Namun kecemasan itu seketika berubah menjadi haru dan takjub. Anak panah itu rupanya tak diarahkan pada mereka. Melainkan melesat ke langit di atas rawa. Para prajurit membuat sebuah penghormatan terakhir pada guru mereka.
"Terima kasih, Gusti!" Ki Ajar Sangaji membungkuk hormat. Pemakaman telah usai. Tetapi tak ada tanda Pangeran atau pun Ki Walang Sungsang akan beranjak pergi dari tempat mereka. Dada Ki Ajar Sangaji kembali berdebar-debar. "Ki Ajar Sangaji. Seperti aku katakan aku datang sebagai utusan raja untuk memberi penghormatan pada Ki Gedhe. Tetapi selain itu aku juga diutus untuk urusan lain." Pangeran berkata dengan suara begitu tenang. Tetapi membuat tak hanya Ki Ajar, Ki Walang Sungsang dan anak buahnya juga ikut tegang. "Semua orang tahu jika Ki Gedhe menyimpan kitab pusaka tingkat tinggi. Sementara pewarisnya masih begitu muda." Mata Pangeran menuju pada Mandaka yang masih duduk menekur di sisi makam. Tak peduli pada apa yang teNamun kecemasan itu seketika berubah menjadi haru dan takjub. Anak panah itu rupanya tak diarahkan pada mereka. Melainkan melesat ke langit di atas rawa. Para prajurit membuat sebuah penghormatan terakhir pada guru mereka. "Terima kasih, Gusti!" Ki Ajar Sangaji membungkuk hormat. Pemakaman telah usai. Tetapi tak ada tanda Pangeran atau pun Ki Walang Sungsang akan beranjak pergi dari tempat mereka. Dada Ki Ajar Sangaji kembali berdebar-debar. "Ki Ajar Sangaji. Seperti aku katakan aku datang sebagai utusan raja untuk memberi penghormatan pada Ki Gedhe. Tetapi selain itu aku juga diutus untuk urusan lain." Pangeran berkata dengan suara begitu tenang. Tetapi membuat tak hanya Ki Ajar, Ki Walang Sungsang dan anak buahnya juga ikut tegang. "Semua orang tahu jika Ki Gedhe menyimpan kitab pusaka tingkat tinggi. Sementara pewarisnya masih begitu muda." Mata Pangeran menuju pada Mandaka yang masih duduk menekur di sisi makam. Tak peduli pada apa yang te
Para cantrik tanpa sadar menghela napas lega. Mengendurkan kuda-kuda mereka. Tetapi perkataan Ki Walang Sungsang berikutnya membuat kening mereka berkerut. "Kami memang terus bermusuhan sepanjang hidup. Bisa dibilang aku dan Ki Gedhe adalah musuh bebuyutan. Tetapi justru karena itu aku merasa harus menghormatinya di saat terakhir. Karena dia, aku bisa mencapai tingkatan setinggi ini. Permusuhan kami memacuku untuk sampai di tempatku yang sekarang. Meski patut disayangkan ia mati dengan cara seperti ini. Aku akan lebih senang jika ia mati ditanganku." Ucapnya lagi. Rahang Ki Ajar Sangaji mengeras. Tangannya mengepal tanpa sadar. Ia harus berjuang mati-matian agar tak terpancing. Keselamatan para cantrik menjadi pertimbangan utamanya. Ia tahu orang-orang yang baru datang itu sama sekali bukan tandingan para cantrik. Bukan saja dari sisi kanuragan dan pengalaman bertarung. Tetapi juga kekejaman untuk mencelakai lawan. Ia sendiri bahkan tak yakin akan bisa menghadapi Ki Walang Sungsang
Ki Ajar Sangaji mengerahkan kekuatan di kakinya untuk melenting tinggi. Lagi-lagi cakra lawan ikut berganti arah mengejarnya. Ia berusaha melemparkan tubuh ke samping untuk menghindar. Tetapi ketiadaan tumpuan membuat geraknya menjadi lamban. Saat ia akhirnya mendarat di bumi, cakra itu berdesing begitu dekat. Tak sempat lagi baginya menyelamatkan diri.Ki Ajar Sangaji memejamkan mata dengan pasrah, mengira tubuhnya akan segera terkoyak oleh cakra musuh. Tetapi tak ada yang terjadi. Saat membuka mata ia menemukan Putut Pideksa berdiri terhuyung di depannya. Begitu ia membantu memapahnya, ia bisa melihat satu goresan luka dalam di dada adik seperguruannya. Ki Ajar Sangaji memapah tubuh Putut Pideksa. Menurunkan dan membaringkannya dengan hati-hati. "Adhi, bertahanlah!" Kata Ki Ajar Sangaji."Kakang, jangan biarkan ia membawa kitab itu!" Ucap Putut Pideksa lirih.Ki Ajar Sangaji menoleh. Tak tampak lagi sosok Putut Pangestu di sana. Tanpa berdiri lebih dahulu ia
Putut Pideksa merenggangkan kuda-kudanya. Menarik kedua tangan ke samping dengan telapak terbuka. Lalu menghentakkannya lurus ke depan. Selarik angin kencang meluncur. Di tengah angin itu muncul banyak cahaya berkerlip dan seolah berputar. Seperti ribuan bunga teratai yang beterbangan. Itu adalah jurus andalan padepokan Terate Putih. Ajian Terate Sosro Bayu. Putut Pangestu urung meloncat ke bawah. Berbalik dan mengerahkan ilmu yang sama. Duarrr!! Ledakan terdengar seiring percikan cahaya yang memendar. Benturan itu bukan saja mengeluarkan suara keras, namun juga membuat tanah padepokan bergetar. Anehnya tak ada satu pun dari para cantrik dan mentrik terbangun. Benturan itu juga membuat Putut Pideksa terlempar ke belakang. Andai Ki Ajar Sangaji tak sigap untuk membantu menahannya dari belakang, lelaki itu mungkin sudah terkapar. “Tidak mungkin!” Seru Putut Pideksa ketika melihat lawannya masih berdiri tegak. Tak bergeser selangkah pun. “Hati-hati Kakang! Sepertinya ia menyem
Beberapa hari sebelumnya di sebuah tempat bernama Bukit Teratai. Sesuai namanya, bukit itu terletak di tengah rawa-rawa yang dipenuhi bungai teratai. Di atas bukit itulah terletak padepokan yang juga bernama Padepokan Terate Putih. Pelataran padepokan itu berada di sisi timur. Berlatar belakang pendapa padepokan yang terlihat megah meski terbilang sederhana. Bangunan pendapa yang terbuat dari batang-batang kayu besar, namun polos tanpa pahatan. Di bagian depan pelataran ada jalan berundak yang menjadi satu-satunya jalan utama untuk memasuki padepokan. Berujung di tepian rawa. Lalu disambung dengan lempeng-lempeng batu yang disusun membelah rawa hingga ke seberang. Lempeng batu itu hanya cukup untuk dilewati oleh satu orang. Sehingga jika ada serombongan orang yang ingin memasuki padepokan maka harus dilakukan satu per satu. Kecuali mereka mau berbasah-basah dalam rawa. Matahari telah tenggelam di barat. Tetapi masih menyisakan semburat
Wajah Lare Angon menjadi tegang. Semua mata kini tertuju padanya. Tak sadar ia meraba ke pinggang, tempat tabung itu berada. Gerakan yang jelas keliru. Membuat orang-orang itu yakin jika Lare Angon memang membawa apa yang mereka cari saat ini.Lare Angon melirik pada Juragan Prana yang kini berpelukan dengan anak dan istrinya. Tak berdaya. Ia menjadi ragu untuk melanjutkan langkah. Perlahan mundur setapak demi setapak.Kangsa melesat ke arahnya. Namun dari atah lain seseorang melesat menghadang.Blar!Benturan tak terelakkan. Keduanya sama-sama terpental mundur. Gagal mendekati Lare Angon yang kini mematung. Kakinya terasa berat untuk bergerak. Menyesal telah mengabaikan peringatan Citraguna. Namun nasi yang sudah menjadi bubur.Satu orang meluncur dari bubungan mencoba mengambil kesempatan untuk menyambar Lare Angon. Tetapi orang yang berada di sisi lain bubungan mengganggunya. Membuatnya terpaksa berbalik untuk melawan. Dalam sekejap terjadi banyak lingkaran pertempuran acak di temp