Yama menerima berita itu dua jam kemudian.
Ia sedang di ruang kendalinya ketika Rendy, asistennya, masuk terburu-buru.
“Pak… Nyonya Dea sudah melahirkan.”
Yama berdiri kaku. “Di mana?”
“Rumah Sakit Az-Zahra.”
“Bawa mobil sekarang.”
Namun 30 menit kemudian, saat Yama tiba di gerbang rumah sakit, ia ditolak masuk.
Empat petugas berseragam hitam berdiri tegak, menyilangkan tangan mereka di depan gerbang baja otomatis.
“Maaf, Tuan Yama. Ini properti pribadi. Tidak ada izin kunjungan, atas perintah keluarga besar Al-Fareez.”
Yama mengangkat alis. “Dea adalah ibu dari anakku.”
“Perintah tertinggi, Pak. Bahkan surat pengacara Anda pun sudah kami tolak tadi pagi.”
Matanya me
Dea lalu mengarahkan bayinya ke dadanya, dan dalam sekejap, mulut mungil itu menemukan sumber kehidupan. Hisapannya kuat meski belum sempurna. Dea terisak, kali ini bukan karena kesedihan… tapi karena kebahagiaan yang meluap begitu saja.Perasaan menjadi ibu sungguh nyata kini. Ada sesuatu yang lahir bersamaan dengan bayi itu—sebuah kekuatan baru, kasih tak terbatas, dan ikatan yang tak akan bisa direnggut siapa pun.Yama kembali melirik. Dan pemandangan di hadapannya menghentikan waktu dalam pikirannya: Dea, duduk di tempat tidur, menyusui bayi mereka dengan mata yang berkaca-kaca dan senyum kecil yang penuh cinta.“Aku belum pernah melihatmu secantik ini,” ucap Yama dengan suara nyaris berbisik.Dea menoleh, menatapnya dengan mata merah. “Jangan ganggu momen ini.”Yama tersenyum, lalu duduk di pinggir ranjang, dekat namun tidak menyentuh.
"Karena kita sama-sama keras kepala," jawab Yama jujur.Dea menghela napas, lalu tiba-tiba berkata, “Cium aku.”Yama terdiam. Matanya membesar sedikit, ragu-ragu menatap perempuan di hadapannya. Ia ingin memastikan—apakah ini mimpi? Apakah ini luka yang sedang menguji?Tapi Dea tak berpaling. Tatapan itu serius. Lirih. Lelah. Namun tulus.“Untuk malam ini saja…” lanjutnya, “aku ingin percaya… bahwa cinta kita belum sepenuhnya mati.”Dan dengan hati-hati, Yama mengangkat tangannya, menyentuh pipi Dea dengan penuh kelembutan. Ibu jarinya menghapus air mata yang masih tertinggal di ujung kelopak mata Dea. Ia mendekat perlahan, memberi waktu bagi Dea untuk menarik kembali kata-katanya—jika memang itu hanya kerinduan sesaat.Tapi Dea tidak menjauh.Dan akhirnya… bibir mereka
Malam turun perlahan, membawa angin lembut yang menyusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Vila tempat Dea disekap berada jauh dari kota—terpencil, sunyi, dan dijaga ketat.Di luar sana, dunia terus berjalan seperti biasa, tapi di ruangan ini, waktu seolah beku. Tidak ada suara lain kecuali detak jam dinding dan hembusan napas Dea yang teratur namun berat.Ia duduk bersandar di ranjang, selimut menutupi sebagian tubuhnya yang masih lemah. Sejak Yama mengizinkannya melihat putrinya pagi tadi—meski hanya sebentar—perasaannya campur aduk. Bayi kecil itu begitu mungil, berkulit merah muda, dengan mata yang tertutup rapat dan bibir mungil yang mengerucut pelan saat menangis.Tangan Dea masih gemetar saat mengingat detik-detik itu. Ia ingin menyentuh. Memeluk. Menyusui. Tapi semuanya dibatasi oleh satu kata: izin.Dan satu-satunya orang yang memegang izin itu… adalah Yama. 
Fatih berdiri di depan kaca tinggi kantor Yama, menatap hamparan gedung pencakar langit yang berdiri angkuh di bawah sinar matahari siang. Tangannya mengepal di saku celana, rahangnya mengeras. Sudah dua hari penuh ia melacak jejak Dea, tapi semuanya buntu.Tidak ada CCTV rumah sakit. Tidak ada data keberangkatan. Bahkan saksi mata yang terakhir melihat Dea—seorang perawat tua—mengaku disumpah untuk diam.“Aku tahu dia ada di negara ini,” ujar Fatih tajam, menatap pria di depannya. “Dia melahirkan di sini. Tidak mungkin menghilang begitu saja.”Yama duduk tenang di belakang mejanya, jari-jarinya saling bertaut di atas map dokumen yang sengaja dibiarkan terbuka—pura-pura sibuk. Namun di balik sikap ramahnya, sorot mata Yama menyimpan sesuatu yang lebih gelap: Fatih adalah pria yang akan merebut Dea.“Aku bisa mengerti kekhawatiranmu, Fatih,” ujarnya dengan nada bersahabat yan
Langit tampak temaram dari balik jendela tinggi yang dibungkus tirai putih tipis. Aroma antiseptik samar-samar memenuhi ruangan yang terlalu sunyi untuk disebut tempat yang nyaman."Rumah sakit?"Dea perlahan membuka matanya, kelopak yang berat seperti telah tertutup selama berhari-hari. Cahaya lampu di atas membuatnya mengerjap, dan perlahan kesadarannya merambat kembali, seiring rasa nyeri yang menusuk dari perut bagian bawah.Dia berusaha mengingat, dia menyadari baru saja melahirkan dan dalam kepalanya penuh dengan pernyataan, mengapa semua terlihat berbeda?Tubuhnya terasa lemah. Saat mencoba mengangkat tangan, infus masih terpasang di sana. Tapi bukan itu yang membuat napasnya tercekat—melainkan kenyataan bahwa ini bukan kamar rumah sakit tempat dia terakhir kali sadar."Aneh..." Dea menautkan alisnya dan kedua matanya menelusuri semua isi ruangan.Bukan ruang bersalin dengan suara perawat yang hilir mudik. Tidak ad
Dokumen medisnya hilang. Selimut terlipat rapi.Dan di meja kecil di samping ranjang, hanya ada satu amplop.Isinya:“Bukan kamu yang memutuskan kapan aku melihat anakku. Bukan kamu yang memutuskan siapa yang memeluknya pertama kali. Ini urusan antara aku dan Dea.”— YamaMalam itu, Raina berdiri di jendela ruangannya, menatap langit yang lambat laun diliputi hujan deras.Ia tidak menangis.Ia hanya diam.Dan dalam diam itu, ia tahu: permainan telah berubah dan dia kalah total.***Fatih menerima panggilan setelah semuanya berakhir. Dia dan Syeikh buru-buru kembali ke negara matahari, namun perjalanan dari Dubai ke negara matahari membutuhkan waktu 10 jam walau dengan fasilitas pesawat jet pribadi.Fatih shock karena berita Dea yang sudah menghilang. Matanya membelalak, dan tubuhnya limbung sebelum akhirnya bersandar ke dinding marmer istana. &ldqu