Dengan balutan gaun pengantin, Freya tampil begitu cantik. Tangannya menggandeng papanya yang mengantarkannya ke pelaminan. Melewati beberapa pasang mata yang menatapnya dengan kekaguman, Freya terus saja mengayunkan langkahnya.
Pelaminan dengan dekor warna white and gold, begitu sangat indah, sesuai dengan permintaan Freya. Lampu-lampu kristal yang menghiasi, menambah keindahan dari dekorasi pernikahan.Langkah Freya semakin berat seiring langkahnya hampir sampai di pelaminan. Cengkraman tangannya di lengan sang papanya, menandakan jika dia begitu berdebar-debar menuju tempat pelaminan.Felix tahu pasti jika anaknya begitu takut. Belaian lembut tangannya, memberikan ketenangan untuk putrinya.Mendapati dukungan dari papanya, Freya kembali tersenyum. Menetralkan degup jantungnya yang begitu tidak beraturan.Di depan pelaminan sudah ada El yang sedang menanti bersama dengan penghulu yang akanAl melihat El dan Freya melihat di pelaminan. Ada perasaan sakit ketika melihat pasangan pengantin baru itu. Melihat Freya yang tersenyum membuatnya yakin jika Freya bahagia. Sebuah belaian lembut di punggung Al, membuat Al menoleh. Senyum manis dari wajah yang sudah mulai menua dari Mommy Shea begitu masih cantik. “Terkadang Tuhan menitipkan kebahagiaan orang lain pada kita. Melalui tangan kita, dia biasa mendapatkan kebahagiaan.” “Apa maksud Mommy kebahagiaan itu adalah kebahagiaan milik El.” “Mungkin seperti itu.” “Keputusan apa pun yang sudah kamu buat. Sudah membuat orang lain bahagia, jadi jangan disesali.” Al mengembuskan napasnya. Mencoba melegakan perasaannya sendiri. Sejujurnya ada sedikit penyesalan di hatinya. Penyesalan tentang suatu hal yang belum dia selesaikan. “Pulanglah lebih dulu, sepertinya kamu butuh waktu untuk beristirahat,” ucap Shea pada Al.
Selimut yang tersingkap, membuat El merasakan dinginnya pendingin ruangan. Perlahan matanya terbuka. Mencari selimut untuk menghalau dinginnya ruangan. Sayangnya, selimut itu dipakai Freya sendiri. Wanita yang sekarang menjadi istrinya itu, menggulung tubuhnya ke dalam selimut. El yang merasa dingin, mau tidak menarik selimut. Namun, Freya justru semakin mengeratkan selimut yang ada. Karena merasa sangat dingin, El memilih memeluk Freya. Paling tidak itu dapat menghangatkannya. Tubuhnya terlalu malas jika harus mengambil remote pendingin ruangan. Freya yang merasakan tangan kokoh melingkar di tubuhnya, mengerjap. Matanya yang tadinya mengantuk, tiba-tiba langsung terbuka lebar ketika melihat tangan yang dia yakin tangan El-melingkar di tubuhnya. “El,” ucapnya seraya menyingkirkan tangan El. “Kenapa?” tanya El polos.“Kenapa kamu memelukku?” Freya menatap kesal pada El.
“Permisi, Pak, ada seorang wanita yang ingin bertemu dengan Anda,” ucap sekretaris Al sesaat setelah mengetuk pintu. Al melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Jarum jam mengarah ke angka sembilan yang artinya masih pagi untuk dia menerima tamu. Terlalu pagi untuk datang ke kantornya. “Siapa?” tanya El yang penasaran itu siapa. “Ibu Shera, Pak.” “Ternyata dia,” gumam Al, “suruh masuk,” ucapnya pada sekretarisnya. Sekretaris Al keluar dan mempersilakan Shera untuk masuk. Shera dengan tenangnya masuk ke dalam. Shera masuk ke ruangan El. Saat pintu dibuka, dia melihat wajah Al. Dengan rahang tegas dan mata birunya. Sejenak Shera mengingat cerita dari papanya jika pria yang ditemuinya adalah sepupu El. Jadi pastinya wajah Al-wajah bule. Hanya yang membedakan El lebih terlihat blasteran, sedangkan pria di depannya full made in luar negeri.“Hai, maaf aku mengganggu,” ucap Shera.
“Siapa dia yang bisa seenaknya saja padaku?” Saat masuk ke mobil, Freya menggerutu. Meluapkan rasa kesalnya. Sopir taksi yang melihat Freya dari pantulan cermin merasa heran, karena Freya berbicara sendiri. “Maaf, Nona. Ke mana tujuan kita?” tanyanya yang belum tahu ke mana harus melajukan mobilnya. Freya bingung ke mana dia harus pergi, mengingat dia sangat kesal. Di rumah, dia akan sangat bosan. Jika ke rumah mamanya, pasti mamanya akan curiga. Dalam kebingungannya, satu tempat menjadi pilihannya. “Kantor Adion Company,” ucap Freya. Tempat itu menjadi tujuannya. Entah apa yang akan dilakukan di sana, dia juga tidak tahu. Yang terpenting, sekarang dia butuh tempat. Taksi sampai di kantor Adion. Freya langsung menuju lantai kantor El. Kantor El hanya menggunakan satu lantai dari kantor Adion, jadi dia tidak akan kesulitan mencari kantor El. “Bu Freya,” ucap Ana melihat Freya yang
“Yakin pasti kamu bisa,” ucap El yang memberikan dukungannya. Walaupun El sudah mengatakan hal yang menenangkan untuk Freya, tetap saja belum dapat merasa tenang. Jantungnya berdebar. El meraih tangan Freya, menggenggam erat. “Tutup matamu. Tarik napas dan embuskan!”Freya melakukan apa yang diminta El. Memejamkan mata dan menarik napas dalam. Ketika mengembuskan napas, perasaan tenang seketika menyelimuti perasaannya. Membuka matanya, Freya melihat ke arah El. Senyumnya tertarik di sudut bibirnya. “Terima kasih, El.” “Sama-sama,” ucapnya tersenyum. “Sampai jumpa nanti, El.”“Iya, aku akan menjemputmu nanti.” Freya mengangguk. Meraih pintu mobil, dia keluar dari mobil. Dengan penuh keyakinan, Freya masuk ke kantor. Di depan ruangan kakeknya, sekretaris kakeknya menyambut Freya dan mempersilakan masuk. “Kamu sudah datang
“Selamat pagi, Kak El?” sapa Cia dengan senyuman di wajahnya. El yang melihat senyum Cia, merasa tidak nyaman. Serasa senyuman itu penuh ancaman. Apa lagi jika bukan ancaman tentang London. Rasanya El pusing memikirkan bagaimana membantu Cia untuk ke London. “El, Cia menyapamu,” tegur Freya. “Pagi,” jawab El malas. Menarik kursi dan langsung mendudukkan tubuhnya. Memulai sarapan sebelum berangkat bekerja. Freya yang melihat Cia dan El merasa aneh. Entah bagaimana adiknya itu merayu El. Karena seingatnya semalam, El tampak mempertimbangkan permintaan Cia.Usai sarapan, Freya dan El berangkat bekerja. Cia memilih naik taksi, mengingat letak kantor kakaknya jauh dari kampusnya. Tak mau merepotkan kakak-kakaknya jika harus mengantarkannya lebih dulu. “Jika tidak bisa membantu Cia, jangan dipaksakan, El. Lagi pula papa tidak mengizinkan.” Freya sudah menebak jika adiknya pasti sudah menekan El. Karen
Pagi ini El harus rela istrinya cemberut. Tak mau bicara karena idenya untuk meminta bantuan Noah ditolak mentak-metah. Senyuman istrinya seketika hilang begitu saja. Hingga membuat El begitu frustrasi. Namun, belum usai nasib El yang sial pagi ini, kesialan ditambah dengan sambutan senyuman seorang gadis di depan pintu. “Selamat pagi, Kak El.” Senyum mengembang di wajah Cia.El yang melihat wajah Cia langsung lemas. Senyuman Cia membuatnya semakin frustrasi. Apa lagi, Freya yang belum menerima. “Aku bawakan kue untuk Kak El dan orang yang akan menjagaku di sana nanti.” Cia menyerahkan dua bungkusan yang berisi kue. Menelan salivanya, El membayangkan kue buatan Cia. Namun, bukan itu yang dia pikirkan. Satu hal yang dia pikirkan adalah Cia yang memberi kue sudah sangat berharap bisa ke London. Freya yang berdiri di samping El, memutar bola matanya malas. Dia tahu jika adiknya datang untuk memberik
“Halo, Kak, papa sudah setuju.” Suara Cia di sambungan telepon terdengar kencang. Hingga Freya harus menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya.“Benarkah?” tanya Freya memastikan kembali. “Iya, tadi pagi papa mengatakannya.”“Baiklah kalau begitu. Aku ikut senang mendengarnya.”“Dari tadi aku menghubungi Kak El, tetapi dia tidak mengangkat sambungan telepon.” “Dia sedang ada urusan penting,” jawab Freya yang mengingat telepon suaminya yang mengatakan jika El sedang tidak bisa makan siang dengannya. “Baiklah, sampaikan terima kasihku.” Suara Cia terdengar begitu bahagia. “Baik aku akan sampaikan.” Freya mematikan sambungan telepon. Masih menatap layar ponselnya, dia berpikir untuk mengirim pesan pada El. [El, apa kamu sudah kembali ke kantor?]Freya meletakkan ponsel dan kembali menikmati makan siangnya dengan Reya. Mereka berdu