"Kita mulai dengan berlatih mengosongkan pikiran." Kata Sambu. Kini keduanya sudah duduk bersila di atas batu. Saling berseberangan dan berhadap-hadapan."Saat aku pertama belajar, Guruku Ki Dharmaja mengatakan jika ilmu bisa diibaratkan sebagai benda dan kita adalah wadahnya. Agar bisa menampung benda itu sebanyak mungkin, maka kita harus mengosongkan wadah itu. Singkirkan apa pun pikiran yang bisa menghambat. Termasuk jika kita memiliki pemahaman pada ilmu lain sebelumnya. Lupakan semua. Lupakan apa yang membuatmu ada di sini. Buang ingatanmu untuk sementara. Kesedihan atau pun kesenangan. Kosongkan pikiranmu hingga benar-benar tak bersisa." Lanjut Sambu."Kenapa pikiran? Karena apa pun yang dilakukan dan dirasakan oleh tubuhmu sebetulnya dimulai dari pikiran. Kulitmu menyentuh api, namun pikiranlah yang menyuruhmu berteriak karena panas. Kendalikan pikiranmu, maka kau mengendalikan seluruh tubuhmu." Pungkas pemuda itu.Lare Angon mengangguk meski tak sepenuhnya menger
Sambu menoleh ke arah lubang tempat mereka datang. Lalu mengangguk-ngangguk. Lare Angon baru sadar jika Putut Pangestu tak mengikuti mereka."Sepertinya ia ingin menunjukkan niat baiknya dengan tak mengikuti kita sampai persembunyian ini. Tetapi dunia itu kejam. Kita tak pernah tahu apakah ia tulus atau ini hanya bagian dari tipu daya saja. Tetaplah waspada." Ucap Sambu.Lare Angon mengangguk. Lagipula setelah semua kekacauan yang terjadi, ia tak lagi begitu percaya pada Putut Pangestu."Duduklah! Aku yakin kau masih belum sepenuhnya mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa oran-orang itu tetap memburumu meski kau tak lagi membawa Kitab Mustika Jagad." Kembali Sambu berkata.Lare Angon lagi-lagi mengangguk. Di pinggir ruangan itu ada empat buah batu bulat menyerupai tempat duduk. Lare Angon meletakkan tubuhnya pada batu yang paling dekat.Sambu ikut duduk di seberangnya."Apa yang kau dengar sekilas tadi benar adanya. Gulungan yang sempat kau bawa adalah Kitab Mustika Jagad. Kitab it
"Tapak Geledek!" Putut Pangestu berseru terkejut. "Apa hubunganmu dengan Pendekar Tangan Halilintar?" Tanya lelaki itu kemudian. "Apakah itu penting?" Tanya Sambu. "Tentu saja penting! Aku harus tahu kau ada di golongan mana. Aku dengar jika Ki Dharmaja adalah orang yang lurus. Aku yakin ia tidak menginginkan Kitab Mustika Jagad untuk dirinya sendiri!" Ucap Putut Pangestu. "Memang tidak. Guru hanya memastikan kitab itu tak jatuh ke tangan orang yang bisa menghancurkan tatanan dunia itu. Karena kitab itu sudah jatuh ke tangan Lare Angon, maka kami akan melindunginya bagaimana pun caranya." Jawab Sambu. "Begitukah? Sebenarnya aku mendapat tugas yang sama. Gusti Pangeran Utara mengutusku untuk mengamankan kitab tersebut. Kerajaan tak mau kekacauan besar terjadi jika kitab itu jatuh ke tangan orang yang keliru. Jadi Pangeran Utara mengutusku untuk mengamankannya. Bertahun-tahun aku b
Lare Angon akhirnya mengikuti pemuda itu. Berlari menembus semak belukar. Sesekali berjalan melingkar. Sesekali penolong Lare Angon itu menaburkan semacam serbuk tipis yang berbau wangi.Namun langkah Lare Angin terhenti saat melihat pemuda tersebut meloncat ke atas pohon."Kenapa? Jangan katakan kau tak bisa menyusulku kemari! Kami sudah melihatmu melakukannya sebelum ini!" Kata pemuda itu.Lare Angon menggeleng. Ia ingat memang perkataan penolongnya benar. Ia sempat meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Hanya saja ia tak ingat bagaimana bisa melakukannya. Seolah hanya mengikuti naluri saja. Ketika sekarang ia harus melakukannya dengan sengaja, maka ia menjadi kebingungan. Tak tahu dari mana harus mememulai.Pemuda di atas pohon menoleh ke belakang. Wajahnya sedikit tegang. Lalu meluncur turun."Berpegangan yang erat!" Ucapnya sambil meraih tubuh Lare Angon.Terkejut, tetapi bocah itu tak menolak. Entah kenapa ia merasa pemuda itu benar-benar tulus ingin menolongnya. Ada rasa aman
Kangsa dan Leksana berteriak tertahan. Asap hitam merambat dengan cepat melalui ujung senjata mereka. Leksana cukup beruntung. Senjatanya cukup panjang. Masih memiliki waktu untuk melepas senjata hingga asap itu tak merayapi tangan. Dengan terburu-buru ia meloncat menjauh.Kangsa tak seberuntung itu. Tombaknya yang pendek membuat ia tak memiliki kesempatan menngelak. Asap itu merayapi lengan. Meski sudah berusaha mengibas-ngibaskan tangannya seperti orang kesetanan, sama sekali tak berpengaruh. Asap itu melilit tubuhnya. Lalu merayap ke arah lubang-lubang di tubuhnya.Mata Kangsa melotot. Antara marah dan putus asa. Lalu sesaat setelah asap hitam merasuki tubuhnya, ia mengejang. Lalu jatuh tersungkur tak bergerak lagi.Ki Dharmaja melangkah mundur. "Mau kemana kau, Dharmaja? Aku tak akan membiarkanmu melarikan diri lagi. Hari ini akan menjadi akhir hidupmu di tanganku!" Seru Ki Walang Sungsang yang tampaknya sudah membaca gelagat lawan.Ki Dharmaja tak menjawab. Terus melangkah mundu
"Dharmaja! Pendekar Tangan Halilintar!" Ki Walang Sungsang berseru mengenali lelaki yang baru keluar dari persembunyiannya. Lelaki yang mungkin berusia tak jauh berbeda dengan dirinya. Berpakaian warna biru kehitaman. Tersenyum sambil mengurut jenggotnya yang panjang hingga ke dada."Senang melihatmu masih sehat Walang Sungsang. Sayangnya ketidak warasanmu juga belum sembuh!" Seperti kawan lama saja Ki Dharmaja menyapa."Pada pertarungan terakhir kau seharusnya sudah mati jika saja tak melarikan diri. Tak aku sangka kau masih akan berani muncul lagi di hadapanku!" Kata Ki Walang Sungsang dengan wajah ditekuk. Jelas ia sangat kesal."Entahlah! Mungkin juga karena kau yang tak mampu membunuhku." Ki Dharmaja menggeleng."Jika hari itu aku selamat. Maka hari ini bisa saja aku mati atau tetap selamat. Tidak ada yang pasti. Bahkan mungkin saja aku bisa mengalahkanmu kali ini." Sambungnya."Apa yang sudah kau pelajari hingga berani jumawa di hadapanku?" Wajah Ki Wa