Share

Empat

Author: Ana_miauw
last update Last Updated: 2025-01-14 11:12:41

Kembali ke tempat kerja.

Tak Rangga sangka, ternyata hari ini Ratu sudah bisa kembali bekerja. Gadis itu datang bersama Sabila.

“Nah, tuh, udah balik kerja lagi Si Ratu,” ujar Putra pada Rangga, “dicariin tuh, sama Yayang, Ra. Kangen katanya.”

Ratu terkekeh. “Resek lo!”

“Udah sembuh, Ra? Katanya lagi kurang fit?” tanya pria itu lagi.

“Cuma meriang doang, kok.”

“Meriang, merindukan kasih sayang.”

“Lo kali tuh, yang begitu.”

“Udah jadian ya kalian? Kok, makin lengket aja kelihatannya. Kemaren gue lihat kalian di Extraindo,” sahut Adisty membuat semua memusatkan pandangannya pada kedua orang tersebut.

“Oh, udah pada ketemuan ternyata lo berdua? Ngomong donk, jangan diem bae, heeuuu, dasar playboy cap kampak,” Putra menimpali.

“Apaan sih? Bukan urusan lo, berisik aja!” Rangga jadi sewot. Dia juga menjelaskan, ia hanya mengantar Ratu membeli buah, itu saja.

Jam kerja di mulai, semua mulai menyalakan layarnya. Sesekali Rangga melirik Ratu yang saat ini tengah fokus sendiri. Dia mengirim pesan.

Blokir nomornya sudah terbuka kemarin, Rangga yang diam-diam membukanya di HP Ratu tanpa gadis itu sadari. Jadi dalam hitungan detik, chat itu sudah terkirim.

Rangga: gue beliin lo sarapan tadi pagi. Udah dimakan?

Terdengar HP Ratu berdering. Gadis itu membukanya dan tampak terkejut kenapa ini bisa terjadi.

Ratu: kapan lo pegang hape gue? Kok, Tiba-tiba udah kebuka aja blokirnya?

Rangga: ada lah.

Rangga: lo belum jawab pertanyaan gue tadi.

Ratu: udah masuk perut, tapi dikeluarin lagi.

Rangga menoleh. Pandangan mereka bertemu. Bibir Rangga terbuka, dia menggumamkan kata maaf.

Rangga: lo mau apa biar gue beliin lagi?

Ratu: nggak usah. Lagi nggak bisa diajak kompromi perut gue. Ntar agak siangan aja gue mau makan buah.

Rangga: nanas yang kemarin?

Ratu: nggak ngefek!

Rangga:ngue bilang juga apa, dia masih pengen hidup.

Ratu: bodo amat!

Rangga: ada yang mau gue omongin.

Ratu: apa?

Rangga: gue udah bilang ke nyokap gue soal kita. Maksudnya keadaan lo.

Kedua bola mata Ratu seketika membeliak. Balasan Ratu selanjutnya terkirim ke nomor Rangga dengan sangat cepat tak peduli banyaknya typo yang bertebaran.

Ratu: lp udsh gils ya?!

Gadis itu kesal, karena dengan tahunya wanita tua itu maka sudah dapat dipastikan, dia tidak akan bisa melakukan rencana lainnya untuk menghilangkan anak ini.

Rangga: gue nggak gila, gue Cuma nggak mau nyokap gue malah lebih dulu tahu dari orang lain.

Ratu tak membalas lagi. Namun dari raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia sangat jengkel.

Tanpa keduanya ketahui, jam istirahat siang kali ini digunakan teman-teman satu timnya yang ada di lantai tujuh itu membicarakan mereka.

Semua mengakui kedekatan Ratu dan Rangga yang sudah pasti memiliki sebuah hubungan. Sayang, tidak ada yang bisa menentukannya secara pasti.

Sebab dari Rangga atau Ratu sendiri, keduanya tak ada yang mau mengakuinya. Mereka selalu bilang mereka Cuma teman.

“Mungkin nggak sih, kalau mereka cuma HTS? Makanya nggak ada yang berani konfirmasi?” kata Sabila.

“Nggak tau. Tapi kalau emang bener keduanya ada hubungan, ini udah melanggar kode etik, sih. Itu udah aturannya kan, dari dulu?”

“Iya, bisa mengurangi profesionalitas kerja. Nggak mungkin enggak.”

Yang lain mengangguk setuju.

“Padahal udah berapa kali gue denger Ratu bilang kalau dia itu nggak percaya sama yang namanya cinta. Makanya dia udah niat mau melajang seumur hidup sampai childfree, tapi kalau kayak gini, apa donk, bahasanya?”

“Lajang seumur hidup mungkin emang bisa, Guys. Tapi kebutuhan sesk emangnya bisa ya kalau kita ngomong enggak? Ya, kalian tau lah, kalau yang satu itu kan kebutuhan primer setiap orang.”

“Bener juga sih. Apalagi tau sendiri kan, Si Rangga itu playboy. Cewek mana yang nggak dicobain? Bukan nggak mungkin Ratu juga kecantol, apalagi mereka kan gini banget.” Sabila menggambarkan dengan kedua tangannya, bahwa keduanya sangat dekat, bahkan tak terpisahkan.

Teman-temannya tertawa, “Tapi guys, biasanya sih, biasanya—yang ngomong begitu paling lantang, secara nggak sadar ke depannya dia akan kemakan sama omongannya sendiri.”

“Apa jangan-jangan, karena ini, Ratu nutupin statusnya?”

“Ah, nggak taulah. Kita do’akan aja yang terbaik. Moga kalaupun mereka jadian, nggak panjang urusannya. Mau dipindah ya pindahlah.”

“Plis, asal jangan Rangga. Gue nggak rela. Dia yang paling bisa diandelin daripada Ratu. Soalnya Ratu kan cewek ya, dia agak terbatas kalau kita butuh bantuan apa-apa.”

“Nggak keduanya. Mereka sama-sama hebat, kok.”

Pembicaraan diakhiri. Kembali pada Rangga dan Ratu yang sedang berada di kantin untuk makan siang.

“Aku mau kopi, Ngga,” pinta Ratu saat mencium aroma kopi yang menguar dari milik orang lain. Sepertinya itu sangat enak.

“Ya nggak bolehlah,” larang Rangga.

“Ngga, plis.” Harus dengan cara apa ya, Ratu memohon agar Rangga tergerak untuk membelikannya?

“Cicip punyaku aja dikit.”

Ratu berdecak. Kedua matanya tajam melirik pria itu yang kini mulai posesif dengannya. Menyebalkan!

“Jadi, kapan lo mau jujur juga sama Bokap lo?”

“Nggak akan! Gue mau kabur aja.”

“Emangnya lo mau kabur ke mana?” tanya Rangga dengan sabar, “dikira gampang apa, kabur dalam keadaan lo yang begitu?”

“Jangan bahas itu dulu ngapa sih, Ngga? Lo bikin nafsu makan gue menghilang tau nggak?!”

“Ok, ok. Makan aja dulu. Silakan!”

Namun setelah beberapa menit terdiam, Ratu kembali berkomentar, “Kok, lo diem aja sih?”

“Terus maumu apa, Raaaa?? Berisik salah, diem juga salah.”

Ratu cemberut. Suasana hatinya sedang sangat tidak baik sekarang. Dia saja bingung dengan dirinya sendiri saat ini yang gampang sekali berubah, apalagi orang lain?

Ratu mendorong piring makannya ke tengah. Masih ada sisa di sana sehingga Rangga kembali bertanya, “Kenapa lagi?”

“Udah kenyang.”

“Setengah pun belum lo habisin. Ayo, tambah lagi.”

“Nggak!”

“Ra?”

“Gue nggak mau ya nggak mau! Nggak ngerti orang lagi ... ini, ya?” Ratu memelankan suaranya di akhir kalimat.

“Atau lo mau ayam bakar gue nih, kalau lo mau. Ambillah!”

Awalnya, Ratu tak mau menerimanya. Namun melihat betapa lahap cara Rangga makan membuat nafsu makannya kembali meningkat. Sampai dia berhasil menghabiskan nasinya di piring tersebut.

Ketika jam kerja berakhir, Rangga mengekori Ratu. Dia menawarkan tumpangan sebelum Ratu benar-benar memesan taksi online.

“Naik motor gue aja, sekalian kita ke rumah Ibu.”

“Ngapain? Ihh, enggak, deh, Ngga! Enggak!”

“Plis, Ra. Kita perlu ngomong sama ibu, minta saran ke beliau gimana ke depannya. Kita nggak bisa kayak gini terus, mau sampai kapan?”

“Nyokap lo masih marah, mana mungkin bisa kita ajak bicara?”

“Marahnya nyokap gue nggak semengerikan nyokap lo, yang kata lo, nggak bisa ngejaga kata-katanya!”

“Gue takut...”

“Gue nggak akan ninggalin lo.”

Ratu masih ragu-ragu, tapi Rangga terus berusaha meyakinkannya. Akhirnya, Ratu setuju untuk naik motor Rangga menuju rumah ibunya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Empat Puluh

    “Bu, udah nyampe mana?” “Ini udah di depan,” jawab ibunya terdengar mempercepat langkah. “Ratu ada keluar air. Air apa itu, Bu?” “Air apa? Air ketuban?” jawab ibunya segera. “Ketuban katanya, Ra?” Rangga menatap istrinya yang sekarang sedang nampak kesakitan sembari mengatur napasnya. Rangga memasukkan ponselnya ke dalam kantong, begitu melihat ibunya memasuki kamar. “Nak?” panggil wanita itu pada sang menantu yang masih duduk lemas di atas klosetnya. Suaranya memang terdengar tenang seperti biasa. Tapi raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa beliau juga sama paniknya seperti Rangga. “Mules banget, Bu, sampai mual. Tapi kadang muncul kadang ilang,” tutur gadis itu. “Iya itu namanya kontraksi. Ngga, ayo bantu pindahkan istrimu.” Keduanya membantu Ratu keluar dari dalam kamar mandi. “Tapi aku mau mual lagi,” keluhnya memi

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Sembilan

    Akhir bulan yang sibuk. Begitu yang kerap kali dialami oleh para budak korporat menjelang penutupan bulan. Sebab selain banyaknya proyek yang mendekati deadline, mendadak banyak jadwal rapat yang padat. Koordinasi dengan tim menjadi lebih intensif, semua orang berusaha bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas yang tertunda. Di tengah kesibukan itu, ada hal-hal yang sering kali terabaikan di rumah. Salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah Ratu, yang kini sedang menjalani kehamilan di trimester ketiga. Perubahan fisik dan emosional yang dialaminya membuatnya lebih sensitif dan lebih banyak menuntut perhatian. Hari ini saja, sudah tiga kali Ratu menelepon. Belakangan, sifat manjanya bertambah, dan keinginannya yang terkadang aneh-aneh membuat Rangga tertegun. Senjatanya adalah anak yang ada di dalam kandungannya itu. Katanya, ini bukan kemauannya, melainkan kemauan

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Delapan

    Masih berada di pusat perbelanjaan yang ada di daerah Jakarta bagian timur.Ratu menunggu dengan gelisah suaminya yang katanya tengah menjemput, namun tak kunjung sampai.Ratu takut kalau-kalau Ibrahim keburu turun dan mendapatinya ternyata berada di sini, bukan di toilet seperti yang dia katakan. Ia malas saja berurusan dengan pria itu apalagi terlibat obrolan atau basa-basi dengannya.“Udah nyampe mana, Ngga?” Ratu menelepon.Dan untungnya, Rangga menjawab, “Udah di dekat lobby, nih.”Alhamdulillah....“Ok, aku keluar sekarang!” Ratu melangkah cepat ke arah lobby dan berharap bisa segera bertemu Rangga.Hingga tak lama kemudian, dia melihat sosok pria mengenakan motor matic dengan helm hitam mendekatinya.“Papa masih di atas, tinggal aja lah, ya,” ujar Ratu setelah mereka tak lagi berjarak.“Ini, nih, akibat kalau seorang istri pergi tanpa izin suami,” cibir Rangga.“Emang aku perginya sama s

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Tujuh

    Perasaan Rangga campur aduk saat memasuki ruangan Ibu Rika. Dia tahu Ibu Rika cukup ramah dan mudah diajak bicara—tidak seperti HRD-HRD lainnya yang pernah dia dengar, tapi Ibu Rika juga bisa sangat tegas dan kritis sewaktu-waktu. Jadi, saat Rangga harus menghadapinya ketika sedang ada sederet masalah serius di dalam timnya, rasa takut itu tetap muncul.“Permisi, Bu.”“Masuk, Ngga!” serunya dari dalam.Hingga ketika Rangga membuka pintu, senyuman ceria wanita yang duduk di balik meja besar itu langsung menyambutnya. “Selamat siang calon papa baru!” ujarnya membuat Rangga bisa merasa sedikit lebih lega.Karena berarti, panggilannya ini bukan sebuah masalah yang serius.“Ah, iya, terima kasih, Bu.” Rangga duduk di kursi yang disediakan.“Viral ya, kemarin?” tanya Bu Rika.Rangga sempat nge-lag sesaat sebelum kemudian dia mengerti, ke mana arah pembicaraan wanita itu, yang tentu saja mengenai viralnya dirinya saat ngojol dan berkasus dengan seorang perempuan gila.“Hah? Oh, i-iya, Bu.”“

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Enam

    Seperti yang telah direncanakan kemarin, hari ini—tepatnya sore setelah Rangga pulang dari kantornya, pria itu menjemput istrinya untuk melakukan pemeriksaan USG.“Pakai mobil aja, Mas. Jangan pakai motor,” ujar papa mertuanya begitu dia tiba di depan rumah.Sementara Ratu sendiri sudah siap berangkat dan menunggunya di depan sana. Tapi roman-romannya dia kecewa setelah mendengar saran yang lebih terdengar seperti perintah dari papanya itu. Dilihat dari wajahnya yang kini cemberut.“Padahal aku pengennya pakai motor.”Nah, kan!Terdengar suara protesnya.“Polusi,” Papanya membalas.Rangga pun tidak punya kesempatan untuk membantah, karena saat ini lelaki itu melempar kunci mobilnya kepadanya.Ya, sudahlah. Toh, lebih aman seperti ini. Lagipula, manut dengan orang tua kan lebih enak.Namun di dalam mobil, sepertinya Rangga harus sabar-sabar mendengar gadis itu menggerutu.Katanya dia punya keinginan untuk langsung jalan-jalan malam ini sepulang mereka dari RS. Naik motor seperti muda-m

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Lima

    “Di suspend?”ulang Ibu Ratih, saat Rangga menuturkan alasan ketidakhadirannya ke kantor hariini. Sebab alih-alih bekerja, ia malah pergi ke Kemang guna untuk melakukan banding.“Di suspend itu dipecat kah?” lanjut beliau, menggunakan istilah yang paling dia mengerti.“Nggak, Bu. Suspend itu bukan putus mitra, tapi dibekukanakunnya. Jadi aku belum bisa jadi kurir atau driver lagi untuk sementara,” jelas Rangga tenang. Berusaha meredakan kekhawatiran ibunya.“Penyebabnya?” kata beliau lagi agar Rangga bisa menjelaskannya lebih lanjut.“Gini...” Rangga mulai menjelaskan semuanya dengan rinci, menggambarkan situasi semalam yang membuatnya terjebak ke dalam masalah ini.Barulah setelah selesai, Ibu Ratih menyimpulkan. “Padahal salahnya bukan di kamu ya, Ngga.”“Itulah. Yang kuheran. Padahal emang orangnya aja yang agak-agak.” ,“Udah gitu dengan pedenya di upload ke sosmed lagi,” sahut Ratu.“Banyak yang nonton, Nak?

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status