Dea menunduk patuh, meskipun dalam hatinya ia merasa lelah. Ia baru saja mendapatkan beberapa shift malam yang bisa menghasilkan uang lumayan banyak baginya, bekerja membantu ibunya tidak akan digaji tentunya. Sementara Ayahnya pasti membutuhkan biaya yang cukup banyak untuk obat-obatan.
Namun, ada satu hal yang harus ia lakukan terlebih dahulu.
Dengan cepat, ia menghampiri Bob yang masih berdiri di dekat mobil dan menatapnya dengan serius.
"Bob, tolong jangan ikut denganku lagi," pintanya dengan suara tegas. "Aku yang akan bertanggung jawab kepada Yama sepenuhnya."
"Tapi, Tuan Yama ingin memastikan Anda hadir di sana jam tujuh malam."
Dea berpikir sejenak lalu menjawab, "Baiklah. Aku berjanji akan menemuinya nanti malam, jam tujuh! Sesuai permintaannya. Bagaimana?"
Bob menatap Dea dengan ekspresi datar, jelas tidak yakin apakah ia boleh mempercayai gadis itu atau tidak. "Nona yakin?"
Frans menunduk, dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar kehilangan kendali atas semuanya. Dea hilang. Elsa ditarik paksa. Dan sang Ratu... kini memandangnya seolah dia bukan lagi bagian dari keluarga kerajaan.Ratu duduk kembali ke kursi mewahnya, tenang namun mematikan. “Siapkan armada pencarian. Dan jika Dea ditemukan lebih dulu daripada kehormatanku dipulihkan... maka yang akan kuhukum bukan hanya wanita jalang itu, tapi juga kamu, Frans.”Frans jatuh berlutut, akhirnya menyadari betapa fatal kesalahan yang telah ia buat."Tidak adil!"Tiba-tiba sebuah suara wanita muncul di tengah pintu.Elsa berdiri dengan kedua mata memerah, dia berhasil melarikan diri dari dua pengawal yang menariknya tadi.Ratu memicingkan kedua matanya, "siapa yang tidak adil?""Yang Mulia!" sahut Elsa. Namun, dua pengawal itu sudah berhasil menarik tanganny
Waktu seakan membeku. Elsa yang berbaring dengan wajah pucat, menundukkan kepala. Matanya bersinar, tapi bukan karena sedih—melainkan puas. Tapi dia menutupinya dengan gerakan menggenggam perut sambil meringis.“Aku... aku khawatir dengan Dea... tolong cari dia, Frans... dia mungkin terluka,” ucap Elsa dengan suara pilu yang dibuat-buat.Frans sudah tidak mendengarnya. Ia sudah keluar dari kamar, berteriak ke koridor, memanggil semua kepala pengawalnya.“Kerahkan semua tim pencari! Cek semua rumah sakit, hutan, jalur kereta, terminal! Blokir semua bandara! Jangan ada yang keluar dari negara ini tanpa izin dariku!”Namun, perintahnya sudah terlalu lambat. Dea sudah jauh dari sana.Beberapa pengawal langsung bergerak. Frans mencabut ponsel, menghubungi Ratu.“Ratu, Yang Mulia, ini darurat.”Frans melaporkan semuanya dengan sin
Bu Ranti menghela napas panjang sekali lalu bangkit berdiri, masuk ke kamarnya, dan tak lama kemudian kembali sambil membawa ponsel kecil dan sobekan kertas lusuh. Ia menekan nomor dengan jari gemetar, lalu berbicara dalam bahasa samar yang tidak dipahami Dea.Bahasa lokal yang mungkin dari salah satu suku tersembunyi di Inggris atau bahasa lokal negara lain, Dea tidak mengerti.“Dia setuju,” kata Bu Ranti setelah menutup telepon. “Orang itu akan menjemput kita jam dua malam, di gang dekat rel kereta lama. Kita harus menyamar. Aku akan ambilkan pakaian buruh pabrik—kau harus terlihat seperti pekerja harian yang tak menarik perhatian.”"Namun, aku hanya mengantarkan dirimu kepadanya, aku tidak mungkin ikut.""Baik, Bu. Sudah cukup, ini baik sekali."Dea mengangguk cepat. Ia tak peduli lagi dengan penampilan. Dia tidak peduli siapa yang akan ikut dengannya. Dia bahkan tidak peduli resiko yang
Dea mengangkat wajahnya. Matanya merah dan tubuhnya dipenuhi luka."Tolong aku..."“Aku... baru saja dirampok,” ucapnya lemah. “Mereka ambil semuanya... aku sedang hamil... suamiku sedang di luar negeri…”Wanita itu mendesah, antara bingung dan iba. “Ya Tuhan... ayo ikut saya ke kantor polisi, biar mereka bantu—”“Jangan,” Dea memotong cepat, suaranya pelan namun tegas. “Aku takut... aku cuma ingin istirahat... tolong... bawa aku ke rumah Ibu saja. Hanya untuk malam ini. Aku akan memanggil suamiku untuk menjemputku.”Wanita itu menatapnya ragu, namun ada keibuan yang menang atas logikanya. Ia menggandeng Dea dengan lembut.“Namaku Bu Ranti. Ayo, Nak... kita ke rumah. Rumah saya tidak jauh dari sini.”Dea hanya mengangguk. Matanya mulai kabur, langkahnya melemah. Saat i
Frans menelan ludah. Tenggorokannya tercekat. Ia sendiri tidak yakin lagi dengan kata-katanya. Yang ia tahu, pelukan Elsa tadi terasa berbeda. Ada kelembutan yang juga membuatnya merasa dibutuhkan. Tubuh Elsa yang menjadi candu baginya. Awalnya memang hanya pelampiasan kekesalan semata, tapi saat ini... dengan kondisi wanita itu sudah memberikan anak dalam rahimnya.Sungguh tidak mungkin dia mengabaikan wanita itu, terutama saat ini. Apa pun alasannya.Tapi Dea... Dea adalah wanita yang ia kejar sejak lama, yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya.“Kamu mulai mencintainya, bukan?” ulang Dea, lirih namun tajam.Frans tidak menjawab.Dan ketidakjawaban itu terasa lebih menyakitkan daripada pengakuan apa pun.Dea menarik napas panjang, lalu duduk lebih tegak. “Kalau kamu mencintainya... kenapa kamu tidak melepaskanku saja?” ia menatap Frans lurus.“Aku akan kemb
Lampu remang menyinari ruangan. Dea terlihat tertidur dengan selimut membungkus tubuhnya. Nafasnya teratur, wajahnya damai meskipun sedikit pucat.Frans melangkah pelan, berdiri di sisi ranjangnya, menatap lama, namun memilih tak membangunkannya. Ia hanya menarik selimut lebih rapi, membetulkan letak gelas air minum, dan menghela napas."Maafkan aku... sebentar saja dan aku akan kembali," bisiknya, lalu meninggalkan ruangan.Langkahnya menuju kamar Elsa.Di depan pintu, dua pengawal masih berjaga. Ia menghentikan langkah dan bertanya dengan suara pelan namun berwibawa, “Bagaimana hari ini?”Salah satu pengawal menjawab dengan cepat, “Semua terkendali, Paduka. Tidak ada insiden besar. Nona Elsa tidak keluar dari kamar sama sekali. Hanya meminta kami menyampaikan buah untuk Nyonya Dea, sebagai bentuk itikad baik.”Frans mengangguk pelan. “Kirim