Share

5. Mulai bangkit

last update Last Updated: 2022-09-18 23:15:24

🍁🍁🍁🍁🍁

Two Month later

πŸ€πŸ€πŸ€

"Nduk, sini, biar Ibu saja yang bereskan jualanmu, kamu Istirahat sana!" perintah Ibuku. Ia baru saja datang menghampiriku, saat para pembeli sudah pada mulai pergi dan hanya tersisa aku di sini dengan perkakas jualan yang kotor.

Sudah hampir dua minggu ini aku berjualan nasi uduk, gado-gado serta gorengan dan membuat pondok kecil di depan rumah Ibu. Semenjak resmi bercerai dari mas Dito, aku harus berjuang sendiri mencari nafkah untuk anakku.

Karena aku hanya bisa masak, jadi kuputuskan berjualan sarapan pagi di kampung ini. Berbekal uang yang kupinjam dari Ibu sebagai modal awal jualanku.

Alhamdulillah tuhan merestui langkahku, memberikanku kemudahan dalam mencari rezeki untuk buah hatiku.

"Ndak usah, Bu. Biar Indah saja yang bereskan semua ini, Ibu pasti sudah capek ngasuh Naira dari tadi. Maaf ya, Bu. Jika Indah merepotkan Ibu terus," ucapku sambil membereskan jualanku siang ini.

Mata ini rasanya mulai memanas, andai tidak kutahan, mungkin sudah kembali lolos air mata di pipi.

Ibu tersenyum lembut dan membelai rambutku, "jangan kecil hati, Nduk! Jalan hidup setiap manusia itu beda-beda. Ibu justru senang ada kamu dan Naira di sini. Jadi ada yang temani hari tua Ibu," ucap Ibu lembut. Hati ini begitu tersentuh mendengar perkataannya.

"Habis jualanmu, Nduk?" ujar Ibu kembali. Ia tersenyum melihat steling yang berisi jualanku bersih, hanya ada remah-remahan gorengan yang tertinggal di nampan.

Aku mengangguk. "Iya, Bu. Alhamdulillah," jawabku bahagia.

"Alhamdulillah, Nak. Rezeki kamu dan Naira," balas Ibu.

"Doain Indah ya, Bu. Semoga tabungan Indah cepat terkumpul, hingga Indah bisa nyewa tempat untuk buka kedai makan, di ujung gang dekat jalan sana!" pintaku pada Ibu. Karena doa orang tua akan mudah terkabul, katanya bisa tembus hingga langit ketujuh.

"Tentu, Nak. Doa Ibu selalu menyertaimu," jawab Ibu membuatku lagi-lagi bersyukur di beri nikmat orang tua yang selalu mengasihiku. Selalu mendampingiku, baik susah dan sedihku. Andai Ibu tak ada, entah apa jadinya hidupku ini.

Aku dengan cepat membereskan barang sisa jualan, yang ada di pondok jualanku, menumpukkan piring dan baskom kotor menjadi satu. Lalu mengangkatnya keluar dan mengunci pondok kecil itu sebelum masuk kedalam rumah.

Merebahkan tubuh ini sejenak, sebelum pergi kepasar untuk membeli bahan-bahan serta sayuran yang kubutuhkan untuk jualan besok pagi.

Aku bangun jam tiga subuh, masak dan menyiapkan jualan agar jam enam pagi jualanku sudah siap di jajakan hingga pukul sebelas siang. Siang hari aku istirahat sebentar dan menemani Naira, karena setelah itu sorenya aku harus kepasar untuk belanja.

Seperti itulah rutinitas yang kini aku lakukan setiap hari. Walaupun lelah, tapi aku bahagia, bahagia dengan pundi-pundi rupiah yang kuhasilkan sendiri.

Walau cuma sedikit, tapi cukup untuk hidup kami berdua, tanpa harus mengemis kebutuhan Naira pada mantan suamiku itu.

Aku akan buktikan pada Mas Dito, jika aku mampu membesarkan putri kami tanpa nafkah darinya. Tanpa harus sakit hati berbagi perhatian dengan wanita lain.

Biarlah aku menjanda, dari pada batinku yang terluka!

πŸ€πŸ€πŸ€πŸ€πŸ€

Malam ini mataku berbinar, menghitung lembaran-lembaran rupiah yang sudah aku kumpulkan selama dua minggu berjualan. Walaupun belum seberapa, tapi sangat beharga untukku dan Naira.

Pelangganku yang awalnya hanya sedikit lama-lama menjadi banyak, bumbu yang terasa, membuat banyak warga sini yang belanja sarapan pagi padaku.Rencananya jika aku ada rezeki lebih aku ingin membuka rumah makan kecil-kecilan dengan menyewa toko di ujung jalan itu.

Tentang mantan suamiku itu, Mas Dito. Hingga detik ini, ia tidak pernah menemui putrinya ini, dan soal nafkah? Ia menepati janjinya untuk tidak memberi nafkah untuk Naira sepeserpun.

Walau di pengadilan ia menyetujui, bahwa ia di wajibkan memberi nafkah pada putriku itu hingga ia berumur enam belas tahun.

Namun, biarlah ... biar itu menjadi tanggung jawabnya terhadap Tuhan diakhirat kelak. Aku tidak mau protes apalagi menuntut.

Aku juga mendengar kabar dari tetangga-tetangga di sini yang diundang olehnya, jika ia mengadakan pesta pernikahan yang begitu mewah bersama istri barunya itu.

Tidak seperti pernikahanku dulu yang digelar secara sederhana, itupun orang tuaku yang mengadakannya. Sedangkan dari pihak Mas Dito tak ada, bahkan hantaran saja hanya sekedarnya.

Saat itu almarhum bapak cukup tersinggung melihat perlakuan keluarga Mas Dito padaku. Akan tetapi, karena rasa cintaku yang buta, membuatku menerima saja perlakuan zhalim mereka padaku.

Ahh ... kalau dipikir-pikir sekarang, alangkah bodohnya diriku. Aku meringis menyadari kesalahan diri ini di masa lalu.

Namun, ya ... sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Tak perlu kusesali lagi.

Aku memasukkan kembali lembaran uang yang kupegang tadi kedalam dompet, lalu menyimpannya pada laci di samping ranjang.

Pandangan mataku kini beralih menatap bayi putih yang gembul, sedang tidur nyenyak di atas kasur. Bibirnya yang merah dan bergerak seolah sedang mengemut sesuatu itu tampak begitu menggemaskan.

Aku bergerak pelan, mengambil posisi ternyamanku, berbaring di samping putriku. Menatap balita gembul dengan pipinya yang memiliki dua titik merah kemerahan.

"Wah ... sepertinya nenek kecolongan kali ini sayang, sampai pipi mbul anak Bunda kena gigit nyamuk, atau nyamuknya yang nakal ya sayang?" aku terkekeh mendengar ucapanku sendiri.

Kubelai kepala anakku dengan sayang, tak ada lagi yang kupinta di hidupku saat ini. Aku hanya ingin fokus membesarkan anakku dan membahagiakan malaikat yang telah melahirkanku itu. Sudah cukup diri ini menjadi beban hidupnya.

πŸ€πŸ€πŸ€πŸ€

Aku berjalan perlahan dari satu kios ke kios lain sambil membawa keranjangku yang penuh dengan sayuran. Pasar tradisional modern ini begitu luas, dan merupakan pasar yang paling besar di kampungku. Jaraknya juga dekat dengan rumah.

Saat sedang asik memilih buah pisang kepok yang matang untuk bahan jualanku, sudut mataku menangkap sosok sepasang manusia yang baru datang mendekat kearahku, dengan bergandengan tangan mesra.

Aku menoleh dan seketika tubuhku menegang, dengan tangan yang terkepal erat di kedua sisi tubuhku, aku menatap kedua manusia yang sekarang berdiri di hadapanku dengan tajam.

Mereka pun membalas tatapanku dengan seringai di bibir mereka, seolah mengejek dan terus memamerkan kemesraan mereka padaku.

Ya Allah ... Ya Robby ... kuatkan hati hambamu yang rapuh ini! Jangan sampai amarahku membuatku mempermalukan diriku sendiri di sini! Ingin rasanya aku hentakkan kepala kedua manusia m*njijikkan ini sekarang juga, astagfirullah al'azim!!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
nikmati aja deritamu krn terlalu bucin dan g mendengarkan nasehat ortu. g usah menye2
goodnovel comment avatar
Wahyu Ningsih
bagis tapi tidak puas susah dibuka harus top ap segala tidak seperti fivo
goodnovel comment avatar
Imas Andri Nurwita
bgs ceritay. alury menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Β Β Β 67. ending yang bahagia.

    pov. NinaAku menatap kebahagiaan dua anak manusia dari balik jendela. Awalnya aku ingin masuk, tapi melihat kebahagian dan keromantisan mereka berdua membuatku mengurungkan niat.Dari balik jendela ini aku melihat gurat-gurat bahagia itu begitu terpancar dari wajah Arman. Tentu saja ia bahagia, penantian panjangnya akan cinta Indah membuahkan hasil serta hadirnya seorang putra diantara mereka. Arman mengecup kening Indah lembut, penuh sayang.Membuat rasa iri ini kembali hadir di kalbu. Andai aku juga bisa seperti itu bersama Mas Rio. Namun sayangnya hanya bisa berandai, karena kenyatannya kini. Suamiku sedang berbahagia bersama istri mudanya. Tak kuat melihat kemesraan yang di tunjukkan mereka berdua, aku memilih pergi. Mungkin aku akan menemui Indah dan bayinya besok saja, setelah hati ini sudah mulai tenang.Jam batu menunjukkan jam sepuluh malam. Namun, lorong rumah sakit ini tampak begitu lenggang, bukan berarti tak ada orang

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Β Β Β 66. Kado terindah dari Tuhan.

    Perutku mulai terasa pedih, apa lagi efek obat bius yang mulai menghilang. Aku meringis menahan sakit saat jempol ini bergeser saja sakitnya sudah terasa sampai keubun-ubun. Dengan lembut Mas Arman memperbaiki letak bantal yang ada di punggungku. Tiba-tiba bayi yang ada di dalam box menangis kencang. Lengkingannya memekak telinga, Mas Arman meraih bayinya. Mencoba menenangkan.Aku merentangkan tanganku menyambutnya. "Sini, Mas! Mungkin dia haus, aku akan menyusuinya,""Apa kamu baik-baik saja, sayang. Perutnya masih nyeri?" tanyanya khawatir."Gak apa-apa, Mas. Mungkin dengan menyusuinya rasa nyeriku dapat sedikit berkurang. Kasihan dia, pasti sudah lapar," Ragu-ragu Mas Arman menghampiriku, Lalu menyerahkan bayi merah yang sedang menangis itu. Setelah terlebih dahulu mencium pipi anaknya dengan sayang.Aku mengambil alih bayi mungil itu, memasukkan puting susuku ke dalam mulut kecilnya. Mas Arman beralih duduk di seb

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Β Β Β 65. Akhir sebuah kisah.

    Aku memarkirkan taksiku di parkiran khusus rumah sakit. Rumah sakit Citra Medika, rumah sakit bersalin terbaik di kota ini. Aku tidak tahu kenapa aku membuntuti mobil mereka hingga sampai di sini.Perlu waktu yang lama untukku menimbang dan memutuskan untuk turun atau pulang. Aku merasa aku tak punya hak untuk datang ke sini. Tapi di sini lain, hati kecil ini begitu ingin menemuinya di saat-saat seperti ini.Dengan langkah gontai aku masuk kedalam rumah sakit, menanyakan ruangan Indah pada resepsionis. Setelah mendapatkan informasi aku langsung menuju ke tempat yang di beritahukan padaku.Setelah melewati 2 kali belokan dan lorong panjang, akhirnya kau sampai di tempat yang di tunjukan perawat tadi. Dari kejauhan aku melihat Arman dan Nina yang menunggu di depan ruangan. Mata Arman menatap kedatanganku dengan nanar. Ku kuatkan tekad untuk melangkah. Apapun yang terjadi, aku hanya ingin meliat Indah dan bayinya baik-baik saja. Lalu pergi.

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Β Β Β 64. Semua sudah terlambat.

    Matahari mulai meredup dan senja mulai menunjukkan kekuasaannya. Lelah tubuh ini belum juga terbayarkan dengan lembaran rupiah yang memadai. Seharian aku bekerja, baru dua pelanggan yang pakai jasaku. Dari pada melamun, aku putuskan untuk pulang saja."Taksi!" teriak seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan. Akhirnya, di penghujung hari aku mendapatkan satu orang pelanggan lagi, lumayan.Aku menghentikan mobilku tepat di depan mobilnya. Sepertinya mobil mereka mogok. Lama aku menunggu, tapi wanita tadi tidak juga masuk kedalam mobil. Kulirik sedikit kebelakang, pantas saja lama. Ternyata mereka berdua tampak kerepotan dengan banyaknya belanjaan di bagasi belakang. Dasar wanita kaya, menghambur-hamburkan uang saja kerjanya. Sangat berbeda dengan, Indahku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku merindukan wanita yang telah aku sakiti itu.Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, sejak pertemuan terakhir, yang menyebabkan aku kecel

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Β Β Β 63. Berjumpa kembali.

    Kata orang pamali berbelanja perlengkapan bayi jika usia kandungan belum memasuki tujuh bulan. Itu sebabnya aku menginjakkan kaki di toko baby shop ini saat usia kandunganku sudah masuk bukan ke-delapan. Walau sebenarnya dari bulan-bulan yang lalu aku sudah tak tahan ingin sekali membeli baju-baju yang lucu untuk bayiku. Namun kata orang tua, walaupun hanya mitos, tidak baik diabaikan, kan?"Indah coba lihat ini? Lucu banget kan, aku suka ini. Ambil ini saja, Ya!" pinta Nina sambil menunjukkan gaun kecil berwarna peach. Ia tampak antusias sekali menemaniku berbelanja perlengkapan bayiku. Karena Mas Arman sedang sibuk jadi dia tidak ikut menemani, hanya aku dan Nina saja yang pergi.Selama beberapa bulan terakhir ini, aku sudah terbiasa bersama Nina saat Mas Arman tak dapat menemaniku.Nina juga sekarang, sudah banyak berubah. Ia jadi sangat penyayang dan perhatian. Membuatku seakan memiliki saudara perempuan saja. Apa lagi, kali i

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Β Β Β 62. Penyesalan Nina.

    Pagi-pagi rintik hujan sudah turun deras membasahi bumi. Aku berdiri di dekat jendela, menikmati dinginnya udara pagi. Memikirkan segala masalah yang terjadi. Aku masih berada di rumah Mama. Tidak seperti biasanya, di hari senin kami masih berada di sini. Semua karena keributan tadi malam, membuat kami batal untuk pulang dan melanjutkan menginap di sini.Aku terkejut, saat merasakan sepasang tangan memelukku dari belakang. "Kamu lagi mikirin apa, sayang? Bumil dilarang mikir yang berat-berat! Kasihan sama yang di dalam perut," ujar Mas Arman. Ia mengeratkan pelukannya, meletakkan dagu di atas bahuku. Aku menyenderkan punggungku di dada lebarnya, menghirup wangi sabun yang menguar dari tubuhnya. Harum dan menenangkan. Sejak hamil aku menyukai semua aroma yang keluar dari tubuhnya. Bahkan aroma keringat ia habis pulang kantor yang kata orang asam, justru tercium wangi di Indra penciumanku. "Aku hanya mengingat kejadian semala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status