"Aku ... masih hidup?"
Kael meraba ulu hatinya, tidak ada rasa sakit dan kebocoran darah maupun lubang di sana. Hanya kulit yang terasa perih terkena air garam. Deburan ombak menggelitik kakinya, Kael berdiri ditengah hamparan laut tidak berujung, selubung-selubung putih menudungi kepalanya tanpa matahari maupun bintang. Semua putih dan biru mencolok layaknya lukisan impresionis, hanya suara deburan dan pantulan cahaya samar pada riak ombak. Kael mengerjap, apa dia bermimpi? "Apa ini yang mereka sebut ... alam setelah kematian?" Tanya Kael gamang, dadanya bergemuruh kecewa dan takut secara bersamaan. "Bukan, tapi ini adalah Samudra Nirwana. Tempat kesadaran luas tanpa batas layaknya keabadian yang tersimpan dalam lautan. Ini adalah tempat yang terbuat karena luapan esensi laut yang terkandung di dalam mutiaraku." Kael tersentak tatkala suara dalam bagai deburan ombak menggema di seluruh penjuru. Kael mendongkak, terpaku pada gumpalan cahaya yang melayang di atas kepalanya. "Kau yang bicara?" "Bukan. Aku hanya wujud dari kekuatan artefak kuno yang membentuk gelombang suara. Sementara cahaya itu hanyalah roh pohon." Dari dalam cahaya, muncul bayangan samar—sebuah akar yang saling membelit seperti saraf, bercahaya di setiap celahnya—. "Roh pohon Yggdrasil. Ia telah hidup selama ribuan tahun, namun ... hanya hidup. Ia tidak dapat berpikir, berbicara, melihat, mendengar dan berevolusi. Namun dengan kekuatanku, aku akan membuatnya hidup." Netra Kael melebar. "Hidup? Bagaimana caranya?" "Dengan menempati tubuhmu." Dingin merayap di tengkuk Kael. "Jiwa manusia yang mati tidak dapat diselamatkan lagi. Setidaknya aku bukan artefak yang memiliki fungsi seperti itu. Inilah fungsiku sebenarnya. Tidak ada jiwa Kaelthar maupun jiwa roh pohon, yang ada hanya satu jiwa yang menempati tubuh itu. Jiwa yang akan bertumbuh dengan sedikit banyaknya sifat dan karakter aslimu yang sudah menempel pada tubuh itu, jiwa yang akan hidup dengan fragmen memorimu, dan jiwa yang akan mengalami perbaikan emosi, perilaku dan karakter seiring dengan pengalaman yang dia alami setelah hidup." Semua kalimat meleleh di tenggorokannya, meninggalkan ketakutan. "Jadi ... aku akan mati?" "Matilah, jiwa Kaelthar. Dan hiduplah, jiwa pohon ...," ... Napas pertama seperti petir menyambar. Jantung Kael bergemuruh kencang, pundaknya naik turun. Udara sejuk menerpa kulit wajahnya. Dia mengangkat tangan, meraba wajahnya sendiri. Kulit, daging, urat nadi berdenyut ... Ia bisa merasakan. Bibirnya bergetar. "Aku ... manusia?" Sebuah gelombang rasa merayap di dadanya—campuran getaran dan keresahan—, terasa asing bagai aliran air yang tidak tahu harus mengalir kemana. Tidak ada kata di memorinya yang dapat menjelaskan, apa nama gelombang rasa ini. Setelah beribu tahun hanyalah entitas yang hidup dalam pohon tanpa melakukan apapun. Kini Kael dapat membuka netranya lebar. "Ini namanya ... melihat?" Kael beranjak berdiri, langkahnya goyah. "Ini namanya berdiri." Dia berhenti di lereng, netranya berbinar dengan perasaan meletup. "Dan ini ... yang namanya dunia?" Ujar Kael tatkala mendapati hamparan pegunungan layaknya ladang emas tatkala daun merah dari pepohonan di terpa sinar surya yang naik ke atas kepala. Kael meraba dadanya sendiri yang meletup-letup, rasanya menggelitik dan membuat ingin menangis. "Perasaan apa ini namanya?" Karena ini tidak ada di ingatan manusia bernama Kael. Tiba-tiba sesuatu menyerbu benaknya, langkah Kael goyah dan mundur, kembali ke pohon Yggdrasil. Menjambak rambutnya sendiri, ini adalah fragmen ingatan Kaelthar. Penghianatan. Darah. Kematian. Riverin. Tangannya mencengkram dadanya, ada api terbakar di sana, Kael tidak tahu namanya. Namun netranya terpejam rapat dengan tubuh limbung menghantam tanah, tidak sadarkan diri. ... Setelah menenangkan diri, berjalan bolak-balik sambil memijat pelipis yang berdenyut pening. Akhirnya Riverin kembali ke tempat awal. Dia menarik napas dalam, melihat mayat adiknya untuk yang terakhir kalinya. Kematian yang tidak boleh diketahui siapapun. Bibir Riverin bergetar. "Hall of Celestial Judgement akan menuntut jika mereka tahu, dan legitimasi juga reputasiku akan dipertanyakan. Ini benar-benar celah berlubang untuk tujuanku." Reverin mengepalkan tangan, mengalirkan energi bumi ke sana, siap untuk menghilangkan bukti sampai napasnya tercekat tatkala bulu mata Kael bergerak menyapu tulang pipi. Sosok itu bangun. Kael membuka matanya. Jantung Riverin mencelos. "Tidak mungkin..." Kael menatapnya, namun bukan dengan tatapan manusia yang ia kenal. Mata itu kosong. Penuh kegelapan yang tak bisa ia pahami seperti kedalaman laut. "Putra Mahkota, Riverin S. Azure." Suara Kael datar, seakan membaca nama dari catatan sejarah dalam fragmen ingatannya. Riverin menelan ludah kelu. "Jangan bilang... artefak yang kau curi yang menghidupkanmu kembali?" Ia berlari ke celah Yggdrasil, mencari artefak itu. Darah Kael masih tertinggal di atas permukaan suci pohon itu. Namun, artefak telah menyatu dengan akarnya, tak bisa diambil kembali. Sesuatu telah berubah. Sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Riverin memijat keningnya, mencoba mengatur napas. "Kau...." Riverin mendekat, suaranya bergetar. "Kau masih Kael, kan?" Kael tidak menjawab, hanya menatap tajam dengan wajah mengeruh. Dan itu adalah jawaban paling menakutkan bagi Riverin. "Artefak misterius yang tidak punya nama bahkan catatan penggunaan. Kita tidak tahu, apakah itu membangkitkanmu dari kematian atau malah membangkitkan sosok jahat dalam tubuh." Tukas Riverin, mengangkat kedua kepalan tangannya secara waspada. "Buktikan kau adalah Kael yang asli." Ancam Riverin. "Kau yang telah membunuhku. Apa itu cukup bukti untukmu?" Tanya Kael membuat pria itu tersentak samar. "Tapi itu malah semakin membangkitkan rasa curigaku." Tukas Riverin, hendak memukul tanah untuk menyerang namun napasnya tercekat, kedua tangannya melayang di udara tatkala merasakan energi bumi yang mengalir di bawah kakinya. Tidak. Ini bukan energi bumi yang biasa ada di bawah tanah dan mineral. Ini energi bumi yang dikendalikan milik seseorang. Sejenak Riverin melupakan Kael, ada hal yang lebih penting, dia menempelkan telapak tangan ke tanah, memejam lama, merasakan energi milik siapa yang memutar di bawah kaki mereka. Mata Riverin terbuka paksa dengan jantung mencelos. "Sial." Umpatnya saat menyadari bahwa ini adalah ancaman besar. Riverin menginjak tanah, menciptakan gelombang kejut untuk membuyarkan pusaran energi bumi milik orang lain di bawahnya. Kael tersentak tatkala tubuhnya diseret, menaiki batang tertinggi Yggdrasil. "Dengarkan aku, adik bodoh." Riverin menekan leher Kael ke batang Yggdrasil, napasnya memberat. "Aku tidak akan membongkar penghianatanmu dengan satu syarat—kau harus tutup mulut terkait pembunuhan yang aku lakukan." Kael hanya menatap tanpa ekspresi. "Akhiri penghianatanmu di sini. Ini yang terbaik, kau harus kembali ke jalan kebenaran. Jika kau membongkar pembunuhan yang aku lakukan terhadapmu, aku akan menjadi orang yang pertama yang menyeretmu ke Hall of Celestial Judgement." Ancam Riverin, Kael terbatuk tatkala napasnya tersendat sebelum tubuhnya limbung, jatuh ke menghantam tanah tatkala Riverin melepaskan cekikannya. Riverin kembali melompat ke tanah, pengaruh kekuatan miliknya sudah hilang. Tapi itu setidaknya menghalangi energi bumi milik siapapun yang tengah mencoba menguping pembicaraan mereka. Riverin menyibak jubahnya, berbalik pergi sambil memijat kening. Sialan. Energi milik siapa yang mencoba menguping pembicaraannya barusan? Riverin tidak butuh saksi, bisa bermasalah jika ada orang lain yang tahu terkait pembunuhannya. Dan lagi, sepertinya dia bisa memanfaatkan kebangkitan Kael untuk rencana ke depannya. Tentu saja dengan anggapan saksi itu tidak sempat menguping pembicaraannya barusan. * "Your Highness." Kael menoleh, mendapati pria kekar, tegap, berotor tebal dari balik jubah hitamnya yang ketat, memberi salam. Rahang segiempatnya dipenuhi cambang dengan kulit tan eksotis di Empire dingin ini. "Jendral Siphor Black, salah satu dari tiga panglima tertingi di Militer Kekaisaran." Sebut Kael, melirik lima lonceng tergantung di ikat pinggangnya. "Kael, aku khawatir. Kau di sini rupanya, untungnya aku selesai dari perbatasan Tydoria di sebrang lereng. Bagaimana tentang pencurian artefakmu. Apa itu berhasil? Bisakah kita melanjutkan ke langkah selajutnya?" Tanya Siphor, ikut duduk dengan Kael di lereng gunung. "Ah, kau membantu penghianatanku." Ujar Kael, baru mengingatnya kemudian. Meskipun fragmen ingatannya tidak lengkap tapi dia tahu bukan Shipor yang memberikan informasi di secarik kertas terkait artefak—meskipun kini Kael pun belum mengingatnya. "Untuk saat ini, aku akan kembali menjalankan tugas biasa sebagai Pangeran." Putus Kael dengan berat hati setelah memikirkan segala kemungkinan. Shipor terkesiap. "Kenapa?! "Karena aku tidak mengingat kenapa aku berhianat dan ingin menggulingkan Kekaisaran." Jawab Kael menjambak rambutnya frustasi membuat Shipor tertegun dengan jantung mencelos. Apa maksudnya itu? Apa yang terjadi pada Kael sebenarnya? Kael menggengam dadanya, perasaan asing—api yang membakar dadanya dan sesak—datang lagi. Ada sesuatu yang salah. Ia tahu dirinya menginginkan kehancuran kekaisaran. Tapi kenapa? Memori-memori terpecah seperti kaca retak. Seperti gelombang yang datang dan pergi tanpa bisa ia kendalikan. Dia mencoba mengingat kenapa dia ingin menggulingkan kekaisaran. Tapi yang muncul di pikirannya bukan jawaban, melainkan kehampaan. Kael menggertakkan giginya. 'Aku tahu aku punya alasan...,' benaknya berteriak frutasi. Kael memejamkan netra, mencoba mengingat lebih dalam sebelum fragmen ingatan muncul di kepalanya. Laut membentang luas di bawah langit biru, deburan ombak terasa halus di telinganya. Dia berdiri di sana, menghadap punggung seseorang yang asing yang bergumam, 'Jangan lupakan janji kita.' Netra Kael terbuka paksa dengan jantung mencelos tatkala menyadari bahwa..., Itu adalah memori yang tidak pernah ia miliki. Memori yang bukan milik Kaelthar S. Azure.Langit Tydoria hari itu seakan disikat bersih oleh para dewa. Tidak ada awan mendung. Tidak ada bayangan ancaman. Hanya biru murni, terbentang luas di atas dermaga, di atas rumah-rumah rakyat, di atas menara-menara penjaga yang kini menjadi simbol damai, bukan peringatan perang.Desas-desus telah menyebar sejak fajar. Anak-anak berlarian dengan ember air penuh bunga laut, para ibu sibuk menata meja makan besar di lapangan tengah, dan para pria membentangkan bendera biru-putih yang melambangkan laut yang tidak lagi menelan, tapi memeluk.“Dia kembali.”Itulah kata-kata yang berbisik dari satu mulut ke mulut lain. Tidak ada pengumuman resmi. Tidak ada terompet atau pengawal istana yang berteriak. Tapi laut… membawa pesan itu lebih cepat dari suara.Kael dan Anna kembali ke Tydoria.Di pelabuhan utama, Vaeli berdiri mengenakan jubah kebangsaan berlapis kerang kristal, rambutnya disanggul setengah, dan sorot matanya tak lagi keras seperti dulu. Di sampingnya, Pollux berdiri dengan jubah b
Perjalanan Kael dan Anna membawa mereka jauh ke timur, melewati pelabuhan tua dan pulau-pulau tak bernama. Di peta dunia, tempat itu hanya disebut sebagai “Lingkaran Ombak”—sebuah atol yang dikelilingi sembilan pusaran laut kecil, membentuk lingkaran nyaris sempurna.Konon, di tengah lingkaran itu berdiri Kuil Ombak Terakhir, tempat di mana para pemegang esensi laut zaman kuno datang untuk menyatu dengan arus, merenung, dan meninggalkan jejak terakhir sebelum menutup perjalanan panjang mereka.Kael tahu, inilah tempat terakhir yang harus ia kunjungi sebelum kembali ke Tydoria.Ia tidak datang untuk berperang. Ia datang untuk berpamitan pada kekuatan yang telah memberinya jalan, namun juga beban....Anna dan Kael tiba di pulau tengah saat fajar belum pecah. Ombak di sekitar lingkaran benar-benar sunyi, seolah tahu siapa yang sedang mendekat.Kuil itu sederhana. Terbuat dari batu laut berusia ribuan tahun. Tidak ada ukiran mewah, hanya pilar-pilar tinggi melengkung dan lantai yang sela
Sore itu, langit di atas Tanah Merari, sebuah negara tropis yang tenang dan nyaris tak terjamah konflik, dilukis warna emas jingga. Di antara pohon kelapa laut yang menjulang, di antara desa-desa kecil yang hidup dengan irama gelombang, dua sosok berjalan beriringan. Kael dan Anna. Anna mengenakan gaun putih longgar yang mengikuti arah angin. Kakinya yang kini telah terbiasa berjalan, meninggalkan jejak di pasir. Di sampingnya, Kael menenteng kantong kulit berisi buah-buahan lokal dan beberapa rempah. Wajahnya lebih tenang, rambutnya lebih panjang, tapi mata birunya masih menyimpan lautan. Mereka bukan tamu kehormatan. Mereka bukan pahlawan. Mereka hanya dua jiwa yang sedang berkelana, mencari arti dari dunia setelah perang berakhir. “Orang-orang di sini sangat ramah. Aku suka dengan perjalanan kita. Tidak ada yang mengenal siapa kita, tidak ada yang menghakimi, hanya ada orang dan sesuatu yang baru. Aku sungguh menyukainya!” Ujar Anna riang sambil menatap anak-anak yang bermain
Hari-hari berlalu tanpa perang.Untuk pertama kalinya sejak Tydoria berdiri, kota itu benar-benar sunyi dari suara dentang senjata.Anak-anak berlarian di pelataran istana. Para penjaga tersenyum saat patroli, bukan karena tugas selesai… tapi karena dunia perlahan berubah.Ratu Vaeli memanfaatkan masa damai ini dengan membentuk Dewan Diplomasi Laut-Darat, terdiri dari perwakilan rakyat, klan laut, dan utusan negara lain. Ia ingin membangun jembatan—bukan hanya antara kerajaan—tapi juga antara peradaban.Hari itu, surat-surat dari berbagai negeri sampai ke Tydoria. Sebuah momentum yang tidak pernah mereka bayangkan akan datang.Surat dari Kerajaan Altaerin:“Kami menyaksikan kebijakan Ratu Vaeli dan Tydoria. Keputusan untuk mengampuni, bukan membalas, adalah kekuatan sejati. Dengan ini, Altaerin mengakui Tydoria sebagai negara sahabat dan membuka jalur dagang bebas mulai musim gugur tahun ini.”Surat dari Republik Sorvel:
Pagi itu, langit Tydoria mendung.Bukan mendung hujan, tapi mendung dari gelombang ancaman yang belum sepenuhnya sirna sejak Kekaisaran Ardor jatuh. Sekalipun Tydoria berdiri sebagai simbol kebangkitan dan harapan, bayang-bayang masa lalu masih menyelimuti dari arah timur.Dan ancaman itu datang… dari negeri kecil bernama Beregith.Sebuah wilayah bawahan Ardor yang dahulu menikmati perlindungan dan kekuasaan dari kekaisaran. Setelah runtuhnya Ardor, mereka merasa kehilangan status, kehilangan arah, dan menyalahkan Tydoria sebagai penyebab kehancuran tatanan lama.Mereka mengirim serangan.Tidak dalam jumlah besar. Hanya satu kapal cepat, berisi lima puluh prajurit dengan perlengkapan kultivasi bumi. Mereka menyusup melalui celah karang malam hari, berharap mengguncang dermaga barat Tydoria dan menciptakan kepanikan.Namun, Tydoria bukan lagi tanah lemah yang baru dibentuk.Patroli laut mendeteksi mereka sebelum mereka sempat mendarat. Pasukan penjaga dipimpin langsung oleh Austin, yan
Pagi hari di Tydoria bukan lagi disambut dengan sirene perang atau suara langkah tentara di pelatihan. Kini, yang terdengar hanyalah suara anak-anak bermain di jalanan batu, dan percikan ombak yang menyentuh dermaga. Di pusat kota, bendera biru-putih bergoyang lembut ditiup angin laut, menandakan negara ini telah berdiri tegak dengan kedamaian.Di dalam balairung utama, Vaeli duduk menghadap tumpukan dokumen yang memenuhi meja panjang dari kayu coral. Raut wajahnya fokus, tapi matanya menyimpan kelelahan.“Permintaan pasokan air murni dari sektor timur belum terpenuhi,” ujar salah satu penasihat. “Dan dermaga selatan mulai tergerus arus. Kami butuh inspeksi langsung.”Vaeli mengangguk. “Akan kutangani sendiri siang ini.”Para penasihat saling menatap, terkejut namun tak berani membantah. Sejak diangkat menjadi ratu, Vaeli tak pernah takut turun langsung ke lapangan, bahkan hingga ke dasar laut....Beberapa jam kemudian, Vaeli berdiri di pinggir tebing batu karang, mengenakan jubah ku