Pernahkah kau bermimpi, seakan-akan ada sesuatu yang tak terlihat berada tepat di belakang punggungmu.
Kau ingin menoleh, tapi terlalu takut untuk menoleh.
Seluruh bulu kudukmu berdiri dan kau ingin lari, tapi kakimu tak mau digerakkan.
Mirip seperti itu yang aku rasakan saat ini.
Bedanya aku tak bisa menoleh dan harus berjalan seperti biasa, meskipun aku bisa mendengar suara langkah kaki yang ringan mengikuti di belakangku.
Semakin lama suara itu semakin dekat.
Aku berpikir, 'Harus menunggu saat yang tepat. Ketika dia bergerak, aku harus cepat mengelak.
Kuat, liar, tak mau ditolak, tapi juga lembut dan berhati-hati agar tidak menyakitiku. Itu yang kurasakan dari ciumannya. Saat bibir kami bertemu, seperti ada sebuah bom Molotov yang meledak dalam kepalaku, kesadaranku menghilang, entah berapa lamanya. Hanya ada dirinya dan diriku. Hanya Ada bibirnya dan bibirku yang saling lumat, bertaut dan bergumul. Ketika bibirnya berpindah dan menciumi sepanjang garis rahang dan leherku, ketika dia membenamkannya tepat di lekukan bawah telingaku, tanpa bisa kutahan aku mengerang, nikmat. Dia semakin liar bergerak, ketika kejantanannya dengan kuat bergerak menekan dan menggesek daerah kewanitaanku, secercah kesadaran menggugahku bangun dari selimut nafsu. Dinginnya udara malam
“Dewi, kau merahasiakan sesuatu dariku,” ujar Nyonya Burhan tegas, sorot matanya tajam menatapku. Dia mengatakan itu dengan dua tangan bersilang di depan dada, punggung tegak dan tatapan matanya seperti berusaha menusuk masuk menembus kepalaku. 'Aku punya hak untuk menyembunyikan rahasia darimu. Seingatku waktu kita sepakat supaya aku tinggal di rumah ini, tidak ada perjanjian yang mengharuskan aku melaporkan semuanya padamu.' Dalam hati aku menjawabnya seketus itu. Namun aku tak tega hendak mengucapkannya. Aku hanya menghela nafas panjang-panjang untuk melonggarkan dada yang terasa mau meledak. “Tante, aku beran
Mata Nyonya Burhan menatap layar TV lekat-lekat. Tangan dan mulutnya bergerak tanpa henti, mengambil dan mengunyah popcorn yang aku beli dalam perjalanan pulang. Sesekali dia berseru melepaskan emosi.Aku sudah tahu apa yang akan ditayangkan, karena aku jadi bagian dari tim produksi yang menyiapkan episode Shana Devi malam ini.Jadi buatku tayangan malam ini, tidak semenarik memperhatikan reaksi Nyonya Burhan saat menontonnya. Setiap kali aku melihat Nyonya Burhan bereaksi dengan penuh emosi, hatiku jadi mengembang oleh rasa bangga. Tidak heran, video yang merekam reaksi orang menonton sesuatu bisa jadi konsumsi yang laris dilahap oleh netizen.Ketika akhirnya tayangan itu berakhir, Nyonya Burhan menatapku seakan baru saja mengenalku untuk pertama kalinya.“Itu sem
Sejak percakapanku dengan Nyonya Burhan malam itu, aku jadi lebih waspada pada gejolak hatiku sendiri.Kenyataan bahwa aku bisa jatuh cinta pada seseorang yang kemungkinan terlibat dalam tindakan kriminal berat, membuat aku mencemaskan akal sehatku sendiri. Biasanya aku cukup bangga dengan akal sehatku, tapi tidak kali ini. Kutilik dari berbagai sudut pandang, aku tidak melihat pilihan yang lebih baik daripada pilihan untuk melaporkan keberadaan Harvey ke Mas Khosali.Masalahnya hatiku menolak untuk melakukan hal itu.Benar-benar keras kepala dia ini, aku sudah berargumen macam-macam, tapi hatiku tetap berkata agar aku percaya pada laki-laki misterius itu.Dia juga pandai berargumen, misalnya tentang pertarungan kami malam itu. Faktanya dia jauh lebih kuat dariku, jika d
“Apa Pak Johan bisa memberi saya waktu untuk menyelidiki lebih jauh tentang pria yang menyamar itu?” tanyaku berharap.“Tidak.” Pak Johan menjawab dengan pendek dan tegas.Aku menghela nafas, kalah, “Baiklah Pak, kalau begitu saya memilih melanjutkan penyelidikan saya dalam kasus ini, lewat medali batu itu.”Pak Johan tersenyum, terlihat puas dengan jawabanku itu, “Bagus, dalam waktu satu minggu aku berharap mendengar kabar baik darimu.Kalau tidak ….”Tanpa sadar aku menggigit bibir menahan kesal, apa dikira mudah menyelidiki sesuatu? Bagaimana mungkin dia memberiku waktu hanya satu minggu? Butuh beberapa lama sebelum akhirnya aku bisa menjawab, “Baik Pak, saya men
Bisa dilihat pada tanggal update, setelah awalnya cukup bersemangat dengan mengupload 1 bab/hari dan sebenarnya masih punya simpanan beberapa bab di HP, semangat saya mulai kendor ketika tak jua mendapatkan masukan dari pembaca. 'Ah... rasanya memang saya kurang punya bakat buat jadi penulis.' Kira-kira seperti itu yang terlintas dalam benak saya. Di lain sisi ada juga sebagian dari diri saya yang berkata, 'Ya kalau kurang menarik, coba donk perbaiki.' Tapi sisi pemalas rupanya lebih kuat, alhasil hari demi hari saya habiskan lebih banyak untuk membaca tulisan orang lain daripada menulis cerita saya sendiri. Sampai akhirnya iseng-iseng saya memeriksa novel ini dan menemukan sebuah komentar. Cuma satu kalimat, tapi berhasil memberikan semangat. Setulus hati saya ucapkan terima kasih buat anda yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan penyemangat. Terima kasih ...
Tampaknya bukan cuma aku yang bergumul dengan perasaan, kulihat dahinya berkerut dan sesekali dia membuka mulut untuk bicara tapi kemudian membatalkan niatnya.Akhirnya aku yang membuka mulut lebih dahulu, “Apa pun yang dipercayakan dr. Satya padaku, kau tidak punya hak untuk ikut campur.Dia bukan mempercayakan benda itu padamu.”Harvey terdiam cukup lama. Ada sedikit penyesalan dalam hatiku sudah berkata demikian, tapi aku ingin tahu bagaimana dia akan membujukku untuk berbagi rahasia itu dengannya. Kalau lagi-lagi dia mengatakan bahwa keselamatanku terancam, maka aku akan menuntut dia untuk menjelaskan siapa yang mengincar benda itu.Dari situ, mungkin aku bisa menggali lebih banyak informasi yang bisa kujadikan berita.
Harvey membawaku ke tempat yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Katanya tempat itu termasuk salah satu tujuan wisata buat mereka yang berkunjung ke Jakarta. Maklumlah kalau aku tak tahu, kalau dihitung-hitung belum lama aku hidup di ibu kota.Awalnya aku merasa sedikit seram melihat nisan-nisan dan monument tua yang bertebaran di tempat itu.Namun Harvey tampaknya tak menyadari itu. Sambil berjalan menyusuri jalan-jalan setapak di antara tebaran patung, monumen, dan nisan; dia bercerita selayaknya seorang pemandu wisata.Bercerita tentang sejarah tempat itu dan tiap-tiap artefak yang kami lewati.Perlahan-lahan aku ikut menikmati kesan yang asri dan tenang yang menaungi tempat itu.Waktu seakan berhenti di sana, terhenti