"Arrrgh!"
Suara Pusi menggelegar dari bawah bukit. Hanya Sadarga yang bisa mendengar auman mahluk itu.
Menyadari Pusi sedang beraksi, Sadarga merasa sedikit lega.
"Ternyata, kau pintar juga Pusi!" gumam Sadarga dalam batinnya.
Meski pun Sadarga tak tahu pasti, apa yang sedang dilakukan Pusi. Tapi bocah itu menduga sesuatu akan segera terjadi, dan itu merupakan kabar baik bagi dirinya.
Setelah menunggu beberapa saat, tiba-tiba Pusi terlihat berdiri di belakang mahluk asap bernama Pisaca itu.
Dengan kekuatan pukulan yang dimilikinya, Pusi bersiap mengayunkan tangan berniat menyerang Pisaca dari belakang.
Namun sebelum Pusi menyentuh Pisaca, mahluk asap itu mulai menyadari jika bahaya akan menghampirinya. Sehingga Pisaca tidak bisa meneruskan jurus anginnya karena menggunakan jurus itu tidak bisa digunakan bersamaan dengan aktivitas lain. Dengan kata lain jurus angin Pisaca memerlukan fokus pikiran tingkat tinggi.
Setelah mengakhiri jurus anginnya, Pisaca segera bergerak cepat membalikan badan. Kemudian ia menangkis pukulan Pusi dengan kedua tangan yang terbuat dari asap hitam.
Ini aneh!
Padahal Pisaca memiliki wujud yang terbuat dari asap, tapi mengapa dirinya khawatir terkena pukulan Pusi. Bukankah asap tak bisa di sentuh?
Entah mengapa? Saat ini Pisaca terlihat sangat ketakutan . Mungkin ia tak ingin tubuhnya terkena serangan lawan. Sebab di balik asap hitam itu sesekali terlihat cahaya merah menggumpal. Cahaya itu berada pada posisi yang sama dengan letak jantung manusia.
"Arrrggh!" geram Pusi berkali-kali.
Setelah serangannya berhasil ditangkis Pisaca, Pusi mencoba menyerang dengan kaki kirinya.
Bugh!
Akhirnya serangan Pusi berhasil mengenai tubuh Pisaca. Kemudian mahluk asap itu terpental hingga puluhan kaki sampai mengguling di atas tanah.
Disaat Pisaca tergeletak di atas tanah. Sadarga mendekatinya.
"Hei, mau kemana kau?" teriak Jiro yang melihat Sadarga berlari mendekati Pisaca.
"Bocah! Jangan bertindak gegabah!"
"Hei Nak! Apa yang kau lakukan?"
Mungkin beberapa pasukan desa itu khawatir, jika Sadarga melakukan hal bodoh yang bisa mengantarkan nyawanya ke alam baka.
Namun bocah itu seperti pura-pura tak mendengar. Walau pun teriakan kekhawatiran, terus bersahutan padanya.
"Tenang saja. Aku hanya melakukan sesuatu yang Pusi katakan. Semoga saja aku tak salah mengartikan perkataannya," gumam Sadarga. Bibirnya menyeringai dan terus berlari.
Dengan kemampuan bahasa isyaratnya dari kejauhan Sadarga terus berkomunikasi dengan Pusi. Tak yang tahu apa yang dibicarakan Pusi dan Sadarga, sebab hanya bocah itu saja yang mengerti isyarat Pusi.
Setelah terus berlari, dalam sekejap bocah itu sudah berada di hadapan Pisaca. Kemudian Sadarga menusukan tongkat kayu yang digunakannya untuk berburu, ke arah cahaya merah di balik tubuh Pisaca. Seiring dengan menancap ya tingkat Sadarga, entah mengapa tiba-tiba secara berangsur. Asap hitam yang menyelimuti tubuh Pisaca lenyap.
Sontak saja peristiwa menghilangnya sosok mahluk yang terbuat dari asap hitam, membuat setiap pasang mata terpaku menatapnya. Begitu juga dengan Utar dan Jiro.
"A-apa yang terjadi?" ucap Jiro sedikit terheran. Nampaknya ia tak percaya jika Sadarga berhasil menaklukan Pisaca hanya dengan tongkat sederhana.
"Bocah pintar. Sepertinya ia sudah mengetahui kelemahan mahluk itu. Tapi kewaspadaan kita harus tetap terjaga!" Utar memberikan sedikit pujian pada Sadarga. Kemudian pria itu melanjutkannya dengan perintah lain, supaya kelompoknya tidak lengah.
"Haha, bagus Pusi. Ternyata kau benar! Mahluk aneh itu memang sangat lemah. Hanya satu tusukan saja, ia sudah pergi ketakutan."
Begitu girangnya Sadarga. Bahkan jika dilihat sepintas, bocah itu terlihat jemawa. Layaknya seorang pendekar hebat. Padahal sampai saat ini Sadarga belum pernah tahu, di tingkat mana posisi kependekarannya?
"Hei, coba lihat! Bukankah dia utusan dari bumi?""Mungkin saja begitu.""Tapi, aku rasa ada yang tak biasa dengan bumi kali ini. Mengapa saat ini bumi mengutus seorang yang terlihat lemah seperti itu.""Ya, benar juga. Jika demikian maka karisma bumi seakan menjadi pudar.""Hahaha."Dari jarak yang lumayan jauh, terdengar percakapan beberapa orang yang sedang menggunjing. Sepertinya Sadarga belum peka terhadap percakapan tersebut. Karena sebenarnya yang sedang menjadi bahan pembicaraan adalah dirinya, sebagai utusan dari bumi."Apa yang harus aku lakukan? Mengapa tiba-tiba tempat ini menjadi ramai?" gumam Sadarga dalam batinnya. Pandangan lelaki itu terus menyisir setiap penjuru yang mampu dijangkaunya.Suasana di dataran lapang ini begitu riuh, kesunyian seakan lenyap dibuatnya. Bagaikan pesisir pantai yang jernih dan tiba-tiba dipenuhi buih yang teramat banyak. Hiruk pikuk para utusan dari berbagai penjuru alam semesta datang
Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya selesai juga. Sampailah di sebuah permukaan datar penuh debu dan pasir.Jika menengadahkan kepala ke langit, Sadarga bisa melihat puluhan bola berukuran besar. Terkadang Sadarga menyaksikan Kilauan cahaya di bola itu, tapi sisi lainnya berwarna gelap."Paman, jika boleh tahu siapa namamu?" tanya Sadarga sembari mengarahkan pandangan ke atas langit. Lelaki ini memang terbiasa menggunakan sebutan Paman, kepada siapapun yang dianggapnya lebih tua."Hmp, maafkan aku... karena hampir saja lupa memberitahunya. Perkenalkan namaku Brama Rangga Dewata. Tapi terserahmu saja, kau bisa panggil sesukamu," sahut Brama dengan senyuman ramahnya. Simpulan bibir pria itu seperti menyiratkan sifat aslinya."Wah, namamu bagus sekali dan sangat panjang Paman. Mungkin aku akan memanggilmu menggunakan nama depannya saja.""Baiklah nak, terima kasih atas pujiannya. Perlu kamu ketahui kita ini hampir sampai. Jangan s
Sesuatu yang dilihat oleh Sadarga, sungguh membuatnya ingin muntah.Bagaimana tidak?Sebab saat ini terlihat dua orang lelaki dan tiga wanita yang sudah tak berpakaian. Lima orang itu masih memiliki wajah utuh, tapi dari leher hingga bagian kaki sudah tak nampak lazim.Bukan tanpa alasan keadaan lima orang itu menjadi sedemikian rupa. Hal tersebut ternyata diakibatkan ulah dari orang-orang yang mengerumuninya.Ya, lima orang bernasib buruk itu telah menjadi korban keganasan penyembah Pisaca.Karena tak tahan melihat tingkah orang-orang di sekelilingnya, dengan lantang Sadarga berteriak sekeras mungkin."Aaaaaaa!"Tak lama setelah teriakan menggema di ruang istana, pandangan pun berubah menjadi gelap. Sadarga hanya bisa melihat bintik cahaya bermacam warna, bagaikan pemandangan langit malam saat dilihat di atas gunung.Begitu terkejut Sadarga, setelah ia menyadari bahwa dirinya sudah berpindah tempat cepat sekali. Bu
"Tunggu! Ibu mau kemana?" teriak Sadarga setelah melihat Ningrum tiba-tiba pergi dengan cepat.Walaupun Sadarga berteriak sekerasnya dan tengah melakukan berulang kali.Sayang sekali!Ningrum terlihat acuh tak memberikan tanggapan.Begitu tergesa-gesa kepergian Ningrum. Entah apa yang membuatnya melakukan itu? Yang jelas saat ini Sadarga hanya seorang diri saja melayang menunggangi batu di lingkungan istana kerajaan.Ingin rasanya mengikuti sang ibu yang telah pergi meninggalkannya, tapi apa daya Sadarga? Batu yang ia tunggangi tak bisa bergerak sesuai keinginannya. Bahkan batu tersebut malah turun dari atas ketinggian, seakan meminta Sadarga tak menginjakan lagi kaki di atas permukaannya."Aaaaa!"Benar saja.Begitu terkejut Sadarga. Pria itu dibuat kaget oleh batu yang ditumpanginya. Tiba-tiba bongkahan batu itu melakukan putaran cepat, seakan memaksa Sadarga turun.Dari kejadian itu, menyebabkan Sada
Sampai saat ini, Utar terus melanjutkan perjalanannya hingga mencapai perut goa. Di kedalaman tersebut suara hujan deras sudah tak terdengar lagi.Bebatuan tajam yang bisa dirasakan alas kaki pun, sudah tak ditemui lagi. Entah apa yang bisa dilihat jika sepercik cahaya menerangi kegelapan saat ini."Hei, apa kalian baik-baik saja?"Suara Utar yang terpantul dinding goa, terdengar menggema. Entah berapa orang yang masih bersamanya, hanya suara langkah dan hembusan nafas saja yang didengarnya. Tak ada seorangpun yang berbicara saat ini.Mungkin rasa lelah karena perjalanan, menjadikan diam terasa lebih baik dari pada berbicara atau sekedar menggerakkan anggota tubuh."Baiklah, aku rasa di sini tempatnya cukup aman. Jadi, jika kalian ingin beristirahat silahkan saja,"Lelah. Lelah sekali. Sadarga yang merasakan suasana di dalam goa itu seakan tak berdaya lagi. Begitupun semua orang yang bersamanya.Hanya Utar dan Raka yang masih te
Setelah sampai di mulut goa, Sadarga merasakan keresahan dalam hatinya. Entah apa yang akan menimpanya kali ini. Namun itulah ungkapan dalam benaknya. Padahal sebelumnya Sadargalah orang paling ceria dan selalu menumbuhkan semangat bertahan hidup.Ya, semangat untuk tetap hidup.Karena sepanjang jalan menuju goa, angin kencang terus berhembus menumbangkan pepohonan hujan deras di iringi petir terus mengguyur membasahi tanah.Dari kejauhan terlihat laju tanah berjalan, terbawa arus air yang begitu kuat. Padahal itu hanyalah sebuah lumpur yang terbawa air dari hulu menuju hilir.Ada beberapa orang dari para pemuda desa Lanangjagat yang gugur melepaskan nyawanya akibat tak tahan lagi menahan gejolak amukan alam tersebut. Sungguh mengenaskan nasib mereka diterpa murka alam raya, yang datang secara tiba-tiba."Paman, sebaiknya kita mencari lagi tempat lain untuk berlindung," usul Sadarga pada Utar."Hei, bicara apa kau ini. Bukankah kamu yang men