Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih berkecamuk perasaan bersalah karena meninggalkan desanya. Namun, ia tahu—untuk membalas dendam dan melawan Sekte Seribu Bayangan, ia harus bertahan hidup terlebih dahulu!
Dingin pun menusuk tulang saat Liang Feng dan Mei Lin mendaki bukit berbatu di pinggiran desa Qinghe. Hutan lebat yang dulu tampak teduh kini terasa seperti labirin gelap yang bisa menyembunyikan bahaya kapan saja. Napas mereka tersengal, kelelahan setelah berlari sepanjang malam untuk menghindari kejaran Sekte Seribu Bayangan.
Sesekali Ling Feng mencoba menengok kembali ke arah belakang, untuk memastikan tidak ada yang mengetahui pelarian mereka. Karena dia yakin jika semua tempat sudah berada di bawah pengawasan Yan Fei.
"Apa kita sudah cukup jauh?" tanya Mei Lin dengan suara bergetar. Ia merapatkan pakaiannya yang tipis, mencoba menahan dingin.
Liang Feng berhenti sejenak, menajamkan pendengarannya. Tidak ada suara langkah kaki selain milik mereka sendiri. "Untuk sementara, ya," jawabnya. "Tapi kita tidak boleh berhenti. Jika mereka tahu kita masih hidup, mereka akan terus mengejar."
Mei Lin menggigit bibirnya, lalu mengangguk. Meski tubuhnya lelah, ia tahu mereka tidak punya pilihan lain.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah gua kecil tersembunyi di balik dinding batu. Liang Feng menyingkirkan ranting-ranting kering yang menutupi pintu masuknya, lalu melangkah masuk. Gua itu cukup luas untuk berlindung dari udara dingin dan jauh dari jalan utama, menjadikannya tempat persembunyian yang sempurna untuk sementara waktu.
Mei Lin duduk di atas batu datar dan memeluk lututnya. "Kita tidak bisa terus seperti ini, Liang Feng," katanya lirih. "Kita harus mencari bantuan. Tapi ke mana?"
Liang Feng menatap api kecil yang baru saja dinyalakannya. Ia tahu mereka membutuhkan perlindungan, tempat di mana mereka bisa belajar bertahan dan mungkin... membalas dendam.
Seketika, ia teringat sebuah nama. Kuil Gunung Wudang.
"Dulu, ibuku pernah menyebutkan seorang pendekar hebat yang tinggal di Gunung Wudang," katanya perlahan. "Katanya, dia adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa menghadapi Sekte Seribu Bayangan."
Mei Lin menatapnya dengan penuh harapan. "Kalau begitu, kita harus ke sana!"
Liang Feng mengangguk. Meski perjalanan ke Gunung Wudang akan sulit, itu mungkin satu-satunya harapan mereka untuk bertahan dan membalas dendam.
Saat itu, ia belum tahu bahwa keputusan ini akan membawanya ke dalam pusaran takdir yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
***
Langit gelap membentang di atas hutan saat Liang Feng dan Mei Lin melanjutkan perjalanan mereka. Angin malam berhembus membawa suara dedaunan yang bergesekan, menciptakan suasana yang mencekam.
Liang Feng berkali-kali menengok ke arah belakang, untuk memastikan tidak ada yang mengetahui atau membuntuti pelarian mereka. Karena dia tahu jika semua sudut berada di bawah pengawasan Yan Fei.
"Berapa lama kita harus berjalan?" tanya Mei Lin, suaranya mulai terdengar lelah.
Liang Feng melirik langit. "Jika kita tidak berhenti, mungkin butuh beberapa hari untuk mencapai kaki Gunung Wudang."
Mereka terus berjalan dengan hati-hati, tetapi firasat buruk mulai merayapi Liang Feng. Sejak meninggalkan gua, ia merasa seolah-olah ada mata yang mengawasi mereka dari kegelapan.
Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar di belakang mereka. Liang Feng berhenti dan menoleh cepat. Mei Lin juga ikut terdiam, ketakutan mulai muncul di matanya.
"Lari," bisik Liang Feng pelan.
Tanpa menunggu lebih lama, mereka berdua langsung berlari menerobos hutan. Napas mereka memburu, suara langkah kaki terdengar semakin dekat di belakang mereka.
Dari balik pepohonan, muncul tiga sosok berpakaian hitam dengan lambang Sekte Seribu Bayangan di dada mereka. Mata mereka tajam, senyuman sinis terpampang di wajah mereka.
"Kita ketahuan!" seru Mei Lin panik.
Liang Feng menggertakkan giginya. Ia tidak bisa lari terus. Dengan cepat, ia menarik Mei Lin ke belakang batu besar dan berbisik, "Aku akan menghadapi mereka. Kau terus lari ke arah utara!"
Mei Lin menggeleng keras. "Tidak! Kau tidak bisa melawan mereka sendirian!"
Tapi sudah terlambat. Salah satu pendekar hitam telah melihat mereka dan langsung menyerang dengan sebilah belati panjang. Liang Feng mengangkat pedang kayunya, mencoba menangkis serangan itu. Dentingan kayu dan logam menggema di udara.
Meski tubuhnya kelelahan, Liang Feng bertarung dengan segenap tenaga. Ia berhasil menghindari beberapa serangan, tetapi para pendekar itu jelas lebih berpengalaman. Sebuah pukulan keras mendarat di bahunya, membuatnya terhuyung ke belakang.
Salah satu pendekar berputar cepat dan menebaskan pedangnya ke arah Liang Feng. Ia nyaris tak sempat menghindar, hanya bisa menangkis dengan susah payah. Getaran dari benturan itu menjalar hingga ke tulangnya. Rasa sakit menyengat, tetapi ia tak bisa menyerah.
"Lari, Mei Lin!" teriaknya.
Mei Lin ragu sejenak, tetapi melihat situasinya, ia tidak punya pilihan. Dengan air mata berlinang, ia berlari meninggalkan Liang Feng yang berjuang mati-matian.
Liang Feng terengah-engah, keringat bercampur dengan darah di dahinya. Pandangannya mulai kabur. Pendekar hitam di depannya tersenyum miring. "Kau hanya bocah tak berguna. Berhenti melawan dan terimalah nasibmu!"
Saat itu, Liang Feng tahu bahwa ia tidak akan menang. Tetapi jika ini akhirnya, setidaknya ia harus melawan sampai titik darah penghabisan. Ia mengeraskan genggaman pada pedangnya dan bersiap menyerang lagi.
Namun, sebelum ia sempat bergerak, angin kencang tiba-tiba berdesir di sekitar mereka. Suara tajam membelah udara.
Zraaasshh!
Sebuah bayangan melesat turun dari langit, menghantam tanah di antara Liang Feng dan lawannya. Cahaya bulan menyorotkan sosok seorang lelaki tua berjubah biru dengan rambut putih panjang. Tatapan matanya tajam seperti elang.
Pendekar Seribu Bayangan tampak terkejut. "Kau... Guru Bai?"
Pria tua itu tidak menjawab. Dengan satu gerakan cepat, ia menghunus pedangnya yang memancarkan cahaya kebiruan. Dalam sekejap, dua pendekar roboh ke tanah, sementara satu lainnya melarikan diri ke dalam kegelapan.
Liang Feng terjatuh ke lututnya, napasnya tersengal.
Pria tua itu menatapnya dengan penuh arti. "Kau punya keberanian, anak muda. Tapi keberanian saja tidak cukup untuk bertahan di dunia ini."
Liang Feng menelan ludah, lalu mengangkat kepalanya. "Siapa kau?"
Orang itu menyarungkan pedangnya, lalu tersenyum tipis. "Namaku Bai Zhen. Jika kau ingin selamat dan menjadi lebih kuat... ikutlah denganku."
Bersambung…
Liang Feng melangkah meninggalkan rumah kecil di kaki Gunung Lingyan dengan perasaan yang belum sepenuhnya jelas. Langkah kakinya terasa ringan, namun ada rasa beban yang menggelayuti pikirannya. Pedang yang ia ukir—terbelah namun bersatu oleh akar pohon—berada di punggungnya. Itu bukan hanya simbol kekuatannya yang terbagi, tapi juga gambaran dari dirinya yang telah berubah.Hari mulai terik ketika Liang Feng melintasi jalan setapak yang mengarah ke hutan lebat. Ia meninggalkan desa Luowen yang sederhana, menuju perjalanan panjang yang menantinya. Namun, di dalam hatinya, sesuatu masih belum selesai. Kata-kata Yin He bergema dalam pikirannya, tentang bagaimana ia harus menghadapi bayangannya sendiri, bukan menebasnya."Aku masih tak tahu apa artinya itu," gumamnya pelan, mencoba mencari makna yang lebih dalam dari nasihat yang diberikan pria tua itu.Tak jauh dari tempatnya berjalan, di antara pepohonan yang rindang, sebuah bayangan melintas. Liang Feng menghentikan langkah, merasaka
Kabut tipis masih menyelimuti kaki Gunung Lingyan saat Liang Feng tiba di desa kecil bernama Luowen. Letaknya tersembunyi, dikelilingi sawah dan hutan lebat, jauh dari hiruk-pikuk dunia sekte atau arena pelatihan. Namun, di sanalah Bai Zhen mengarahkannya, dengan satu pesan: “Kau tak akan belajar jurus baru di sana, tapi kau akan mengenali hatimu sendiri.”Langkah Liang Feng berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pagar bambu. Dari dalam, terdengar suara ketukan halus—seperti palu kecil yang memukul besi. Ia mengetuk pintu, namun tak ada jawaban. Maka ia membuka pagar dan melangkah masuk perlahan.Di balik rumah, seorang pria tua duduk di bawah pohon zaitun tua. Rambutnya telah sepenuhnya putih, namun matanya menyala tajam saat menatap ke arah Liang Feng. Ia mengenakan jubah coklat sederhana dan memegang palu kecil, sedang memahat sesuatu dari batu.“Kau datang lebih cepat dari yang kukira,” ucapnya pelan, tanpa menoleh dari karyanya.“Apakah Anda orang yang dim
Kabut pagi masih menggantung rendah ketika Liang Feng berdiri di atas tebing yang menghadap lembah luas di bawah Sekte Pedang Langit. Angin membelai jubah putihnya, membawa serta aroma dedaunan dan bunga liar. Di hadapannya, Bai Zhen berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tenang namun matanya tajam seperti pedang yang belum disarungkan.“Hari ini,” ucap Bai Zhen, “kau akan berlatih dalam Formasi Bayangan Langit. Ini bukan sekadar teknik bertarung. Tapi juga ujian kedewasaan jiwa.”Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Latihan semalam telah mengajarinya satu hal penting—bahwa kekuatan sejati tak datang dari Chi semata, tapi dari pengendalian niat.Bai Zhen melangkah ke tengah lingkaran batu yang sudah disusun membentuk formasi rasi bintang. Di sekelilingnya, belasan pilar kecil terukir dengan pola-pola halus. Ketika ia menekan telapak tangan ke batu utama di tengah, formasi itu mulai menyala—garis cahaya biru keperakan merambat membentuk jaringan.“Masuklah
Cahaya pagi menyusup masuk dari celah-celah kecil di dinding ruang semadi. Udara masih dingin, namun tak sedingin malam sebelumnya. Liang Feng duduk bersila di atas lantai batu, matanya masih tertutup, napasnya teratur, dan tubuhnya dikelilingi sisa-sisa gelombang Chi yang belum sepenuhnya menyatu.Semalam, ia nyaris pingsan ketika pusaran Chi dari batu-batu itu menyerbu tubuhnya tanpa peringatan. Namun setelah beberapa siklus napas, ia mulai memahami irama kasar energi yang dipancarkan ruangan itu—seperti seorang murid yang perlahan memahami nada-nada dari alat musik asing.Di depan pintu, Tetua Yin berdiri diam. Jubah abu-abu tuanya nyaris menyatu dengan dinding, membuatnya seperti bayangan yang tak pernah bergerak. Ia mengamati Liang Feng dengan tatapan dalam, bukan sekadar mengawasi, tetapi seolah membaca sesuatu yang lebih dalam dari postur tubuh atau ekspresi wajah.“Dia menyatu dengan ruang ini lebih cepat dari dugaanku,” gumam Tetua Yin pelan.Suara itu cukup untuk membuat Lia
Udara pagi di kaki gunung terasa berat, seperti menyimpan banyak rahasia yang belum sempat diungkap. Liang Feng duduk bersila di tengah ruangan batu, tempat semedi yang bahkan tak bernama dalam catatan murid-murid Bai Zhen. Cahaya matahari belum mampu menembus masuk ke sela-sela dinding batu, hanya nyala lentera yang redup menjadi satu-satunya sumber cahaya, membentuk bayangan-bayangan panjang di wajahnya.Semenjak ia dipisahkan dari rombongan dan ditahan oleh Tetua Yin untuk menjalani pengujian diam-diam, Liang Feng lebih banyak diam. Bai Zhen tak protes, hanya mengangguk saat Tetua Yin membisikkan sesuatu di telinganya. Entah bentuk kepercayaan, atau karena sang guru tahu, perjalanan muridnya memang bukan untuk terus bersama.Sebuah pertanyaan terus bergema di kepala Liang Feng—bukan tentang pedang, bukan tentang Chi, tapi tentang dirinya sendiri."Mengapa aku terus maju?"Pertanyaan itu sepele bagi orang lain, tapi tidak untuk Liang Feng. Karena sejak langkah pertamanya keluar dari
Ruang Batu milik Tetua Yin bukan tempat yang mudah dimasuki. Dinding-dindingnya seolah bukan hanya terbuat dari batu, tapi juga dari waktu itu sendiri—diam, purba, dan penuh tekanan tak kasat mata.Liang Feng berdiri di tengah ruang itu. Cahaya lilin di sudut-sudut ruangan nyaris padam, seolah tak sanggup menyentuh udara yang berat. Tak ada suara. Tak ada langkah. Hanya detak jantungnya sendiri yang menggema, pelan namun mantap.Tetua Yin telah menguncinya dari luar. Bukan secara kasar, bukan pula sebagai hukuman, tapi sebagai ujian sunyi. “Jika hatimu goyah dalam kesunyian, maka langkahmu akan rapuh di tengah keramaian,” begitu kata Tetua Yin sebelum meninggalkannya.Liang Feng tahu ini bukan sekadar ruang. Ini adalah cermin. Cermin untuk seluruh luka yang pernah ia abaikan, seluruh kemarahan yang ia pendam, dan seluruh keraguan yang diam-diam terus menghantuinya.Ia duduk bersila. Mengatur napas.Malam telah jatuh di luar sana, tapi waktu di dalam ruang ini seperti tak berjalan.***