LOGINYe Tian terbaring lemah di tanah, tubuhnya terasa perih di setiap bagian. Debu perlahan mengendap, menyisakan kawah kecil yang masih berasap. Dari dalam kawah itu tampak sebuah batu hitam legam, permukaannya dipenuhi simbol-simbol kuno yang samar-samar berkilau. Tiba-tiba, batu itu bergetar dan cahaya misterius memancar deras darinya, menyebarkan aura kuno yang menekan udara sekitarnya.
"Arghh…" Ye Tian mengerang pelan. Dadanya sesak, seolah ada gunung besar menindih tubuhnya, bahkan ia kesulitan bernapas. Namun, entah bagaimana, cahaya dari batu itu justru menyelimuti dirinya. Simbol-simbol kuno memancarkan sinar lalu perlahan-lahan masuk ke dalam tubuhnya.
Mata Ye Tian membesar, tubuhnya bergetar menahan energi asing yang tiba-tiba menyerbu masuk kedalam tubuhnya, "Apa… apa yang terjadi padaku…?" gumamnya tertahan. Rasa sakit yang semula mencekik mulai berubah menjadi aliran hangat, energi itu meresap ke dalam meridian, menyembuhkan setiap luka sekaligus memperkuat tubuhnya.
Tak berhenti sampai di situ, segel yang selama ini mengekang di akar spiritualnya mulai retak. Retakan kecil itu memancarkan cahaya samar, seolah menandakan sesuatu yang selama ini tersembunyi akhirnya hendak terlepas.
Ye Tian terengah-engah, namun matanya kini berkilat penuh tekad. "Apapun ini… aku tidak boleh menyia-nyiakannya. Kalau langit memberiku kesempatan, aku akan bangkit, dan mereka semua akan menyesal."
Batu hitam itu terus bergetar, cahaya kunonya menari di udara, menyatu dengan tubuh Ye Tian yang perlahan bersinar samar.
Retakan di akar spiritual Ye Tian semakin melebar. Suara gemeretak halus terdengar di dalam tubuhnya, lalu crack!—segel itu pecah berkeping-keping.
Sekejap kemudian, energi besar meledak dari dalam tubuhnya. Aliran spiritual yang selama ini terikat kini mengalir deras tanpa hambatan, memenuhi setiap meridian. Tubuh Ye Tian bergetar hebat, namun rasa sakit telah sirna, berganti dengan kekuatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Simbol-simbol kuno di permukaan batu hitam itu ikut bersinar terang, seakan menyalurkan kekuatan tak terhingga kepadanya. Tekanan aura yang muncul membuat udara bergetar, dedaunan berguncang, dan tanah di sekelilingnya retak.
Ye Tian membuka matanya perlahan. Kilatan cahaya melintas tajam di bola matanya. Napasnya dalam, dadanya terasa kuat, seakan seluruh dunia bisa ia guncang hanya dengan satu gerakan.
Ledakan energi itu terus mengalir tanpa henti, menghantam setiap meridian dalam tubuh Ye Tian. Akar spiritualnya yang tadinya tertutup kini terbuka sepenuhnya, menyerap kekuatan dari simbol-simbol kuno yang masih berkilauan di udara.
Saat aliran itu mereda, Ye Tian tersentak kaget. Ia bisa merasakan dengan jelas, ranah kultivasinya telah melonjak jauh melampaui batas yang selama ini mengekangnya. Kini ia berdiri di puncak Ranah Inti Emas, sebuah tingkat yang selama ini hanya bisa ia bayangkan. Padahal sebelumnya ia berada di ranah dasar tahap 5.
Dalam dunia kultivasi, tingkatan kekuatan terbagi dalam sembilan ranah. Ranah Dasar, Ranah Pondasi, dan Ranah Inti masing-masing memiliki sembilan tahap, dari tahap pertama hingga tahap kesembilan. Sementara itu, mulai dari Ranah Inti Emas, Ranah Jiwa, Ranah Raja, Ranah Kaisar, Ranah Dewa, hingga Ranah Immortal, setiap ranah terbagi menjadi tiga tingkatan: tahap awal, tahap tengah, dan tahap puncak.
Menyadari posisinya telah menembus ke Ranah Inti Emas puncak, Ye Tian mengepalkan tangannya erat. Rasa kuat mengalir dalam darahnya, membuat dadanya bergetar penuh semangat. "Aku… benar-benar tidak percaya, bisa melompat sampai sejauh ini ranah kultivasiku," bisiknya tak percaya.
Namun, tanpa ia sadari, batu hitam misterius itu perlahan menyusut hingga seukuran kepalan tangan. Batu itu bergetar ringan, lalu terangkat dari dalam kawah dan mengambang di udara. Dalam sekejap, cahaya pekat melesat cepat dan masuk kedalam tubuh Ye Tian.
Tubuhnya bergetar hebat, sorot matanya melebar ketika merasakan sesuatu yang asing memasuki dirinya. Batu itu lenyap tanpa jejak, seolah telah menyatu dengan tubuhnya. Aura misterius kembali beriak, membuat hawa di sekitarnya kian berat dan penuh tekanan.
Ye Tian terdiam, keringat dingin menetes dari pelipisnya. Batu hitam itu telah lenyap tanpa bekas, seakan melebur ke dalam daging dan darahnya. Namun, ia bisa merasakan jelas ada sesuatu yang asing kini bersemayam di tubuhnya.
"Aura ini… seolah hidup. Apa sebenarnya benda itu…?" Ye Tian bergumam lirih, matanya menyapu sekeliling kawah.
Tiba-tiba, dari dalam dadanya terdengar dengungan halus. Simbol-simbol kuno yang tadi ia lihat di batu itu muncul kembali, kali ini berpendar samar dari balik kulitnya sendiri.
"Tidak mungkin… simbol-simbol itu… ada di dalam tubuhku sekarang?!" serunya terkejut.
Tekanan energi kembali melonjak, membuat tanah di bawahnya bergetar. Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini rasa sakit tak muncul. Sebaliknya, tubuhnya terasa semakin ringan, meridian semakin luas, dan akar spiritualnya berdenyut dengan irama baru, seakan selaras dengan batu misterius yang telah menyatu dengannya.
Ye Tian mengepalkan tangan, senyum tipis terukir di bibirnya. "Kalau benar batu itu memilihku… maka aku akan membawanya sampai ke puncak langit. Dunia ini akan menyaksikan kebangkitanku."
Ye Tian masih memandangi tangannya yang bergetar, merasakan energi baru yang terus berdenyut dari dalam tubuhnya. Namun tiba-tiba, suara dalam yang bergema seakan berasal dari kedalaman jiwanya terdengar jelas.
"Keturunanku, pergunakanlah baik baik warisanku ini."
Ye Tian tersentak. Ia langsung menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak seorang pun ada di sana. Suara itu bergema di dalam kepalanya.
“Siapa… siapa kau?!” seru Ye Tian, suaranya bergetar.
Dari balik kesadarannya, cahaya samar memancar. Sosok bayangan pria berjubah putih dengan mata tajam bagai bintang kuno perlahan terbentuk. Aura yang dipancarkannya begitu agung, seakan mampu menundukkan langit dan bumi.
"Aku adalah Ye Mo Tian, Leluhurmu" suara itu bergema penuh wibawa, "Yang pernah mengguncang sembilan langit dan sepuluh dimensi. Jutaan tahun lalu, aku mengorbankan tubuhku demi menyegel kekuatan yang kini kau warisi.”
Ye Tian membeku. Dadanya terasa sesak bukan karena tekanan, melainkan karena keterkejutan yang begitu besar.
"Leluhur…? Kau bilang… aku mewarisi kekuatanmu?" suaranya bergetar, hampir tak percaya.
Bayangan Ye Mo Tian menatapnya dengan sorot tajam namun penuh kebanggaan. "Benar. Kau adalah keturunanku. Batu hitam yang menyatu denganmu itu adalah wadah warisanku. Mulai sekarang, nasibmu tidak lagi milikmu sendiri. Kau akan memikul warisan yang bahkan para dewa pun gentar menghadapinya."
"Jangan sia-siakan kesempatan ini. Dunia akan menguji keteguhan hatimu. Jika kau lemah, warisan ini akan menelanmu. Namun jika kau kuat… kau akan menguasai langit."
Ye Tian menggertakkan giginya, lalu menunduk dalam-dalam meski hanya berhadapan dengan bayangan samar di dalam kesadarannya.
“Leluhur… aku, Ye Tian, bersumpah tidak akan menyia-nyiakan warisan ini. Aku akan menggunakannya untuk bangkit, untuk melawan langit sekalipun bila perlu. Aku akan membuat seluruh dunia tahu bahwa darah keluarga Ye tidak akan pernah padam!”
Mata bayangan Ye Mo Tian berkilat tajam, seolah menembus jiwa Ye Tian. Sesaat kemudian, senyum samar terukir di wajahnya.
“Bagus. Semangatmu mengingatkanku pada diriku di masa lalu. Ingatlah, warisan ini bukanlah anugerah belaka, melainkan ujian. Jika tekadmu goyah, kau akan hancur bersama kekuatan itu.”
Suara itu perlahan meredup, tubuh bayangan kuno memudar seperti kabut yang tertiup angin. Namun sebelum lenyap sepenuhnya, suara berat itu masih bergema:
“Bangkitlah, keturunanku… tunjukkan pada dunia arti nama Ye.”
Kesunyian kembali menyelimuti. Ye Tian membuka matanya, sorotnya kini berbeda. Tajam, kokoh, dan dipenuhi api tekad yang tak tergoyahkan.
Di malam hari, tampak Tetua Yun Shen dan Gao Yang tengah terlibat dalam sebuah pembicaraan serius di dalam kamar. Suasana ruangan begitu hening, hanya terdengar suara angin malam di luar. Tetua Yun Shen duduk sambil menatap muridnya dengan tajam, "Gao Yang, apa keputusanmu sudah bulat? Jika kita benar-benar meninggalkan Sekte Teratai Emas… maka kita harus siap dengan konsekuensi yang ada." Kan bagus kaya gini Gao Yang tidak ragu sedikit pun. “Guru, aku sudah memikirkannya dengan matang. Aku tidak ingin hidup di bawah pemimpin yang mengorbankan muridnya demi ambisi pribadi. Sekte Teratai Emas yang sekarang… bukan lagi rumah bagi kita.” Tatapan Tetua Yun Shen mengeras, namun ada sekilas rasa lega di matanya. "Aku juga sudah lama menahan diri. Zhen Kang semakin buta oleh kekuasaan. Jika ia berani mencelakai murid dari sekte lain hanya demi akar spiritual… maka cepat atau lambat dia akan menghancurkan sektenya sendiri.” Gao Yang menunduk hormat. "Karena itulah aku ingin memba
Setelah proses penerimaan hadiah selesai, Ye Tian, Su Wan'er, Lin Hao, Meng Rou, dan Meng Jin memutuskan kembali ke tenda peristirahatan mengingat hari sebentar lagi akan beranjak malam. Sedangkan Su Mo dan keluarganya kembali ke penginapan yang ada di kota Jinling. Juara pertama mendapatkan senjata kualitas tinggi, lima ratus ribu batu spiritual atas, serta pil Peledak Energi tingkat empat. Juara kedua mendapatkan senjata kualitas tinggi, tiga ratus ribu batu spiritual atas, dan pil Peledak Energi tingkat tiga. Juara ketiga mendapatkan senjata kualitas menengah dan seratus ribu batu spiritual atas. Sedangkan juara keempat dan kelima mendapatkan senjata kualitas menengah serta lima puluh ribu batu spiritual atas. Sesampainya di depan tenda, sosok Gao Yang datang menghampiri mereka. Tentu hal itu mengundang tanda tanya bagi Ye Tian dan rombongannya. Mereka ingin tahu alasan di balik kedatangan salah satu murid sekte Teratai Emas tersebut. "Saudara Gao Yang, ada keperluan apa kau
Menyadari lawannya mampu menghindari serangan dengan mudah, Luo Shanying meningkatkan intensitas gempurannya. Ayunan pedangnya menjadi lebih cepat, lebih berat, menebas dan menusuk ke titik-titik vital tubuh Su Wan’er. Mau tak mau, Su Wan’er mulai serius menghadapi serangan Luo Shanying. Trang! Trang! Trang! Dentingan logam terdengar berturut-turut ketika kedua pedang saling beradu. Keduanya saling menunjukkan kemampuan terbaik mereka dalam seni berpedang. Slash! Slash! Slash! Luo Shanying mengayunkan pedangnya secara horizontal dan vertikal. Tiga larik cahaya merah berbentuk bulan sabit langsung meluncur deras ke arah Su Wan’er. “Tarian Pedang Es,” ucap Su Wan’er. Seketika suhu udara di panggung mendadak menjadi dingin, bersamaan dengan kemunculan bilah-bilah pedang yang terbuat dari es. Duar! Duar! Duar! Panggung bergetar kuat ketika ledakan itu terjadi. Udara dingin merembes keluar hingga ke area kompetisi, membuat para penonton dan murid perwakilan setiap sekte m
Patriark Mo Jiang Wuhen menatap putranya yang kesakitan, dadanya naik turun keras. Aura membunuh memancar liar dari tubuhnya, menekan siapa pun yang ada di dekatnya seolah udara di sekitar ikut bergetar. "Keparat! Berani‑beraninya Ye Tian mematahkan tangan putraku! Kau akan membayar perbuatanmu berkali‑kali lipat!" geramnya, matanya menyala penuh kemarahan. Sekali tatap, aura membunuhnya terasa menakutkan, bahkan membuat beberapa Tetua dan murid-murid tdi sekelilingnya menahan napas. Wajahnya merah padam, rahangnya menegang. Jika bukan karena peraturan kompetisi, ia sudah turun tangan saat itu juga. Sebagai tuan rumah kompetisi kalau sampai dia melakukan hal itu akan merusak reputasinya sebagai Patriark sekte besar. Di atas panggung, melihat reaksi kemarahan Patriark Mo Jiang Wuhen, Ye Tian tersenyum tipis. Bukan tanpa sebab ia melakukan itu. Pada pertandingan sebelumnya, Mo Zhang bertindak kejam, mematahkan tangan, kaki, bahkan tulang rusuk perwakilan murid Sekte Laut Biru d
Menjelang siang, keramaian area kompetisi semakin memuncak. Sorak penonton dan percakapan para murid dari berbagai sekte memenuhi udara. Su Wan’er yang baru saja duduk bersama rombongannya tiba-tiba membeku. Matanya membesar perlahan ketika melihat empat sosok yang sangat ia kenal berjalan melewati kerumunan—Ayahnya Su Mo, ibunya Su Lianhua, serta kedua kakaknya, Su Qian dan Su Rong. Ia langsung berdiri. "Ayah…? Ibu…? Kakak Qian… Kakak Rong…?” Suaranya bergetar, seperti tak percaya. Tanpa menahan diri lagi, Su Wan’er berlari menghampiri mereka. Begitu tiba, ia langsung memeluk kedua orang tuanya erat-erat. Pelukan yang penuh rindu, penuh kehangatan. Su Mo tersenyum lembut sambil menepuk punggung putrinya. "Ayah datang untuk memberi dukungan. Bagaimanapun juga, ini hari penting bagimu, Wan’er." Ibunya memeluk dari samping, suaranya lembut namun sarat emosi. "Kami ingin melihatmu berdiri di panggung itu. Ibu tahu kau sudah berlatih sangat keras." Su Wan’er mengusap air
Hujaman tombak terus mengarah ke anggota tubuh tanpa henti. Sehingga membuat lawannya itu hanya bisa menghindar tanpa memberi perlawanan. Setiap kali melancarkan serangan tubuh Ao Jian selalu berpindah tempat. Meski begitu, semua pergerakannya dapat dilihat jelas oleh Ye Tian. Tusk! Tusk! Tusk! Bibir Ao Ajian melengkung tipis saat tombaknya berhasil melukai wajah, bahu dan tangan Ye Tian. "Haha....terus saja menghindar, Ye Tian. Pada akhirnya kau akan kalah tanpa sempat melakukan perlawanan, haha....," ujar Ao Ajian seraya tertawa terbahak bahak. Tangannya begitu cepat menggerakan tombaknya itu. "Tertawalah sepuasmu, sebelum kau tidak berdaya menerima seranganku," gumam Ye Tian dalam hati. Semakin lama gerakan Ao Jian mulai melambat, nafasnya mulai terengah-engah. Menyadari lawan mulai kelelahan, Ye Tian memanfaatkan hal itu dan ia menghilang dari tempatnya berdiri. Wush! "Apa...!" Ao Jian terkejut menyadari Ye Tian menghilang tiba-tiba. Lalu dia mengedarkan pandan







