Sosok yang disebut Sekarjati sebagai Eyang Ratmasih menghilang dan muncul di depannya menyentuh lembut pipi Sekarjati.
" Nak...... ingatlah, nanti malam tak perlu takut, Eyang ada di sini." ucapnya tersenyum lembut kepada Sekarkati layaknya berbicara dengan cucunya sendiri. "Sekar mengerti." Eyang Ratmasih menganggukkan kepalanya kemudian menghilang. Selang beberapa menit kemudian Sastra datang membawa tas beserta perlengkapan lainnya dan mengajak Sekarjati untuk masuk ke dalam. Hawa dingin terasa ketika pintu dibuka. Debu tebal memenuhi ruangan beserta perabot kayu jati yang ada di sana menambah kesan mewah dan mistis. "Aku tidak menyangka semuanya terbuat dari kayu jati," ucap Sastra kagum. "Kita perlu berhati-hati di rumah ini," ucap Sekarjati tiba-tiba berubah menjadi serius. "Aku mengerti," balas Sastra. Mereka masuk ke dalam kamar masing-masing meletakkan perlengkapan kemudian mulai membersihkan segala hal yang ada di dalam rumah menjadi layak untuk disinggahi. Sekarjati tengah menyapu halaman belakang yang rimbun oleh pohon beringin entah berapa puluh tahun umurnya. Akar-akar menjuntai menambah kesan mistis bagi siapapun yang berada di dekatnya. "Saya mewakili teman saya meminta izin untuk tinggal di mari. Mohon untuk tidak saling mengganggu satu sama lain," ucap Sekarjati spontan di sela-sela dirinya menyapu halaman belakang. Samar-samar suara geraman terdengar lirih seakan mengiyakan ucapan Sekarjati. Rumah joglo limasan dengan pintu gebyok sangatlah megah ditambah halaman depan dan belakang yang luas. Sungguh mencerminkan orang kaya pada zaman dahulu. Kamar mandi berada terpisah di luar rumah sesuai dengan peraturan orang tua zaman dahulu untuk tidak membangun kamar mandi di dalam rumah. Sekarjati merasakan angin sepoi-sepoi melanda tubuhnya membuatnya terdiam mengerutkan dahinya bingung. Tatapannya tertuju pada pohon beringin raksasa yang akar-akarnya bergoyang pelan. "Bukan dia. Lantas siapa?" gumamnya bingung. Sastra yang berada di dalam rumah merasakan energi besar sedang mendekat bergegas mencari Sekarjati di seluruh bagian rumah. "Sekar!!!!" teriaknya dengan nada panik berlarian ke seluruh rumah hingga menemukan Sekarjati yang berdiri tak jauh dari pohon beringin. "Sekarrr!!!!" panggil Sastra lantang namun seakan-akan suaranya tak terdengar oleh Sekarjati. Angin berhembus kian kencang menerbangkan dedaunan. Dirasa keadaan semakin buruk dan Sekarjati tak mengindahkan panggilannya membuat Sastra terpaksa berjalan menemuinya. Langkahnya begitu berat melawan angin yang entah darimana datangnya. "Diam atau mati!" ucap suara berat yang membuatnya tersentak kemudian mengangkat kepalanya terkejut hingga berteriak ketika melihat wajah lelaki tepat berada di depannya. "Anda siapa!" ucap Sastra dengan nada ketakutan. Tak ada balasan dari sosok laki-laki di depannya. Sastra melihat dengan jelas laki-laki berpakaian ala kerajaan berjalan dengan tegas tanpa terpengaruh oleh angin kencang mengarah kepada Sekarjati membuat Sastra panik hingga berteriak memanggil sahabatnya itu yang dibalas tatapan tajam menusuk dari laki-laki misterius yang telah berada di belakang Sekarjati. Hembusan angin kian kencang disertai daun bertebaran kemana-mana mengaburkan pandangan Sastra terhadap apa yang terjadi dengan sahabatnya Sekarjati. Sekarjati merasakan seseorang mendekat dan menoleh ke belakang tersentak untuk sesaat. "Raden Mas Langsukama?" ucap Sekarjati bingung. "Kedatangan hamba ke sini adalah untuk melindungi Gusti Putri dari serangan yang tidak terlihat." "Serangan gaib dari siapa?" "Dari sesuatu yang kelam dan gelap sedang mendekat," jawab Langkasuma. Sekarjati menganggukkan kepalanya meskipun dirinya tak begitu mengerti. Langkasuma menggerakkan tangannya pelan menarik energi dari berbagai arah penjuru hingga sepuluh warna energi berada di telapak tangan kemudian ia lemparkan ke luar membentang mengelilingi seluruh bagian terluar rumah membentuk benteng energi tak kasat mata. Sekarjati merasakan energi tersebut layaknya penghalang yang memantulkan energi jahat untuk tak masuk ke dalam. * "Ajian Dasa Warna Sukerta," ucap Sekarjati tanpa sadar. Langkasuma yang mendengar suara lirih Sekarjati hanya tersenyum tipis. Di depan rumah, sosok Eyang Ratmasih berdiri tanpa peduli angin kencang menerjang tubuhnya. Kain jarik yang ia kenakan bahkan berkibar oleh angin yang datang. "Dewi Ratmasih! Beraninya kau menghadapi aku sendirian? Pergi atau mati!" ucap sosok tersebut menggema hingga membuat getaran. "Aku berani menghadapi mu tanpa ragu!" ucap Eyang Ratmasih tegas. Energi lain tiba-tiba datang ditengah perseteruan mereka membentang mengelilingi seluruh halaman rumah membuat sosok tersebut mendengus dingin. "Ajian Dasa Warna Sukerta. Ternyata Langkasuma sudah terbangun dari tidurnya. Aku akan pergi, tapi ingat, kalian tidak akan bisa menjamin dia tetap aman di mana pun." ucapnya tegas memperingatkan dan menantang secara terbuka. "Aku tidak takut ancaman mu," ucap Langkasuma tiba-tiba muncul melambaikan tangannya menangkis energi jahat yang mencoba masuk secara paksa. Kepulan asap hitam lantas pergi kemudian sirna. Angin kembali tenang tak lama kemudian Sastra bergegas menghampiri Sekarjati dengan raut wajah khawatir. "Sekar!!!!" ucapnya dengan nada bergetar. "Aku tidak apa-apa. Mari masuk ke dalam rumah sebentar lagi malam," balas Sekarjati masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Sastra termenung menetralkan kembali raut wajahnya menyusul Sekarjati masuk ke dalam rumah. Aroma khas dari bangunan lama sungguh terasa. "Apa yang terjadi sebelumnya? Begitu dahsyat energi itu dan energi lain seperti membentengi rumah ini," ucap Sastra mengikuti kemanapun Sekarjati pergi. "Dari sosok yang berada dibalik kegelapan. Kamu tak perlu khawatir, sesuatu melindungi kita dimari," balas Sekarjati menancapkan beberapa dupa di tempat-tempat strategis di dalam rumah menyalakannya menebarkan bau harum kayu gaharu yang menenangkan. "Jangan pernah ke luar dari rumah ini ketika magrib sekalipun pergi ke toilet," ucapnya memperingati Sastra secara tegas. "Aku mengerti larangan itu," balas Sastra tanpa ragu mengiyakan peringatan Sekarjati. Meraka masuk ke dalam kamar masing-masing menunggu malam datang. Suara adzan terdengar namun entah mengapa hawa aneh terasa menakutkan. Sekarjati yang berada di dalam kamar hendak menunaikan ibadah sholat namun perasaannya begitu gelisah entah karena apa. Memfokuskan diri dan mulai menunaikan sholat magrib hingga selesai. "Sastra.....!!!" panggilnya ke luar dari dalam kamarnya mencari di dalam rumah namun tak menemukan keberadaan Sastra dimanapun berada. Dengan terpaksa Sekarjati membuka pintu mencarinya di luar rumah sembari memanggil-manggil nama Sastra. Suara gemericik air dari belakang mengalihkan perhatiannya. Langkahnya pelan mengintip dari sudut tak terlihat siapa gerangan yang menciptakan suara gemericik air. "Sastra!!!!" Teriaknya lantang begitu melihat Sastra meminum air dari dalam sumur menggunakan timba tiada henti hingga membuat perut nya membesar kayaknya orang hamil. Sekarjati histeris begitu melihatnya menarik Sastra menjauhi sumur menggoyang-goyangkan tubuhnya mencoba menyadarkannya. "Siapa kau!!" ucap Sekarjati dengan nada marah. Sosok yang berada di dalam tubuh Sastra tak menjawab hanya suara lirih terdengar mengatakan. "haus... hauss....". Sekarjati memompa perut Sastra hingga membuatnya memuntahkan air yang ia telan sebelumnya. "Eyang....!!!!" "Langkasuma!!!!" Sekarjati menangis sembari memanggil-manggil nama yang berjanji untuk melindunginya. Keduanya muncul begitu Sekarjati memanggilnya. "Kenapa kalian membiarkan sosok ghaib merasuki tubuh sahabatku!" ucapnya marah. "Nak... Temanmu ke luar dari rumah yang telah di pagar ghaib," ucap Eyang Ratmasih mengulurkan tangannya menyentuh dahi Sastra menarik sosok yang merasuki tubuhnya. Wujud seorang wanita yang seluruh badannya menghitam dan bau terbakar dan selalu mengatakan panas ke luar dari dalam tubuh Sastra. Eyang Ratmasih segera menghancurkannya dengan sekali lambaian tangan. *Ajian Dasa Warna Sukerta = Jurus Sepuluh Warna PelindungPak Ardira berlarian kecil kembali ke desa Nglimputan. Pemakaman telah usai dan monumen makam massal telah terpasang. Ia mencari-cari pusaka tombak dan keris di sekeliling nya dengan gelisah. "Apa yang kau cari wahai manusia," ucap seorang wanita yang seketika membuat Pak Ardira tersentak kemudian menoleh. "Sri Dyah Durgamaya," ucapnya pelan. Durgamaya berjalan mendekati Pak Ardira yang tak bisa bergerak entah karena apa. Jarak keduanya begitu dekat hingga nafas memburu terdengar begitu jelas. "Kau bukan berasal dari zaman ini," ucap Durgamaya membuat Pak Ardira terkejut. "Kau mengetahuinya?" balas Pak Ardira memberanikan diri untuk berbicara. "Tentu saja. Kembalilah ke tempat di mana kau berada dan jangan pernah ikut campur urusan ku dimari," ucap Durgamaya tersenyum kemudian tertawa tipis. Pak Ardira terdiam ditempat seakan-akan takut untuk bergerak menarik perhatian wanita iblis di depannya itu. Durgamaya tersenyum berjalan menjauhinya melihat makam massal membuatnya
Pak Ardira dan sang sopir masuk ke dalam setelah dipersilahkan. Mereka duduk di kursi anyaman rotan menunggu Ki Wahyu Prabawa segera kembali. "Siapa gerangan yang menemui ku saat ini?" tanya Ki Wahyu Prabawa. "Saya Ardira dari Balai Warisan Nusantara dan sopir saya Siswo" Ki Wahyu Prabawa menganggukkan kepalanya menuangkan air dari dalam kendi menyodorkannya kepada Pak Ardira dan sang sopir Siswo. "Minumlah, kalian telah jauh-jauh datang dari Jakarta kemari," ucapnya dengan senyuman tulus. Keduanya minum air dari gelas merasakan dahaga yang terpuaskan oleh air segar pegunungan. Pak Ardira kembali membuka topik pembicaraan kedatangannya kemari. "Aku tahu seseorang akan datang kemari dan oleh karena itu aku menyambut Anda," ucap Ki Wahyu Prabawa. "Syukurlah Anda tahu kedatangan saya dan berharap mendapatkan penjelasan mengenai kejadian malam itu," balas Pak Ardira. Ki Wahyu Prabawa menghela nafas panjang mengingat kejadian kelam pembantaian satu desa pada malam itu. "
Pak Ardira turun dari mobil berjalan menuju ke arah hutan tempat desa Nglimputan berada. Dengan mengenakan sepatu yang telah dibungkus plastik dan membawa payung hitam dirinya melewati barikade polisi yang mempersilahkannya masuk. Ia berjalan dengan tatapan datar melewati jalan satu-satunya menuju desa. Panggung wayang basah oleh hujan dan darah dari para penduduk desa mengalir mengikuti arus air hujan. "Benar-benar kejam," gumamnya melihat evakuasi mayat warga yang dilakukan relawan medis dan kepolisian untuk dimakamkan secara masal. Lubang besar telah digali dan mereka dimasukkan satu per satu ke dalamnya setelah dibersihkan. Pak Ardira mendekat melihatnya yang kemudian dihentikan oleh kemunculan seorang polisi. "Pak Ardira," ucap polisi tersebut ramah mengenali sosok di depannya. "Pak Angga yang menangani kasus ini?" balas Pak Ardira. "Benar. Saya yang menangani kasus pembantaian desa Nglimputan. Lama tidak bertemu dengan Pak Ardira," jawab Pak Angga sembari tersenyum.
Keesokan paginya berita akan pembantaian di desa Nglimputan termuat dalam media nasional. Kehebohan terjadi dan berbagai asumsi beredar di masyarakat. Pihak berwenang belum mengkonfirmasi motif pembantaian yang terjadi. Para jurnalis dari ibukota meluncur ke tempat kejadian mencoba menggali informasi langsung dari pihak kepolisian. Garis polisi membentang di tempat perkara dan para jurnalis mengenakan sepatu yang dilapisi plastik agar tidak menganggu ataupun mengubah tempat perkara. Sedangkan Sekarjati tengah dirawat di rumah sakit daerah kabupaten menjalani perawatan intensif dan sampai saat ini belum sadarkan diri. Balai Warisan Nusantara. Bapak Ardira tengah duduk di ruangannya melihat berita yang tengah menyiarkan tayangan langsung dari tempat perkara dikejutkan dengan kemunculan Bu Paramita yang masuk ke dalam ruangannya secara tiba-tiba. "Pak! Semua ini di luar prediksi kita. Sekarjati tak sadarkan diri dan Sastra menghilang entah kemana. Kementrian menutup paksa renacana pe
"Kita bertemu kembali saudaraku," ucap Durgamaya tersenyum senang.Kemunculannya bersamaan dengan Sastra dan para pengikutnya. Langkasuma segera menarik Sekarjati untuk tetap berada di dekatnya."Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Sekarjati."Nyawamu," jawab Durgamaya melotot tajam dan tertawa pelan."Jangan libatkan warga desa dalam rencana busukmu itu!" bentak Sekarjati yang langsung mendapatkan respon buruk dari Durgamaya berupa tekanan kuat begerak ke arah Sekarjati kemudian pancaran cahaya emas melindunginya.Liontin merah melayang memancarkan cahayanya yang seketika membuat mereka mengerang kesakitan. Durgamaya mengepalkan tangannya menahan amarah begitu melihatnya."Pilihanmu hanya menyelamatkan mereka atau kau mati," ucapnya memberikan ancamannya."Aku memilih mati," jawab Sekarjati tegas.Langkasuma yang melihat tekad Sekarjati mengerutkan keningnya dengan kecepatan kilat menyentuh kening Sekarjati membuatnya pingsan."Baiklah. Pertempuran kali ini benar-benar di luar bayan
"Siapa kau?" ucap Sekarjati dengan nada ketakutan. "Aku Bhatara Kala Mandrapati sang Raja Kegelapan. Bukankah lakon ini dipersembahkan untukku?" ucapnya tertawa keras berjalan menuju ke arah panggung berdiri di belakang sang dalang kemudian duduk yang seketika membuat tubuh sang dalang bergetar memegang wayang kulit tokoh Bathara Kala dengan erat. Suara gamelan kian keras terdengar dan para penabuhnya memainkannya begitu keras bertempo cepat. Sang dalang tertawa dengan suara beratnya menggerakkan tokoh Bathara Kala begitu lihai. Sekarjati beranjak berdiri ketika menyadari aura negatif begitu kental mengelilinginya. "Aku kelaparan dan membutuhkan makanan dan kalian semua adalah makananku," ucap sang dalang tertawa keras menancapkan wayang kulitnya begitu keras kemudian beranjak berdiri menatap semua orang dengan senyuman misterius. "Wahai pengikut setiaku. Datanglah kemari nikmati hidangan terbaik kalian," ucapnya lantanng terdengar merentang kedua tangannya yang seketika puluhan m