Home / Pendekar / Legenda Pedang Langit Dan Bumi / Bab 14 – Gerbang Angin yang Tidak Memaafkan

Share

Bab 14 – Gerbang Angin yang Tidak Memaafkan

last update Last Updated: 2025-05-11 18:57:14

Langit di atas Gunung Empat Gerbang perlahan-lahan memudar, seperti napas terakhir senja yang enggan pergi. Angin mulai berubah arah, tidak lagi sekadar sejuk—melainkan membawa rasa aneh, seperti bisikan rahasia yang ingin mencuri rahasia jiwa. Semua yang hadir di pelataran tahu, ini pertanda Gerbang Angin sedang terbangun.

Liang Feng berdiri tegak di depan pusaran samar yang tidak berwarna, tidak berbentuk. Gerbang Angin nyaris tak terlihat oleh mata biasa—hanya gelombang udara yang tak stabil, bergelombang seperti pantulan di atas air.

Namun, dari kedalaman pusaran itu, bisikan-bisikan mulai merayap.

“…mengapa kau ke sini…?” suara itu seperti bisikan, tapi terdengar seperti tepat berada di dekat telinganya.

“…kau tahu kau tidak diinginkan…”

“…apa kau lupa bagaimana kau dibuang…?”

Liang Feng tidak menunjukkan reaksi apa pun di wajahnya. Tapi napasnya terasa berat. Gerbang ini bukan untuk tubuh, melainkan untuk pikiran. Dan pikiran adalah medan yang paling sulit dikendalikan.

Sejenak,
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 21 – Ujung Pedang yang Menanti Jawaban

    Langkah-langkah kaki mereka menyusuri lereng batu yang kering. Liang Feng berjalan di barisan paling depan, Bai Zhen di sampingnya, sementara Mei Lin dan dua murid muda lain menyusul tak jauh di belakang. Udara pagi di kaki Gunung Fenghuang masih lembap, meninggalkan embun di setiap dedaunan yang mereka lewati.Liang Feng merasa sedikit lega. Setelah pertemuan dengan penjaga lembah dan penyerbuan singkat dari sekte bayangan, mereka akhirnya bisa keluar dari wilayah berbahaya. Kini tinggal kembali ke markas kecil tempat Bai Zhen mengajarkan dasar-dasar jurus nafas pedang.Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, sosok berjubah kelabu muncul dari balik dinding bebatuan. Gerakannya tenang, hampir seperti bayangan yang muncul tanpa suara. Wajahnya tua, dengan janggut putih yang menjuntai hingga ke dada.Liang Feng langsung menajamkan instingnya, tapi Bai Zhen memberi isyarat tenang. “Itu Tetua Yin.”Mei Lin berbisik, “Yang tinggal menyendiri di barat lembah? Katanya dia pernah ja

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 20: Kunci yang Tersembunyi

    Keesokan harinya, cahaya pagi tampak lebih lembut, seperti menyambut kelahiran kembali jiwa-jiwa yang baru saja melewati ujian berat. Angin berhembus tenang, namun di dalam diri setiap peserta, rasa tenang itu hanya sementara—seperti riak di permukaan air yang tak lama akan menghilang.Liang Feng berjalan keluar dari tenda, matanya masih sedikit sayu, tapi pikirannya sudah jauh dari ketegangan semalam. Ia tahu, ini bukan akhir dari pelatihan mereka. Bahkan lebih dari itu—ini adalah permulaan dari sebuah perjalanan yang lebih panjang.Di pelataran, beberapa peserta sudah berkumpul. Mereka tampak lebih tenang, tetapi setiap langkah mereka mengungkapkan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Perasaan yang sama ketika mereka pertama kali datang, di mana harapan mereka belum teruji. Kini, setelah melewati Gerbang Api, harapan itu terasa lebih rapuh. Tapi juga lebih jelas.Di ujung pelataran, Tetua Yin berdiri menunggu. Di sampingnya, ada Tetua utama yang baru saja tiba setelah sebelumnya t

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 19: Api yang Tidak Membakar

    Fajar menjilat langit seperti luka terbuka yang perlahan mengering. Cahaya keemasan membelah kabut, menyingkap bayangan hitam dari Gerbang terakhir—Gerbang Api.Gerbang itu berdiri seolah-olah tidak terbuat dari batu, tapi dari bara yang dibekukan dalam waktu. Dindingnya merah kehitaman, menghembuskan panas yang tak terasa di kulit tapi menekan dada seperti beban yang tak terlihat. Di puncaknya, ada ukiran kuno berbentuk pusaran api, dan di bawahnya, simbol: 心—“hati.”Liang Feng berdiri di barisan bersama para peserta yang tersisa. Jumlah mereka telah berkurang hampir sepertiga sejak awal pelatihan. Sebagian pergi karena cedera. Sebagian karena pilihan. Dan sebagian lagi... karena tak sanggup kembali dari keheningan.“Gerbang Api adalah yang terakhir,” suara Tetua Yin terdengar, tenang namun penuh makna. “Tapi bukan karena ia paling sulit. Melainkan karena ia tidak bisa dilewati oleh orang yang belum benar-benar mengenal dirinya.”Sebuah pernyataan sederhana—namun lebih menakutkan dar

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 18: Keheningan yang Berbisik

    Malam belum sepenuhnya berganti ketika kabut mulai turun dari sisi utara Gunung Empat Gerbang. Kabut itu berbeda dari biasanya—dinginnya bukan hanya menusuk kulit, tapi juga merambat ke dalam hati, seolah mencoba menggugah sesuatu yang sudah lama tertidur.Liang Feng terbangun lebih awal. Udara di sekeliling tenda seperti diselimuti diam yang mencekik. Tidak ada suara burung. Tidak ada desiran angin. Bahkan derak kayu dan langkah kecil pun terasa diserap oleh dunia.Hari ini adalah giliran Gerbang Keheningan.Di antara keempat gerbang, inilah yang paling jarang dibicarakan. Bahkan para tetua pun tak pernah menjelaskan dengan rinci. Hanya satu hal yang mereka ulangi berulang kali:“Keheningan tidak membohongi. Ia hanya memantulkan.”Saat para peserta berkumpul di kaki gerbang, mereka dibuat terdiam bukan karena aturan, tapi karena suasananya. Gerbang itu tidak menjulang tinggi seperti Gerbang Batu atau menyala seperti Gerbang Api. Ia hanyalah lengkung sederhana dari batu putih pucat, b

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 17. Api yang Tidak Membakar

    LGerbang Api menyala bahkan saat fajar masih malu-malu di balik pegunungan. Tidak seperti gerbang lain yang tampak kokoh dan tenang, gerbang ini berdiri dalam kobaran yang tidak pernah padam—nyala yang tidak menjilat, tidak menyambar, tapi membakar dari dalam. Tidak panas. Tidak hangus. Tapi menyesakkan.Liang Feng berdiri bersama para kandidat lain, matanya terpaku pada api yang membentuk lengkung tinggi itu. Uap tipis mengepul dari sekelilingnya, seolah udara sendiri enggan mendekat.Di antara peserta, beberapa mulai mundur. Ada yang bahkan tidak sanggup berdiri dekat gerbang itu terlalu lama.“Gerbang Api... menguji sesuatu yang tak bisa dilihat oleh mata,” ujar Tetua Yin dengan suara pelan, lebih pada dirinya sendiri. “Amarah, ambisi, dan tekad. Bila tidak seimbang, kau akan terbakar dari dalam.”Liang Feng hanya mendengarkan. Ia tahu ini akan menjadi ujian terberat. Bukan karena kekuatan yang dibutuhkan, tapi karena luka lama yang selama ini ia tahan—api yang tidak ia padamkan, h

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 16. Bayangan dalam Batu

    Gelap.Bukan gelap seperti malam yang ditinggalkan Liang Feng di luar. Tapi gelap yang berat. Padat. Seperti udara yang berubah menjadi jelaga dan melapisi kulit serta paru-paru. Tidak ada cahaya. Tidak ada suara. Bahkan detak jantung pun seperti ditelan diam.Liang Feng berdiri diam. Ia tidak mencoba melangkah, karena tidak yakin tanah masih ada di bawahnya. Tapi kakinya tetap kokoh. Tanpa tahu kenapa, ia merasa tidak jatuh. Tidak melayang. Hanya... ada.Lalu, perlahan, sesuatu mulai bergetar. Bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya. Sebuah tekanan halus yang menjalar dari dada, naik ke tenggorokan, lalu menyebar ke seluruh tubuh seperti suara yang ingin keluar tapi tertahan.Tiba-tiba, sebuah suara muncul. Pelan. Sangat akrab. Terlalu akrab.'Kau bilang akan pulang sebelum musim dingin.'Liang Feng tersentak. Itu suara adiknya—Lian’er.Dan seperti tirai ditarik perlahan, dunia di sekelilingnya berubah. Ia tidak lagi berdiri dalam gelap. Kini ia berdiri di tengah ladang gandum, di b

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 15 – Hening Sebelum Batu Bicara

    Langit malam menyelimuti Gunung Empat Gerbang seperti selimut sutra kelam yang meredam semua suara. Rembulan belum sepenuhnya membulat, tapi cahayanya menetes perlahan ke pelataran, menyorot wajah-wajah penuh bayang tanya. Di tengah-tengah kerumunan itu, Liang Feng duduk diam. Bahkan angin enggan menyentuhnya sekarang.Gerbang Angin telah tertutup kembali, menyisakan hanya pusaran debu di udara dan detak jantung yang masih belum stabil di dada para peserta lain. Tak satu pun dari mereka yang berani menyuarakan pendapat dengan keras, seolah-olah kata-kata bisa membangunkan sesuatu yang belum sepenuhnya pergi.Liang Feng sendiri menunduk, membiarkan rambutnya yang kusut menutupi sebagian wajah. Napasnya perlahan, teratur, tapi matanya tetap tajam seperti seseorang yang baru saja keluar dari pertarungan melawan dirinya sendiri. Ia belum benar-benar kembali ke dunia nyata.Di sekelilingnya, peserta-peserta lain mulai bergerak—ragu-ragu, berhati-hati. Ada yang menatapnya dengan kekaguman t

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 14 – Gerbang Angin yang Tidak Memaafkan

    Langit di atas Gunung Empat Gerbang perlahan-lahan memudar, seperti napas terakhir senja yang enggan pergi. Angin mulai berubah arah, tidak lagi sekadar sejuk—melainkan membawa rasa aneh, seperti bisikan rahasia yang ingin mencuri rahasia jiwa. Semua yang hadir di pelataran tahu, ini pertanda Gerbang Angin sedang terbangun.Liang Feng berdiri tegak di depan pusaran samar yang tidak berwarna, tidak berbentuk. Gerbang Angin nyaris tak terlihat oleh mata biasa—hanya gelombang udara yang tak stabil, bergelombang seperti pantulan di atas air.Namun, dari kedalaman pusaran itu, bisikan-bisikan mulai merayap.“…mengapa kau ke sini…?” suara itu seperti bisikan, tapi terdengar seperti tepat berada di dekat telinganya.“…kau tahu kau tidak diinginkan…”“…apa kau lupa bagaimana kau dibuang…?”Liang Feng tidak menunjukkan reaksi apa pun di wajahnya. Tapi napasnya terasa berat. Gerbang ini bukan untuk tubuh, melainkan untuk pikiran. Dan pikiran adalah medan yang paling sulit dikendalikan.Sejenak,

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 13 – Api yang Tersisa di Luar Gerbang

    Angin panas berhembus pelan dari arah gerbang, meskipun langit tetap mendung dan kering. Kabut merah yang tadi menggantung di puncak perlahan menipis, digantikan aura yang lebih berat—bukan dari api, tapi dari ketegangan yang menggumpal di udara.Semua mata tertuju ke Gerbang Api yang masih menyala terang. Cahaya merah menyala membentuk pusaran, kadang berkedip seperti mata yang mengamati dari dalam.Waktu terus berjalan.“Satu per satu biasanya menyerah di dalam lima langkah,” bisik seorang murid Sekte Langit Dalam. “Tapi dia sudah lebih dari itu. Lihat pusarannya... masih stabil. Tidak berubah warna.”“Kalau warnanya menghitam, artinya peserta gugur,” balas seorang lainnya. “Merah pekat artinya sedang menghadapi ujian batin. Tapi jika sampai oranye...”“Oranye?” potong seseorang dengan nada takut.“Itu berarti dia sedang mendekati penguasaan.”Diam menyelimuti kelompok itu.Lian Huo berdiri di depan, tangannya bersedekap, dagu terangkat. Tapi dari caranya menggigit bibir bawah dan t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status