Share

4. Biar kuurus hidupku sendiri, pergilah!

"Keputusanku sudah bulat Mbak, aku lebih baik menjanda asal batinku tenang, dari pada hidup dimadu!"

Mbak Rini menatapku dengan seringai kecut, seolah mengejekku. Kutarik lagi napas ini dan menghembusnya secara perlahan. Berusaha untuk tenang dan berpikir jernih.

"Yakin batinmu akan tenang, jika untuk makan saja kamu susah? Seharusnya kamu itu sadar, Indah! Kamu itu sekarang mandul, mana ada lelaki yang mau dengan janda satu anak tapi tidak bisa memberikan mereka anak lagi. Ya ... walau kuakui kamu cantik, tapi cantikmu itu tidak ada gunanya. Jika kamu tidak bisa memberikan mereka anak, ibaratnya kamu itu ladang yang gersang," ucap Mbak Rini menghinaku. Mulutnya seakan tak di filter oleh otaknya terlebih dahulu. Menambah luka di hati ini.

"Biarlah itu menjadi urusanku nantinya, Mbak! Mbak gak usah khawatir tentang nasibku kedepannya. Lebih baik Mbak urus saja hidup Mbak! Semoga Mbak tidak bernasib lebih buruk dari pada diriku saat ini," ucapku. Dada ini sudah naik turun sebenarnya, tapi sebisa mungkin masih kutahan.

"Eh ... kamu dinasehati, bukannya terima kasih malah doain Mbak yang buruk-buruk! Memang benar kata Ibu, kamu itu menantu yang gak tahu terima kasih!" balas Mbak Rini ketus, seraya melemparkan sebuah amplop coklat dari kantongnya keatas pangkuanku. Setelah kubuka, ternyata adalah surat panggilan dari Pengadilan Agama.

"Itu ... aku kesini karena Dito memintaku untuk mengantarkan itu padamu, Dia males datang kegubukmu ini. Haram katanya!"

Apa? Haram?

Kutarik kuat napas ini menghembuskannya dengan kasar. Mengabaikan amplop coklat yang ada ditanganku itu.

Emosiku mulai memuncak mendengar ucapannya tadi. Walaupun aku tahu Mbak Rini hanya menyampaikan tapi terasa seperti dirinya yang mengucapkan itu. Menghina rumah Ibuku seperti gubuk, padahal rumah inilah yang menjadi tempat ia bernaung selama beberapa tahun belakangan ini.

"Mbak katakan pada adik iparmu itu, rumah gubuk yang ia hina ini lah tempat ia berlindung selama beberapa tahun ini. Jika ia bilang haram menginjakkan kakinya kesini, maka aku juga akan mengharamkan apa yang sudah ia nikmati selama ini di rumah ini, dan soal nafkah yang ia berikan selama ini, tanyakan saja pada Ibu mertua kesayanganmu itu, berapa banyak jatah nafkahku yang ia ambil dariku setiap bulannya. Bahkan sisanya saja tidak cukup untuk membeli makanan kami selama satu bulan!" jawabku tak kalah lantang membuat Mbak Rini terperangah.

Mbak Rini seolah telah terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan, seolah tak percaya.

"Tidak mungkin Ibu seperti itu, kamu jangan fitnah, Indah!"

"Aku tidak fitnah Mbak, tapi itulah kenyataanya. Mbak enak mendapat nafkah dari Mas Rio, tapi Ibu tidak pernah sekalipun mengutiknya. Sedangkan aku ... selalu Ibu minta kembali dengan berbagai alasan, selama ini aku diam karena menjaga perasaan Mas Dito. Namun, ternyata ini balasan ia padaku?!" sungutku.

Air mata kembali menetes di pipi, dariku begitu sakit mengenang perlakuan Ibu mertuaku yang berbeda pada menantu-menantunya ini.

Entah kenapa sedari dulu Ibu Mas Dito tidak pernah suka padaku. Perlakuannya sangat berbeda dengan kakak-kakak iparku yang lain. Seolah pilih kasih.

"Tidak ... aku tidak percaya dengan ucapanmu, Ibu orangnya tidak begitu. Buktinya ia sayang pada kami, sering membawa oleh-oleh untukku dan anak-anakku. Bahkan Ibu juga sering memberikan aku dan menantunya lain tambahan uang belanja. Mungkin memang kamu saja menantu yang tak tahu bersyukur!" sungut Mbak Rini sambil beranjak pergi.

Aku hanya bisa mengelus dada dan beristighfar dengan perlakuan serta hinaan mereka padaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status