"Kau baik-baik saja, Kael? Selain nampak aneh, kau juga nampak tidak seperti biasanya." Komentar Shipor, menaikan sebelah alis, memeriksa wajah pias Kael lamat. Ada ketakutan yang tersirat dalam binar netranya.
"Padahal menggulingkan tahta Kaisar adalah tujuan hidupmu, jika kau mengatakan lupa begitu saja, artinya ada yang tidak beres dengan kepalamu." Shipor mengambil kesimpulan, menatap Kael tajam. "Ceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Jika merasa tidak dapat menyelesaikannya sendiri, kau harus membagi masalahmu. Kita harus saling membantu sampai tujuan kita tercapai, ingat?" Kael melepaskan jambakan pada helai rambut, melirik Shipor namun yang dia lihat adalah fragmen ingatan dimana Shipor dan Kael berbicara tentang bahu-membahu saling mengandalkan di masa lalu. "Kau benar." Gumam Kael, itu mengendurkan rasa ragunya, membuat Kael menceritakan seluruh kejadian, bahwa dia mati dan roh pohon bangkitk dalam tubuh Kaelthar karena kekuatan artefak kuno. Kael meremas ujung jubahnya. "Semua yang aku lakukan terasa seperti meniru bayangan seseorang. Apakah aku benar-benar Kaelthar? Atau hanya bayangan sisa dari pria itu? Semakin mencoba mengingat, ingatanku semakin kosong." "Begitu. Itu menjawab sikapmu barusan." Gumam Shipor. Kael mengernyit, tidak menyangka bahwa reaksi Shipor akan setenang ini. Apa ini efek pengalaman bertahun-tahun sebagai jendral dalam menghadapi semua situasi tidak biasa? Apa efek dari hal lain? "Apa kau melihat ada ingatan lain yang asing? Yang bukan milikmu sendiri." Kael tersentak, seluruh kata meleleh di tenggorokannya. "Ba-bagaimana kau tahu?" Shipor mengangguk sekali. "Begitu ya, ternyata kau juga sama. Tapi, Kael. Ini hanyalah awal dari segala hal yang akan terjadi. Untuk saat ini, lihatlah dengan mata kepalamu sendiri tentang keadaan di Kekaisaran. Nanti kau akan mengerti, kenapa kau memutuskan untuk memberontak. Aku harus pergi, tugasku di perbatasan menanti." Kael tertegun, menahannya namun Shipor tidak berbalik lagi. Kenapa Shipor nampak seperti orang yang sudah mengetahui seluk beluk kekuatan artefak? Apa yang pria itu sembunyikan di balik wajah datarnya? "Pangeran." Kael tersentak, mendongkak mendapati Shipor yang menoleh. "Ini kesempatanmu untuk mencoba menguji takdir berbeda yang dibuat artefak itu. Karena disebabkan konsolidasi jiwa dari roh pohon, sisa-sisa jiwa Kaelthar yang sudah mati dalam tubuh, dan sisa esensi laut dari artefak kuno ... Cobalah arungi takdirmu sendiri, karena sekarang kau ... sudah bukan Kaelthar yang dulu hanya manusia biasa tanpa bisa berkultivasi." Kael tertegun dengan jantung mencelos. Getaran rasa menggelitik dan membuncah yang menghantarkan perasaan senang, kembali datang tanpa Kael tahu namanya. Dia sudah lama menantikan hal ini. ... "Kenapa mendadak sekali, Yang Mulia?" Tanya pria pelontos, mengenakan jubah putih melambangkan kesucian anti duniawi dengan kain putih polos yang membebat pinggang sebagai ganti ikat pinggang yang melambangkan kesederhanaannya. Raut wajah Hawkins gusar, banyak fakta menyakitkan yang ingin disampaikan namun semua tertelan di tenggorokan karena rasa hormatnya pada Kael yang kini tengah bersila di dalam hutan pegunungan Kurozen. Hawa dingin menusuk epidermis, aura mistis menggelenyar tengkuk di tengah hutan dengan pepohonan tinggi yang tidak membiarkan celah matahari masuk membuatnya tiada malam dan siang. Hanya gelap. Kael memejam, mencoba memfokuskan semua indranya untuk bermeditasi, merasakan getaran tanah di bawahnya agar atmanya bisa menyentuh energi bumi. Hawkins tersentak, mendapati Kael yang membuka netra setelah hampir berjam-jam. "Bagaimana, Yang Mulia? Apakah kultivasi bumi paling dasar yang aku ajarkan berhasil?" Kael menghela napas kotor, mendongkak dengan sorot tidak terbaca, dia mengeluh panjang, beralih menyangga tubuh pada siku dengan lebih santai. "Ini tidak berhasil. Maafkan aku merepotkanmu, Hawkins. Tadinya aku meminta bantuanmu karena kau tidak terikat dengan Klan besar manapun, jadi tidak masalah membagikan ilmu kultivasimu sendiri yang kau asah puluhan tahun sebelum menjadi pendeta." Hawkins menggeleng, dia memang lebih fokus menjaga Astrava Temple—kuil yang diperuntukan bagi orang biasa— mengajarkan keyakinan dan membagikan ilmu kultivasi pada manusia rendah—yang tidak masuk bangsawan, klan besar dan sekte—. Keduanya jadi berjalan menuruni lereng untuk kembali, jika bukan karena kemampuan kultivasi Hawkins yang bisa merasakan energi bumi dari tanah untuk menjadi petunjuk jalan, mungkin Kael sudah tersesat di pegunungan Kurozen. Kael membuang napas panjang, menatap cahaya matahari setelah menginjak Astrava Temple yang berbatasan langsung dengan Kurozen. Gurat wajahnya menurun dengan netra menyendu. Gelombang rasa sakit, malu dan kesal menyeruak di atmanya. "Apa ya, namanya?" Tanya Kael, menatap jauh ke langit, kedua tangannya terlipat di belakang. Hawkins menatap postur belakangnya sekilas. "Namanya perasaan kecewa, Yang Mulia. Tapi itu hal biasa dalam hidup, anda jauh lebih istimewa." Bibir Kael berkedut, tahu bahwa Hawkins menenangkannya. Kael bersimpuh di tepi tanah, menunduk pada sungai besar yang mengelilingi temple, menatap gamang pada bayangan dirinya sendiri di sana. "Aku terlalu berharap besar, aku pikir akan mudah menghadapi pertemuan hari ini jika punya kekuatan dari kultivasi yang selalu dibanggakan orang-orang. Perasaan yang terus-terusan haus ingin meneguk dunia ini ... apa namanya?" Hawkins menunduk murung, "serakah, Yang Mulia." "Aku mungkin terlalu serakah sekarang. Padahal Kael sebelumnya sangat hebat sampai bisa bertekad menggulingkan Kekaisaran meskipun sadar bahwa dirinya manusia biasa." Gumam Kael pelan, melempar senyum getir, merasa bahwa takdir menekannya untuk percaya dirinya yang memang bukan siapa-siapa. Hawkins terenyuh menatap Kael yang menjulurkan ujung jarinya menyentuh bayangannya sendiri di dalam air. Mencoba merengkuh dirinya apa adanya. Netra Hawkins membelalak, jantungnya mencelos mendapati sinar kebiruan muncul, memantul di permukaan air dengan lambat dan indah bagaikan peri kecil yang menari saat ujung jari Kael menyentuh air. Lidah Hawkins kelu, "I-itu—," Kael beranjak berdiri tanpa menyadari apapun, dia melempar senyum hangat pada Hawkin, berterimakasih. "Aku harus pergi, ada pertemuan." "Tunggu, Yang Mulia." Ujar Hawkins, pundaknya merosot tatkala Kael tidak berbalik lagi, jantungnya bergemuruh. "Dibandingkan mendengarkan gemuruh tanah ... anda sebaiknya mendengarkan suara ombak, Yang Mulia." ... Kael membalik dokumen, keningnya terus mengkerut sepanjang rapat berlangsung. Duduk melingkar bersama Mentri dan para petinggi Klan besar yang punya jabatan langsung mengelola adsministrasi dan urusan domestik setiap wilayah. The Grand Imperium dipenuhi pilar cokelat raksasa dan tinggi berornamen ukiran emas dengan simbol Kekaisaran Ardor—bumi— di tengah langit-langit ruangan. "Apakah ada hal lain lagi?" Tanya Putra Mahkota selaku pemimpin yang menggantikan Kaisar dalam pengambilan keputusan sementara saat Rapat tanpanya. Kael mengangkat tangannya, kerutan nampak di wajahnya. "Aku butuh alasan kenapa Mentri Keuangan memotong anggaran untuk Distrik Tydoria? Rakyat di sana hanya mendapat 500 Aurum sedangkan distrik bangsawan mendapatkan 1200 Aurum. Ini sangat timpang tindih dan keterlaluan. Secara kasar, orang-orang di distrik Noble jauh lebih bisa mengembangkan wilayah dengan keuangan pribadi meskipun itu dilarang, tapi distrik kalian sudah sangat tercukupi, berbeda dengan distrik Tydoria." Pertanyaan itu mengundang tatapan mencemooh pada Kael secara terselubung. "Karena distrik Tydoria hanya pantas mendapatkan sejumlah demikian, Yang Mulia." Jawab Mentri Keuangan. "Aku bertanya alasannya." Tuntut Kael tegas. Mentri menghela napas. "Berbeda dengan para manusia biasa, para aristokrat di Kekaisaran cukup banyak menyumbang peran mereka di hubungan luar negeri, apalagi tingkat kultivator para aristokrat yang membuat Kekaisaran Ardor ditakuti dan dihormati." Kael menatapnya tajam. "Kekaisaran ditakuti karena kekuatan militernya." Tekannya. "Dan juga para kultivatornya." Tekan Mentri Keuangan. "Anda tidak merasakannya karena anda tidak bergelut di dunia kultivator, Yang Mulia. Anda manusia biasa." Gigi Kael menggertak, menatap nyalang dengan jantung bergemuruh. Tawa mencemooh samar dilayangkan padanya. Pada akhirnya, Kael hanya bisa memijit glabelanya pening. "Untuk Mentri Lingkungan Hidup, bisa jelaskan kenapa menutup saluran air ke wilayah Tydoria Utara? Perilaku anda membuat rakyat kekeringan!" Tukas Kael, nada suaranya meninggi namun dia masih menahan sesuatu yang meletup di dadanya. "Karena Benteng di samping Tydoria lebih membutuhkannya, Yang Mulia." Kael mengernyit tidak paham. "Benteng sudah memiliki saluran airnya sendiri." "Kali ini kita membutuhkan lebih banyak untuk para Penjaga Benteng, Yang Mulia. Musim panas mulai datang." Jawabnya. Kael berdecih pelan. "Memangnya musim panas tidak datang di Tydoria?" Tanyanya satir. Mentri menghela napas. "Tapi dokumennya sudah ditandatangani Kaisar, Pangeran Kaelthar." Kael termenung, merebahkan punggung pada bantalan kursi, mengabaikan intruksi Riverin atau sikap hormat yang harus dilakukan saat rapat. Putra Mahkota juga tidak menegurnya meskipun tatapan cemoohan tidak dapat di tahan. Keputusan tidak adil dan saling tumpang tindih ini benar-benar mengganggu benak Kael. Netra biru lautnya mengerjap, menatap simbol Kekaisaran di langit-langit dengan wajah mengeruh. Kael mengepalkan tangan di bawah meja. Gelombang kemarahan menghantam dadanya. Ini tidak masuk akal. Ini bukan keadilan. Tapi semua orang di ruangan ini bersikap seolah-olah ini adalah hal yang wajar. Layaknya dia hanya anak kecil yang mengeluh tanpa alasan. Jadi ini ... salah satu alasan kenapa Kaelthar melakukan pemberontakan. Dia cukup mengerti karena dirinya yang sekarang pun ingin segera menggulingkan pemerintahan yang mendiskriminasi manusia biasa dan secepatnya mengganti rezim. Tapi Kael masih merasa ada sebagian yang hilang. Alasan lain yang memperkuat alasannya sekarang untuk memberontak dan memenggal kepala Kaisar. Apa alasannya? "Pangeran Kaelthar, anda ditugaskan melaporkan pergerakan kultivator laut yang dilaporkan berada di wilayah anda, Distrik Tydoria." Ujar Riverin. Kael menegakan tubuh, menatapnya lamat. "Kenapa aku harus?" Tinta Riverin jatuh bersamaan dengan ekspresi terkejut dari semua orang. Wajah Riverin mengeras, menatap lurus pada Kael. "Maksudmu kau tidak ingin bertanggung jawab akan tugas?" Kael menggeleng pelan. "Kenapa kultivator laut harus ditangkap?" Pertanyaan Kaelthar mengundang cemoohan dan riuh. "Apa maksud anda, Pangeran? Tentu saja karena kultivator laut melarang aturan. Energi laut tidak boleh dijadikan dasar sebagai kultivasi karena itu terlarang." "Itu maksudnya, apa yang menjadikannya terlarang?" Tanya Kael tidak paham dan itu tidak ada di dalam fragmen ingatannya. Ketua Klan besar Somaris, Sylus berdehem di sebelah Kael, mendekatkan dan berbisik memberi peringatan dengan tajam. "Maafkan kelancangan saya, tapi sebaiknya anda menghentikan pertanyaan tentang ini, Yang Mulia. Beliau tidak pernah senang jika ada yang membantah dan mempertanyakan aturannya terkait penangkapan kultivator laut. Ini dapat membawa ancaman pada hidup anda." Kael menegakkan tubuhnya. "Beliau siapa?" Tanyanya serak. Untuk pertama kalinya dalam rapat ini, dia merasa sesuatu yang dingin merayap di punggungnya. Seolah ada mata yang menatap langsung ke jiwanya. "Kaisar Plagius...," Sylus berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. "Beliau sedang mengawasi kita sekarang." "Dan beliau tidak suka dengan pertanyaan anda."Langit Tydoria hari itu seakan disikat bersih oleh para dewa. Tidak ada awan mendung. Tidak ada bayangan ancaman. Hanya biru murni, terbentang luas di atas dermaga, di atas rumah-rumah rakyat, di atas menara-menara penjaga yang kini menjadi simbol damai, bukan peringatan perang.Desas-desus telah menyebar sejak fajar. Anak-anak berlarian dengan ember air penuh bunga laut, para ibu sibuk menata meja makan besar di lapangan tengah, dan para pria membentangkan bendera biru-putih yang melambangkan laut yang tidak lagi menelan, tapi memeluk.“Dia kembali.”Itulah kata-kata yang berbisik dari satu mulut ke mulut lain. Tidak ada pengumuman resmi. Tidak ada terompet atau pengawal istana yang berteriak. Tapi laut… membawa pesan itu lebih cepat dari suara.Kael dan Anna kembali ke Tydoria.Di pelabuhan utama, Vaeli berdiri mengenakan jubah kebangsaan berlapis kerang kristal, rambutnya disanggul setengah, dan sorot matanya tak lagi keras seperti dulu. Di sampingnya, Pollux berdiri dengan jubah b
Perjalanan Kael dan Anna membawa mereka jauh ke timur, melewati pelabuhan tua dan pulau-pulau tak bernama. Di peta dunia, tempat itu hanya disebut sebagai “Lingkaran Ombak”—sebuah atol yang dikelilingi sembilan pusaran laut kecil, membentuk lingkaran nyaris sempurna.Konon, di tengah lingkaran itu berdiri Kuil Ombak Terakhir, tempat di mana para pemegang esensi laut zaman kuno datang untuk menyatu dengan arus, merenung, dan meninggalkan jejak terakhir sebelum menutup perjalanan panjang mereka.Kael tahu, inilah tempat terakhir yang harus ia kunjungi sebelum kembali ke Tydoria.Ia tidak datang untuk berperang. Ia datang untuk berpamitan pada kekuatan yang telah memberinya jalan, namun juga beban....Anna dan Kael tiba di pulau tengah saat fajar belum pecah. Ombak di sekitar lingkaran benar-benar sunyi, seolah tahu siapa yang sedang mendekat.Kuil itu sederhana. Terbuat dari batu laut berusia ribuan tahun. Tidak ada ukiran mewah, hanya pilar-pilar tinggi melengkung dan lantai yang sela
Sore itu, langit di atas Tanah Merari, sebuah negara tropis yang tenang dan nyaris tak terjamah konflik, dilukis warna emas jingga. Di antara pohon kelapa laut yang menjulang, di antara desa-desa kecil yang hidup dengan irama gelombang, dua sosok berjalan beriringan. Kael dan Anna. Anna mengenakan gaun putih longgar yang mengikuti arah angin. Kakinya yang kini telah terbiasa berjalan, meninggalkan jejak di pasir. Di sampingnya, Kael menenteng kantong kulit berisi buah-buahan lokal dan beberapa rempah. Wajahnya lebih tenang, rambutnya lebih panjang, tapi mata birunya masih menyimpan lautan. Mereka bukan tamu kehormatan. Mereka bukan pahlawan. Mereka hanya dua jiwa yang sedang berkelana, mencari arti dari dunia setelah perang berakhir. “Orang-orang di sini sangat ramah. Aku suka dengan perjalanan kita. Tidak ada yang mengenal siapa kita, tidak ada yang menghakimi, hanya ada orang dan sesuatu yang baru. Aku sungguh menyukainya!” Ujar Anna riang sambil menatap anak-anak yang bermain
Hari-hari berlalu tanpa perang.Untuk pertama kalinya sejak Tydoria berdiri, kota itu benar-benar sunyi dari suara dentang senjata.Anak-anak berlarian di pelataran istana. Para penjaga tersenyum saat patroli, bukan karena tugas selesai… tapi karena dunia perlahan berubah.Ratu Vaeli memanfaatkan masa damai ini dengan membentuk Dewan Diplomasi Laut-Darat, terdiri dari perwakilan rakyat, klan laut, dan utusan negara lain. Ia ingin membangun jembatan—bukan hanya antara kerajaan—tapi juga antara peradaban.Hari itu, surat-surat dari berbagai negeri sampai ke Tydoria. Sebuah momentum yang tidak pernah mereka bayangkan akan datang.Surat dari Kerajaan Altaerin:“Kami menyaksikan kebijakan Ratu Vaeli dan Tydoria. Keputusan untuk mengampuni, bukan membalas, adalah kekuatan sejati. Dengan ini, Altaerin mengakui Tydoria sebagai negara sahabat dan membuka jalur dagang bebas mulai musim gugur tahun ini.”Surat dari Republik Sorvel:
Pagi itu, langit Tydoria mendung.Bukan mendung hujan, tapi mendung dari gelombang ancaman yang belum sepenuhnya sirna sejak Kekaisaran Ardor jatuh. Sekalipun Tydoria berdiri sebagai simbol kebangkitan dan harapan, bayang-bayang masa lalu masih menyelimuti dari arah timur.Dan ancaman itu datang… dari negeri kecil bernama Beregith.Sebuah wilayah bawahan Ardor yang dahulu menikmati perlindungan dan kekuasaan dari kekaisaran. Setelah runtuhnya Ardor, mereka merasa kehilangan status, kehilangan arah, dan menyalahkan Tydoria sebagai penyebab kehancuran tatanan lama.Mereka mengirim serangan.Tidak dalam jumlah besar. Hanya satu kapal cepat, berisi lima puluh prajurit dengan perlengkapan kultivasi bumi. Mereka menyusup melalui celah karang malam hari, berharap mengguncang dermaga barat Tydoria dan menciptakan kepanikan.Namun, Tydoria bukan lagi tanah lemah yang baru dibentuk.Patroli laut mendeteksi mereka sebelum mereka sempat mendarat. Pasukan penjaga dipimpin langsung oleh Austin, yan
Pagi hari di Tydoria bukan lagi disambut dengan sirene perang atau suara langkah tentara di pelatihan. Kini, yang terdengar hanyalah suara anak-anak bermain di jalanan batu, dan percikan ombak yang menyentuh dermaga. Di pusat kota, bendera biru-putih bergoyang lembut ditiup angin laut, menandakan negara ini telah berdiri tegak dengan kedamaian.Di dalam balairung utama, Vaeli duduk menghadap tumpukan dokumen yang memenuhi meja panjang dari kayu coral. Raut wajahnya fokus, tapi matanya menyimpan kelelahan.“Permintaan pasokan air murni dari sektor timur belum terpenuhi,” ujar salah satu penasihat. “Dan dermaga selatan mulai tergerus arus. Kami butuh inspeksi langsung.”Vaeli mengangguk. “Akan kutangani sendiri siang ini.”Para penasihat saling menatap, terkejut namun tak berani membantah. Sejak diangkat menjadi ratu, Vaeli tak pernah takut turun langsung ke lapangan, bahkan hingga ke dasar laut....Beberapa jam kemudian, Vaeli berdiri di pinggir tebing batu karang, mengenakan jubah ku