Langkahnya dibawa berlari kencang menyusuri lorong marmer, memasukan artefak ke balik sabuk kerajaan, menarik kain yang membebat dibaliknya.
"Pangeran Kaelthar terlihat memasuki lorong ketiga, kepung di bagian pintu depan dan belakang Temple!" Mengabaikan teriakan yang menggema ke langit kuil, Kael melecutkan kain ke arah obor sampai padam. Salah satu penjaga yang berdiri di mulut lorong mengeluh dalam hati tatkala lorongnya berubah gelap, dia tidak bisa melihat sosok Kael berbelok kemana dibanyaknya persimpangan lorong. "Tutup semua pintu yang mengarah keluar." Titahnya sebelum masuk ke lorong gelap berbekal obor. "Pangeran Kaelthar!" Netra Kael mengerjap tatkala mendegar suara dari belakangnya, dia memutuskan berbelok ke lorong kanan, menempelkan punggung pada marmer dingin sambil mengatur napas agar lebih tenang. Suara tegap penjaga terdengar tepat di sampingnya, riak api dari obor memenuhi dinding tempat Kael berdiri, tangan Kael melepas ornamen giok yang menggantung di sabuk kerajaannya, melempar ke arah lorong sebaliknya. menimbulkan suara gema membuat penjaga mengejarnya. Setelah mengelabuinya, Kael kembali berlari lebih dalam ke lorong dengan menekan suara langkah kaki sampai menemukan pintu. "Pangeran Kaelthar ada di balik pintu ini!" "Bersiap masuk!" Kael berdecak tatkala suara-suara bariton terdengar dari arah luar pintu yang terletak dua meter di depannya. Tidak ada jalan lain, lorong ini hanya dibuat lurus mencapai pintu. Brak! Para penjaga masuk lewat pintu namun Kael sudah tidak ada di sana. "Mustahil." Ujar penjaga paling depan. "Tidak ada tempat keluar dari sini! Apalagi Pangeran bukan seorang kultivator!" "Mundur! Kita sergap di depan Temple!" Perintah salah satu penjaga, membuat pasukan meninggalkan lorong. Menyisakan Kael yang menempel di sudut atap lorong seperti cicak. Kael membuang napas lega, satu tangannya bergerak meraba atap lorong untuk menemukan pegangan. Srett! Suara gesekan besi mengiris telinga tatkala Kael membuka pintu lantas masuk ke dalamnya, memanjat ke atas atap. * "Dia lolos?" "Putra Mahkota, mohon ampun! Pangeran Kael berhasil meloloskan diri dari lorong yang hanya terdapat satu pintu!" Ujar kepala penjaga, membungkuk empat puluh lima derajat ke depan dan telapak tangan kanan menempel di pundak kiri. Pria berambut hitam dengan jubah panjang berbahan sutra dan bordiran emas yang membungkus tubuhnya jadi mendesah panjang. "Kael itu anggota keluarga Kekaisaran, dia tahu pintu rahasia di Temple ini. Kepung di bawah, dia akan muncul di atap." Setelah mengangguk dan pergi, Riverin menoleh pada pria yang mengenakan jubah putih dan kacamata bulat berantai emas. "Your highness." Ujar Sylas memberi hormat. "Jadi, apa artefak yang Kael curi dan kegunaanya?" Tanya Riverin tanpa basa-basi. Sylas membenarkan letak kacamatanya. "Hanya artefak biasa yang saya temukan di pesisir pantai di masa lalu. Tidak ada kegunaan pasti maupun cara memakainya, tidak diketahui. Saya membawanya pulang karena bentuknya cantik dan memancarkan energi luar biasa. Tapi anehnya, itu bukan memancarkan energi bumi yang biasa kita gunakan." * Napas Kael memburu, tatkala sudah duduk di atap tiga tingkat berbentuk bilah melengkung. Dia mengeluarkan artefak berbentuk kerang putih yang terbuka dan terdapat mutiara biru di dalamnya. Kael membuka secarik kertas terkait informasi yang dia dapat dari mata-matanya, membacanya. "Namanya tidak diketahui, tapi artefak ini adalah kunci kekuatan besar yang kau cari untuk menggulingkan kekaisaran. Caranya adalah putar kuncinya." "Ha?" Gumam Kael mengangkat sebelah alisnya heran, dia jadi meniti artefak itu lebih dekat. "Apa maksudnya? Aku tidak menemukan kunci dimanapun. Apa yang harus aku putar?" Tanyanya, mencoba memutar mutiara di dalamnya namun tidak bergerak. Kael tersentak tatkala permukaan jarinya serasa tersetrum listrik. Netra Kael melebar dengan napas tercekat tatkala mutiara biru itu sekilas menampilkan ombak. "Apa barusan?" Gumam Kael. "Pangeran Kaelthar! Saya mohon, tolong turun dari sana!" Kael tersentak tatkala Templenya berguncang, dia berdecak. "Ini pasti kekuatan kultivasi bumi." ... "Pangeran Kaelthar! Percuma! Anda tidak bisa lari!" Teriak kepala penjaga, membelalak tatkala Kael melongokan wajah ke arahnya, tidak lagi sembunyi. "Aku minta maaf telah merepotkan kalian, aku kembalikan artefaknya!" Kepala penjaga terkesiap tatkala kantong kain melayang tinggi ke bawah. "Astaga! Hei, tangkap artefaknya!" Sebagian penjaga berlari, berebutan untuk menangkapnya membuat penjagaan di salah satu sisi Temple kosong, Kael memanfaatkannya, dia memasang tambang ke ujung atap yang melengkung lantas turun lewat tali dalam satu tarikan. ... Kepala penjaga membuang napas lega, membuka kantong tadi. "Sial. Ini jebakan. Tangkap Pangeran Kaelthar!" Umpatnya membanting ornamen giok berserta kantongnya ke tanah. Penjaga berlari ke tepian kuil, karena temple dikelilingi sungai, maka hanya satu jalan untuk keluar ke arah pegunungan—paling dekat ke kuil, Kael pasti akan melewati jembatan. Kepala penjaga membelalak dengan jantung mencelos tatkala mendapati jembatan kayu yang terbakar, hancur dan berjatuhan ke sungai. Dia hampir mengumpat tatkala menemukan di sebrang sungai, Kael tersenyum dengan obor di tangannya, melempar obor ke sungai, lantas berlari masuk ke hutan, pegunungan Valtharos. "Sial! Dia berhasil kabur lagi!" Padahal dia hanya manusia biasa tanpa kemampuan kultivasi, tapi sulit sekali menangkapnya dengan mempertimbangkan rasa hormat. ... Kael berlari menerobos hutan Acer palmatum var. atropurpureum yang bersinar seperti ladang emas tatkala daun merahnya disapa cahaya matahari. Napasnya memburu, fisiknya melemah, langkahnya berhenti di depan satu-satunya jenis pohon berbeda di hutan, Yggdrasil. Pohon dengan dahan saling membelit yang celahnya bercahaya kebiruan, terdapat ruang di dalam pohonya. Kael membuang napas lega, "sekarang aku aman." "Kau pikir begitu?" Brugh! Tubuh Kael menghantam tanah, punggungnya diduduki, kedua tangannya ditahan ke belakang punggung. "Tidak!" Pekik Kael tatkala kertas dan artefaknya dirampas. "Kenapa kau membuat keributan hanya demi artefak tidak berharga? Urusan penangkapan para kultivator laut terlarang yang melanggar aturan Kekaisaran masih terbengkalai, seharusnya kau tengah mengurusnya saat ini." Keluh Riverin, dia berpikir lebih cerdik dan mendahului Kael sampai di sini. "Lepaskan aku, ini bukan urusanmu. Dan kembalikan artefaknya!" Riverin mengabaikan, dia menjauh tatkala Kael berontak dan ingin merebut kertasnya terlebih dahulu. Riverin jadi membacanya cepat sebelum membelalak lebar, tubuhnya membeku dengan napas tercekat. "Apa ini maksudnya, Kael? Artefak untuk menggulingkan Kekaisaran?" Riverin tercekat. "Jangan bilang kau berniat memberontak?" Kael diam tapi tatapannya tajam dengan raut wajah mengeruh. Riverin tertegun karena ini dia anggap sebagai pembenaran, dia kesulitan mencerna informasi ini sebelum mengeluarkan pedang dari sarung, menjulurkan ke arah Kael. "Jangan bercanda, Kaelthar." Bisik Riverin dingin. "Jika kertas ini aku bawa ke Hall of Celestial Judgement, kau akan diputuskan sebagai pemberontak dan seluruh orang di dalam Istana akan diselidiki untuk menemukan penghianat yang mengirimkan informasi ini padamu!" Sentak Riverin naik pitam. "Apa aku terlihat bercanda bagimu?" Kael mendesis. "Kekaisaran ini busuk, mendiskriminasi manusia biasa dan menangkap para kultivator laut. Apa salah keduanya? Mereka tidak pernah membuat Kekaisaran rugi dalam hal apapun, tapi mereka tidak mendapatkan keadilannya! Ini salah, Riverin. Ada yang salah dengan aturan yang dibuat Kaisar!" Pundak Riverin merosot dengan ujung pedang menurun, mencerna semuanya sebelum menggertakan gigi dengan urat leher mengencang. "Padahal aku mengharapkan kau menjadi Pangeran yang membantuku mengurus Kekaisaran setelah aku naik tahta. Kau menghianatiku, menghianati Ayah dan semua orang, Kael." Kael menggeleng suram. "Maafkan aku tapi, aku tidak melihat masa depan rakyat di kedua tanganmu." Riverin tersentak dengan jantung mencelos, berdecih keki dengan napas memburu. Api di kepalanya tersulut dan berkobar. "Jaga bicaramu." Bisiknya dingin dengan wajah mengeras. "Manusia lemah yang bahkan tidak bisa berkultivasi sepertimu, tidak pantas membicarakan masa depan rakyat! Memangnya kau bisa apa jika naik tahta? Kau pikir tiga klan besar akan tunduk pada manusia biasa sepertimu? Kau pikir para sekte pemberontak yang mengagungkan teknik kultivasi laut yang terlarang itu tidak akan membawa tsunami untuk menyapu tubuhmu dari tahta?!" "Aku akan menyeretmu dan orang yang membantumu ke pengadilan!" Sentak Riverin naik pitam, menebas Kael namun dia berhasil menghindar, hanya memotong ujung lengan pakaiannya. Riverin melempar pedangnya, dari awal itu hanya hiasan. Dia adalah kultivator bumi. Riverin mengepalkan tangan, mengumpulkan energi bumi ke sana sebelum menghantam tanah, membuatnya bergoyang dan menjatuhkan Kael ke tanah. Riverin mendekat, Kael memanfaatkannya dengan menendang kedua kakinya, membuatnya terjatuh. Kael memanfaatkannya untuk mengambil artefak yang terlempar, namun dia gagal mengambil kertasnya. Kael tersentak tatkala tubuhnya ditendang sampai menabrak Yggdrasil, membuat artefaknya jatuh ke dalam celah pohon. Riverin jadi naik ke atas tubuh Kael yang terlentang, memukulinya membabi buta dengan kemampuan pengerasan kepalan tangannya, Kael tidak dapat melawan, dia hanya bisa menerima rasa sakit setiap pukulan. Darah mengalir dari hidungnya, Kael menyeringai. "K-kau tidak akan bisa menjadi Kaisar yang bijaksana." Netra Riverin membelalak dengan jantung mencelos sebelum emosi menelan kewarasannya. Bugh! Kael membelalak, darah menyembur keluar dari bibir tatkala kepalan tangan Riverin menembus ulu hatinya sampai berlubang. "Keputusan bodoh, Kael. Bahkan artefak yang kau curi hanyalah artefak yang tidak jelas kekuatannya, artefak sampah." Cemooh Riverin sebelum berbalik pergi. Netra Kael melebar dengan jantung mencelos di balik kesakitannya. Tangannya mengepal dengan wajah mengeruh. Bajingan. Jadi dia salah mencuri artefak, pantas informasinya menyimpang. "Sial." Umpat Kael sebelum mengerjap, netranya terpejam rapat, kali ini untuk selamanya. Darah Kael melebar cepat, masuk ke dalam pohon sebelum mengenai artefak yang tadi terlempar ke sana, membuat mutiaranya bercahaya terang sebelum ombak besar keluar dari lubang pohon, melahap mayat Kael sampai lenyap. Sedetik, ombak itu kembali dan menyisakan mayat Kael. Kael hidup kembali. Namun, tubuhnya bukan lagi miliknya.Langit Tydoria hari itu seakan disikat bersih oleh para dewa. Tidak ada awan mendung. Tidak ada bayangan ancaman. Hanya biru murni, terbentang luas di atas dermaga, di atas rumah-rumah rakyat, di atas menara-menara penjaga yang kini menjadi simbol damai, bukan peringatan perang.Desas-desus telah menyebar sejak fajar. Anak-anak berlarian dengan ember air penuh bunga laut, para ibu sibuk menata meja makan besar di lapangan tengah, dan para pria membentangkan bendera biru-putih yang melambangkan laut yang tidak lagi menelan, tapi memeluk.“Dia kembali.”Itulah kata-kata yang berbisik dari satu mulut ke mulut lain. Tidak ada pengumuman resmi. Tidak ada terompet atau pengawal istana yang berteriak. Tapi laut… membawa pesan itu lebih cepat dari suara.Kael dan Anna kembali ke Tydoria.Di pelabuhan utama, Vaeli berdiri mengenakan jubah kebangsaan berlapis kerang kristal, rambutnya disanggul setengah, dan sorot matanya tak lagi keras seperti dulu. Di sampingnya, Pollux berdiri dengan jubah b
Perjalanan Kael dan Anna membawa mereka jauh ke timur, melewati pelabuhan tua dan pulau-pulau tak bernama. Di peta dunia, tempat itu hanya disebut sebagai “Lingkaran Ombak”—sebuah atol yang dikelilingi sembilan pusaran laut kecil, membentuk lingkaran nyaris sempurna.Konon, di tengah lingkaran itu berdiri Kuil Ombak Terakhir, tempat di mana para pemegang esensi laut zaman kuno datang untuk menyatu dengan arus, merenung, dan meninggalkan jejak terakhir sebelum menutup perjalanan panjang mereka.Kael tahu, inilah tempat terakhir yang harus ia kunjungi sebelum kembali ke Tydoria.Ia tidak datang untuk berperang. Ia datang untuk berpamitan pada kekuatan yang telah memberinya jalan, namun juga beban....Anna dan Kael tiba di pulau tengah saat fajar belum pecah. Ombak di sekitar lingkaran benar-benar sunyi, seolah tahu siapa yang sedang mendekat.Kuil itu sederhana. Terbuat dari batu laut berusia ribuan tahun. Tidak ada ukiran mewah, hanya pilar-pilar tinggi melengkung dan lantai yang sela
Sore itu, langit di atas Tanah Merari, sebuah negara tropis yang tenang dan nyaris tak terjamah konflik, dilukis warna emas jingga. Di antara pohon kelapa laut yang menjulang, di antara desa-desa kecil yang hidup dengan irama gelombang, dua sosok berjalan beriringan. Kael dan Anna. Anna mengenakan gaun putih longgar yang mengikuti arah angin. Kakinya yang kini telah terbiasa berjalan, meninggalkan jejak di pasir. Di sampingnya, Kael menenteng kantong kulit berisi buah-buahan lokal dan beberapa rempah. Wajahnya lebih tenang, rambutnya lebih panjang, tapi mata birunya masih menyimpan lautan. Mereka bukan tamu kehormatan. Mereka bukan pahlawan. Mereka hanya dua jiwa yang sedang berkelana, mencari arti dari dunia setelah perang berakhir. “Orang-orang di sini sangat ramah. Aku suka dengan perjalanan kita. Tidak ada yang mengenal siapa kita, tidak ada yang menghakimi, hanya ada orang dan sesuatu yang baru. Aku sungguh menyukainya!” Ujar Anna riang sambil menatap anak-anak yang bermain
Hari-hari berlalu tanpa perang.Untuk pertama kalinya sejak Tydoria berdiri, kota itu benar-benar sunyi dari suara dentang senjata.Anak-anak berlarian di pelataran istana. Para penjaga tersenyum saat patroli, bukan karena tugas selesai… tapi karena dunia perlahan berubah.Ratu Vaeli memanfaatkan masa damai ini dengan membentuk Dewan Diplomasi Laut-Darat, terdiri dari perwakilan rakyat, klan laut, dan utusan negara lain. Ia ingin membangun jembatan—bukan hanya antara kerajaan—tapi juga antara peradaban.Hari itu, surat-surat dari berbagai negeri sampai ke Tydoria. Sebuah momentum yang tidak pernah mereka bayangkan akan datang.Surat dari Kerajaan Altaerin:“Kami menyaksikan kebijakan Ratu Vaeli dan Tydoria. Keputusan untuk mengampuni, bukan membalas, adalah kekuatan sejati. Dengan ini, Altaerin mengakui Tydoria sebagai negara sahabat dan membuka jalur dagang bebas mulai musim gugur tahun ini.”Surat dari Republik Sorvel:
Pagi itu, langit Tydoria mendung.Bukan mendung hujan, tapi mendung dari gelombang ancaman yang belum sepenuhnya sirna sejak Kekaisaran Ardor jatuh. Sekalipun Tydoria berdiri sebagai simbol kebangkitan dan harapan, bayang-bayang masa lalu masih menyelimuti dari arah timur.Dan ancaman itu datang… dari negeri kecil bernama Beregith.Sebuah wilayah bawahan Ardor yang dahulu menikmati perlindungan dan kekuasaan dari kekaisaran. Setelah runtuhnya Ardor, mereka merasa kehilangan status, kehilangan arah, dan menyalahkan Tydoria sebagai penyebab kehancuran tatanan lama.Mereka mengirim serangan.Tidak dalam jumlah besar. Hanya satu kapal cepat, berisi lima puluh prajurit dengan perlengkapan kultivasi bumi. Mereka menyusup melalui celah karang malam hari, berharap mengguncang dermaga barat Tydoria dan menciptakan kepanikan.Namun, Tydoria bukan lagi tanah lemah yang baru dibentuk.Patroli laut mendeteksi mereka sebelum mereka sempat mendarat. Pasukan penjaga dipimpin langsung oleh Austin, yan
Pagi hari di Tydoria bukan lagi disambut dengan sirene perang atau suara langkah tentara di pelatihan. Kini, yang terdengar hanyalah suara anak-anak bermain di jalanan batu, dan percikan ombak yang menyentuh dermaga. Di pusat kota, bendera biru-putih bergoyang lembut ditiup angin laut, menandakan negara ini telah berdiri tegak dengan kedamaian.Di dalam balairung utama, Vaeli duduk menghadap tumpukan dokumen yang memenuhi meja panjang dari kayu coral. Raut wajahnya fokus, tapi matanya menyimpan kelelahan.“Permintaan pasokan air murni dari sektor timur belum terpenuhi,” ujar salah satu penasihat. “Dan dermaga selatan mulai tergerus arus. Kami butuh inspeksi langsung.”Vaeli mengangguk. “Akan kutangani sendiri siang ini.”Para penasihat saling menatap, terkejut namun tak berani membantah. Sejak diangkat menjadi ratu, Vaeli tak pernah takut turun langsung ke lapangan, bahkan hingga ke dasar laut....Beberapa jam kemudian, Vaeli berdiri di pinggir tebing batu karang, mengenakan jubah ku