Share

Lima

Author: Ana_miauw
last update Last Updated: 2025-01-14 11:12:57

“Ngga, takut, Ngga...” ujar Ratu begitu mereka sampai di rumah Rangga.

“Nggak ada yang perlu ditakutin, nyokap gue bukan setan,” balas pria itu, “assalamu'alaikum, Bu!”

Agak lama keheningan terjadi sebelum akhirnya beliau menjawab salam keduanya dengan suara lirih, “Waalaikumsalam.”

Wanita itu keluar dari ruang tengah yang hanya ditutup dengan tirai gorden. Masih dengan memakai mukena, itu sebabnya beliau cukup lama menjawab salam.

Raut wajahnya menunjukkan kehangatan, namun tak dipungkiri, ada kesedihan yang tersimpan dibalik tatapannya.

“Maaf, Bu. Kita ganggu, ya,” ujar Ratu mencium punggung tangan beliau.

“Nggak... udah selesai kok, solatnya. Ngga buatin minum buat Ratu, Ngga. Jangan teh, jus saja. Ibu punya alpukat di kulkas.” Usai berbicara dengan sang anak, Ibu Ratih kembali pada Ratu. “Duduk, Nak. Mau makan apa biar Ibu buatkan.”

“Jangan repot-repot, Bu. Aku masih kenyang, kok.” Ratu memaksakan senyumnya.

Ratu duduk. Ditemani Bu Ratih di sampingnya. Kecanggungan jelas terasa karena adanya permasalahan yang sama-sama mereka ketahui.

Dari yang sebelumnya sangat baik, menjadi seperti ini hanya gara-gara kesalahan itu.

Dan Ratu pikir, wanita itu akan menjauhinya karena masalah ini. Tapi ternyata, dia merasakan hangatnya genggaman Bu Ratih di tangannya.

“Rangga udah cerita ke Ibu tadi pagi,” ujarnya pelan, wajahnya yang sayu itu berkaca-kaca.

Ratu jadi ikut sedih dibuatnya. Lihatlah, betapa aib itu sangat menghancurkan.

“Maafin anak ibu, ya, Nak. Sudah bikin Ratu jadi begini,” lanjut beliau lagi dengan suara lebih pelan dan sungguh-sungguh menunjukkan penyesalan.

Ratu mendadak kelu. Karena kesalahan ini tak hanya dibuat oleh Rangga sendiri, tapi juga dirinya yang terlalu bodoh dan terperdaya dengan senyuhan Rangga.

Harusnya, dialah yang meminta maaf. Seharusnya.

Karena biarpun dia menanggung malu, tapi sebenarnya ada seorang wanita yang lebih tersakiti dibanding dirinya sendiri.

Dia adalah orang tua-orang tua yang kelak dianggap gagal mendidik anaknya sebab karena hal tersebut--sebuah stigma sosial yang sangat menyakitkan bagi seorang ibu jika anaknya membuat suatu kesalahan. Karena kebodohannya sendiri.

Seandainya mereka bisa berpikir panjang saat itu, pasti kejadiannya tak akan seperti ini.

“Sudah berapa usianya?” meski sudah tahu kebenarannya melalui bukti pemeriksaan, tapi Bu Ratih tetap menanyakannya. Beliau ingin mendengarnya dari mulut Ratu langsung.

“Udah delapan minggu per hari ini,” jawab Ratu.

“Dijaga baik-baik, ya. Jangan sampai melakukan hal-hal yang dilarang. Manusia memang tempatnya salah, tapi manusia yang baik itu, mereka yang mau mengakui dan memperbaiki kesalahannya,” nasihatnya bijak.

“Aku takut, Bu. Malu juga sama teman-teman...” lirih Ratu akhirnya ikut menitikkan air mata.

Ibu Ratih mengusap-usap tangannya. Beliau berkata bahwa ia mengerti dan memahami apa yang sedang menjadi kesusahannya saat ini. Tapi apalah daya, hanya sabar yang bisa mereka tekankan dalam setiap kelemahan.

“Rangga akan bertanggung jawab, Nak. Dia yang akan melindungimu atas kesalahan ini.”

Lagi-lagi Ratu hanya bisa terdiam. Dia takut mengatakan rasa traumanya yang disebabkan oleh keegoisan orang tua.

Harus bagaimana ini? Ratu kebingungan.

Rangga keluar setelah pembicaraan keduanya terjeda. Dia sengaja berlama-lama di dalam agar tak menganggu pembicaraan kedua wanita itu.

“Ini jusnya, Ra.”

***/

“Tadi cerita apa aja?” tanya Rangga saat dia mengantarkan gadis itu pulang.

“Sama kayak kata lo. Beliau minta kita nikah.”

“Trus jawaban lo?”

“Gue nggak jawab. Lo aja deh, yang jelasin.”

“Kenapa?”

“Pakai nanya lagi!” Ratu jadi ngegas.

Tidak butuh lama mereka sampai di rumah Ratu, karena memang sangat dekat dan masih satu kompleks.

“Eh, kok, gerbang nggak dikunci ya, Ngga? Apa Papa pulang?”

Rangga mengedikkan bahu.

Namun pria itu ikut turun, sehingga Ratu yang bingung pun segera bertanya, “Lo ngapain ikut turun segala?”

“Ya mau ketemu sama nyokap lo, lah!” jawab Rangga.

“Ngapain? Lo nggak punya kepentingan buat ketemu sama bokap gue ya?!” Ratu sangat panik, ia memikirkan kemungkinan terburuk dari pertemuan mereka kali ini. Sebab bisa saja, Rangga akan mengatakan semuanya sekarang juga tanpa persetujuan darinya.

“Emangnya kenapa? Nggak boleh? Hubungan kami sebelumnya baik, jadi nggak ada salahnya kan kalau kami saling tegur sapa setelah lama nggak ketemu.”

“Ya ngapain basa basi sama bokap gue? Ngapain?! Nggak ada gunanya juga buat apa?!”

Baru saja Ratu selesai bicara, lelaki itu sudah lebih dulu keluar dan menghampiri mereka.

“Om?” sapa Rangga tersenyum. “Lagi di rumah, Om? Gimana kabarnya?”

Ratu memutar bola mata. Terlambat sudah untuk memaksa Rangga pulang kalau sudah seperti ini kejadiannya. Sebab sudah pasti sang ayah akan mengajaknya masuk.

“Ya, Mas. Alhamdulillah baik,” balas Bandi tersenyum. “Diajak masuk toh, Nak, Mas Rangganya. Bukan malah diajak berantem. Maaf ya, Mas.”

Nah, kan? Apa kataku tadi!

“Pulang, Ngga!” Ratu malah semakin menunjukkan ketidaksukaannya secara jelas. Nada suaranya penuh penekanan agar Rangga mengerti betapa tidak nyaman situasi ini baginya.

“Nak, jangan begitu lah. Udah dianterin pulang harusnya berterima kasih, diajak masuk, bukan malah diusir,” nasihat beliau, “maaf ya, Mas. Yuk, mampir dulu.”

“Iya, Om. Kebetulan, saya juga mau ada yang diomongin.”

“Oh iya? Ya sudah, ayo! Duduk-duduk sambil cobain kopi baru. Om dapat dari luar kota kemarin, enak sekali,” anaknya antusias.

Ratu berdecak. Menjejakkan kakinya ke tanah dengan kesal sebelum akhirnya dia masuk terlebih dahulu.

Awas aja ya kalau lo sampai ngomong!

“Kenapa? Ada apa sama Ratu? Kok, kesal dia kelihatannya? Ngambekan ya?” tanya beliau ketika mereka duduk.

“Yah, begitulah, Om,” jawab Rangga mencoba menjelaskan situasi tanpa membuatnya semakin rumit.

“Maafin anak Om ya, Mas. Ya, dia emang begitu, sumbu pendek. Jadi harus sabar-sabar kalau berhadapan sama dia. Makanya nggak pernah punya pacar kan dia?” Pak Bandi terkekeh. “Tapi biarpun galak, putri Om itu sebenarnya baik, kok. Hatinya gampang tersentuh. Mas pasti taulah, kalian kan sudah berteman sejak kecil.”

“Bener, Om. Cuma casingnya aja yang galak, aslinya hello kitty,” Rangga menyetujui.

Bandi tertawa kecil, sampai kemudian lelaki itu teringat, “Eh, jadi lupa, Mas. Tunggu sebentar, ya, Om buatkan dulu kopinya.”

Papa dari Ratu itu berlalu ke dalam, sebelum beliau kembali dengan membawa dua gelas kopi yang berasap dan mengeluarkan aroma yang sangat harum dan menggoda penikmat kopi sepertinya.

“Nggak usah repot-repot harusnya, Om. Saya juga udah ngopi di kantor tadi.” Rangga merasa tidak enak.

“Tapi yang ini belum cobain kan? Tenang aja, aman kok, di lambung.”

“Makasih, Om.”

“Santai aja, Mas. Kayak sama siapa. Kita kan udah biasa ngobrol begini.”

Kalau sudah tau yang sebenarnya, apakah sikap Om masih sama? Batin Rangga dalam ketegangan ini.

“Ibumu gimana? Sehat-sehat kan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Empat Puluh

    “Bu, udah nyampe mana?” “Ini udah di depan,” jawab ibunya terdengar mempercepat langkah. “Ratu ada keluar air. Air apa itu, Bu?” “Air apa? Air ketuban?” jawab ibunya segera. “Ketuban katanya, Ra?” Rangga menatap istrinya yang sekarang sedang nampak kesakitan sembari mengatur napasnya. Rangga memasukkan ponselnya ke dalam kantong, begitu melihat ibunya memasuki kamar. “Nak?” panggil wanita itu pada sang menantu yang masih duduk lemas di atas klosetnya. Suaranya memang terdengar tenang seperti biasa. Tapi raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa beliau juga sama paniknya seperti Rangga. “Mules banget, Bu, sampai mual. Tapi kadang muncul kadang ilang,” tutur gadis itu. “Iya itu namanya kontraksi. Ngga, ayo bantu pindahkan istrimu.” Keduanya membantu Ratu keluar dari dalam kamar mandi. “Tapi aku mau mual lagi,” keluhnya memi

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Sembilan

    Akhir bulan yang sibuk. Begitu yang kerap kali dialami oleh para budak korporat menjelang penutupan bulan. Sebab selain banyaknya proyek yang mendekati deadline, mendadak banyak jadwal rapat yang padat. Koordinasi dengan tim menjadi lebih intensif, semua orang berusaha bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas yang tertunda. Di tengah kesibukan itu, ada hal-hal yang sering kali terabaikan di rumah. Salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah Ratu, yang kini sedang menjalani kehamilan di trimester ketiga. Perubahan fisik dan emosional yang dialaminya membuatnya lebih sensitif dan lebih banyak menuntut perhatian. Hari ini saja, sudah tiga kali Ratu menelepon. Belakangan, sifat manjanya bertambah, dan keinginannya yang terkadang aneh-aneh membuat Rangga tertegun. Senjatanya adalah anak yang ada di dalam kandungannya itu. Katanya, ini bukan kemauannya, melainkan kemauan

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Delapan

    Masih berada di pusat perbelanjaan yang ada di daerah Jakarta bagian timur.Ratu menunggu dengan gelisah suaminya yang katanya tengah menjemput, namun tak kunjung sampai.Ratu takut kalau-kalau Ibrahim keburu turun dan mendapatinya ternyata berada di sini, bukan di toilet seperti yang dia katakan. Ia malas saja berurusan dengan pria itu apalagi terlibat obrolan atau basa-basi dengannya.“Udah nyampe mana, Ngga?” Ratu menelepon.Dan untungnya, Rangga menjawab, “Udah di dekat lobby, nih.”Alhamdulillah....“Ok, aku keluar sekarang!” Ratu melangkah cepat ke arah lobby dan berharap bisa segera bertemu Rangga.Hingga tak lama kemudian, dia melihat sosok pria mengenakan motor matic dengan helm hitam mendekatinya.“Papa masih di atas, tinggal aja lah, ya,” ujar Ratu setelah mereka tak lagi berjarak.“Ini, nih, akibat kalau seorang istri pergi tanpa izin suami,” cibir Rangga.“Emang aku perginya sama s

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Tujuh

    Perasaan Rangga campur aduk saat memasuki ruangan Ibu Rika. Dia tahu Ibu Rika cukup ramah dan mudah diajak bicara—tidak seperti HRD-HRD lainnya yang pernah dia dengar, tapi Ibu Rika juga bisa sangat tegas dan kritis sewaktu-waktu. Jadi, saat Rangga harus menghadapinya ketika sedang ada sederet masalah serius di dalam timnya, rasa takut itu tetap muncul.“Permisi, Bu.”“Masuk, Ngga!” serunya dari dalam.Hingga ketika Rangga membuka pintu, senyuman ceria wanita yang duduk di balik meja besar itu langsung menyambutnya. “Selamat siang calon papa baru!” ujarnya membuat Rangga bisa merasa sedikit lebih lega.Karena berarti, panggilannya ini bukan sebuah masalah yang serius.“Ah, iya, terima kasih, Bu.” Rangga duduk di kursi yang disediakan.“Viral ya, kemarin?” tanya Bu Rika.Rangga sempat nge-lag sesaat sebelum kemudian dia mengerti, ke mana arah pembicaraan wanita itu, yang tentu saja mengenai viralnya dirinya saat ngojol dan berkasus dengan seorang perempuan gila.“Hah? Oh, i-iya, Bu.”“

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Enam

    Seperti yang telah direncanakan kemarin, hari ini—tepatnya sore setelah Rangga pulang dari kantornya, pria itu menjemput istrinya untuk melakukan pemeriksaan USG.“Pakai mobil aja, Mas. Jangan pakai motor,” ujar papa mertuanya begitu dia tiba di depan rumah.Sementara Ratu sendiri sudah siap berangkat dan menunggunya di depan sana. Tapi roman-romannya dia kecewa setelah mendengar saran yang lebih terdengar seperti perintah dari papanya itu. Dilihat dari wajahnya yang kini cemberut.“Padahal aku pengennya pakai motor.”Nah, kan!Terdengar suara protesnya.“Polusi,” Papanya membalas.Rangga pun tidak punya kesempatan untuk membantah, karena saat ini lelaki itu melempar kunci mobilnya kepadanya.Ya, sudahlah. Toh, lebih aman seperti ini. Lagipula, manut dengan orang tua kan lebih enak.Namun di dalam mobil, sepertinya Rangga harus sabar-sabar mendengar gadis itu menggerutu.Katanya dia punya keinginan untuk langsung jalan-jalan malam ini sepulang mereka dari RS. Naik motor seperti muda-m

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Lima

    “Di suspend?”ulang Ibu Ratih, saat Rangga menuturkan alasan ketidakhadirannya ke kantor hariini. Sebab alih-alih bekerja, ia malah pergi ke Kemang guna untuk melakukan banding.“Di suspend itu dipecat kah?” lanjut beliau, menggunakan istilah yang paling dia mengerti.“Nggak, Bu. Suspend itu bukan putus mitra, tapi dibekukanakunnya. Jadi aku belum bisa jadi kurir atau driver lagi untuk sementara,” jelas Rangga tenang. Berusaha meredakan kekhawatiran ibunya.“Penyebabnya?” kata beliau lagi agar Rangga bisa menjelaskannya lebih lanjut.“Gini...” Rangga mulai menjelaskan semuanya dengan rinci, menggambarkan situasi semalam yang membuatnya terjebak ke dalam masalah ini.Barulah setelah selesai, Ibu Ratih menyimpulkan. “Padahal salahnya bukan di kamu ya, Ngga.”“Itulah. Yang kuheran. Padahal emang orangnya aja yang agak-agak.” ,“Udah gitu dengan pedenya di upload ke sosmed lagi,” sahut Ratu.“Banyak yang nonton, Nak?

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status