Share

Bab 6 Nota Tagihan

Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya.

Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka.

Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari.

Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat?

Namun Rumi tidak terlalu ambil pusing. Dia hanya kesal karena gagal memberikan nota tagihan. Apalagi dia ingin sekali menekan Prada tentang keputusan menerima surat pengunduran Kepala Koki yang berharga tanpa sepengetahuannya.

Restoran Prada merupakan satu-satunya restoran Prancis terkenal di Yogyakarta. Restoran ini telah menjadi salah satu tujuan wisata di kota ini. Sejak dibuka tahun 2010, langsung populer di semua kalangan. Salah satu hal menarik dari restoran ini selain desain unik interiornya adalah mengganti semua resep yang menggunakan wine dan benda sejenis dengan sari buah. Bebas alkohol menjadi ciri khas yang melekat erat.

Sepengetahuan Rumi, Kepala Koki menangani perubahan resep itu sendiri. Seharusnya, si Kepala Koki juga yang membuat sari buah yang diolah khusus dengan teknik rahasia. Kalau Kepala Koki mereka itu berhenti, siapa yang akan mengurus hal ini? Apa cara membuatnya sudah diajarkan kepada koki yang lain atau minimal pada Wakil Kepala Koki?

Jika tidak ada kejelasan, resiko berat akan mereka tanggung. Kerugian besar atas keputusan gegabah Prada sudah barang tentu membahayakan para pegawai. 

Dengan alasan-alasan inilah, saat mendapat kabar menyegarkan atas kehadiran Prada di restoran pagi ini membuat Rumi bersemangat. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, sekarang dia sudah berdiri di depan pintu ruangan bosnya itu. 

Diketuknya pintu ruangan Prada tiga kali. Seruan ‘masuk’ pun terdengar dari dalam. Gadis ini membuka pintu segera.

Kerlingan Prada menyambut Rumi ketika melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Ekspresi yang tidak bersahabat. Lebih menyebalkan dari biasa.

Rumi mengabaikan alarm 'hati-hati' yang berdering di dalam batinnya. Tenang dia melangkah mendekati meja kerja Prada. Tanpa duduk dia menyerahkan buku laporan keuangan yang dipegang. 

"Ini laporan keuangan yang seharusnya Bapak periksa seminggu lalu," ucapnya membuka pembahasan.

Walau sudah tidak bisa memandang hormat seperti dulu, Rumi berusaha tetap berlaku sopan kepada Prada. Profesional kerja. Tidak pantas rasanya jika dia bersikap kurang ajar hanya karena tahu satu rahasia penting lelaki ini.

"Apa ini?" 

akhirnya Prada membuka suara setelah setengah jam meneliti laporan tanpa mempersilahkan Rumi untuk duduk. Ditangannya terdapat sebuah nota.

"Nota tagihan," jawab Rumi tenang.

"Tagihan apa?" mata tajam Prada menatap penuh tekanan.

"Anda bisa membacanya sendiri," jawab Rumi masih tenang.

Prada mendesis sebal, tapi membaca juga. Dua puluh detik selanjutnya meletakkan benda itu kasar ke atas meja. 

Rumi sedikit kaget tetapi tidak menunjukkan reaksi berarti selain kerutan di dahi.  Dia merasa tak melakukan sebuah kesalahan.

"Jadi benar kamu yang membawaku ke rumah sakit?!" bentak Prada. Kata ‘saya’ yang diucap sebelumnya telah berganti menjadi ‘aku’. "Aku sudah bilang tidak suka rumah sakit, 'kan? Berani-beraninya kamu ..."

"Anda sekarat," potong Rumi tanpa takut. 

Dia mengerjakan hal yang benar. Lelaki ini seharusnya berterima kasih.

Prada mendecih. "Alasan. Pasti kamu sengaja, 'kan? Kamu tahu aku tidak suka rumah sakit, makanya membawaku ke sana."

Sangat menyebalkan jika mengatakan hal sebenarnya, tapi dituduh mengada-ada. Dahi Rumi semakin berkerut menahan kesal. 

"Anda sekarat di kamar saya. Saya sengaja membawa Anda ke rumah sakit supaya tempat saya tidak menjadi TKP kematian Anda."

"Kamu ... Keluar!" usir Prada geram.

"Uang saya?" tanya Rumi tidak peka kalau bosnya ini sedang marah maksimal.

"Keluarrr!" bentak Prada lebih geram dari sebelumnya.

Rumi memutar bola mata dalam diam. Dia menunduk singkat sebelum melangkah pergi.

Sebuah helaan napas terdengar dari mulut Rumi saat sudah berada di luar. Dia sedang berduka memikirkan uang ganti rugi tidak akan didapat dalam waktu dekat. Padahal dia sudah bersabar selama tujuh hari.

Protes tentang masalah restoran juga gagal. Dia kembali harus memendam keingintahuan yang sudah hampir meluap.

Lunglai Rumi melangkah menuju ruangannya. Saat ini, dia hanya perlu menyepi untuk menenangkan diri. ***

Prada menggosok wajah dengan kedua tangan. Berharap sedikit kewarasan datang. Rumi bukan orang yang harus menerima kemarahannya. Meski menjengkelkan, manager itu melakukan hal yang tepat.

Dia sedang dalam kondisi emosi yang buruk. Ada masalah yang mengganggu sejak semalam. Nota tagihan Rumi hanya datang di waktu yang salah.

Setelah menenangkan diri selama dua puluh menit, Prada menekan nomor khusus untuk ruangan Rumi. Dia ingin meminta maaf. Tentu saja bukan dengan ucapan ‘maaf’ yang keluar langsung dari bibir itu.

"Datang ke ruangan saya," perintah Prada, lalu memutus sambungan telepon tanpa perlu menunggu jawaban Rumi.

Lima menit kemudian Rumi sudah berada di ruangan Prada. Duduk di depan lelaki ini setelah dipersilahkan.

"Temani saya makan siang di luar." Bukan sebuah ajakan.

Rumi meneliti ekspresi bosnya itu. Dia ingin tahu apakah ucapan yang terlontar serius atau hanya sebuah gurauan..

"Saya ingin suasana makan yang beda," lanjut Prada.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Jam makan siang adalah masa yang sibuk. Tidak pantas seorang manager meninggalkan restoran pada waktu krusial. Apapun bisa terjadi, dan saya harus ada di tempat untuk menanganinya." Rumi menolak tegas.

"Kamu mengatakan saya tidak profesional?" Prada sedikit tersinggung dengan ucapan Rumi.

"Tidak," balas Rumi.

"Kalimatmu mengarah ke sana," tuduh Prada.

"Saya tidak bermaksud."

Prada mendecak. "Saya tidak mau tahu. Ayo pergi!"

Prada beranjak dari duduk. Membawa hal yang diperlukan, kemudian segera berjalan menuju pintu. Namun kemudian mendecak karena Rumi belum bergerak sama sekali.

"Rumi ... Saya tidak suka dibantah dan menunggu." Kalimat penuh penekanan ini memaksa Rumi untuk melangkah dan mengekor Prada.

Mereka pun keluar ruangan bersama. Berpasang-pasang mata pegawai restoran langsung memandang penuh tanda tanya. Tidak biasanya pemilik dan manager mereka terlihat berdua. Apalagi yang mereka tahu, bos mereka ini selalu terlihat tidak puas dengan kinerja si manager. Tetapi setidaknya mereka lega, restoran akan damai sementara waktu.

Berbeda dengan ajakan makan di luar, Prada malah berbelok ke dapur. Rumi mulai berpikir bahwa 'makan di luar' versi bosnya ini adalah 'makan di luar' secara harfiah.

"Mau makan dimana?" tanya Rumi memastikan.

Prada tidak menjawab. Dia masih saja melaju.

Langkah itu terhenti ketika sudah berhadapan dengan Kepala Koki mereka. "Gantikan Rumi selama jam makan siang. Urusan memasak biarkan Sous Chef yang memimpin."

Meski bingung, Kepala Koki mengangguk saja. Dia mengurungkan niat untuk bertanya banyak melihat ekspresi wajah Prada. Ditambah lagi mendapati sosok Rumi di belakang bos mereka dengan air muka yang sama buruknya.

"Jadi kita mau makan dimana?" Rumi mengulang pertanyaan setelah mereka bergerak menuju pintu keluar.

"Tempat yang istimewa," jawab Prada tak berniat mengatakan nama tempat tersebut. "Buka matamu dan belajarlah sebanyak mungkin ketika kita berada di sana."

Rumi berdecak pelan. Akhirnya tahu maksud dari ajakan—temani saya makan siang—itu. Prada ingin memaksanya mempelajari banyak hal dari restoran yang akan mereka kunjungi. ***

Mumu Rahadi

Hai, hai, hai! Selamat datang teman-teman! Terima kasih udah bersedia mampir. Dan lebih bersukur lagi kalau kalian meninggalkan vote dan komen. Sayang kalian semuaa ... Salam kenal! 🤗🤗🤗

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status