Share

Enam

Author: Ana_miauw
last update Last Updated: 2025-02-20 10:04:28

“Alhamdulillah sehat, Om,” jawab Rangga.

“Masih jualan nasi uduk?”

“Masih, Om. Tapi kalau lagi sehat aja. Udah nggak terlalu memaksakan lagi.”

“Wahh, sayang banget, ya. Padahal enak banget lho, nasi uduknya. Om pernah coba kan sama teman Om waktu itu di perempatan. Kata teman Om, nasi uduk ibumu yang paling beda. Gurih. Nggak bikin bosan biar kita makannya banyak.”

“Ya, mau gimana lagi, Om. Udah faktor usia.”

“Udah berapa sih, usia ibumu?”

“Agak lupa sih, Om. Tapi yang jelas lebih dari lima puluhan. Soalnya, almarhumah Mbak saya juga usianya udah tiga puluh lebih sekarang.”

“Oh, iya iya.” Pak Bandi menyeruput kopinya terlebih dahulu. Pun sama dengan yang Rangga lakukan sehingga beliau bertanya, “Gimana? Beda kan, rasanya?”

“Iya, Om. Kopi mana ini?”

“Kopinya orang Cisadon, Mas. Asli. Tau Desa Cisadon nggak?”

“Waduh, baru dengar itu, Om. Daerah mana ya itu?”

“Sentul, tau tidak? Masih kabupaten Bogor sih, Jawa barat. Kapan-kapan deh, Om ajak ke sana sambil motoran.”

Sementara itu, di sebuah kamar, ada Ratu yang sedang bolak-balik memikirkan sebuah cara agar Rangga cepat pulang sebelum dia mengatakannya. Dia tengah memasang telinganya baik-baik, agar tak ada pembicaraan yang dia lewatkan.

Duhh, gimana caranya ya?

“Oh, iya. Tadi bukannya Mas bilang ada yang mau dibicarakan? Ada apa nih, Mas? Menyangkut Ratu?” lanjut Pak Bandi membuat Ratu semakin panik lagi.

“Eum, iya, Om.” Suara Rangga jelas terdengar gugup.

Detik itu juga, Ratu pun keluar setelah menyambar ponselnya dengan cepat. Dia berpura-pura telepon di hadapan kedua laki-laki itu. Mimik wajahnya, dibuat sangat meyakinkan.

“Iya, Bu? Iya, ini, Rangga ada di sini. Oh, Ya Allah, Bu. Kok, bisa?! Iya, Bu, iya. Segera Ratu sampaikan ke anaknya. Ngga, Ibumu jatuh katanya, Ngga!”

“Ra, lo jangan coba-coba bohongin gue, ya!” Rangga tak percaya.

“Ihh, serius, makanya buka donk, HP lo, jangan ngobrol terus!”

“Ra, nggak lucu bercandaan kek gini!”

“Daripada lo nyalahin gue, buang-buang waktu, mending lo liat sendiri deh, ibu di rumah.”

Rangga pun gegas beranjak dari duduknya dan berpamitan secara tergesa. Lalu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.

“Apa Papa perlu ke sana, Ra?” tanya Pak Bandi.

“Ya, kalau Papa mau. Kalau nggak mau ya nggak usah.” Ratu acuh tak acuh.

“Coba Ratu hubungi Mas Rangga atau tetangga dekatnya itu, cari tau kenapa ibunya bisa sampai jatuh, jatuhnya di mana, kenapa bisa sampai seperti itu, dan sekarang di bawa ke rumah sakit mana.”

“Bisa nanti dulu nggak sih, Pa? Masih capek..."

“Tumben Ratu nggak antusias, yang jatuh itu teman Ratu, lho.”

“Males, ah!”

“Ratu bohongin Papa sama Rangga, ya? Padahal tadi Mas Rangga mau ngomong sesuatu sama Papa dan kelihatannya penting.”

“Pa, Ratu ke kamar dulu, ya, capek banget hari ini. Pegal semua badan Ratu. Oh, iya, kasih Ratu uang jajan ya, Pa. Udah berapa lama, ya, Papa nggak kasih Ratu nafkah. Bisa mati lho, Pa, anakmu ini kalau nggak kerja.”

“Kenapa nggak kasih tau Papa kalau uang jajanmu habis?”

“Ya, logika aja kalau pergi berbulan-bulan nggak pernah kasih uang. Aneh banget Papa ini.”

“Papa mana tahu, biasanya mamamu yang ngatur semuanya.”

“Anggap aja papa makan sehari berapa kali, Pa. Dikalikan sebulan, atau seberapa lama kira-kira sebelum. papa kasih uang lagi. Gitu aja ketemu, kok. Dah, ya, Pa. Ratu mau masuk kamar dulu. Laper masak sendiri.”

***

"Sial!” Rangga menendang kosong.

Kesal karena merasa dibohongi. Sebab sesampainya di rumah, ia melihat ibunya baik-baik saja. Tengah melipat pakaian dan tentu saja bingung melihatnya yang panik begitu, menanyakan apakah beliau baik-baik saja.

“Nggak papa, Nak. Ibu nggak papa. Emangnya kenapa, sih?” kata beliau heran.

“Ratu bohongin aku, Bu. Kata dia, tetangga kita telepon kalau ibu habis jatuh.”

Bu Ratih menghela napas kasarnya. Tak heran dengan Ratu dan Rangga yang sifatnya masih kekanak-kanakan. Masih suka saling mengerjai dan iseng.

“Emangnya kenapa? Kok, Rangga sampai di usir secara halus begitu?”

“Itu bukan diusir secara halus, Bu. Tapi secara brutal.”

“Ya sudahlah, dimaafkan saja. Dia cuma lagi bercanda saja mungkin.”

“Nggak lucu, bikin orang jantungan aja.”

“Kapan Rangga bicara sama Papanya Ratu?”

“Itu dia, Bu. Papanya Ratu ada di rumah tadi. Makanya aku mau bicara sama beliau, tapi malah dibohongi. Padahal tadi timingnya sepertinya pas.”

Bu Ratih menghentikan aktivitasnya melipat pakaian agar dia bisa berbicara lebih serius.

“Rangga bisa kan, menghadapi Papanya Ratu sendiri?”

“Ini kesalahanku, Bu. Aku harus bertanggung jawab.”

Bu Ratih mengangguk. Beliau juga memahami bahwa Ratu mungkin masih belum siap jika papanya harus mengetahuinya sekarang.

“Papanya Ratu pasti marah banget ya, Bu, kalau beliau tau. Apalagi Mama dan kakaknya.”

“Makanya berpikir dulu sebelum bertindak, Nak. Jangan bertindak dulu baru mikir belakangan. Karena... ya, beginilah akibatnya.”

Sore itu, suasana masih tampak baik-baik saja. Dan Rangga sudah berencana akan mengatakannya besok pagi, mumpung besok ia libur bekerja.

Tapi pagi sekali, tiba-tiba saja Ratu mengabarkan kalau dirinya mengaku tak enak badan dan mengalami flek.

“Nggaaa, aku takutt...” katanya di sambungan telepon. Padahal sebelumnya Ratu telah berencana untuk meluruhkan anaknya tersebut.

Tapi begitu mengalami semacam ancaman keguguran, Ratu malah ketakutan sendiri. Aneh sekali bukan?

“Ya lo emangnya habis ngapain?” suara Rangga meninggi.

“Nggak ngapa-ngapain, semalam kan aku tidur.”

“Trus yang dimakan?”

“Gue belum makan apa-apa dari semalam, Suneo!”

“Astaga, Ratu!” kesal, Rangga pun menutup teleponnya.

Namun bukan berarti dia tak melakukan apa-apa. Rangga menginstal sebuah aplikasi kesehatan untuk berkonsultasi dengan dokter tentang masalah ini.

Dalam beberapa menit, Rangga kembali menghubungi Ratu lagi agar dia bedrest saja selama seharian ini, seperti saran dokter.

Untuk urusan makanan, Rangga juga yang menyiapkannya dan mengantarnya langsung ke rumah gadis itu.

Dari luar, Rangga menunggu Ratu yang kini berjalan dengan hati-hati menghampirinya.

“Masih flek?” tanya Rangga sambil mengulurkan makanan yang dibawanya.

“Masih, Ngga. Malah tambah banyak,” Ratu tak dapat menyembunyikan kecemasan di wajahnya. “Gimana ini? Aku beneran takut kenapa-kenapa.”

“Ya udah, lo istirahat aja, dulu. Nggak usah ngapa-ngapain dulu. Kalau bokap lo nyuruh apa, bilang aja lagi kurang enak badan.”

“Ini apa, Ngga?”

“Itu masakan ibu. Sayur asem sama tahu tempe, ikannya nila. Vitamin sama obatnya ada di situ sekalian. Udah aman kok, buat bumil.”

“Kalau sampai siang nanti masih begini juga gimana?”

“Makanya lo jangan stress. Kalau stress kondisinya malah tambah parah!”

“Gue yang ngalamin sendiri, mana bisa nggak stress?”

“Kita tunggu dulu sampai besok. Gimana perkembangannya. Yang penting lo terus kabarin kondisi lo ke gue.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Empat Puluh

    “Bu, udah nyampe mana?” “Ini udah di depan,” jawab ibunya terdengar mempercepat langkah. “Ratu ada keluar air. Air apa itu, Bu?” “Air apa? Air ketuban?” jawab ibunya segera. “Ketuban katanya, Ra?” Rangga menatap istrinya yang sekarang sedang nampak kesakitan sembari mengatur napasnya. Rangga memasukkan ponselnya ke dalam kantong, begitu melihat ibunya memasuki kamar. “Nak?” panggil wanita itu pada sang menantu yang masih duduk lemas di atas klosetnya. Suaranya memang terdengar tenang seperti biasa. Tapi raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa beliau juga sama paniknya seperti Rangga. “Mules banget, Bu, sampai mual. Tapi kadang muncul kadang ilang,” tutur gadis itu. “Iya itu namanya kontraksi. Ngga, ayo bantu pindahkan istrimu.” Keduanya membantu Ratu keluar dari dalam kamar mandi. “Tapi aku mau mual lagi,” keluhnya memi

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Sembilan

    Akhir bulan yang sibuk. Begitu yang kerap kali dialami oleh para budak korporat menjelang penutupan bulan. Sebab selain banyaknya proyek yang mendekati deadline, mendadak banyak jadwal rapat yang padat. Koordinasi dengan tim menjadi lebih intensif, semua orang berusaha bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas yang tertunda. Di tengah kesibukan itu, ada hal-hal yang sering kali terabaikan di rumah. Salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah Ratu, yang kini sedang menjalani kehamilan di trimester ketiga. Perubahan fisik dan emosional yang dialaminya membuatnya lebih sensitif dan lebih banyak menuntut perhatian. Hari ini saja, sudah tiga kali Ratu menelepon. Belakangan, sifat manjanya bertambah, dan keinginannya yang terkadang aneh-aneh membuat Rangga tertegun. Senjatanya adalah anak yang ada di dalam kandungannya itu. Katanya, ini bukan kemauannya, melainkan kemauan

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Delapan

    Masih berada di pusat perbelanjaan yang ada di daerah Jakarta bagian timur.Ratu menunggu dengan gelisah suaminya yang katanya tengah menjemput, namun tak kunjung sampai.Ratu takut kalau-kalau Ibrahim keburu turun dan mendapatinya ternyata berada di sini, bukan di toilet seperti yang dia katakan. Ia malas saja berurusan dengan pria itu apalagi terlibat obrolan atau basa-basi dengannya.“Udah nyampe mana, Ngga?” Ratu menelepon.Dan untungnya, Rangga menjawab, “Udah di dekat lobby, nih.”Alhamdulillah....“Ok, aku keluar sekarang!” Ratu melangkah cepat ke arah lobby dan berharap bisa segera bertemu Rangga.Hingga tak lama kemudian, dia melihat sosok pria mengenakan motor matic dengan helm hitam mendekatinya.“Papa masih di atas, tinggal aja lah, ya,” ujar Ratu setelah mereka tak lagi berjarak.“Ini, nih, akibat kalau seorang istri pergi tanpa izin suami,” cibir Rangga.“Emang aku perginya sama s

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Tujuh

    Perasaan Rangga campur aduk saat memasuki ruangan Ibu Rika. Dia tahu Ibu Rika cukup ramah dan mudah diajak bicara—tidak seperti HRD-HRD lainnya yang pernah dia dengar, tapi Ibu Rika juga bisa sangat tegas dan kritis sewaktu-waktu. Jadi, saat Rangga harus menghadapinya ketika sedang ada sederet masalah serius di dalam timnya, rasa takut itu tetap muncul.“Permisi, Bu.”“Masuk, Ngga!” serunya dari dalam.Hingga ketika Rangga membuka pintu, senyuman ceria wanita yang duduk di balik meja besar itu langsung menyambutnya. “Selamat siang calon papa baru!” ujarnya membuat Rangga bisa merasa sedikit lebih lega.Karena berarti, panggilannya ini bukan sebuah masalah yang serius.“Ah, iya, terima kasih, Bu.” Rangga duduk di kursi yang disediakan.“Viral ya, kemarin?” tanya Bu Rika.Rangga sempat nge-lag sesaat sebelum kemudian dia mengerti, ke mana arah pembicaraan wanita itu, yang tentu saja mengenai viralnya dirinya saat ngojol dan berkasus dengan seorang perempuan gila.“Hah? Oh, i-iya, Bu.”“

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Enam

    Seperti yang telah direncanakan kemarin, hari ini—tepatnya sore setelah Rangga pulang dari kantornya, pria itu menjemput istrinya untuk melakukan pemeriksaan USG.“Pakai mobil aja, Mas. Jangan pakai motor,” ujar papa mertuanya begitu dia tiba di depan rumah.Sementara Ratu sendiri sudah siap berangkat dan menunggunya di depan sana. Tapi roman-romannya dia kecewa setelah mendengar saran yang lebih terdengar seperti perintah dari papanya itu. Dilihat dari wajahnya yang kini cemberut.“Padahal aku pengennya pakai motor.”Nah, kan!Terdengar suara protesnya.“Polusi,” Papanya membalas.Rangga pun tidak punya kesempatan untuk membantah, karena saat ini lelaki itu melempar kunci mobilnya kepadanya.Ya, sudahlah. Toh, lebih aman seperti ini. Lagipula, manut dengan orang tua kan lebih enak.Namun di dalam mobil, sepertinya Rangga harus sabar-sabar mendengar gadis itu menggerutu.Katanya dia punya keinginan untuk langsung jalan-jalan malam ini sepulang mereka dari RS. Naik motor seperti muda-m

  • Lebih Dari Sekedar Pernikahan   Tiga Puluh Lima

    “Di suspend?”ulang Ibu Ratih, saat Rangga menuturkan alasan ketidakhadirannya ke kantor hariini. Sebab alih-alih bekerja, ia malah pergi ke Kemang guna untuk melakukan banding.“Di suspend itu dipecat kah?” lanjut beliau, menggunakan istilah yang paling dia mengerti.“Nggak, Bu. Suspend itu bukan putus mitra, tapi dibekukanakunnya. Jadi aku belum bisa jadi kurir atau driver lagi untuk sementara,” jelas Rangga tenang. Berusaha meredakan kekhawatiran ibunya.“Penyebabnya?” kata beliau lagi agar Rangga bisa menjelaskannya lebih lanjut.“Gini...” Rangga mulai menjelaskan semuanya dengan rinci, menggambarkan situasi semalam yang membuatnya terjebak ke dalam masalah ini.Barulah setelah selesai, Ibu Ratih menyimpulkan. “Padahal salahnya bukan di kamu ya, Ngga.”“Itulah. Yang kuheran. Padahal emang orangnya aja yang agak-agak.” ,“Udah gitu dengan pedenya di upload ke sosmed lagi,” sahut Ratu.“Banyak yang nonton, Nak?

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status