Share

Bab 7 Berpisah

Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik.

Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir. 

Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam.

Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.

Bagian depan diletakkan beberapa meja bundar dan kursi lipat untuk empat orang. Lebih ke dalam lagi disediakan beberapa tenda kecil untuk dua orang. Para pelayan pria menggunakan kemeja Hawai dan celana santai, sedang para pelayan wanita menggunakan maxi dress manis dengan corak bunga-bunga.

Prada memandu Rumi masuk ke dalam sebuah tenda. Gadis ini mengikuti dengan patuh.

"Kamu tahu, restoran ini enam bulan lalu dalam kondisi mengenaskan dan segera bangkrut. Namun sebulan lalu kembali bangkit dengan konsep seperti ini. Bukankah ini keren?" kata Prada ketika mereka sedang menunggu pesanan. "Menunya juga khusus seafood yang dimasak dengan cita rasa khas Indonesia menggunakan rempah-rempah terbaik. Tentunya dengan seafood terbaik yang langsung dipasok dari nelayan lokal."

Rumi mengernyit, "Anda yakin? Susah mencari seafood segar di Jogja."

Tumbuh besar di pulau Kalimantan yang termasuk kaya makanan laut membuatnya jadi pemilih jika berkaitan dengan seafood. Selama tinggal di sini, belum pernah didapati seafood yang benar-benar segar seperti di kampung halamannya.

Lelaki ini mengangguk. "Tentu saja yakin. Susah bukan berarti tidak ada. Lokal, 'kan, bukan berarti Jogja saja. Jawa Tengah juga."

Rumi ber-O ria. "Sepertinya Anda tahu banyak tentang restoran ini?

Bisa saja Prada membuka restoran lain sebagai investasi tanpa sepengetahuannya. Bagus juga memiliki lebih dari satu wilayah cakupan usaha. Asalkan bisa mengatur waktu untuk mengelola semuanya secara maksimal.

Prada menyeringai sombong. "Kamu lihat tadi café di sebelah restoran ini?"

Rumi mengangguk. Café itu sempat menarik minatnya. Desain eksterior tempat itu menangkap perhatian. Jika ada waktu, dia ingin berkunjung ke sana..

"Pemilik café itu sahabatku. Dia dan temannya membantu restaurant ini. Dia bukan tipe yang setengah-setengah ketika mengerjakan sesuatu. Bahkan untuk hal remeh sekalipun."

"Idenya menarik," celetuk Rumi dengan mata mengamati detail setiap sudut restoran.

Prada mengangguk setuju. "Jadi Rumi, aku harap kamu bisa mengatur restaurant-ku dengan baik."

Rumi yang sedang serius mengamati detail restoran melirik malas pada bosnya ini. "Saya memang bertugas mengelola tapi Anda pemiliknya. Tidak bisakah Anda membantu saya dengan memberikan ide yang cemerlang? Tidak hanya mampu protes dengan apa yang saya kerjakan?"

Rona wajah Prada berubah marah. "Kalau kamu tidak mampu aku bisa mencari orang lain untuk mengelolanya."

"Anda pikir siapa yang tahan bekerja dengan Anda selain saya?" tantang Rumi.

Prada terdiam dengan muka ditekuk. Bagaimanapun apa yang dikatakan gadis ini benar.

Rumi manager ketujuh yang Prada miliki. Sejauh ini hanya Rumi yang mampu memegang peranan itu dengan rekor bekerja selama 24 bulan dan masih berjalan. Manager sebelumnya paling lama hanya bertahan sepuluh bulan. Sisanya masing-masing tujuh bulan. 

"Well, setidaknya hari ini Anda cukup membantu," lanjut Rumi sedikit merasa bersalah.

Mereka terdiam saat seorang pelayan datang membawakan pesanan. Sebakul nasi hangat untuk dua orang beserta dua piring bersih; Semangkuk kerang darah asam pedas; Sepiring cumi bakar saus kemangi; Sepiring sambal petai udang. Dilengkapi dengan dua buah es kelapa muda.

Rumi menelan air liur melihat makanan di depannya yang menggugah selera. Tidak menunggu basa-basi dari Prada, dia langsung menyantap makanan itu dengan lahap.

"Kamu suka?"

Rumi mengangguk tanpa harus menghentikan kegiatan. Daging kerang baru saja masuk ke dalam mulut itu.

"Kalau ingin tambah bilang saja."

Rumi hanya melirik sekilas sebelum mengangguk, tetap melanjutkan kegiatan. Kali ini giliran kepala cumi bakar yang masuk ke mulutnya.

Sunyi kemudian. Mendadak Prada memilih senyap. 

Rumi tentu saja tidak terlalu peduli. Jarang sekali dia makan enak seperti ini. Meskipun seorang manager dengan gaji yang cukup besar, dia tidak suka berfoya-foya. Hampir tujuh puluh persen gajinya ditabung untuk keperluan lain. Dua diantara tujuan itu adalah membelikan rumah dan mendanai ibu angkatnya naik haji.

Ibu angkat sekaligus saudara kandung ayahnya itu telah berbaik hati merawat dan membesarkan. Sejak dia masih di bangku sekolah dasar. Terhitung setelah Ibu kandungnya meninggal, menyusul Ayahnya yang meninggal setahun lebih dulu.

Ayahnya meninggal karena kecelakaan di tempat kerja. Sedangkan ibunya meninggal akibat sakit, shock ditinggal mendiang suami secara mendadak.

"Aku sudah berpisah dengan wanita itu," ucap Prada setelah cukup lama terdiam. Dia kembali mengganti kata ‘saya’ menjadi ‘aku’ agar lebih nyaman. "Tadi malam dia menelepon dan memintaku agar jangan pernah menemuinya lagi."

Tangan Rumi yang sedang ingin menyuap nasi beserta sambal udang-pete terhenti di udara. "Sepertinya itu bagus."

Prada menarik napas dalam sebelum menghembuskan perlahan. "Sebulan lalu dia sudah meminta untuk berpisah tapi aku tidak rela. Namun, kejadian kemarin membuatku berpikir banyak. Bukan karena dipukul tapi lebih kepada perasaan sesama pria. Aku juga pasti tidak ingin istriku bermain gila dengan pria lain yang lebih muda. Lagipula hubungan kami memang tidak diawali dengan langkah yang baik."

"Hmm," respon Rumi kembali melanjutkan makan.

"Hei! Apa kamu tidak bisa menunjukkan simpati?" kata Prada jengkel merasa diabaikan.

Tangan Rumi yang hendak menyuap kembali terhenti di udara. "Mengapa harus? Anda sudah mengambil keputusan yang tepat."

"Tapi aku patah hati,” jujur Prada.

Berpisah dengan orang yang disayangi bukan hal yang menyenangkan. Terlebih perasaan cinta itu masih ada.

"Oh, jadi Anda ingin saya hibur?" Rumi akhirnya mengerti. 

Dia berhenti makan dan menggeser piring berisikan makanan tadi sedikit. "Jangan cemas, Anda pasti bisa menemukan wanita yang tepat suatu saat nanti."

Ekspresi Rumi dibuat sesimpati mungkin. Akan tetapi tidak mengisyaratkan ketulusan sama sekali. Hanya dipasang sebagai formalitas.

Prada kesal. "Akh, sudahlah! Aku malah semakin jengkel melihat ekspresimu. Lebih baik habiskan makanan itu cepat lalu kembali kerja."

Rumi mengedikkan bahu tak acuh. Merealisasikan ucapan Prada dengan melanjutkan makannya. 

Prada geleng-geleng kepala memikirkan kebodohannya yang sempat berharap dihibur oleh Rumi. Tindakan sia-sia mengingat sifat cuek gadis ini yang sudah dikenal selama dua tahun. 

"Lalu uang saya bagaimana, Pak?" tanya Rumi setelah merasa kenyang.

Perut penuh mengingatkannya pada nota tagihan. Dia harus mendapatkan uang kompensasi tersebut.

Prada yang sedang menyuap langsung hilang selera makan. "Apa kamu pikir aku tidak bisa membayarnya?"

Rumi menggeleng. "Saya pikir Anda tidak ingin membayar. Tapi itu hak saya. Jadi saya akan terus menagih sampai lunas."

Prada menggeram. Mengambil gawainya untuk menggunakan mobile banking.

"Ini!" dia menunjukkan bukti transfer dengan jumlah yang Rumi inginkan. "Lunas."

Rumi tersenyum manis sekali. "Terima kasih. Setidaknya saya merasa tidak sia-sia telah menolong Anda."

Prada yang sempat terpesona dengan senyum manis Rumi langsung mendesis geram. Ingin rasanya menyumpal kembali mulut gadis di depannya ini dengan makanan. Namun dia sedikit lega. Perasaan gelisah sejak semalam berangsur pudar. ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status