Share

Lambang
Lambang
Penulis: Saint Nagita

1. Pulang

"Kamu harus sabar, ya? Ini ujian. Siapa tahu kita mendapat mukjizat."

Kata-kata terakhir sang suami selalu terngiang di telinga Lambang. Dia menangis tanpa suara di dalam bus menuju kota kelahirannya. Keputusannya untuk kembali berkumpul bersama ibunya bukan tanpa alasan. Status janda yang dia sandang selepas suaminya meninggal, membuat hidupnya yang rapuh kian rapuh. Gunjingan para tetangga tidak mampu dia abaikan. 

Air mata yang menganak sungai di pipinya yang ranum segera diusapnya sesaat setelah bus memasuki terminal. Barang bawaan berupa tas yang tidak seberapa banyak dia panggul satu persatu di pundak. 

Setelah bus benar-benar berhenti, Lambang berdiri dan melangkah turun. Indra penglihatannya mencari sosok adik yang menurut pesan dalam ponselnya beberapa saat yang lalu sudah tiba di terminal untuk menjemput. 

Tampak dari lobi ruang tunggu penumpang lambaian tangan seorang gadis manis berjilbab biru. Sosoknya yang tinggi langsing tidak sulit bagi Lambang untuk segera mengenalinya. Nameera, yang biasa dipanggil Mira, demikian nama gadis manis yang merupakan adik semata wayang Lambang. Perempuan itu berlari menyambut kedatangan kakaknya.

"Mbakyu!" sambutnya sambil meraih tubuh Lambang ke dalam pelukannya.

Mereka melepas kerinduan dalam tangis bahagia tanpa peduli tatapan sejumlah orang yang lalu lalang di dalam terminal. Dalam batin Lambang berkecamuk sejumlah rasa. Rasa bahagia bisa bertemu adiknya, sekaligus rasa sedih akan keadaannya yang sekarang.

"Mari, Mbakyu, kita pulang. Ibu sudah menunggu di rumah." 

Nameera meraih sebagian tas milik Lambang dengan tangan kanannya. Dia mendahului kakaknya menuju tempat sepeda motornya yang terparkir di sudut terminal. Setelah mengatur tas dengan rapi di bagian depan, Nameera membonceng Lambang untuk segera pulang. 

Mereka melewati alun-alun kabupaten yang sore itu terlihat meriah. Dengan sudut matanya Lambang melihat banyak bendera kabupaten berkibar tertiup angin.

"Mau ada acara apa, Mir, kok ramai?" tanya Lambang setengah berteriak mencoba mengalahkan suara angin.

"Mau merayakan Hari Jadi Kabupaten, Mbak. Acaranya di pendopo seminggu lagi," jawab Nameera sambil sesekali menoleh ke samping kiri.

Lambang hanya menggumam merespon ucapan Nameera.  Sekali lagi dia menoleh pada bendera kabupaten yang bergambar gunung dan perahu. Ada sedikit sesak di hatinya melihat gambar itu. Kenangan bersama sang bapak terpatri dalam ingatannya. 

Belum sempat Lambang menggali kembali ingatan tentang sang bapak, Nameera membawa mereka menuju sebuah halaman luas yang teduh. Bunga anyelir yang menggantung di teras menambah asri rumah bergaya kuno tersebut.

Nameera memarkir sepeda motornya di samping rumah, sedangkan Lambang sudah berlari masuk mencari sosok yang dia rindukan.

"Ibu!" panggil Lambang pada sosok wanita yang duduk di ruang tengah. Dia bernama Ibu Sumiyati.

Lambang segera meraih dan mencium tangan wanita yang melahirkannya itu. Tidak lupa diciumnya kedua pipi yang mulai berkeriput. Mata tua di balik bingkai kacamata itu berkaca-kaca melihat anak sulungnya kembali pulang.

"Sehat, Nak? Gimana perjalananmu? Pasti melelahkan. Ayo, ibu sudah siapkan pepes ikan kesukaanmu."

Wanita berusia 53 tahun itu menuntun tangan Lambang menuju meja makan. Dia buka tutupnya, tampak beberapa menu yang terhidang membuat cacing-cacing di perut Lambang berteriak kegirangan.

"Ibu yang memasak semuanya, Mbak. Aku nggak boleh membantu." Nameera muncul dari ruang tamu sambil membawa beberapa tas milik Lambang.

"Ibu masih ingat kesukaanku," ujar Lambang sambil mencuil pepes ikan di piring.

Ibunya tersenyum dan membiarkan Lambang menikmati masakannya. Nameera menghampiri dan menemani Lambang makan. Gadis berkulit putih itu sudah menikah dan menempati rumah di perumahan yang dihadiahkan oleh suaminya. Meski demikian, dia sering datang untuk sekedar menemani ibunya. 

"Mbak, ada lowongan guru Sejarah di Smada. Kebetulan guru Sejarah sebelumnya meninggal dunia bulan lalu. Mbak, kan, punya ijazah guru. Coba saja melamar siapa tahu diterima," kata Nameera di sela-sela mereka makan.

"Benar, nih? Info itu sudah lama atau masih baru? Takutnya sudah banyak yang mendaftar," ujar Lambang pesimis.

"Belum lama, Mbak. Sekitar satu minggu yang lalu baru dibuka. Tadi aku sudah tanya temanku yang bekerja di bagian administrasi, katanya lowongan masih dibuka."

"Besok aku coba ke sana. Mudah-mudahan masih ada harapan," tukas Lambang. 

Nameera mengaminkan ucapan Lambang. Selesai makan, mereka berdua mencuci piring dan mengeringkannya di tempat pengeringan. Nameera pamit pulang karena hari sudah mulai senja. Lambang mengantar hingga teras depan. Dia memandangi adik semata wayang yang terlihat sempurna duduk di atas sepeda motor. Dibandingkannya dengan badan dia sendiri yang, ah!

***

Lambang memeriksa sekali lagi berkas-berkas surat lamaran yang dibuat tadi malam. Dia tidak ingin ada yang tertinggal. Setelah dirasa lengkap, dimasukkannya satu bundel berkas lamaran itu ke dalam amplop.

Jilbab segiempat berwarna peach, senada dengan warna baju dia kenakan di kepala. Dipadukan dengan celana berwarna gelap membuatnya terlihat manis. Tak lupa bros berbentuk pita kecil dia sematkan di bagian dada. Lambang tersenyum melihat penampilannya di cermin panjang yang menempel di lemari pakaian. 

Seketika senyum itu memudar tatkala menyadari bayangan tubuhnya di balik cermin memenuhi permukaan cermin. Dia menjauh hingga bayangannya terlihat mengecil. Barulah dia merasa puas dan tersenyum lebar.

Lambang bergegas mengambil amplop di meja dan keluar kamar ketika melihat jarum pendek jam dinding menunjuk angka sembilan dan jarum panjang menunjuk angka dua belas. Setelah berpamitan pada ibunya, dia menunggu tukang becak yang lewat depan rumah. Tak lama kemudian, perempuan berwajah manis itu duduk dalam becak yang melaju menuju Smada.

Halaman sekolah ini sangat luas. Seorang satpam datang menghampiri dan menanyakan keperluannya. Lambang menjelaskan maksud kedatangannya kemudian dia diarahkan menuju meja resepsionis. Seorang petugas yang sangat cantik menyambutnya dengan ramah. 

"Pagi, Bu. Ada yang bisa dibantu?" tanya sang resepsionis dengan senyumnya yang menawan.

"Saya mau melamar sebagai guru Sejarah di sekolah ini. Kemarin mendapat info dari adik saya bahwa ada lowongan untuk guru Sejarah," jawab Lambang sambil menyerahkan amplop lamaran pekerjaan.

"Kebetulan hingga hari ini belum ada yang melamar. Sedangkan kami membutuhkan dengan segera. Saya pertemukan Ibu langsung dengan Waka Kurikulum, ya, Bu?"

Lambang mengangguk sambil tersenyum gembira. Resepsionis itu mengangkat telepon di samping kanannya dan memencet tombol-tombol yang sudah dia hafal. Setelah berbicara dengan orang yang dia tuju, gadis cantik berjilbab itu mengantar Lambang menuju sebuah ruangan yang mirip dengan ruang tamu.

Lambang ditinggalkan sendirian di ruangan itu. Tak lama kemudian terdengar beberapa langkah kaki dan suara orang berbicara mendekati ruangan tempat Lambang berada.  Dua orang pria dan seorang perempuan paruh baya memasuki ruang tamu. Lambang segera berdiri menyambut dan bersalaman dengan mereka.

"Silahkan duduk," ujar perempuan paruh baya itu sambal tersenyum.

Lambang duduk kembali dengan sopan. Salah seorang pria yang diketahui bernama Pak Henry meminta amplop berkas lamaran yang berada di tangan Lambang. Kemudian dia memeriksanya bersama pria di sebelahnya yang bernama Pak Bram. Sedangkan wanita paruh baya yang bernama Bu Merlita mengajak Lambang untuk berbincang-bincang.

Lambang menanggapi dan menjawab pertanyaan Bu Merlita sambil sesekali melirik dua pria yang sedang berdiskusi mengenai profilnya. Dadanya berdebar menunggu keputusan mereka, seperti halnya menunggu hasil sidang skripsi beberapa tahun yang lalu. Kedua tangannya berkeringat. 

Untunglah semua pertanyaan Bu Merlita bisa dia jawab. Sepertinya dia guru Sejarah yang sudah senior. Terbukti dengan beberapa pertanyaan yang diajukan pada Lambang sedikit menyinggung materi pelajaran Sejarah.

"Kami sudah memeriksa berkas lamaran Anda. Untuk sementara kami terima. Keputusannya, akan kami hubungi paling lambat besok lusa. Hari ini cukup sampai di sini," kata Pak Henry dengan suara tegas.

Kedua temannya mengatakan hal yang hampir sama. Lambang disuruh banyak berdoa supaya bisa diterima. Setelah berpamitan, perempuan bertubuh subur itu keluar ruangan dan bergegas pulang dengan suasana hati berkecamuk.  Akankah dia diterima atau tidak?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status