, Dewi masa laluku, jika benar duganku ia masih hidup dan sengaja bersembunyi, biarlah ia pasti memiliki alasan untuk melakukannya,’ batin Omar.Omar kembali berlari kecil, menyusurui jalan kecil pemukiman, rumah adat khas Bali sangat mendominasi pemukiman, hawa sejuk dan suasana tenang, pasti membuat betah penghuninya.Ketika Omar berlari kecil, tiba-tiba dari arah belakang ada seorang wanita yang menyalipnya, wanita dengan rambut warna merah tembaga, be
Beberapa minggu berlalu, keadaan Luna sudah pulih, bahkan sudah mulai beraktivitas seperti biasanya, ia kini berada di Omara Kontruksi, yang saat ini di pimpinnya, wajahnya kembali ceria setelah beberapa minggu yang lalu tampak masih bersedih kehilangan janinnya.“Bagaimana keadaanmu Lun?” tanya Bu Ina.“Aku sudah membaik, kata Dokter. Aku sudah boleh beraktivias, Aku mulai bekerja, Mas Omar juga sudah mengizinkanku untuk bekerja, supaya Aku tidak terlalu larut dalam kesedihan,” jawab Luna.“Kamu tahu ngak Lun, menurut kau keguguranmu kali ini ada baiknya, untuk pernikahanmu kedepannya, kalian bisa memiliki anak sendiri,“ jelas Ina.“Aku merasa bersalah pada Dewi, ia sahabatku aku berhutang budi padanya,“ desahan napas berat terdengar dari bibir Luna.“Sudahlah, toh Dewi sudah meninggal, tidak baik membicarakan orang sudah meninggal, sekarang fokuslah pada pernikahanmu, jangan sampai Omar terlepas, jaga suamiu dengan baik.” Ina berkata seraya tertawa kecil.Luna hanya tersenyum menang
Di Jakarta masih dengan kesibukannya yang luar biasa, seperti biasanya Omar pagi-pagi sudah berangkat, Luna untuk saat ini mengurangi ativitasnya di luar rumah, mengingat kandungannya yang masih rentan. Kini ia menyibukan diri berselancar di dunia maya , browshing tentang kehamilan, wanita yang semakin cantik itu kini fokus pada kehamilannya, walau janin yang di rahimnya adalah benih Omar dan Dewi, Luna tetap bersemangat dan menjaga kesehatannya.Luna berjalan ke arah jendela ruang tengah yang menghadap ke jalan, tangannya mengusap perut datarnya seraya tersenyum. Pagi itu mentari bersinar dengan cerahnya, hingga angin juga berhembus lembut, sangat menyejukan, tiba-tiba mata Luna tertarik pada sosok wanita yang berdiri di tepat depan jalan, wanita yang menutupi wajahnya dengan masker dan topi serta kaca mata itu seakan sedang mengawasi rumahnya.‘Siapa wanita itu, kenapa ia menatap lama rumah ini,’ batin Luna.Tapi Ketika mereka saling beradu pandang, dengan cepat wanita itu mengal
Luna tersenyum ke arah Omar, keduanya saling tatap dan melempar senyum, kemudian dokter memberi resep obat pada Luna, terutama obat penguat kandungan.“Terima kasih Dokter,” ucap Luna.Lalu Luna dan Omar pun meninggalkan ruangan dengan hati penuh harapan ada janin yang kini tumbuh di rahim Luna.“Kita akan rayakan kehamilanmu Luna, undanglah Mora ke rumah, kita makan malam, aku ingin memberitahukan Mora jika sebentar lagi adiknya akan lahir,” suruh Omar.“Betul Mas..Mora harus tahu kabar gembira ini dari kita, aku harap ia juga akan bahagia dengan kehadiran adiknya,” jawab Luna.Malam itu juga Mora memenuhi undangan Luna dan Omar, gadis kecil itu dijemput oleh sopir Omar. Setelah sampai di rumah mewah dimana sang ibu tinggal, Mora hanya berdecak kagum, melihat betapa mewahnya rumah yang di tempati Luna sekarang.“Selamat datang Mora, Mamah dan Papah Omar sangat senang kamu memenuhi undangan kami,” sapa Omar pada Mora.“Terima kasih Papah Omar,” sahut Mora.Lalu Luna mengajak Mora ke







