Pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Bai Zhen membangunkan Liang Feng dari tidurnya. Udara di puncak Gunung Wudang terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Liang Feng menggigil sejenak sebelum menyadari Bai Zhen telah berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam.
"Hari ini, kau akan menghadapi ujian pertamamu," ujar Bai Zhen dengan suara tenang namun penuh tekanan.
Liang Feng mengangkat alis. "Ujian? Aku bahkan belum mempelajari teknik bertarung apa pun."
Bai Zhen tersenyum tipis. "Ujian ini bukan tentang bertarung, tetapi tentang ketahanan dan pemahamanmu terhadap tubuh serta chi-mu sendiri."
Tanpa banyak penjelasan, Bai Zhen membawanya mendaki lebih tinggi ke atas gunung. Jalan setapak yang mereka lalui semakin sempit dan terjal. Setiap langkah terasa berat bagi Liang Feng yang masih belum sepenuhnya pulih dari luka-lukanya.
"Kau harus membawa ember ini berisi air dari mata air suci ke puncak tanpa menumpahkan setetes pun," kata Bai Zhen sambil memberikan dua ember besar yang penuh dengan air jernih.
Liang Feng memandangi ember tersebut dengan skeptis. "Ini terlihat mudah."
Bai Zhen tertawa kecil. "Kita lihat saja."
Ketika Liang Feng mulai melangkah, ia langsung menyadari betapa sulitnya tugas ini. Jalan yang licin, angin yang bertiup kencang, dan beratnya ember membuat perjalanannya semakin menantang. Beberapa kali ia tergelincir dan hampir menumpahkan airnya, tetapi ia terus berusaha menyeimbangkan diri.
“Sial! Aku tidak menyangka dengan jalur yang harus aku lewati ini. Ini benar-benar tidak masuk akal. Bahkan, untuk mempertahankan air ini di jalanan datar sudah sangat sulit!” kesal Liang Feng sambil terus membagi fokus antara jalan dan air yang dibawanya.
Dari kejauhan, Bai Zhen bisa mengetahui kata-kata umpatan yang dilontarkan oleh Liang Feng, Namun bukannya marah, sudut bibirnya malah tertarik dan memperlihatkan ekspresi puas saat melihat Liang Feng tampak kesal.
Setelah berjam-jam, tubuhnya mulai lelah. Kakinya gemetar, lengannya terasa kaku, dan pikirannya mulai dipenuhi keraguan. "Mengapa aku harus melakukan ini? Aku butuh ilmu pedang, bukan membawa air ke puncak gunung!"
Bai Zhen yang mengawasinya dari kejauhan hanya tersenyum. "Ketahanan dan kesabaran adalah dasar dari semua ilmu bela diri. Jika kau tidak mampu mengendalikan tubuhmu sendiri, bagaimana kau bisa mengendalikan pedangmu?"
Ucapan Bai Zhen tampak masuk akal untuk Liang Feng. Mungkin karena dirinya belum pernah menjadi seorang murid, membuat dirinya tidak mengetahui hal-hal dasar dalam mempelajarinya. Lagipula, menurut Liang Feng tidak ada untungnya bagi Bai Zhen jika hanya mempermainkannya.
Dengan gigih, Liang Feng melanjutkan perjalanannya. Saat ia hampir mencapai puncak, tubuhnya sudah nyaris menyerah, namun tekadnya tetap membara. Dengan langkah terakhir yang penuh perjuangan, ia akhirnya tiba di atas tanpa menumpahkan setetes pun.
Bai Zhen mengangguk puas. "Bagus. Kini, kita bisa melangkah ke tahap berikutnya."
Liang Feng hanya bisa mengatur napasnya yang masih tersengal, tanpa menyadari apa yang akan dihadapinya setelah ini.
***
Setelah menyelesaikan ujian pertamanya, Liang Feng merasa lebih percaya diri. Namun, Bai Zhen tidak memberinya waktu untuk beristirahat lama.
"Sekarang, kau akan belajar memahami hubungan antara tubuhmu dengan elemen di sekitarmu," ujar Bai Zhen sambil menggambar lingkaran di tanah.
"Elemen?" Liang Feng mengerutkan kening. "Maksudmu seperti api dan air?"
Bai Zhen menggeleng. "Bukan hanya itu. Dalam dunia persilatan, pendekar sejati memahami bagaimana chi mereka terhubung dengan elemen alam. Angin, tanah, air, api—semua memiliki energinya sendiri. Jika kau bisa merasakannya, kau bisa menggunakannya untuk keuntunganmu."
Penjelasan itu membuat Liang Feng semakin bertanya-tanya. Mungkin dirinya pernah mendengar hal itu di suatu tempat, tapi dirinya masih belum bisa memahaminya dengan pasti karena dirinya tidak pernah mempelajarinya secara langsung.
Bai Zhen kemudian meminta Liang Feng berdiri di tengah lingkaran. "Tutup matamu dan rasakan tanah di bawah kakimu."
Liang Feng menurut. Ia merasakan dinginnya tanah yang kasar, tetapi tidak lebih dari itu. Dirinya masih belum bisa memahami makna dari merasakan tanah itu sendiri.
"Rasakan lebih dalam. Dengarkan dengan hatimu."
Awalnya, Liang Feng merasa ini hanya latihan aneh tanpa tujuan, tetapi perlahan, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ada getaran halus yang hampir tidak terdengar di bawah permukaan tanah, seolah-olah ada kehidupan di dalamnya.
"Chi tanah bergerak lambat namun stabil. Ia memberi kekuatan dan ketahanan. Jika kau bisa menyelaraskan tubuhmu dengan chi tanah, kau akan memiliki pijakan yang tak tergoyahkan di medan pertempuran."
Liang Feng mencoba mengontrol napasnya dan membiarkan dirinya menyatu dengan aliran chi tersebut. Untuk sesaat, ia merasakan kehangatan yang merayap dari telapak kakinya hingga ke seluruh tubuhnya.
Namun, saat ia mencoba lebih jauh, sesuatu mengganggu konsentrasinya. Sebuah bayangan hitam melintas di benaknya—wajah ibunya yang berlumuran darah, teriakan warga desa yang terbantai. Emosi itu datang begitu kuat hingga tubuhnya gemetar dan ia kehilangan keseimbangan.
Bai Zhen menghela napas. "Kau masih terikat oleh kemarahan dan dendammu. Selama itu masih menguasai hatimu, kau tidak akan pernah bisa mencapai potensi penuhmu."
Liang Feng mengepalkan tangannya. "Bagaimana aku bisa melupakan apa yang mereka lakukan?"
Bai Zhen menatapnya dengan mata tajam. "Aku tidak memintamu untuk melupakan. Aku hanya memintamu untuk mengendalikan perasaan itu. Jika tidak, maka chi-mu akan liar dan tak terkendali. Kau harus memilih: menjadi pendekar yang bijak atau menjadi monster yang dikendalikan oleh kebencian."
Liang Feng terdiam lama. Ia tahu bahwa ia masih belum siap, tetapi untuk pertama kalinya, ia mulai memahami bahwa kekuatan sejati bukan hanya berasal dari amarah, tetapi juga dari keseimbangan dalam dirinya sendiri.
"Aku akan mencoba lagi," katanya akhirnya.
Bai Zhen tersenyum tipis. "Bagus. Itu adalah langkah pertama menuju jalan seorang pendekar sejati."
Bersambung…
Cukup lama Liang Feng mempelajari elemen tanah, bahkan di awal dirinya selalu gagal dan kekuatannya menjadi tidak terkendali.Untungnya Bai Zhen selalu memberi arahan secara perlahan, dan membuat Liang Feng berhasil menguasai diri kembali. Walaupun begitu, Liang Feng tidak terlihat putus asa sedikitpun dan kembali terus mencoba.“Aku berhasil!” Teriak Liang Feng kegirangan.“Bagus! Kau bisa berhasil memahaminya dengan cukup cepat di pelajaran pertama ini. Apa yang kau rasakan sekarang?” sahut Bai Zhen dengan senyum tulus dan bangga.“Entahlah, tubuhku terasa lebih ringan dibanding sebelumnya. Dan sepertinya pendengaran ku menjadi lebih tajam,” jawab Liang Feng ragu-ragu sambil melihat dan merasakan bagian tubuhnya yang mengalami perubahan.Bai Zhen hanya menanggapi dengan senyuman lebar. Dia cukup yakin dengan penilaian awalnya tentang Liang Feng. Mengingat kecepatannya dalam mempelajari sesuatu, membuatnya teringat kembali dengan masa mudanya.Setelah yakin Liang Feng berhasil memaha
Setelah latihan di tebing, Bai Zhen memberi Liang Feng waktu untuk merenung. Namun, malam itu, pikirannya masih dipenuhi oleh kegelisahan. Ia terbangun oleh suara langkah kaki di luar pondoknya.Dengan hati-hati, ia meraih pedangnya dan keluar. Bayangan-bayangan bergerak di antara pepohonan. Ia segera menyadari bahwa ia sedang diawasi."Keluarlah!" Teriak Liang Feng dengan suara tegas.Dari kegelapan, seorang pria bertopeng muncul. "Kau telah berkembang dengan baik, anak desa. Tapi kau belum cukup kuat."Liang Feng langsung mengenali simbol di jubah pria itu—Sekte Seribu Bayangan. Ia mencengkeram gagang pedangnya erat-erat dan merubah posisinya untuk bertahan dan bersiap menyerang."Ternyata benar dugaanku, kau bagian dari mereka," geramnya.Pria itu tersenyum tipis. "Aku hanya ingin menguji kemampuanmu."“Aku tahu bukan hanya itu maksud kedatanganmu. Aku tidak sebodoh itu untuk dapat mengetahui maksud sebenarnya dari Sekte Seribu Bayangan!” ucap Liang Feng dengan suara meninggi.Tanp
Suara seruling Bai Zhen masih terdengar lembut saat angin malam menyapu pelataran pondok. Liang Feng duduk bersila di bawah pohon besar di sisi barat halaman, namun meditasinya tak tenang. Wajah pria bertopeng yang ia lawan semalam terus melintas di benaknya—dingin, tanpa ekspresi, menyimpan aura pembunuh yang akrab namun mengusik.Semakin ia mencoba mengosongkan pikiran, semakin dalam ingatannya menyeretnya ke masa lalu.Dan malam itu, mimpi lama kembali menghantam.Ia berdiri di tengah desa yang terbakar, cahaya api menari di genangan darah. Jeritan terdengar di mana-mana, diselingi suara tawa kejam dan derap langkah yang berat. Liang Feng kecil bersembunyi di balik tumpukan kayu, tubuhnya bergetar tak terkendali. Ibunya menutup mulutnya rapat-rapat agar ia tak mengeluarkan suara, sementara dari celah sempit, ia menyaksikan ayahnya bertarung sendirian hingga tubuhnya rubuh.Kemudian, muncul seorang pria. Bertopeng hitam perak, jubah gelap yang menyapu tanah, dan langkah yang tenang.
Kabut belum surut ketika fajar mulai merangkak naik di balik barisan pegunungan Wuying. Suasana masih sunyi, seolah alam menahan napas, menantikan sesuatu yang besar akan terjadi. Di tepi jurang yang menjulang, Liang Feng berdiri dalam diam. Jubah abu-abu tuanya berkibar pelan tertiup angin pegunungan. Tatapannya tajam menembus jauh, seolah menantang dunia yang ingin menelannya hidup-hidup.Di hadapannya, Bai Zhen berdiri membawa secarik gulungan sutra berwarna putih kelam. Tak seperti biasanya yang santai atau menyindir, wajahnya pagi itu serius, hampir seperti sedang menghadiri pemakaman.“Teknik ini,” ucapnya lirih sambil mengangkat gulungan itu, “bukan untuk mereka yang masih menyimpan keraguan dalam hati.”Liang Feng mengangguk tanpa kata. Ia tahu. Sudah tahu sejak tadi malam, saat Bai Zhen memintanya untuk menyiapkan diri secara batin, bahwa pelatihan kali ini bukan sekadar latihan gerakan. Ini adalah jalan antara hidup dan mati, antara cahaya dan bayangan. Dan jika ia gagal, mu
Langit mulai mendung ketika hari kelima pelatihan tiba. Kabut tak lagi setipis kain tipis pagi hari—kini menggumpal seperti dinding bayangan yang menyembunyikan segala sesuatu di baliknya. Udara berubah. Tak hanya dingin, tapi juga berat. Seperti ada sesuatu yang menekan dari atas.Bai Zhen berdiri diam di tepi batu, memandangi lembah di bawah. Angin meniup jubahnya yang kusut, tapi ia tak bergeming. Tatapannya tajam, penuh waspada.Liang Feng muncul dari balik pepohonan, langkahnya tak bersuara. Gerakannya jauh berbeda dari saat pertama ia datang. Kini ia tidak meninggalkan jejak—tidak dalam tanah, tidak pula dalam udara.“Aku bisa merasakannya,” katanya pelan. “Sesuatu bergerak di bawah sana.”Bai Zhen mengangguk. “Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga.”“Siapa mereka?”“Pemburu. Bukan manusia biasa. Bayangan yang dilepaskan oleh Sekte Bara Malam. Aku pernah menghabisi salah satu pemimpin mereka sepuluh tahun lalu.” Ia berhenti sejenak, lalu menatap Liang Feng. “Dan mereka tida
Hujan gerimis turun perlahan di atas desa Qinghe, menyelimuti atap-atap rumah kayu dengan lapisan embun tipis. Udara pagi terasa sejuk, dan aroma tanah basah bercampur dengan wangi teh dari kedai-kedai yang mulai buka. Di sudut desa, seorang pemuda dengan rambut hitam berantakan duduk di bawah pohon besar, matanya menatap langit yang kelabu.Liang Feng menghela napas panjang. Tangan kasarnya menggenggam sebilah pedang kayu yang ujungnya mulai tumpul akibat latihan bertahun-tahun. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi pendekar sejati seperti dalam kisah-kisah yang sering ia dengar dari para tetua desa. Namun, nasib seakan berkata lain—ia hanyalah anak seorang buruh biasa, tanpa kekayaan atau nama besar."Liang Feng!" suara seorang gadis memecah lamunannya.Ia menoleh dan melihat Mei Lin, sahabat kecilnya, berlari ke arahnya dengan napas tersengal. Wajahnya tampak cemas."Apa yang terjadi?" tanya Liang Feng sambil bangkit berdiri."Orang-orang dari Sekte Seribu Bayangan datang ke desa! M
Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih berkecamuk perasaan bersalah karena meninggalkan desanya. Namun, ia tahu—untuk membalas dendam dan melawan Sekte Seribu Bayangan, ia harus bertahan hidup terlebih dahulu!Dingin pun menusuk tulang saat Liang Feng dan Mei Lin mendaki bukit berbatu di pinggiran desa Qinghe. Hutan lebat yang dulu tampak teduh kini terasa seperti labirin gelap yang bisa menyembunyikan bahaya kapan saja. Napas mereka tersengal, kelelahan setelah berlari sepanjang malam untuk menghindari kejaran Sekte Seribu Bayangan.Sesekali Ling Feng mencoba menengok kembali ke arah belakang, untuk memastikan tidak ada yang mengetahui pelarian mereka. Karena dia yakin jika semua tempat sudah berada di bawah pengawasan Yan Fei."Apa kita sudah cukup jauh?" tanya Mei Lin dengan suara bergetar. Ia merapatkan pakaiannya yang tipis, mencoba menahan dingin.Liang Feng berhenti sejenak, menajamkan pendengarannya. Tidak ada suara langkah kaki selain milik mereka sendiri. "Untuk se
Udara pagi yang sejuk menyelimuti Gunung Wudang saat Liang Feng bangun dengan tubuh yang masih terasa sakit akibat pertempuran sebelumnya. Matahari mulai menampakkan diri dari balik pegunungan, memandikan dunia dengan cahaya keemasan. Ia merasakan nyeri di bahunya, mengingat serangan keras dari pendekar Seribu Bayangan malam itu.Di hadapannya, Bai Zhen duduk bersila di atas batu, matanya tertutup seolah sedang bermeditasi. Ketika Liang Feng mencoba bangkit, suara tenangnya terdengar."Sudah bangun? Bagus. Tapi jangan berpikir kau bisa bermalas-malasan di sini. Hari ini latihanmu dimulai."“Latihan…?”Liang Feng masih kebingungan. Ia tidak meminta dilatih, tapi setelah melihat bagaimana Bai Zhen mengalahkan musuh hanya dalam satu tebasan, ia tahu bahwa orang ini bukan pendekar biasa.Dengan tatapan penuh selidik, Liang Feng mendekat kearah pria yang telah menyelamatkannya itu. Ada sedikit keraguan terlihat dari ekspresi wajahnya, tapi dirinya bertekad untuk memastikan apa yang menjadi
Langit mulai mendung ketika hari kelima pelatihan tiba. Kabut tak lagi setipis kain tipis pagi hari—kini menggumpal seperti dinding bayangan yang menyembunyikan segala sesuatu di baliknya. Udara berubah. Tak hanya dingin, tapi juga berat. Seperti ada sesuatu yang menekan dari atas.Bai Zhen berdiri diam di tepi batu, memandangi lembah di bawah. Angin meniup jubahnya yang kusut, tapi ia tak bergeming. Tatapannya tajam, penuh waspada.Liang Feng muncul dari balik pepohonan, langkahnya tak bersuara. Gerakannya jauh berbeda dari saat pertama ia datang. Kini ia tidak meninggalkan jejak—tidak dalam tanah, tidak pula dalam udara.“Aku bisa merasakannya,” katanya pelan. “Sesuatu bergerak di bawah sana.”Bai Zhen mengangguk. “Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga.”“Siapa mereka?”“Pemburu. Bukan manusia biasa. Bayangan yang dilepaskan oleh Sekte Bara Malam. Aku pernah menghabisi salah satu pemimpin mereka sepuluh tahun lalu.” Ia berhenti sejenak, lalu menatap Liang Feng. “Dan mereka tida
Kabut belum surut ketika fajar mulai merangkak naik di balik barisan pegunungan Wuying. Suasana masih sunyi, seolah alam menahan napas, menantikan sesuatu yang besar akan terjadi. Di tepi jurang yang menjulang, Liang Feng berdiri dalam diam. Jubah abu-abu tuanya berkibar pelan tertiup angin pegunungan. Tatapannya tajam menembus jauh, seolah menantang dunia yang ingin menelannya hidup-hidup.Di hadapannya, Bai Zhen berdiri membawa secarik gulungan sutra berwarna putih kelam. Tak seperti biasanya yang santai atau menyindir, wajahnya pagi itu serius, hampir seperti sedang menghadiri pemakaman.“Teknik ini,” ucapnya lirih sambil mengangkat gulungan itu, “bukan untuk mereka yang masih menyimpan keraguan dalam hati.”Liang Feng mengangguk tanpa kata. Ia tahu. Sudah tahu sejak tadi malam, saat Bai Zhen memintanya untuk menyiapkan diri secara batin, bahwa pelatihan kali ini bukan sekadar latihan gerakan. Ini adalah jalan antara hidup dan mati, antara cahaya dan bayangan. Dan jika ia gagal, mu
Suara seruling Bai Zhen masih terdengar lembut saat angin malam menyapu pelataran pondok. Liang Feng duduk bersila di bawah pohon besar di sisi barat halaman, namun meditasinya tak tenang. Wajah pria bertopeng yang ia lawan semalam terus melintas di benaknya—dingin, tanpa ekspresi, menyimpan aura pembunuh yang akrab namun mengusik.Semakin ia mencoba mengosongkan pikiran, semakin dalam ingatannya menyeretnya ke masa lalu.Dan malam itu, mimpi lama kembali menghantam.Ia berdiri di tengah desa yang terbakar, cahaya api menari di genangan darah. Jeritan terdengar di mana-mana, diselingi suara tawa kejam dan derap langkah yang berat. Liang Feng kecil bersembunyi di balik tumpukan kayu, tubuhnya bergetar tak terkendali. Ibunya menutup mulutnya rapat-rapat agar ia tak mengeluarkan suara, sementara dari celah sempit, ia menyaksikan ayahnya bertarung sendirian hingga tubuhnya rubuh.Kemudian, muncul seorang pria. Bertopeng hitam perak, jubah gelap yang menyapu tanah, dan langkah yang tenang.
Setelah latihan di tebing, Bai Zhen memberi Liang Feng waktu untuk merenung. Namun, malam itu, pikirannya masih dipenuhi oleh kegelisahan. Ia terbangun oleh suara langkah kaki di luar pondoknya.Dengan hati-hati, ia meraih pedangnya dan keluar. Bayangan-bayangan bergerak di antara pepohonan. Ia segera menyadari bahwa ia sedang diawasi."Keluarlah!" Teriak Liang Feng dengan suara tegas.Dari kegelapan, seorang pria bertopeng muncul. "Kau telah berkembang dengan baik, anak desa. Tapi kau belum cukup kuat."Liang Feng langsung mengenali simbol di jubah pria itu—Sekte Seribu Bayangan. Ia mencengkeram gagang pedangnya erat-erat dan merubah posisinya untuk bertahan dan bersiap menyerang."Ternyata benar dugaanku, kau bagian dari mereka," geramnya.Pria itu tersenyum tipis. "Aku hanya ingin menguji kemampuanmu."“Aku tahu bukan hanya itu maksud kedatanganmu. Aku tidak sebodoh itu untuk dapat mengetahui maksud sebenarnya dari Sekte Seribu Bayangan!” ucap Liang Feng dengan suara meninggi.Tanp
Cukup lama Liang Feng mempelajari elemen tanah, bahkan di awal dirinya selalu gagal dan kekuatannya menjadi tidak terkendali.Untungnya Bai Zhen selalu memberi arahan secara perlahan, dan membuat Liang Feng berhasil menguasai diri kembali. Walaupun begitu, Liang Feng tidak terlihat putus asa sedikitpun dan kembali terus mencoba.“Aku berhasil!” Teriak Liang Feng kegirangan.“Bagus! Kau bisa berhasil memahaminya dengan cukup cepat di pelajaran pertama ini. Apa yang kau rasakan sekarang?” sahut Bai Zhen dengan senyum tulus dan bangga.“Entahlah, tubuhku terasa lebih ringan dibanding sebelumnya. Dan sepertinya pendengaran ku menjadi lebih tajam,” jawab Liang Feng ragu-ragu sambil melihat dan merasakan bagian tubuhnya yang mengalami perubahan.Bai Zhen hanya menanggapi dengan senyuman lebar. Dia cukup yakin dengan penilaian awalnya tentang Liang Feng. Mengingat kecepatannya dalam mempelajari sesuatu, membuatnya teringat kembali dengan masa mudanya.Setelah yakin Liang Feng berhasil memaha
Pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Bai Zhen membangunkan Liang Feng dari tidurnya. Udara di puncak Gunung Wudang terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Liang Feng menggigil sejenak sebelum menyadari Bai Zhen telah berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam."Hari ini, kau akan menghadapi ujian pertamamu," ujar Bai Zhen dengan suara tenang namun penuh tekanan.Liang Feng mengangkat alis. "Ujian? Aku bahkan belum mempelajari teknik bertarung apa pun."Bai Zhen tersenyum tipis. "Ujian ini bukan tentang bertarung, tetapi tentang ketahanan dan pemahamanmu terhadap tubuh serta chi-mu sendiri."Tanpa banyak penjelasan, Bai Zhen membawanya mendaki lebih tinggi ke atas gunung. Jalan setapak yang mereka lalui semakin sempit dan terjal. Setiap langkah terasa berat bagi Liang Feng yang masih belum sepenuhnya pulih dari luka-lukanya."Kau harus membawa ember ini berisi air dari mata air suci ke puncak tanpa menumpahkan setetes pun," kata Bai Zhen sambil memberikan dua ember besar yang penu
Udara pagi yang sejuk menyelimuti Gunung Wudang saat Liang Feng bangun dengan tubuh yang masih terasa sakit akibat pertempuran sebelumnya. Matahari mulai menampakkan diri dari balik pegunungan, memandikan dunia dengan cahaya keemasan. Ia merasakan nyeri di bahunya, mengingat serangan keras dari pendekar Seribu Bayangan malam itu.Di hadapannya, Bai Zhen duduk bersila di atas batu, matanya tertutup seolah sedang bermeditasi. Ketika Liang Feng mencoba bangkit, suara tenangnya terdengar."Sudah bangun? Bagus. Tapi jangan berpikir kau bisa bermalas-malasan di sini. Hari ini latihanmu dimulai."“Latihan…?”Liang Feng masih kebingungan. Ia tidak meminta dilatih, tapi setelah melihat bagaimana Bai Zhen mengalahkan musuh hanya dalam satu tebasan, ia tahu bahwa orang ini bukan pendekar biasa.Dengan tatapan penuh selidik, Liang Feng mendekat kearah pria yang telah menyelamatkannya itu. Ada sedikit keraguan terlihat dari ekspresi wajahnya, tapi dirinya bertekad untuk memastikan apa yang menjadi
Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih berkecamuk perasaan bersalah karena meninggalkan desanya. Namun, ia tahu—untuk membalas dendam dan melawan Sekte Seribu Bayangan, ia harus bertahan hidup terlebih dahulu!Dingin pun menusuk tulang saat Liang Feng dan Mei Lin mendaki bukit berbatu di pinggiran desa Qinghe. Hutan lebat yang dulu tampak teduh kini terasa seperti labirin gelap yang bisa menyembunyikan bahaya kapan saja. Napas mereka tersengal, kelelahan setelah berlari sepanjang malam untuk menghindari kejaran Sekte Seribu Bayangan.Sesekali Ling Feng mencoba menengok kembali ke arah belakang, untuk memastikan tidak ada yang mengetahui pelarian mereka. Karena dia yakin jika semua tempat sudah berada di bawah pengawasan Yan Fei."Apa kita sudah cukup jauh?" tanya Mei Lin dengan suara bergetar. Ia merapatkan pakaiannya yang tipis, mencoba menahan dingin.Liang Feng berhenti sejenak, menajamkan pendengarannya. Tidak ada suara langkah kaki selain milik mereka sendiri. "Untuk se
Hujan gerimis turun perlahan di atas desa Qinghe, menyelimuti atap-atap rumah kayu dengan lapisan embun tipis. Udara pagi terasa sejuk, dan aroma tanah basah bercampur dengan wangi teh dari kedai-kedai yang mulai buka. Di sudut desa, seorang pemuda dengan rambut hitam berantakan duduk di bawah pohon besar, matanya menatap langit yang kelabu.Liang Feng menghela napas panjang. Tangan kasarnya menggenggam sebilah pedang kayu yang ujungnya mulai tumpul akibat latihan bertahun-tahun. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi pendekar sejati seperti dalam kisah-kisah yang sering ia dengar dari para tetua desa. Namun, nasib seakan berkata lain—ia hanyalah anak seorang buruh biasa, tanpa kekayaan atau nama besar."Liang Feng!" suara seorang gadis memecah lamunannya.Ia menoleh dan melihat Mei Lin, sahabat kecilnya, berlari ke arahnya dengan napas tersengal. Wajahnya tampak cemas."Apa yang terjadi?" tanya Liang Feng sambil bangkit berdiri."Orang-orang dari Sekte Seribu Bayangan datang ke desa! M