Du Shen berdiri tegak, menatap pria tua itu dengan sorot mata dingin dan tajam. Tangannya masih melingkar di leher pria itu, sedikit longgar, memberi kesempatan baginya untuk bernapas, namun cukup kuat untuk menunjukkan dominasi mutlaknya. Ia menimbang dalam diam, memutuskan apakah akan menghabisi pria tua ini atau tidak. Namun, sebelum mengambil keputusan akhir, ada satu hal yang ingin ia ketahui. "Dari mana asalmu, orang tua? Bagaimana bisa kau memiliki banyak Artefak tingkat enam di tangnamu?" tanyanya, suaranya tenang namun menusuk, seperti bilah pedang yang siap menembus jantung lawannya. Pria tua itu tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, giginya bergemeletuk, dan tatapannya penuh dengan kemarahan yang bercampur ketidakberdayaan. Napasnya memburu, bukan karena kelelahan, melainkan karena menahan amarah dan harga dirinya yang jatuh. Akhirnya, setelah beberapa saat, ia terkekeh pelan, senyum sinis tersungging di bibirnya yang berlumuran darah. "Aku akan segera mati, u
Setelah kepergian Du Shen, kesunyian merayapi medan pertarungan yang kini hancur lebur. Bau darah bercampur dengan aroma tanah yang terkikis masih memenuhi udara. Beberapa mayat yang hancur dan membusuk berserakan di berbagai sudut, menciptakan pemandangan yang mengerikan.Dari balik pepohonan, seseorang akhirnya muncul. Sosok berjubah hitam yang sebelumnya datang bersama Mo Difeng kini berdiri dengan tubuh gemetar. Ia adalah satu-satunya yang berhasil selamat dari gelombang energi Qi beracun yang dipancarkan oleh Du Shen.'Sial! Mo tua berhasil dikalahkan oleh pria itu. Aku tidak menyangka kekuatannya begitu mengerikan. Beruntung aku memiliki teknik pelarian bawah tanah, kalau tidak, aku juga sudah menjadi mayat seperti mereka,' batinnya, menelan ludah dengan susah payah.Ia menatap ke arah Du Shen pergi, matanya berusaha memastikan bahwa musuh mengerikan itu benar-benar telah lenyap dari pandangan. Namun, sedetik kemudian, bulu kuduknya meremang. Perasaan aneh menyelinap ke dalam
Tiga hari telah berlalu. Hari ini, halaman utama kediaman klan Murong dipenuhi oleh ratusan anggotanya yang berkumpul dalam duka dan kemarahan.Di tengah lapangan yang luas, deretan peti mati berlapis kayu hitam tertata rapi. Aroma dupa memenuhi udara, menciptakan suasana suram yang menekan dada setiap orang yang hadir.Wajah para anggota klan Murong mengeras, mata mereka dipenuhi kemarahan yang bergejolak. Tak ada yang bisa menerima kenyataan bahwa dua tetua utama mereka—Murong Giu dan Murong Yi—berakhir tragis dengan tubuh hampir hancur.Di barisan terdepan, Murong Liang, Tetua Keempat, mengepalkan tangannya erat. Urat-uratnya menegang di balik kulitnya yang keriput."Siapa yang berani melakukan ini?" suaranya bergemuruh, mengguncang seluruh halaman. "Membunuh seorang tetua dari Klan Murong… sungguh dosa yang tak termaafkan!"Matanya membara penuh kebencian, menatap tajam ke arah peti mati seolah mengutuk musuh yang telah merenggut saudara seperjuangannya.Di sisinya, Murong Ning, T
Di dalam aula utama kediaman Klan Hao, ketegangan terasa memenuhi udara. Cahaya lentera redup memantulkan bayangan suram di wajah para laki-laki yang berkumpul di sekitar meja bundar. Hao Jifeng, Kepala Klan Hao, mengerutkan kening begitu membaca isi gulungan pesan yang baru saja dikirim oleh Klan Murong. Garis-garis di dahinya semakin dalam, mencerminkan betapa berat beban yang kini menghimpit pikirannya. Di sampingnya, Tetua Jiang mengambil gulungan itu dan mulai membacanya dengan seksama. Tak butuh waktu lama hingga ekspresinya berubah menjadi muram, lalu dalam sekejap matanya menyala penuh amarah. "Bisa-bisanya mereka mengatakan hal seperti ini! Dari pada sebuah permintaan, mereka justru memaksa kita untuk tunduk lebih dalam!" geramnya, telapak tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ia membanting gulungan itu ke meja dengan kasar, membuat beberapa cangkir teh di atas meja bergetar. "Kepala klan, apapun yang terjadi, aku menolak menikahkan cucuku dengan bajingan
Keesokan harinya, Du Shen duduk bersila di dalam sebuah ruangan khusus yang telah dipersiapkan untuknya sebagai pemimpin baru Paviliun Alkemis. Ruangan itu lebih megah dibandingkan kamar-kamar biasa, dengan rak-rak penuh kitab kuno dan berbagai alat alkimia tersusun rapi di sepanjang dinding. Di tangannya, ia menggenggam sebuah mutiara hitam, benda yang sebelumnya direnggutnya dari Mo Difeng. Permukaannya halus dan tampak memancarkan aura warna-warni yang berputar pelan seperti pusaran kabut di dalamnya.Du Shen menyipitkan mata. "Seperti yang kuduga, Mutiara Hitam ini bukan benda biasa. Peninggalan seorang leluhur kuno… tapi apa sebenarnya yang tersembunyi di dalamnya?" gumamnya sambil membolak-balik benda itu di tangannya.Dengan napas teratur, ia mulai mengalirkan kesadarannya ke dalam Mutiara Hitam tersebut. Saat itu juga, sesuatu terjadi—sebuah inskripsi kuno terpancar dari permukaannya, membentuk pola-pola bercahaya yang melindungi setiap sisi mutiara itu.Du Shen tetap tenang
Langit di atas Paviliun Alkemis, sesosok pria paruh baya berdiri melayang dengan jubah hitam dengan bordiran emas berkibar tertiup angin. Murong Bai, sosok yang disebut-sebut sebagai penguasa kota Danau Hitam, menatap tajam ke arah Paviliun Alkemis di bawahnya. Sorot matanya dipenuhi rasa ingin tahu sekaligus kewaspadaan.Aura tekanan yang ia pancarkan begitu kuat hingga para murid Paviliun Alkemis yang ada di halaman mulai merasa gemetar dan menundukkan kepala mereka, takut untuk menatap langsung sosok yang begitu menakutkan itu."Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Suaranya berat dan dalam, bergema di seluruh area Paviliun.Beberapa murid hanya bisa saling berpandangan dengan wajah tegang, tak seorang pun berani menjawab. Namun, sebelum suasana menjadi lebih mencekam, seorang pria tua dengan jubah panjang keluar dari dalam bangunan utama Paviliun.Dia adalah Ye Long, mantan pemimpin Paviliun Alkemis, sosok yang dihormati di kota Danau Hitam sebagai ahli alkimia. Langkahnya tenang
Gelombang energi yang begitu menekan tiba-tiba menyelimuti seluruh dunia di sekitar Paviliun Alkemis. Sebagai sosok terkuat di kota ini, Murong Bai tak pernah merasakan tekanan sekuat ini sebelumnya. Napasnya terasa sedikit tersengal, alisnya berkerut semakin dalam.'Apa ini!?' pikirnya. 'Tekanan aura yang begitu kuat… Dari mana datangnya? Di kota ini, tak seharusnya ada seseorang yang mampu memancarkan kekuatan seperti ini!'Matanya yang tajam menyapu ke segala arah, mencari sumber energi tersebut. Sejenak, perasaan tidak nyaman menyelusup ke dalam hatinya. Namun, sebagai kultivator di ranah Golden Core tahap lima, Murong Bai menepis keraguan itu.'Hmph! Ini pasti hanya kebetulan! Tak mungkin ada yang bisa menandingiku di tempat ini!' desisnya dalam hati.Dengan keyakinan itu, ia menegakkan tubuhnya dan melepaskan tekanan auranya sendiri. Angin berputar kencang di sekelilingnya, menekan apapun di sekitarnya. Murid-murid hingga para pelayan Paviliun Alkemis yang masih berada di halam
Murong Bai mengatupkan kedua tangannya, dan mulai membentuk serangkaian segel tangan yang kompleks. Jari-jarinya bergerak cepat, menciptakan pola-pola bercahaya yang memancarkan aura keemasan. Dalam hitungan detik, diagram inskripsi kuno terbentuk di atas kepalanya, berputar perlahan, mengeluarkan riak energi petir yang berderak ganas. Langit di atas Kota Danau Hitam, yang sebelumnya cerah, mendadak dipenuhi oleh awan hitam yang berputar-putar, seolah merespon kemarah Murong Bai. Setiap kilatan petir yang menyambar dari lingkaran diagram itu menyebarkan tekanan spiritual yang membuat para kultivator di bawahnya merasakan ketakutan yang mencekam. Dari lingkaran diagram inskripsi itu, sesuatu mulai muncul. Sepasang mata biru terang bersinar tajam di balik kilatan petir, diikuti oleh wujud besar yang perlahan membentuk tubuhnya. Seekor naga petir raksasa keluar dari dalam diagram, sisik-sisiknya memancarkan kilatan cahaya biru yang mengalir seperti arus listrik. Naga tersebut men
Langkah mereka berhenti di dasar ruang bawah tanah yang sunyi dan lembap. Aroma bebatuan tua dan hawa mistis yang pekat seakan menyambutnya. Di hadapannya berdiri sebuah patung batu yang hampir identik dengan yang sebelumnya mereka temukan di aula atas. Patung itu menggambarkan seorang pria tua berjanggut panjang, duduk dalam posisi bersila. Satu tangannya membentuk mudra, sementara tangan satunya menggenggam sebuah gulungan batu, seolah menyimpan rahasia dunia di dalamnya. Namun yang paling menarik adalah aura yang menguar dari patung itu—tenang, namun penuh dominasi yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti berada di hadapan entitas agung yang telah melampaui batas manusia fana. "Apa sebenarnya ini? Kenapa patung ini muncul lagi di sini?" gumam Lu Tian, melangkah lebih dekat dengan kening berkerut. Rasa ingin tahunya mengalahkan rasa waspadanya. Tanpa ragu, ia mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh permukaan dingin batu itu. Dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti cahaya putih meny
Du Shen kembali berdiri perlahan. Napasnya tertahan, bahunya naik-turun menahan rasa sakit yang masih tertinggal usai menerima tekanan brutal dari Ming Yue. Meski tubuhnya masih berdenyut nyeri di tiap sendi, tekad yang terpancar dari sorot matanya membungkam rasa lemah itu. Ia menatap lurus ke depan, wajahnya serius, dan kali ini tak ada sedikit pun keraguan di matanya. Keteguhan itu jarang muncul pada dirinya, namun kini, setelah semua yang terjadi—terutama setelah Hao Yexin dibawa pergi—ia tak bisa lagi membiarkan diri terombang-ambing oleh keadaan.Sambil mengatur napas, ia mengepalkan tangan. Luka dalam tubuhnya perlahan mulai sembuh berkat latihan teknik kultivasi yang ia kuasai. Namun bukan luka fisik yang paling menyakitkan baginya saat ini, melainkan rasa bersalah yang menghantui pikirannya."Hao Yexin… semoga kau baik-baik saja ke mana pun wanita itu membawamu," batinnya. Ia menunduk, memikirkan ucapan terakhir gadis itu dan beban berat yang kini menggantung di pundaknya."
"Huh? Kau bilang tak berasal dari benua ini? Lantas, dari manakah senior berasal?" tanya Du Shen dengan mata yang menyipit, menyiratkan kehati-hatian. Tekanan spiritual yang sejak awal ia pancarkan perlahan surut, seolah menyadari bahwa dominasi semacam itu takkan berguna melawan sosok di hadapannya.Wanita berjubah putih itu melirik sekilas padanya. Angin berdesir pelan di sekeliling mereka, membawa aroma samar yang entah berasal dari kabut spiritual atau auranya. Lalu, dengan suara pelan namun penuh otoritas, ia menjawab, "Aku berasal dari tempat yang jauh... tempat yang tak bisa kau temukan dalam peta manapun di Benua Yin ini. Tempat itu disebut Benua Yang—alam utama yang jauh lebih luas dan lebih kuat dari daratan rendah seperti benua ini."Mata Du Shen membelalak. Kalimat itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Ia mundur setengah langkah, bukan karena takut, tapi lebih karena terkejut.Benua Yang. Nama itu memang terdengar asing di telinga orang lain, namun baginya s
Aula utama itu, yang sebelumnya sunyi dan dipenuhi aura sakral, mendadak bergetar pelan. Langit-langitnya, terbuat dari batu giok yang mengilap, mulai beriak seperti permukaan danau yang dilempar kerikil.Riak-riak itu bukan lah ilusi, melainkan gelombang energi spiritual murni yang terpancar dari dimensi yang tersembunyi di balik tirai ruang dan waktu.Kilatan cahaya keemasan mulai merayap dari retakan-retakan tak kasat mata, membentuk pusaran yang perlahan membuka celah ke dimensi lain. Para kultivator yang semula duduk bersila dalam keheningan, langsung terjaga. Mata-mata mereka melebar penuh gairah. Ketenangan berubah jadi hiruk-pikuk dalam sekejap."Itu... Itu dia! Dimensi Langit Surgawi!" teriak seorang kultivator berpakaian hitam, matanya bersinar penuh antusias. "Pintu menuju peninggalan Dewa Kekacauan telah terbuka! Setelah sekian tahun menunggu, akhirnya kita mendapat kesempatan langka ini!"Seruan itu memicu gelombang kegembiraan. Para kultivator dari berbagai sekte dan kl
"Nak, jangan sekali-kali bermain-main denganku. Kau tahu siapa kami,bukan? Kami berasal dari Sekte Pedang Bulan. Jadi kuperingatkan sekali lagi, lepaskan muridku, dan kuanggap kejadian hari ini sebagai kesalahpahaman yang tak perlu diperpanjang lebih jauh." Suara Luo Ming menggema tegas, meski ada nada getar samar dalam intonasinya. Ia berdiri dengan dada tegak, berusaha menunjukkan wibawa, namun dari matanya yang sedikit menyipit terlihat jelas bahwa tekanan energi dari pemuda di hadapannya telah mengguncang jiwanya. Aura Luo Ming memang masih kuat, tetapi bayangan samar kekalahan barusan membuat keberaniannya terikat. Ia menahan amarah dalam-dalam, hanya demi keselamatan muridnya. Du Shen tidak segera menjawab. Ia menatap pria tua itu dengan sorot mata sedingin salju abadi di puncak gunung. Sejenak ia menghela napas pelan, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah tapi berat, setiap katanya seolah menggema di benak siapa pun yang mendengarnya. "Dan kau harus tahu… aku tak pe
Namun sebelum Luo Ming sempat melangkah lebih dekat, sebuah ledakan Qi yang sangat kuat tiba-tiba terpancar dari tubuh Du Shen. Gelombang kejut yang tak terlihat itu meledak ke satu arah dalam sekejap mata, menghantam tubuh Luo Ming seperti palu raksasa yang tak kasatmata.BUGH!Tubuh pria tua itu terlempar ke belakang sejauh beberapa meter. Suara gesekan kaki di lantai marmer menggema keras, meninggalkan jejak retakan yang lurus dan dalam, seolah baru saja diiris oleh pedang tak terlihat. Punggung Luo Ming membentur salah satu pilar batu di sisi aula, membuat retakan halus menjalar ke atas dinding pilar tersebut.Ia tersungkur dengan lutut menyentuh lantai. Wajahnya menegang. Sebuah ekspresi keterkejutan yang amat jarang terlihat pada wajah seorang tetua dari Sekte Pedang Bulan. Nafasnya memburu. Pandangannya tertuju pada sosok Du Shen yang masih berdiri di tempat, bahkan tanpa sedikit pun memutar badan untuk melihat serangannya sendiri. Seolah, semuanya itu hanya gangguan kecil bag
"Siapa bocah itu? Sombong sekali, berani menunjukkan tekanan energi Qi sekuat itu di tempat seperti ini. Apa dia tidak takut mati?" bisik seorang pria tua berambut kelabu yang duduk bersila di pinggir ruangan aula, matanya menyipit ke arah sumber tekanan yang menegangkan udara."Dia pasti punya latar belakang yang kuat. Tak mungkin seseorang pemuda berani bertindak seperti itu tanpa dukungan dari kekuatan besar di baliknya," sahut pria lain, suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh kehati-hatian."Sudahlah," ucap pria ketiga dengan nada lebih serius, "jangan ikut campur. Dunia ini luas, menyimpan banyak ahli misterius. Satu langkah yang salah bisa menyeret kita ke dalam jurang neraka." Ia kemudian kembali menutup matanya, mencoba masuk kembali ke dalam meditasi, meskipun hawa Qi yang menegang masih terasa menyesakkan di dada.Di dalam aula besar yang redup itu, hanya cahaya samar yang berpendar dari batu kristal di dinding-dinding. Namun atmosfer ruangan jauh dari tenang. Udara ter
Qin Chen melangkah maju, sepatu kulit halusnya menjejak lantai batu yang dingin, mengeluarkan suara pelan namun mantap. Tubuhnya tegak dengan dada membusung, seolah setiap langkahnya membawa gengsi dan martabat sebagai murid terhormat dari salah satu sekte besar di benua ini. Ia berhenti sekitar tiga langkah di depan Du Shen, menatap pemuda itu dari atas ke bawah dengan tatapan menilai dan sorot mata yang dingin seperti es.Senyum tipis muncul di sudut bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan ejekan tersembunyi, seolah ia sedang menatap seekor serangga yang tiba-tiba muncul di hadapan makan malamnya.Du Shen, yang sedari tadi hanya berdiri santai dengan tangan di balik punggung, melirik pemuda itu sekilas. Tatapannya acuh tak acuh, bahkan sedikit malas, seolah sedang menilai seseorang yang tak layak untuk diperhatikan. Ia tidak mengatakan apa pun. Wajahnya tetap tenang, seperti permukaan danau di musim gugur yang tak terusik apapun.Qin Chen akhirnya angkat suar
Namun ia tak begitu peduli pada patung itu dan mengalihkan perhatian ke segala arah di dalam aula yang luas itu. "Hmm?" Du Shen bergumam lirih sambil menatap sekeliling ruangan luas yang terasa sunyi. Pilar-pilar batu yang menjulang tinggi tampak kokoh menopang langit-langit aula, ia memandangi sekitar seolah tengah mencari seseorang. "Pak tua Zhao... Dia tak ada di sini. Apakah dia masih terjebak dalam dimensi ilusi sebelumnya? Atau jangan-jangan ada ruangan lain selain tempat ini?" Pikirannya terus bergulir, mencoba mencari jawaban. Namun tepat saat ia hendak bergerak untuk menyelidiki lebih jauh, seberkas aura yang familiar tiba-tiba muncul dari sisi timur aula. Aura itu samar namun mengandung nuansa yang tak asing baginya. Du Shen menoleh cepat. Matanya menajam, menyapu arah tempat datangnya aura tersebut. Beberapa langkah dari tempatnya berdiri, sesosok gadis perlahan muncul dari balik kerumunan. Ia tidak sendiri—di dekatnya berdiri dua orang asing yang tampak waspada. Satu