Share

BAB 8 New Menu

Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala.

"Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.

Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.

Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang waktu. Prioritas pun terabaikan.

Prada menghentikan kegiatannya. Tersenyum miring dia menjawab, "Tentu saja menemani saya makan siang."

Rumi memutar bola mata. Jawaban yang tidak profesional sekali.

"Bapak seharusnya tahu kalau saya sekarang sedang sibuk, 'kan?" Rumi tidak menutupi kekesalannya. "Kalau memang tidak ada hal penting saya permisi."

"Ayolah!" seruan kecil ini menghentikan gerakan Rumi yang hendak berdiri dari duduk. "Sudah dua minggu seperti ini mengapa baru protes sekarang?"

"Saya hanya berusaha berempati," jelas Rumi membuat Prada sedikit kaget. 

Rumi bisa berempati? Kemajuan yang mengejutkan.

"Mungkin Anda sedang tidak ingin sendiri karena baru putus," lanjut Rumi. "Sekarang sudah dua minggu. Berhenti bersikap manja dan meratapi hati yang patah. Banyak hal penting yang harus Anda pikirkan."

Prada langsung memberikan tatapan mematikan mendengar kata ‘manja’ keluar dari mulut itu. Nafsu makannya langsung hilang.

"Melakukan perintah atasan juga termasuk tugas penting," tekan Prada.

Rumi menghela napas. "Saya berusaha memahami perasaan Anda, tapi ini keterlaluan. Tugas saya di sini sebagai manager restoran. Kalau butuh babysitter, Anda bisa menyewanya. Atau ... telepon saja Ibu Anda."

Gigi Prada bergesekan, geram. Manager satu ini memang tidak pernah memikirkan kalimat yang keluar dari mulutnya. Sedangkan dia benci dikatakan manja namun lebih benci lagi jika dianggap sebagai anak mama.

"Keluar!" usir Prada.

Bukan kesal, Rumi malah mengangguk lega. "Permisi."

Prada menggeram seiring Rumi berjalan meninggalkan ruangan. Gadis itu memang pintar membuatnya kesal.

Dia menyandarkan tubuh ke sofa. Makanan yang masih separuh dibiarkan begitu saja.

Sebelah tangannya terbaring di kepala sofa, sedangkan sebelahnya lagi menempel di dada. Dia berusaha merasakan hatinya yang terluka. Heran karena sakitnya tidak separah yang dibayangkan.

Awalnya dia berpikir akan sangat menderita. Sempat membayangkan bahwa hidupnya akan hancur berantakan tanpa Wina.

Ya ... Wina … Wanita yang dia pikirkan meski badan remuk redam setelah dipukuli waktu itu.. Wanita bersuami yang dicintainya. Tapi ... Entahlah, belakangan dia tidak yakin rasa cintanya sebesar dulu. Kehadiran Rumi sangat membantu.

Rumi memang menjengkelkan. Sering sekali Prada marah-marah karena gadis itu. Namun sikap apa adanya memberikan kenyamanan yang tak pernah disangka. Seperti menemukan tempat yang tepat untuk mengeluarkan segala macam emosi pengganggu.

"Mengapa makannya enggak abis?" tanya seseorang mengagetkan Prada.

"Mama ..."

"Siapa lagi?" Mama Prada langsung duduk di samping anaknya ini. "Memangnya kamu punya orang lain yang biasa datang ke sini?"

Prada tersenyum kecil. "Enggak, Mama."

Mamanya langsung mendelik. "Sampai kapan kamu mau seperti ini, Prada?" Tangannya yang sibuk membuka barang bawaan━yang merupakan makanan masakan rumah━berhenti. "Jangan-jangan kamu benar ..."

"Enggak, Mama." Prada memotong pikiran aneh Mamanya. "Prada masih suka lawan jenis. Tenang aja."

Mamanya menyipit curiga. "Mungkin kamu memang butuh psikolog, psikiater, ahli terapi jiwa, atau apalah namanya."

Prada memutar bola mata. "Prada sangat normal, Mama. Kayanya Mama mau banget Prada sakit jiwa."

Mata wanita baya itu melotot seram. "Hush, jangan asal kalau ngomong!"

Prada mengangkat bahu. "Mama masak apa?"

Tangan Mamanya yang sempat berhenti kembali membuka makanan yang dibawa. "Kesukaan kamu."

Tak lama di atas meja terhidang berbagai jenis makanan. Ada urap kecambah, telur dadar tomat, kerupuk udang, dan sambal terasi.

Prada tergiur melihatnya. Nafsu makan yang tadi hilang kembali datang. Terutama karena ini buatan tangan Mamanya.

"Ini piring dan sendok." Wanita setengah baya ini memberikan peralatan makan wajib ada itu pada anaknya ini. "Kamu harus makan banyak. Biar benar-benar pulih."

"Siap, Komandan!" canda Prada sebelum menyendok nasi dan lauk-pauknya penuh semangat.

Mama Prada tersenyum cerah. Dia bahagia melihat Prada kembali bertenaga. Wanita ini khawatir melihat anaknya yang tampak murung seminggu lalu.

"Kapan kamu membawa menantu untuk Mama?" tanya Mama Prada setelah semenit terdiam memandangi anaknya makan.

Sendok di tangan Prada yang siap meluncur ke dalam mulut terhenti di udara. Nafsu makannya lagi-lagi hilang seketika.

Dia menghela napas. Baik Rumi maupun Mamanya handal sekali mematahkan kesenangan orang lain. ***

Rumi tampak tergesa berjalan menuju ruangan Prada. Bibirnya membentuk satu garis lurus tanda sedang menahan kesal. Dia marah besar.

Setelah meninggalkan Prada tadi, dia pergi ke dapur restoran. Ketika itulah matanya menangkap menu asing yang dibawa salah satu waiter.

"Apa itu?" tanya Rumi menghentikan waiter itu.

"Menu baru restoran yang jadi andalan hari ini, Bu," jawab waiter itu polos.

"Menu baru?" Rumi mengernyit sampai kedua alisnya menyatu.

"Bu Rumi tidak tahu?" waiter itu malah balik heran melihat raut wajah Rumi.

Rumi tersenyum sekilas. "Lanjutkan kegiatanmu."

Waiter itu mengangguk, lantas kembali berjalan menuju depan mengantarkan pesanan. Rumi langsung menarik napas dalam. Amarah memenuhi rongga dada. Cepat dia berjalan ke dapur. Tujuannya hanya satu, meminta penjelasan dari Kepala Koki baru mereka.

"Chef Eresta, kita harus bicara," ujar Rumi saat sudah berada di dapur.

"Saya sibuk," jawab Eresta tanpa menoleh. 

Mata itu terus saja mengamati kerja para Chef de Partie dan Commis yang sedang memasak.

"Sous Chef, gantikan Chef Eresta sebentar." Rumi meminta Wakil Kepala Koki mereka untuk bergerak menggantikan tugas Kepala Koki mereka.

Eresta memutar badannya sedikit menghadap Rumi. "Dapur ini tanggung jawab saya; daerah kekuasaan saya. Anda ..."

Sebuah tarikan dari Rumi menghentikan ucapan Eresta. Rumi sudah tidak tahan mendengar ocehannya yang sering menyengat hati. Tak peduli dengan seruan protes chef sombong ini, Rumi memaksanya ikut ke ruangan manager.

"Silahkan duduk," ucap Rumi setelah mengunci pintu. Tindakan antisipasi agar Chef keras kepala ini tidak kabur.

Eresta memilih tetap berdiri. Angkuh dia melipat kedua tangan di depan dada dan sedikit menaikkan dagu.

"Baiklah, terserah Anda." Rumi duduk di kursinya. "Jelaskan mengapa bisa ada menu baru hari ini tanpa sepengetahuan saya?"

Berbasa-basi dengan Eresta adalah hal percuma. Rumi sudah pernah melakukannya. Hanya akan menghasilkan percakapan panjang yang tidak bermutu dan menghabiskan waktu.

"Merombak menu adalah hak saya." Eresta tidak menunjukkan celah merasa bersalah.

Dia sadar tidak profesional dalam bekerja. Menyusahkan hidup Rumi merupakan tujuannya.

    "Mengetahui resep baru sebelum tercantum di buku menu adalah tugas saya," balas Rumi.

Eresta mendengus. "Menu adalah bagian saya. Itu wilayah dapur."

"Sebuah resep baru bisa masuk ke dalam buku menu atau tidak tetap harus ada diskusi terlebih dahulu. Restoran ini bukan milik Anda. Anda hanyalah seorang Kepala Koki restoran, dan saya Managernya. Jika menu baru ini menghasilkan masalah, maka saya yang terlebih dahulu diadili Pemilik restoran ini ... bukan Anda."

Eresta mendecih. "Anda hanya Manager, bukan Pemilik. Pemilik restoran sudah setuju dengan itu, lalu masalahnya dimana?"

Rumi terkejut tentu saja, tapi yang tampak hanya ekspresi dingin dengan mata tajam menyorot. Dia tahu sekarang siapa yang harus bertanggung jawab atas kemarahannya ini.

Bangun dari duduk, dia berjalan menuju pintu dan membuka kunci. "Anda boleh pergi."

Mengibaskan rambut secara menyebalkan Eresta melangkah ke luar ruangan. Dia sengaja berhenti sebentar di depan Rumi. Secara slow motion menoleh, menghadiahkan sebuah senyum sinis meremehkan sebelum lanjut melangkah menuju dapur. ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status