Sekarjati membopong Sastra masuk ke dalam rumah sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Ia meletakkan tubuh Sastra di kamar kemudian pergi ke dapur.
"Sepertinya aku harus sedikit berusaha," gumamnya melihat tungku dan kayu bakar. Sekarjati menyalakan perapian setelah beberapa kali percobaan. Panci berisikan air di letakkannya di atas perapian yang menyala berkobar-kobar. Suasana begitu hening yang hanya terdengar suara jangkrik di luar rumah. "Aku merasa mereka memiliki tugas yang lain hingga aku tak bisa merasakan keduanya," gumam Sekarjati merujuk pada Eyang Ratmasih dan Langkasuma. Suara tokek mengagetkan Sekarjati di tengah keheningan malam yang sebenarnya baru saja magrib. Suara tokek yang berulang membuatnya tertarik hingga menghitungnya hingga suara terkahir yang menurutnya cukup lama dan membuatnya yakin bahwa suara tersebut merupakan yang terakhir "Konon jika tokek berbunyi tepat 7 kali maka ada sesuatu tak kasat mata yang berada di dekatnya," gumam Sekarjati menatap air yang telah mendidih kemudian diangkatnya dari tungku perapian. Ia mengambil cangkir yang telah dibersihkan nya, menuangkan air panas sedikit kemudian dicampur dengan air mineral dingin hingga menjadi hangat. Kemudian dibawanya untuk diminum Sastra sebelum sehelai rambut hitam panjang tiba-tiba terjatuh ke dalam panci membuatnya heran mengambil nya kemudian dibuang sembarangan sembari meringis karena rasa panas. Sekarjati mengabaikan hal sepele yang terjadi bergegas ke kamar Sastra menyuruhnya untuk minum air hangat supaya tubuhnya merasa baikan. "Maafkan aku merepotkan mu," ucap Sastra tersenyum tak berdaya dengan wajah pucat nya. "Kita sahabat dari awal kuliah tentu saja hal seperti ini tidak merepotkan sama sekali," balas Sekarjati menggelengkan kepalanya tanpa ragu. Sastra menegak habis air hangat yang diberikan kepadanya lantas bersender mantap Sekarjati cukup lama sebelum helaan nafas panjang ke luar darinya. "Begitu khawatir nya aku kepadamu hingga tak sadar bahwa itu semua ilusi dari setan yang terkutuk," ucapnya mengingat hal yang sebelumnya terjadi kepadanya. "Ceritakan apa yang kamu alami sebenarnya," pinta Sekarjati kepada Sastra. "Semua berawal dari panggilan lirih tak berdaya. Aku baru saja ke luar dari toilet mendengar suara yang sama persis denganmu. Saat aku menjulurkan kepalaku untuk melihat ke dalam sumur, tiba-tiba muncul kepala yang terbakar dan semuanya menghitam setelahnya. Aku mencium aroma gosong saat itu sebelum semuanya terjadi," ucap Sastra menjelaskan keseluruhan kronologi kepada Sekarjati. "Kau berbohong," balas Sekarjati singkat namun sukses membuat Sastra tersentak. "Aku malu untuk mengakuinya," ucap Sastra menundukkan kepalanya. "Kau mengikuti seorang wanita bukan? Cantik tiada tara bagaikan seorang bidadari ke luar dari rumah bahkan melewati halaman menuju entah kemana itu sebelum kembali. Dia licik mengkambinghitamkan makhluk lain untuk menyelamatkan diri," balas Sekarjati. Sastra menganggukkan kepalanya malu mendengar ucapan Sekarjati yang benar apa adanya. "Istirahatlah," ucap Sekarjati kepada Sastra. Ia beranjak berdiri menyalakan lentera guna menerangi kamar Sastra ketika malam semakin gelap. Dirinya ke luar dari kamar berjalan di lorong-lorong rumah merasakan sesuatu tengah mengawasinya. Tokk.... Tokk...Tokk..... Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Sekarjati dan terburu-buru ke depan untuk membukakan pintu. Ketika pintu terbuka terdapat Pak Yanto bersama dengan istrinya membawa rantang. "Ini makanan buat Mbak Sekarjati dan Mas Sastra. Maaf seadanya," ucap Pak Yanto menyerahkan rantang tersebut kepada Sekarjati. "Terima kasih Pak..." balas Sekarjati sembari tersenyum. "Kenalkan ini istri saya Lasmi. Dia yang akan membantu Mbak Sekarjati beradaptasi di desa," ucap Pak Yanto. Bu Lasmi mengulurkan tangannya dibalas oleh Sekarjati yang juga memperkenalkan namanya. "Pesan saya jangan pernah ke luar rumah jika tidak terpaksa. Ketika terdengar suara ketukan pintu jangan sekali-kali dibuka jika tidak ada suara mengingat hal mistis sangatlah kental di desa terlebih menjelang suro," ucap Pak Yanto memberikan nasehat dan peringatan secara jelas. "Saya mengerti Pak," balas Sekarjati menganggukkan kepalanya. Pak Yanto dan Bu Lasmi berpamitan setelahnya. Sekarjati menutup pintu berbalik terkejut hingga berteriak ketika melihat wajah Sastra begitu dekat dengannya. Tatapan mata tajam dan samar-samar aroma tidak mengenakan ke luar dari dalam tubuhnya. "Kau bukan Sastra. Siapa kau sebenarnya!" ucap Sekarjati lantang mendorong tubuh Sastra hingga menjauh darinya. "Kalian akan mati semua karena tak semestinya berada di sini." ucapnya tertawa terbahak-bahak hingga batuk tak henti-hentinya yang kemudian muntahan air ke luar dari dalam mulutnya begitu deras dan menjijikkan. Sekarjati menaruh rantang di kursi bergegas berlari lompat dan membalikkan tubuh Sastra mengeluarkan liontin miliknya menempelkannya pada tengkuk Sastra membuatnya mengerang kesakitan bagaikan pisau menyayat tubuhnya. "Yang menang tetaplah menang. Kalian akan mati!!" teriak Sastra lantang memuntahkan air bercampur darah kemudian ambruk tak sadarkan diri. Sekarjati membopong Sastra untuk duduk di kursi ruang tamu sembari menghela nafas. Peluh membasahi dahinya membuatnya terduduk dengan nafas tersengal-sengal. "Tidak sesederhana yang aku pikirkan. Pasti ada hal yang tak aku ketahui bahkan mereka tak mengetahuinya. Apa yang dilakukan Sastra hingga membuatnya seperti ini jarak waktu antara kita bertemu dan kejadian sangatlah dekat tak mungkin baginya untuk pergi jauh ke luar dari rumah," gumam Sekarjati merenung mengingat hal yang mungkin terlewat baginya. Kemampuan spesial nya tak hanya sebatas melihat hal yang tak terlihat melainkan bisa melihat masa lalu hanya dengan menyentuh orang namun dirinya sulit membedakan hal yang sebenarnya terjadi dengan tipu daya setan terkutuk. Sekarjati memutuskan untuk tidak tidur berdiam diri di samping Sastra. Sebelumnya ia ke kamar mengambil buku dan perlengkapan alat tulis lainnya yang sebelumnya digunakan untuk mencatat isi dari prasasti Watu Lirang dan tak lupa manuskrip kuno. Malam semakin larut dan suasana menjadi kian hening. Dengan cahaya lentera malam dan aroma dupa gaharu, Sekarjati membaca secara runtut mengenai isi dari prasasti kuno Watu Lirang. "Apakah benar kerajaan Lintang Pethak beneran ada di sekitar gunung Pethak ini. Jika iya bagaimana aku menemukan peta menuju reruntuhan hanya dengan mengandalkan manuskrip kuno ini yang sebagian telah menghilang," gumam Sekarjati bingung. Ia menatap stempel kerajaan berbentuk bunga Wijaya Kusuma mekar berwana merah membuatnya mengerutkan dahinya teringat akan liontin miliknya. "Satu-satunya peninggalan dari orang tua ku hanyalah liontin bunga Wijaya Kusuma berwarna merah darah ini,"gumamnya mengamati dengan seksama liontin miliknya yang berisikan bunga Wijaya Kusuma asli berbalut batu merah. Angin berhembus pelan di luar rumah menggoyangkan pepohonan dan suara geraman terdengar lirih seakan-akan merasakan kehadiran bahaya. "Angin dhemit. Siapa gerangan yang datang," gumamnya lirih. Sekarjati beranjak berdiri ketika angin kencang menerjang rumahnya hingga membuka jendela rumah secara paksa. Ia mencoba tak panik berjalan ke arah pintu yang bergetar hebat seakan-akan sesuatu mencoba merangsak masuk secara paksa. Brakkk!!!!! Pintu terbuka lebar berserta angin kencang berhembus masuk ke dalam rumah disertai jeritan lantang dari Sekarjati. "Akhirnya aku bertemu denganmu," ucapnya tertawa terbahak-bahak menunjukkan wajah mengerikannya berupa wajah terbakar menyisakan mata yang melotot dan senyuman lebar. Rambutnya menjuntai berkibar oleh angin yang kemudian menyusut dan seluruh wujudnya berubah menjadi wanita cantik jelita bersanggul. "Siapa kau!!!"teriak Sekarjati. "Aku saudaramu. Dyah Sri Durgamaya," ucapnya tersenyum licik.Pak Ardira berlarian kecil kembali ke desa Nglimputan. Pemakaman telah usai dan monumen makam massal telah terpasang. Ia mencari-cari pusaka tombak dan keris di sekeliling nya dengan gelisah. "Apa yang kau cari wahai manusia," ucap seorang wanita yang seketika membuat Pak Ardira tersentak kemudian menoleh. "Sri Dyah Durgamaya," ucapnya pelan. Durgamaya berjalan mendekati Pak Ardira yang tak bisa bergerak entah karena apa. Jarak keduanya begitu dekat hingga nafas memburu terdengar begitu jelas. "Kau bukan berasal dari zaman ini," ucap Durgamaya membuat Pak Ardira terkejut. "Kau mengetahuinya?" balas Pak Ardira memberanikan diri untuk berbicara. "Tentu saja. Kembalilah ke tempat di mana kau berada dan jangan pernah ikut campur urusan ku dimari," ucap Durgamaya tersenyum kemudian tertawa tipis. Pak Ardira terdiam ditempat seakan-akan takut untuk bergerak menarik perhatian wanita iblis di depannya itu. Durgamaya tersenyum berjalan menjauhinya melihat makam massal membuatnya
Pak Ardira dan sang sopir masuk ke dalam setelah dipersilahkan. Mereka duduk di kursi anyaman rotan menunggu Ki Wahyu Prabawa segera kembali. "Siapa gerangan yang menemui ku saat ini?" tanya Ki Wahyu Prabawa. "Saya Ardira dari Balai Warisan Nusantara dan sopir saya Siswo" Ki Wahyu Prabawa menganggukkan kepalanya menuangkan air dari dalam kendi menyodorkannya kepada Pak Ardira dan sang sopir Siswo. "Minumlah, kalian telah jauh-jauh datang dari Jakarta kemari," ucapnya dengan senyuman tulus. Keduanya minum air dari gelas merasakan dahaga yang terpuaskan oleh air segar pegunungan. Pak Ardira kembali membuka topik pembicaraan kedatangannya kemari. "Aku tahu seseorang akan datang kemari dan oleh karena itu aku menyambut Anda," ucap Ki Wahyu Prabawa. "Syukurlah Anda tahu kedatangan saya dan berharap mendapatkan penjelasan mengenai kejadian malam itu," balas Pak Ardira. Ki Wahyu Prabawa menghela nafas panjang mengingat kejadian kelam pembantaian satu desa pada malam itu. "
Pak Ardira turun dari mobil berjalan menuju ke arah hutan tempat desa Nglimputan berada. Dengan mengenakan sepatu yang telah dibungkus plastik dan membawa payung hitam dirinya melewati barikade polisi yang mempersilahkannya masuk. Ia berjalan dengan tatapan datar melewati jalan satu-satunya menuju desa. Panggung wayang basah oleh hujan dan darah dari para penduduk desa mengalir mengikuti arus air hujan. "Benar-benar kejam," gumamnya melihat evakuasi mayat warga yang dilakukan relawan medis dan kepolisian untuk dimakamkan secara masal. Lubang besar telah digali dan mereka dimasukkan satu per satu ke dalamnya setelah dibersihkan. Pak Ardira mendekat melihatnya yang kemudian dihentikan oleh kemunculan seorang polisi. "Pak Ardira," ucap polisi tersebut ramah mengenali sosok di depannya. "Pak Angga yang menangani kasus ini?" balas Pak Ardira. "Benar. Saya yang menangani kasus pembantaian desa Nglimputan. Lama tidak bertemu dengan Pak Ardira," jawab Pak Angga sembari tersenyum.
Keesokan paginya berita akan pembantaian di desa Nglimputan termuat dalam media nasional. Kehebohan terjadi dan berbagai asumsi beredar di masyarakat. Pihak berwenang belum mengkonfirmasi motif pembantaian yang terjadi. Para jurnalis dari ibukota meluncur ke tempat kejadian mencoba menggali informasi langsung dari pihak kepolisian. Garis polisi membentang di tempat perkara dan para jurnalis mengenakan sepatu yang dilapisi plastik agar tidak menganggu ataupun mengubah tempat perkara. Sedangkan Sekarjati tengah dirawat di rumah sakit daerah kabupaten menjalani perawatan intensif dan sampai saat ini belum sadarkan diri. Balai Warisan Nusantara. Bapak Ardira tengah duduk di ruangannya melihat berita yang tengah menyiarkan tayangan langsung dari tempat perkara dikejutkan dengan kemunculan Bu Paramita yang masuk ke dalam ruangannya secara tiba-tiba. "Pak! Semua ini di luar prediksi kita. Sekarjati tak sadarkan diri dan Sastra menghilang entah kemana. Kementrian menutup paksa renacana pe
"Kita bertemu kembali saudaraku," ucap Durgamaya tersenyum senang.Kemunculannya bersamaan dengan Sastra dan para pengikutnya. Langkasuma segera menarik Sekarjati untuk tetap berada di dekatnya."Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Sekarjati."Nyawamu," jawab Durgamaya melotot tajam dan tertawa pelan."Jangan libatkan warga desa dalam rencana busukmu itu!" bentak Sekarjati yang langsung mendapatkan respon buruk dari Durgamaya berupa tekanan kuat begerak ke arah Sekarjati kemudian pancaran cahaya emas melindunginya.Liontin merah melayang memancarkan cahayanya yang seketika membuat mereka mengerang kesakitan. Durgamaya mengepalkan tangannya menahan amarah begitu melihatnya."Pilihanmu hanya menyelamatkan mereka atau kau mati," ucapnya memberikan ancamannya."Aku memilih mati," jawab Sekarjati tegas.Langkasuma yang melihat tekad Sekarjati mengerutkan keningnya dengan kecepatan kilat menyentuh kening Sekarjati membuatnya pingsan."Baiklah. Pertempuran kali ini benar-benar di luar bayan
"Siapa kau?" ucap Sekarjati dengan nada ketakutan. "Aku Bhatara Kala Mandrapati sang Raja Kegelapan. Bukankah lakon ini dipersembahkan untukku?" ucapnya tertawa keras berjalan menuju ke arah panggung berdiri di belakang sang dalang kemudian duduk yang seketika membuat tubuh sang dalang bergetar memegang wayang kulit tokoh Bathara Kala dengan erat. Suara gamelan kian keras terdengar dan para penabuhnya memainkannya begitu keras bertempo cepat. Sang dalang tertawa dengan suara beratnya menggerakkan tokoh Bathara Kala begitu lihai. Sekarjati beranjak berdiri ketika menyadari aura negatif begitu kental mengelilinginya. "Aku kelaparan dan membutuhkan makanan dan kalian semua adalah makananku," ucap sang dalang tertawa keras menancapkan wayang kulitnya begitu keras kemudian beranjak berdiri menatap semua orang dengan senyuman misterius. "Wahai pengikut setiaku. Datanglah kemari nikmati hidangan terbaik kalian," ucapnya lantanng terdengar merentang kedua tangannya yang seketika puluhan m