Share

Hari sebelum

Kendati sudah berusaha menutup mata dan telinga agar tak melihat atau mendengar apa pun lagi tentangnya, otak justru kepayahan untuk sekadar menghapus nama yang telanjur tercatat. Dan hati dengan tak tahu diri mengabadikan kenangan yang telah dalam terpahat.

Lanjut Salah, Berhenti Susah|04|

***

Kafa terbatuk beberapa kali, meski sedikit tertahan. Padahal, posisinya sekarang tengah memeriksa pasien. Tangan pemuda itu terangkat, membetulkan letak masker yang sedikit merosot. Sudah hampir seminggu setelah pertemuan tengah malam dengan Yendra, Kafa didera flu berat, lengkap dengan radang tenggorokan yang lumayan menyiksa. Selain membuatnya kesulitan menelan makanan, kondisi itu juga memaksanya menelan methyl prednisolon yang pahit bukan main jika bersentuhan dengan indra perasa. Namun, itu tak membuatnya malas bekerja. Bagaimanapun menghabiskan waktu di rumah sakit jauh lebih menyenangkan dibanding di rumah.

Lelaki itu mendengarkan dengan saksama saat keluarga pasiennya berbicara.

Pak Sudarma berasal dari sebuah kota di Jawa Barat. Jauh sebelum kondisinya sekarang, beliau merupakan pekerja kasar di proyek. Suatu hari, sisi wajah sebelah kanannya terbentur material bangunan. Tak berselang lama muncul kemerahan seperti ruam. Panas, perih, juga sakit, begitu katanya. Setelah itu muncul benjolan kecil seperti abses yang terus membesar setiap harinya. Karena kondisi tersebut, Pak Sudarma di rujuk ke rumah sakit umum untuk pemeriksaan lebih lanjut, sebab dengan pemberian antibiotik saja tak menunjukkan tanda-tanda perbaikan.

Sekian hari berselang, pihak rumah sakit mencanangkan operasi. Entah gagal atau bagaimana, setelah operasi kondisi Pak Sudarma bukannya membaik malah bertambah parah. Bekas operasi itu meninggalkan lubang, yang mana setiap pasien makan justru keluar dari area tersebut. Setelah konsultasi dan melalui berbagai pemeriksaan yang alot, akhirnya Pak Sudarma dirujuk ke Rumah Sakit Gardenia. Baru di sini diketahui bahwa itu merupakan tumor ganas, mengingat perkembangannya yang agresif.

"Begitu ceritanya, Dok. Dari rumah sakit sebelumnya sama sekali enggak ada pemberitahuan tentang kondisi suami saya sekarang. Kenapa suami saya bisa seperti ini? Apakah memang gagal dalam operasi atau bagaimana, tidak diberitahu."

Kafa mengangguk paham. Sebagai orang awam—walaupun tidak semua—, tetapi keluarga pasien memang butuh penjelasan. Baik, buruk, ada baiknya disampaikan. Tugasnya sebagai seorang dokter tentu memberi kejelasan, tidak membiarkan pasien dan keluarganya sibuk menerka, apalagi sampai tenggelam dalam kebingungan. Bagaimanapun hidup mereka sudah penuh dengan tekanan.

Melihat istrinya nyaris menangis, Pak Sudarma memberikan usapan pelan, yang spontan membuat Kafa merasa tertampar. Rasanya, sampai kapan pun hubungan Kafa dengan Arini tidak akan sehangat itu.

Dengan cepat Kafa berpikir, metode pengobatan macam apa yang sebaiknya diberikan. Dari hasil pemeriksaan pun sebenarnya jelas sekali kalau penyakit yang diderita si bapak sudah memasuki stadium terminal yang membutuhkan penanganan cepat. Sedangkan di sini, antrean terlalu banyak.

"Ibu, Bapak saya rujuk ke Rumah Sakit Orlando, ya. Insya Allah di sana Bapak bisa cepat mendapat penanganan."

"Kenapa enggak di sini, Dok?"

"Saya takut waktu Bapak terbuang banyak karena antrean yang terlalu banyak."

"Baik, Dok. Asal suami saya bisa sembuh, apa pun akan saya lakukan."

Kafa hanya memberikan pemahaman sebisanya. Sebagai seorang dokter ia hanya berusaha mengupayakan yang terbaik untuk semua pasiennya. Ia juga tak berani menjanjikan apa pun selain mendorong dengan kalimat-kalimat penyemangat. Kafa sebatas perantara, dan Tuhan tetap seadil-adil pemberi keputusan.

"Makasih banyak, ya, Dokter. Dokter teh udah ganteng, baik pisan, ramah lagi sama pasien. Padahal, dokter yang sebelumnya mah boro-boro begini. Saya nanya aja kadang dijawab kadang enggak. Udah gitu kayak buru-buru banget lagi."

Kafa tersenyum, tak berani berkomentar lebih banyak sebab ia pun belum benar-benar menjadi dokter yang sempurna.

***

"Tante benci sama mereka. Seharusnya Yendra enggak merasa bertanggung jawab atas mereka setelah orang tuanya meninggal. Toh karena ibunya, papa Yendra pergi. Sekarang tahu rasa, mereka nakal. Pusing sendiri jadinya."

Sebenarnya Ayya tidak terlalu suka dengan bagaimana calon ibu mertuanya menilai Zian dan Zio. Kalaupun ada yang harus disalahkan, mungkin benar orang tuanya, bukan mereka. Biar bagaimana, si kembar adalah dua remaja yang masih memerlukan bimbingan. Mereka dalam proses pencarian, dan apa yang terjadi pada keluarganya jelas bukan sesuatu yang menyenangkan.

Semalam Ayya diberi kabar kalau Yendra sakit. Berhari-hari pria itu terkapar, tak kuat bangun sama sekali. Jadwal padat, istirahat berantakan, dan adik yang memusingkan bisa jadi penyebabnya.

"Udah ke dokter, Tante?"

"Mana mau. Dia cuma minta tolong dibelikan obat. Setiap dibujuk ke dokter, dengan cepat dia bilang, 'aku juga dokter, Ma. Dan aku tahu kondisi tubuhku' selalu begitu."

Ayya berdecak kesal atas sikap keras kepala Yendra. Tiga hari menghilang tanpa memberi kabar, dan tahu-tahu muncul dengan keadaan seperti ini. Sebenarnya hubungan macam apa yang sedang mereka jalani sekarang? Apa benar separah itu?

"Kalau boleh tahu, Zio kali ini melakukan apa lagi?"

"Gurunya ke rumah, Zio bolos delapan hari dan ketahuan merokok di tempat menyimpan alat-alat olahraga di sekolah."

Perempuan itu menghela napas. Ternyata Zio bisa senakal itu. Tentang mengapa Zio yang langsung Ayya tanyakan karena sejauh ini Yendra tidak pernah mengeluhkan tentang Zian. Sepertinya Zian anak yang manis.

Ayya mengulurkan tangan, menyentuh dahi dan leher Yendra secara bergantian. Panas, pikirnya. "Mas Yedra sudah makan, Tante?"

"Tadi pagi mungkin masuk makanan lima suap."

"Kalau makannya susah, gimana mau cepat sembuh. Mas Yendra kebiasaan deh suka susah kalau makan. Itu tuh yang akhirnya bikin dia tumbang. Udah terlalu capek, makannya telat."

"Coba kamu yang bujuk dia buat makan. Siapa tahu kalau kamu yang bujuk dia jadi mau."

"Mas Yendranya di kamar berarti, Tan? Tapi nanti sama Tante, ya? Soalnya saya takut jadi fitnah kalau sendiri."

"Iya, Sayang. Tante temani, ya."

Belum sempat Ayya kembali menanggapi, benda pipih dalam tasnya mendahului bersuara. Dengan cepat Ayya mengambil benda itu. Alisnya bertautan melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Suster Gendis?

"Tante, aku angkat telepon sebentar, ya."

"Iya silakan."

Kaki jenjang perempuan itu terayun mantap keluar dari kamar Yendra, lalu menerima panggilan yang masuk. "Halo, Sus."

"Halo, Mbak. Mbak Ayya di mana sekarang? Sedang sibuk?"

"Saya di rumah tunangan saya. Ada apa, ya, Sus?"

"Begini, salah satu dokter onkologi radiasi ada yang mau bertemu sama Mbak Ayya."

"Siapa? Dokter Retno? Dokter Hanif? Dokter Wulan! Atau siapa?"

"Dokter baru yang enggantikan Dokter Aidan, Mbak. Kira-kira kapan Mbak ada waktu? Beliau mau bertanya seputar KPS."

"Baru nanti malam jadwal saya kosong. Bagaimana?"

"Boleh. Kebetulan dokternya selesai jaga jam tiga sore. Jadi, paling nanti pulang dulu, baru bertemu Mbak."

"Oke, Sus. Nanti kabari lagi saja di mana bertemunya dan jam berapa."

"Baik, Mbak. Saya tutup dulu kalau begitu."

Entah mengapa Ayya merasa gugup saat kesekian kali ada dokter yang ingin bertemu. Ia bahkan baru tahu jika di Gardenia ada dokter baru. Pasalnya, belakangan ini Ayya sibuk mengurus segala sesuatu terkait rumah singgah. Banyak pasien yang mengeluhkan rumah singgah penuh. Meskipun pasien datang dan pergi, rumah singgah memang terbatas dan sepertinya Ayya harus mencari lagi di sekitar rumah sakit.

Sungguh, Ayya masih penasaran dengan dokter yang dimaksud. Namun, semoga saja ini kabar baik seperti sebelum-sebelumnya. Bukan tak ingin selalu mendampingi Yendra, Ayya hanya dituntut untuk selalu mengedepankan kepentingan bersama.

Setelah itu, dia menyusul calon ibu mertuanya masuk ke kamar Yendra. Yendra kedapatan tengah bergulung di balik selimut tebal. Wajahnya juga lebih pucat dibanding saat mereka bertemu. Ayya khawatir, terlebih akhir-akhir ini Yendra memang lebih sering sakit.

"Mas, makan dulu, yuk," bujuknya sembari mengambil posisi duduk di bibir tempat tidur pria itu.

Yendra hanya melenguh pelan sembari memutar tubuh, merasa terusik dengan suara-suara berisik itu.

"Mas, bangun dulu dong. Mas harus makan biar cepat sembuh. Katanya dokter, tapi kok bandel begini, sih, Mas."

Akhirnya, lelaki itu membuka mata. "Ay."

"Mas kenapa enggak bilang kalau lagi sakit? Kalau mamamu enggak telepon mungkin aku enggak bakal tahu. Sepedih apa, sih? Jangan terlalu banyak pikiran, Mas. Kerja juga jangan terlalu berat. Khawatir kalau Mas nanti malah tumbang begini lagi."

"Insya Allah enggak bakal, Sayang. Besok juga aku udah kuat kerja lagi kok."

"Kerja itu enggak apa-apa lho, Mas. Tapi, mesti ingat porsinya juga. Jangan sampai ada kejadian begini lagi."

Sekali lagi, Yendra terharu dengan segenap perhatian yang diberikan Ayya. Semoga saja suatu hari nanti gadis itu bisa benar-benar mencintainya. Yendra akan menunggu.

|Bersambung|

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status