Share

Bab 9 Resign

Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk.

"Masuk!" seru Prada. 

Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.

Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu.

"Ah ... Maaf saya mengganggu." 

Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas. Lantas undur diri.

"Saya akan kembali nanti," katanya sesopan mungkin.

"Kenapa dia?" tanya Mama Prada penasaran mendapati sikap Rumi yang aneh.

Wanita baya yang biasa dipanggil Vira ini tahu bahwa manager anaknya itu kurang bersahabat. Beberapa kali berlintas jalan di lorong menuju ruangan Prada, Rumi akan minggir memberi jalan diikuti anggukan sopan yang kaku.

Prada menggeleng. "Enggak tahu, Ma."

"Managermu itu aneh. Mama enggak suka. Tegang banget kaya' kayu ulin." Vira menuangkan air putih untuk anaknya ini. "Mengapa masih dipertahankan, sih? Memangnya dia bisa menghadapi pelanggan? Senyum aja kayaknya susah."

"Kerjanya bagus, Ma," bela Prada. "Orangnya tegas."

"Sebagus apa?"

"Lebih bagus dari lima manajer sebelumnya."

"Ah, Mama jadi ingat sama si Matahari," kenang Vira. "Dia cantik. Anggun dan sopan juga. Udah pakai kerudung lagi. Menutup aurat."

Prada mencibir dalam diam. Matahari adalah manager ke enam, sebelum Rumi.

"Padahal Mama suka dia, tapi malah kamu pecat."

Vira mendelik pada anaknya ini. Geram mengingat kabar yang diberikan Matahari sebelum dipecat. Informasi yang menyatakan bahwa Prada mengalami penyimpangan orientasi.

"Bagus, sih, Ma. Tapi mulutnya enggak bagus.” Prada pura-pura tak melihat delikan tajam Mamanya ini. “Sayang banget padahal udah berkerudung.”

Hush!” tegur Vira. “Menutup aurat itu wajib. Enggak ada hubungan sama pribadi pemakainya.”

“Ya seharusnya dengan berkerudung ada perubahan dong, Ma. Enggak cuma pakaian aja yang berubah, pribadi juga mengikuti. Jangan gara-gara dia semua orang berkerudung di cap enggak bagus.”

Prada ingat dengan jelas Matahari menyebarkan berita buruk tentang dirinya kemana-mana. Keadaan restoran sempat memburuk akibat berita tersebut. Padahal Prada sudah menolak secara baik-baik saat Matahari menyatakan cinta.

Namun gadis itu terluka. Merasa terhina sebab Prada tidak tertarik dengan kecantikannya yang selalu dipuja-puji rekan sekerja.

"Dia baik, kok."

Prada mendengus. “Sama Mama aja. Cari muka. Dia enggak profesional.”

"Memangnya yang ini profesional?"

"Sangat profesional dan dapat dipercaya."

"Kamu enggak ada hubungan apa-apa sama dia, 'kan?" mata wanita baya ini menyipit curiga. "Lumayan cantik, tapi cari yang lain aja. Mama enggak mau dia yang jadi menantu Mama."

Prada tak mampu menahan gelak tawa. Membayangkan akan menyukai Rumi sungguh lucu menurutnya. Apalagi sampai punya keinginan untuk menikahi gadis itu. Prada melirik Vira sambil geleng-geleng kepala tak percaya Mamanya ini memiliki pemikiran demikian.

"Enggak mungkin, Mama. Prada punya selera yang tinggi."

Vira mencibir. "Selera tinggi apa? Kamu serius enggak suka laki-laki, 'kan?"

"Astaga, Mama." Prada berlagak terluka. "Mama mau punya mantu lelaki?"

Bantalan sofa langsung melayang ke kepala Prada. "Enggak lucu."

Prada menyeringai jail. "Mama yakin enggak mau?"

Mata wanita baya ini langsung melotot sebal. Candaan Prada tidak enak didengar telinga.

Hanya sebuah rumor saja Vira sudah merasa gagal membesarkan anak. Apalagi kalau itu kenyataan. Harga diri sebagai pendidik pertama dan utama anaknya akan jatuh, terpecah belah. Sebab penyimpangan orientasi itu bukan takdir, melainkan salah asuhan sedari dalam perut sampai proses memberikan informasi ketika membesarkan anak.

Dia berdiri kemudian. "Mama pulang dulu. Habiskan makanannya."

"Iya, Mama sayang." Prada ikut berdiri, membukakan pintu untuk Vira. 

"Enggak usah diantar sampai tempat parkir. Mama bukan anak kecil." Vira menahan gerakan Prada yang hendak ikut keluar.

"Baiklah, Mama. Hati-hati." Prada menurut.

Wanita baya itu mengangguk. Memeluk anaknya sebentar sebelum melangkah pulang.

Prada menghela napas pelan. Masih berdiri di depan pintu sampai Vira hilang di balik dinding. 

Dia kasihan pada wanita yang melahirkannya itu. Pasti kesepian. Setua sekarang belum memiliki menantu, apalagi cucu. Anak perempuan pun ... 

Haah ... Prada kembali menghela napas. Rasa bersalah itu menusuknya. Seandainya saja dia tidak egois. Andai ...

"Boleh saya masuk?"

Prada terperanjat, kaget. Rumi sudah berdiri di depannya. Beruntung dia bukan orang yang memiliki penyakit latah.

"Oh ..." Dia berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang efek dari keterkejutan. "Ada apa?"

"Boleh saya masuk?" ulang Rumi kurang sabar. 

Dia memegang piring berisi menu baru. Makanan utama yang menggugah selera kalau bukan penyebab kekesalan kali ini.

Prada mengangguk dan mempersilahkan Rumi masuk. Dia mengekor di belakang. Mempersilahkan Rumi duduk sebelum duduk di kursinya sendiri.

"Anda tahu apa ini?" tanya Rumi meletakkan piring berisi makanan menu baru itu ke atas meja kerja Prada.

"Avocado Poached Salmon ... Menu utama baru, resep milik Chef Eresta," jawab Prada tanpa ragu.

Rumi manggut-manggut menahan geram. "Jadi Anda benar sudah tahu tentang menu baru ini."

"Tentu saja. Eres ... Maksud saya Chef Eresta sudah menunjukkan ini dan meminta pertimbangan seminggu lalu untuk menambahkannya dalam buku menu." Prada tidak mengelak sama sekali.

Mata tajam penuh amarah Rumi menusuk langsung netra Prada. "Anda menerima surat pengunduran diri Chef lama tanpa sepengetahuan saya. Anda mempekerjakan Chef baru, kembali tanpa sepengetahuan saya. Sekarang Anda menambah menu baru tanpa mendiskusikan terlebih dahulu dengan saya. Untuk apa ada seorang manager kalau Anda bisa mengatur ini semua sendiri?"

Prada meneliti ekspresi wajah Rumi. "Kamu marah?"

Rumi tersenyum kecut. "Tidak. Saya hanya sudah bosan bekerja."

Mata Prada melebar. "Jangan bilang kamu ..."

"Sore ini surat pengunduran diri saya akan siap di atas meja Anda." Rumi berdiri dari duduknya. "Permisi."

"Rumi, kamu tidak bisa melakukan itu," tahan Prada. "Kita punya kesepakatan kerja."

Rumi yang sudah setengah jalan memutar tubuhnya. "Hampir lupa. Dalam kesepakatan kerja dikatakan pihak kedua---yaitu saya---bisa mengundurkan diri jika pihak pertama---yaitu Anda---menyalahi perjanjian kerja, salah satunya mengebiri wewenang saya."

Prada diam, berusaha mengingat kesepakatan kerja mereka yang dibuat karena  permintaan Rumi di hari pertama bekerja. Rumi benar, ada bagian itu di dalam kesepakatan tersebut.

"Saya harap Anda menyediakan surat rekomendasi kerja dan pesangon yang sesuai," lanjut Rumi, merasa punya peluang bicara. "Yeah ... Meskipun saya mengundurkan diri anggaplah pesangon itu bayaran untuk rasa kecewa saya karena tindakan Anda selama ini. Terima kasih."

Prada tidak mampu mengatakan apapun. Kalimatnya tertahan di tenggorokan. Sampai Rumi menghilang di balik pintu, Prada hanya mampu terpana. Bingung, tidak berpikir sebelumnya kalau Rumi bisa semarah ini.***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status