Home / Fantasi / Lahirnya Kultivator Dewa Samudra / 5. Keterlambatan yang fatal

Share

5. Keterlambatan yang fatal

Author: VAD_27
last update Last Updated: 2025-03-27 12:51:14

Erangan pelan keluar dari bibir merah Kael, keningnya mengernyit tatkala denyutan terasa menyakitkan, netranya mengerjap mendapati langit-langit ruangan dengan lampu gantung sedernana.

Kesadarannya berasung-angsur pulih sebelum netranya melotot dengan tubuh beranjak duduk.

Napasnya memburu, adrenalin dan perasaannya terpacu ke kejadian terakhir tatkala mulutnya dibekap.

Siapa yang melakukannya?

"Anda baik-baik saja, Pangeran?"

Kael mengernyit, kebingungan dan amarah terselubung di bisikannya. "Kau—,"

Walikota sontak bersimpuh, pundaknya bergetar seolah menanti vonis kematian.

"Mohon maafkan kelancangan saya, Yang Mulia. Hanya saja, anda sudah menghilang selama dua hari setelah masuk ke pintu rahasia itu. Putra Mahkota mendadak mengirimkan secarik surat dengan kemampuan kultivasi buminya bahwa beliau akan datang mengunjungi Tydoria untuk mencari anda yang menghilang. Posisi pemimpin yang kosong tidak bisa dibiarkan dan sangat fatal."

"Riverin?" Gumam Kael mengernyit.

"Hanya saja, saya takut jika Putra Mahkota tahu bahwa anda tengah menghilang karena masuk ke jalan rahasia. Saya tidak tahu apa yang anda lakukan dan kenapa anda membuat jalan rahasia. Tapi, firasat saya mengatakan bahwa anda sedang melakukan sesuatu yang akan berdampak besar dan sangat rahasia. Maka dari itu saya pikir, mungkin rencana anda akan terbongkar jika Putra Mahkota tahu tentang jalan rahasia ini. Itu sebabnya saya membuat anda tidak sadarkan diri dan menggunakan kekuatan kultivasi Bumi saya untuk mengeluarkan kita berdua dari sana dengan cepat. Hasilnya, anda sudah terbaring di sofa saat Putra Mahkota datang." Ujar Walikota, suaranya bergetar lirih.

Kael terdiam paham. Seharusnya dia mengantisipasi ketiadaan jabatannya dalam dua hari saat memasuki jalan rahasia menuju pegunungan Kurozen, ini murni keteledorannya.

"Mohon ampukan saya, Yang Mulia!"

Kael tersentak mendengar jerit ketakutan Walikota, pundaknya bergetar, kepalanya semakin dalam bersujud.

"Hentikan, Walikota. Kau sudah menyelamatkanku, tidak ada alasan bagiku menghukummu." Ujar Kael mendorong pundaknya agar bangkit, menatapnya tegas. "Dan jangan bersujud padaku, kau bukan orang yang aku inginkan untuk meminta ampunan." Bisik Kael dingin membuat Walikota tertegun.

"Jadi, Putra Mahkota bergerak mencariku sendiri?" Tanya Kael, berpikir selain pekerjaan, apa mungkin Riverin khawatir tentang pembunuhan saat itu?

Walikota menggeleng. "Kaisar Agung yang memerintahkannya, Pangeran."

Netra Kael melebar dengan jantung mencelos, seketika amarah, mual, benci, yang hilang sementara karena terdistrak hal lain jadi membludak.

Bayangan saat para kultivator laut dikubur hidup-hidup, membuat darahnya mendidih seketika, urat lehernya mengencang dengan gigi menggertak sebelum,

BRAK! PRANG!

Meja kaca pecah berhamburan saat dihantam telapak tangan Kael.

"Yang Mulia! Tangan anda!" Pekik Walikota panik, melihat selubung merah mewarnai telapak tangan Kael yang kurus, dia beranjak cepat, membongkar laci meja untuk mencari obat.

BRAK!

"ARGH! SIAL! SIAL! SIAL!" Umpat Kael menjambak rambutnya frutasi, netranya berkilat tajam dengan gigi menggertak.

Walikota menelan ludah, ujung jarinya bergetar mendapati pertama kalinya menemukan wajah bengis penuh amarah di raut Kael yang biasa penuh senyuman sedih.

"Yang Mulia, maafkan kelancangan saya, tapi apa yang terjadi? Kenapa mendadak emosi anda—,"

Walikota berjengit dengan napas tercekat tatkala Kael menoleh garang, mendekat dan mencengkram kedua bahunya.

"Aku tidak tahan lagi melihat ketidakadilan dan perilaku Kekaisaran yang semena-mena," gumam Kael serak, menggeleng kuat dengan raut wajah mengeras, tatkala semua kejadian hari ini kembali terlintas dalam benaknya—rakyatnya yang mati kekeringan, para kultivator laut yang dikubur hidup-hidup—.

Kael mengepalkan tangannya dengan rahang mengeras, berbisik dingin tatkala amarah melenyapkan kewarasannya.

"Aku akan menggulingkan tahta Kaisar sekarang."

Walikota membelalak dengan jantung mencelos. Dia sontak menoleh pada lantai, melotot pada Kael dengan panik. "Yang Mulia! Kata-kata anda!" Tegur Walikota namun Kael sudah tidak peduli lagi. Emosi mengambil alih kerasionalannya, membuat Kael gelap mata.

"Maaf, tapi aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk segalanya, Walikota. Jangan lupa hal yang perlu kau lakukan dengan uang yang aku berikan, segera lakukan agar tidak ada rakyat yang menderita lagi." Pesan Kael, di saat seperti ini pun, dia masih tetap memikirkan rakyatnya.

Walikota mengernyit, "tunggu, Pangeran! Perkataan anda sebelumnya—,"

Ucapannya terpotong, pundaknya merosot tatkala Kael sudah menghilang di balik pintu, membuat Walikota mengernyit panik, jantungnya bergemuruh dengan tangan meremas rambut frustasi.

Apa? Memberontak?

...

Aroma kayu jati dan lilin memenuhi ruang kerja Kael, didominasi warna cokelat keemasan, atapnya tinggi dengan ukiran naga di langit-langitnya, simbol Kekaisaran Ardor terukit di tengahnya. Meja kerjanya menghadap jendela besar dengan satu rak buku yang menghadap ke arahnya. Kael duduk di kursi berbantal hitam dengan ukiran emas di kayu jatinya.

Keningnya mengernyit dalam, meja kerja yang tidak pernah rapi semakin dibuat berantakan tatkala seluruh dokumen di letakan di sana. Kael mengacaknya, mencari dokumen yang dia butuhkan.

Kael adalah manusia biasa tanpa kemampuan kultivasi, berat dan sedih, namun sekarang dia harus mengakuinya. Dan satu-satunya cara yang dapat dilakukan manusia biasa ini untuk menggulingkan Kaisar—selain mencuri artefak yang salah—adalah dengan membawa semua bukti penyimpangan yang dilakukan oleh Kaisar ke Hall of Celestial Judgement.

Bukti yang dimaksud adalah kejadian genosida kultivator laut di penjara dimana itu bukanlah hukuman Kekaisaran tapi ego dan menyalahi aturan. Untuk bukti ini, dia sendiri saksi matanya. Ini adalah bukti terkuat karena setelah mengecek deretan nama pemimpin Militer khusus penangkapan kultivator laut, yang memimpinnya adalah Kaisar Plagius langsung. Hal ini akan menjadi boomerang baginya, semua rakyat akan mempertanyakan legitimasinya yang dapat membunuh manusia semudah menjentikan jari.

Bukti kedua adalah, adanya diskriminasi terselubung pada manusia biasa dimana seharusnya hukum berlaku dengan adil untuk seluruh warga Kekaisaran. Ini bukti kuat, Kael membawa semua dokumen anggaran bagi Tydoria yang tidak adil, sistem irigasi air yang dipotong tanpa alasan jelas, meskipun semuanya adalah keputusan Mentri, tapi keputusan akhirnya tetap ditandatangani Kaisar. Apalagi bukti ini begitu banyak dari beberapa tahun terakhir.

Kael tahu, kenapa Kaelthar sebelumnya hanya diam meskipun terus didiskriminasi, karena mengumpulkan bukti konkret. Jika satu kasus bisa saja dianggap kesalahan namun ribuan kasus sama, itu akan menjadi akhir dari game ini.

Dan Kael pemenangnya.

Itu semuanya akan berakhir jika semua dokumen ini sampai ke tangan Hall of Celestial Judgement yang dimana merupakan pengadilan terbaik di Kekaisaran. Mereka punya yuridiski sendiri tanpa campur tangan Kaisar dan jabatan tinggi di pemerintahan lain, sehingga penghukumannya akan adil, tidak akan timpang sebelah.

Itu sebabnya seorang Putra Mahkota takut saat memikirkan akan diseret ke sana.

Sedari awal jika punya yuridiski seperti Hall of Celestial Judgement, harusnya menghukum para pejabat bedebah itu akan mudah tapi membawa semua bukti ke sana yang sulit.

Mereka banyak bermain licik sebelum bukti di serahkan.

Sampai membuat para aristokrat dan kultivator dari klan besar yang congkak tidak berkutik di ruang pengadilan, kekuasaan Hall of Celestial Judgement selalu membuat bulu kuduk Kael meremang.

Setelah merapikan semua bukti, Kael membungkusnya dalam kotak kayu rapat dengan kunci. Saat ini diserahkan, Kaisar tak akan bisa menghindar dari keadilan dan penghukuman.

Kael beranjak sebelum pintu kerjanya dibuka kasar.

"Kenapa kalian masuk tanpa ijinku?" Bentak Kael mendapati lima penjaga berjubah hitam dengan bukaan depan tanpa kain apapun lagi, memamerkan otot liat mereka, mengintimidasi Kael walau tanpa senjata.

"Pangeran Kaelthar S. Azure. Anda ditangkap karena dugaan pemberontakan terhadap Kekaisaran Ardor. Harap ikuti saya dengan tenang."

Bagai tersambar petir, tempat menyimpan semua buktinya jatuh menghantam lantai begitu saja.

Kael ... terlambat.

...

—Hall of Celestial Judgement—

Kael berdiri dibelakang podium terdakwa—dikelilingi oleh lingkaran batu yang lebih rendah dari lantai utama— mendongkak lurus menatap pada podium Hakim Agung yang berada di titik pusat ruangan berbentuk setengah lingkaran, didominasi oleh basalt hitam dan marmer cokelat keemasan.

Ada 12 pilar batu kolosal yang mengelilingi aula, diukir ornamen peradilan jaman kuno, ujung pilar dibentuk cakar raksasa yang mencengkram bumi—simbol Kekaisaran Ardor—.

Para kultivator dari klan besar, aristokrat dan pejabat tinggi lain duduk di tribun penonton yang dibangun seperti amfiteater dangkal dengan podium terdakwa di tengahnya.

Semua berdiri memberi hormat saat Hakim Agung masuk podium, duduk di kursi yang terbuat dari obsidian hitam, platform podiumnya dibangun dengan dua pilar di kedua sisi dan pedimen di atasnya. Kubah di atap ruangan yang dihiasi mozaik juga membawa cahaya matahari masuk, menyorot langsung pria paruh baya berambut putih panjang, mengenakan kacamata berantai emas dengan jubah hitam polos, seolah cahaya merujuk pada keadilan yang diturunkan dari langit berbentuk manusia.

Setelah pembukaan panjang lebar, Kael meneguk ludah dengan perasaan bergemuruh, jantungnya terus berdebar kencang dalam artian buruk membuat rantai di pergelangan tangan dan kakinya terasa perih menggesek kulit. Kael pernah membayangkan berada di sini, namun bukan menempati podium terdakwa, dia menginginkan menempati podium saksi dengan Kaisar yang berada di posisinya saat ini.

Sial, Kael menggertakan giginya. Padahal tinggal satu langkah lagi, Kael dapat menyerahkan bukti, namun kenapa waktu penangkapan Kael sangat pas seolah disengaja? Bibirnya bergetar, ini jelas ulah dari satu oknum. Tapi siapa? Meskipun niat memberontak tapi perilaku Kael sampai saat ini belum merugikan siapapun karena dia memang belum sempat bertindak.

"Terdakwa, Pangeran Kaelthar S. Azure, dengan ini anda didakwa kasus penggunaan dana pribadi terhadap keperluan rakyat yang menyebabkan sistem keuangan Kekaisaran tidak stabil, dan akibat merugikan lainnya. Apa anda mengakuinya?" Tanya Hakim Agung.

Kepalan tangan Kael mengepal, giginya menggertak dengan wajah masam, menjawab tegas. "Saya mengakuinya. Hati nurani saya terguncang melihat rakyat saya yang mati kekeringan karena ketidakadilan dan penyimpangan yang dilakukan oleh Pemerintahan terhadap anggaran rakyat Tydoria."

"Sungguh mulia sekali, Pangeran Kaelthar, semoga The Lord of Aethelgran membalas kebaikan anda. Tapi, perilaku anda yang menggunakan dana pribadi juga merupakan penyimpangan dan ketidakadilan pada wilayah lain. Selain itu, tindakan anda saat ini dianggap sedang membangun pengaruh diri anda sendiri di luar otoritas Kaisar. Pengadilan mengganggap ini sebagai ancaman bagi kekuasaan Kekaisaran Pusat dan bentuk pemberontakan terselubung."

Kael tercekat, "A-apa? Tapi aku tidak—," semua kalimatnya meleleh ditenggorokan. Dia memang ingin memberontak, tapi perilakunya yang menggunakan dana pribadi itu murni bentuk tanggung jawabnya yang salah. Dia tidak pernah berpikir melibatkan hal itu dalam pemberontakannya.

Gigi Kael menggertak, sialan. Dia ... salah langkah, lagi.

"Untuk memperkuat dakwaan atas pemberontakan yang Pangeran Kaelthar S. Azure lakukan, saya datangkan saksi sekaligus pelapor, silahkan memasuki podium saksi dan berikan kesaksian anda." Tukas Hukum Agung.

Kael menoleh cepat pada podium saksi saat suara tanah bergemuruh, lantai podium saksi bergerak terbuka dan menaikan orang yang berdiri di atasnya.

Sebenarnya siapa yang melaporkan Kael?

Dunia Kael seolah berhenti begitu saja, jantung mencelos, tengkuknya dingin saat mata mereka bertemu.

Mendapati Walikota yang muncul di balik podium saksi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lahirnya Kultivator Dewa Samudra   110. Selesai

    Langit Tydoria hari itu seakan disikat bersih oleh para dewa. Tidak ada awan mendung. Tidak ada bayangan ancaman. Hanya biru murni, terbentang luas di atas dermaga, di atas rumah-rumah rakyat, di atas menara-menara penjaga yang kini menjadi simbol damai, bukan peringatan perang.Desas-desus telah menyebar sejak fajar. Anak-anak berlarian dengan ember air penuh bunga laut, para ibu sibuk menata meja makan besar di lapangan tengah, dan para pria membentangkan bendera biru-putih yang melambangkan laut yang tidak lagi menelan, tapi memeluk.“Dia kembali.”Itulah kata-kata yang berbisik dari satu mulut ke mulut lain. Tidak ada pengumuman resmi. Tidak ada terompet atau pengawal istana yang berteriak. Tapi laut… membawa pesan itu lebih cepat dari suara.Kael dan Anna kembali ke Tydoria.Di pelabuhan utama, Vaeli berdiri mengenakan jubah kebangsaan berlapis kerang kristal, rambutnya disanggul setengah, dan sorot matanya tak lagi keras seperti dulu. Di sampingnya, Pollux berdiri dengan jubah b

  • Lahirnya Kultivator Dewa Samudra   109. Akhir perjalanan

    Perjalanan Kael dan Anna membawa mereka jauh ke timur, melewati pelabuhan tua dan pulau-pulau tak bernama. Di peta dunia, tempat itu hanya disebut sebagai “Lingkaran Ombak”—sebuah atol yang dikelilingi sembilan pusaran laut kecil, membentuk lingkaran nyaris sempurna.Konon, di tengah lingkaran itu berdiri Kuil Ombak Terakhir, tempat di mana para pemegang esensi laut zaman kuno datang untuk menyatu dengan arus, merenung, dan meninggalkan jejak terakhir sebelum menutup perjalanan panjang mereka.Kael tahu, inilah tempat terakhir yang harus ia kunjungi sebelum kembali ke Tydoria.Ia tidak datang untuk berperang. Ia datang untuk berpamitan pada kekuatan yang telah memberinya jalan, namun juga beban....Anna dan Kael tiba di pulau tengah saat fajar belum pecah. Ombak di sekitar lingkaran benar-benar sunyi, seolah tahu siapa yang sedang mendekat.Kuil itu sederhana. Terbuat dari batu laut berusia ribuan tahun. Tidak ada ukiran mewah, hanya pilar-pilar tinggi melengkung dan lantai yang sela

  • Lahirnya Kultivator Dewa Samudra   108. Balasan pesan

    Sore itu, langit di atas Tanah Merari, sebuah negara tropis yang tenang dan nyaris tak terjamah konflik, dilukis warna emas jingga. Di antara pohon kelapa laut yang menjulang, di antara desa-desa kecil yang hidup dengan irama gelombang, dua sosok berjalan beriringan. Kael dan Anna. Anna mengenakan gaun putih longgar yang mengikuti arah angin. Kakinya yang kini telah terbiasa berjalan, meninggalkan jejak di pasir. Di sampingnya, Kael menenteng kantong kulit berisi buah-buahan lokal dan beberapa rempah. Wajahnya lebih tenang, rambutnya lebih panjang, tapi mata birunya masih menyimpan lautan. Mereka bukan tamu kehormatan. Mereka bukan pahlawan. Mereka hanya dua jiwa yang sedang berkelana, mencari arti dari dunia setelah perang berakhir. “Orang-orang di sini sangat ramah. Aku suka dengan perjalanan kita. Tidak ada yang mengenal siapa kita, tidak ada yang menghakimi, hanya ada orang dan sesuatu yang baru. Aku sungguh menyukainya!” Ujar Anna riang sambil menatap anak-anak yang bermain

  • Lahirnya Kultivator Dewa Samudra   107. Sebuah pesan

    Hari-hari berlalu tanpa perang.Untuk pertama kalinya sejak Tydoria berdiri, kota itu benar-benar sunyi dari suara dentang senjata.Anak-anak berlarian di pelataran istana. Para penjaga tersenyum saat patroli, bukan karena tugas selesai… tapi karena dunia perlahan berubah.Ratu Vaeli memanfaatkan masa damai ini dengan membentuk Dewan Diplomasi Laut-Darat, terdiri dari perwakilan rakyat, klan laut, dan utusan negara lain. Ia ingin membangun jembatan—bukan hanya antara kerajaan—tapi juga antara peradaban.Hari itu, surat-surat dari berbagai negeri sampai ke Tydoria. Sebuah momentum yang tidak pernah mereka bayangkan akan datang.Surat dari Kerajaan Altaerin:“Kami menyaksikan kebijakan Ratu Vaeli dan Tydoria. Keputusan untuk mengampuni, bukan membalas, adalah kekuatan sejati. Dengan ini, Altaerin mengakui Tydoria sebagai negara sahabat dan membuka jalur dagang bebas mulai musim gugur tahun ini.”Surat dari Republik Sorvel:

  • Lahirnya Kultivator Dewa Samudra   106. Kedamaian

    Pagi itu, langit Tydoria mendung.Bukan mendung hujan, tapi mendung dari gelombang ancaman yang belum sepenuhnya sirna sejak Kekaisaran Ardor jatuh. Sekalipun Tydoria berdiri sebagai simbol kebangkitan dan harapan, bayang-bayang masa lalu masih menyelimuti dari arah timur.Dan ancaman itu datang… dari negeri kecil bernama Beregith.Sebuah wilayah bawahan Ardor yang dahulu menikmati perlindungan dan kekuasaan dari kekaisaran. Setelah runtuhnya Ardor, mereka merasa kehilangan status, kehilangan arah, dan menyalahkan Tydoria sebagai penyebab kehancuran tatanan lama.Mereka mengirim serangan.Tidak dalam jumlah besar. Hanya satu kapal cepat, berisi lima puluh prajurit dengan perlengkapan kultivasi bumi. Mereka menyusup melalui celah karang malam hari, berharap mengguncang dermaga barat Tydoria dan menciptakan kepanikan.Namun, Tydoria bukan lagi tanah lemah yang baru dibentuk.Patroli laut mendeteksi mereka sebelum mereka sempat mendarat. Pasukan penjaga dipimpin langsung oleh Austin, yan

  • Lahirnya Kultivator Dewa Samudra   105. Pesan dari Kaelthar

    Pagi hari di Tydoria bukan lagi disambut dengan sirene perang atau suara langkah tentara di pelatihan. Kini, yang terdengar hanyalah suara anak-anak bermain di jalanan batu, dan percikan ombak yang menyentuh dermaga. Di pusat kota, bendera biru-putih bergoyang lembut ditiup angin laut, menandakan negara ini telah berdiri tegak dengan kedamaian.Di dalam balairung utama, Vaeli duduk menghadap tumpukan dokumen yang memenuhi meja panjang dari kayu coral. Raut wajahnya fokus, tapi matanya menyimpan kelelahan.“Permintaan pasokan air murni dari sektor timur belum terpenuhi,” ujar salah satu penasihat. “Dan dermaga selatan mulai tergerus arus. Kami butuh inspeksi langsung.”Vaeli mengangguk. “Akan kutangani sendiri siang ini.”Para penasihat saling menatap, terkejut namun tak berani membantah. Sejak diangkat menjadi ratu, Vaeli tak pernah takut turun langsung ke lapangan, bahkan hingga ke dasar laut....Beberapa jam kemudian, Vaeli berdiri di pinggir tebing batu karang, mengenakan jubah ku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status