Pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Bai Zhen membangunkan Liang Feng dari tidurnya. Udara di puncak Gunung Wudang terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Liang Feng menggigil sejenak sebelum menyadari Bai Zhen telah berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam.
"Hari ini, kau akan menghadapi ujian pertamamu," ujar Bai Zhen dengan suara tenang namun penuh tekanan.
Liang Feng mengangkat alis. "Ujian? Aku bahkan belum mempelajari teknik bertarung apa pun."
Bai Zhen tersenyum tipis. "Ujian ini bukan tentang bertarung, tetapi tentang ketahanan dan pemahamanmu terhadap tubuh serta chi-mu sendiri."
Tanpa banyak penjelasan, Bai Zhen membawanya mendaki lebih tinggi ke atas gunung. Jalan setapak yang mereka lalui semakin sempit dan terjal. Setiap langkah terasa berat bagi Liang Feng yang masih belum sepenuhnya pulih dari luka-lukanya.
"Kau harus membawa ember ini berisi air dari mata air suci ke puncak tanpa menumpahkan setetes pun," kata Bai Zhen sambil memberikan dua ember besar yang penuh dengan air jernih.
Liang Feng memandangi ember tersebut dengan skeptis. "Ini terlihat mudah."
Bai Zhen tertawa kecil. "Kita lihat saja."
Ketika Liang Feng mulai melangkah, ia langsung menyadari betapa sulitnya tugas ini. Jalan yang licin, angin yang bertiup kencang, dan beratnya ember membuat perjalanannya semakin menantang. Beberapa kali ia tergelincir dan hampir menumpahkan airnya, tetapi ia terus berusaha menyeimbangkan diri.
“Sial! Aku tidak menyangka dengan jalur yang harus aku lewati ini. Ini benar-benar tidak masuk akal. Bahkan, untuk mempertahankan air ini di jalanan datar sudah sangat sulit!” kesal Liang Feng sambil terus membagi fokus antara jalan dan air yang dibawanya.
Dari kejauhan, Bai Zhen bisa mengetahui kata-kata umpatan yang dilontarkan oleh Liang Feng, Namun bukannya marah, sudut bibirnya malah tertarik dan memperlihatkan ekspresi puas saat melihat Liang Feng tampak kesal.
Setelah berjam-jam, tubuhnya mulai lelah. Kakinya gemetar, lengannya terasa kaku, dan pikirannya mulai dipenuhi keraguan. "Mengapa aku harus melakukan ini? Aku butuh ilmu pedang, bukan membawa air ke puncak gunung!"
Bai Zhen yang mengawasinya dari kejauhan hanya tersenyum. "Ketahanan dan kesabaran adalah dasar dari semua ilmu bela diri. Jika kau tidak mampu mengendalikan tubuhmu sendiri, bagaimana kau bisa mengendalikan pedangmu?"
Ucapan Bai Zhen tampak masuk akal untuk Liang Feng. Mungkin karena dirinya belum pernah menjadi seorang murid, membuat dirinya tidak mengetahui hal-hal dasar dalam mempelajarinya. Lagipula, menurut Liang Feng tidak ada untungnya bagi Bai Zhen jika hanya mempermainkannya.
Dengan gigih, Liang Feng melanjutkan perjalanannya. Saat ia hampir mencapai puncak, tubuhnya sudah nyaris menyerah, namun tekadnya tetap membara. Dengan langkah terakhir yang penuh perjuangan, ia akhirnya tiba di atas tanpa menumpahkan setetes pun.
Bai Zhen mengangguk puas. "Bagus. Kini, kita bisa melangkah ke tahap berikutnya."
Liang Feng hanya bisa mengatur napasnya yang masih tersengal, tanpa menyadari apa yang akan dihadapinya setelah ini.
***
Setelah menyelesaikan ujian pertamanya, Liang Feng merasa lebih percaya diri. Namun, Bai Zhen tidak memberinya waktu untuk beristirahat lama.
"Sekarang, kau akan belajar memahami hubungan antara tubuhmu dengan elemen di sekitarmu," ujar Bai Zhen sambil menggambar lingkaran di tanah.
"Elemen?" Liang Feng mengerutkan kening. "Maksudmu seperti api dan air?"
Bai Zhen menggeleng. "Bukan hanya itu. Dalam dunia persilatan, pendekar sejati memahami bagaimana chi mereka terhubung dengan elemen alam. Angin, tanah, air, api—semua memiliki energinya sendiri. Jika kau bisa merasakannya, kau bisa menggunakannya untuk keuntunganmu."
Penjelasan itu membuat Liang Feng semakin bertanya-tanya. Mungkin dirinya pernah mendengar hal itu di suatu tempat, tapi dirinya masih belum bisa memahaminya dengan pasti karena dirinya tidak pernah mempelajarinya secara langsung.
Bai Zhen kemudian meminta Liang Feng berdiri di tengah lingkaran. "Tutup matamu dan rasakan tanah di bawah kakimu."
Liang Feng menurut. Ia merasakan dinginnya tanah yang kasar, tetapi tidak lebih dari itu. Dirinya masih belum bisa memahami makna dari merasakan tanah itu sendiri.
"Rasakan lebih dalam. Dengarkan dengan hatimu."
Awalnya, Liang Feng merasa ini hanya latihan aneh tanpa tujuan, tetapi perlahan, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ada getaran halus yang hampir tidak terdengar di bawah permukaan tanah, seolah-olah ada kehidupan di dalamnya.
"Chi tanah bergerak lambat namun stabil. Ia memberi kekuatan dan ketahanan. Jika kau bisa menyelaraskan tubuhmu dengan chi tanah, kau akan memiliki pijakan yang tak tergoyahkan di medan pertempuran."
Liang Feng mencoba mengontrol napasnya dan membiarkan dirinya menyatu dengan aliran chi tersebut. Untuk sesaat, ia merasakan kehangatan yang merayap dari telapak kakinya hingga ke seluruh tubuhnya.
Namun, saat ia mencoba lebih jauh, sesuatu mengganggu konsentrasinya. Sebuah bayangan hitam melintas di benaknya—wajah ibunya yang berlumuran darah, teriakan warga desa yang terbantai. Emosi itu datang begitu kuat hingga tubuhnya gemetar dan ia kehilangan keseimbangan.
Bai Zhen menghela napas. "Kau masih terikat oleh kemarahan dan dendammu. Selama itu masih menguasai hatimu, kau tidak akan pernah bisa mencapai potensi penuhmu."
Liang Feng mengepalkan tangannya. "Bagaimana aku bisa melupakan apa yang mereka lakukan?"
Bai Zhen menatapnya dengan mata tajam. "Aku tidak memintamu untuk melupakan. Aku hanya memintamu untuk mengendalikan perasaan itu. Jika tidak, maka chi-mu akan liar dan tak terkendali. Kau harus memilih: menjadi pendekar yang bijak atau menjadi monster yang dikendalikan oleh kebencian."
Liang Feng terdiam lama. Ia tahu bahwa ia masih belum siap, tetapi untuk pertama kalinya, ia mulai memahami bahwa kekuatan sejati bukan hanya berasal dari amarah, tetapi juga dari keseimbangan dalam dirinya sendiri.
"Aku akan mencoba lagi," katanya akhirnya.
Bai Zhen tersenyum tipis. "Bagus. Itu adalah langkah pertama menuju jalan seorang pendekar sejati."
Bersambung…
Liang Feng melangkah meninggalkan rumah kecil di kaki Gunung Lingyan dengan perasaan yang belum sepenuhnya jelas. Langkah kakinya terasa ringan, namun ada rasa beban yang menggelayuti pikirannya. Pedang yang ia ukir—terbelah namun bersatu oleh akar pohon—berada di punggungnya. Itu bukan hanya simbol kekuatannya yang terbagi, tapi juga gambaran dari dirinya yang telah berubah.Hari mulai terik ketika Liang Feng melintasi jalan setapak yang mengarah ke hutan lebat. Ia meninggalkan desa Luowen yang sederhana, menuju perjalanan panjang yang menantinya. Namun, di dalam hatinya, sesuatu masih belum selesai. Kata-kata Yin He bergema dalam pikirannya, tentang bagaimana ia harus menghadapi bayangannya sendiri, bukan menebasnya."Aku masih tak tahu apa artinya itu," gumamnya pelan, mencoba mencari makna yang lebih dalam dari nasihat yang diberikan pria tua itu.Tak jauh dari tempatnya berjalan, di antara pepohonan yang rindang, sebuah bayangan melintas. Liang Feng menghentikan langkah, merasaka
Kabut tipis masih menyelimuti kaki Gunung Lingyan saat Liang Feng tiba di desa kecil bernama Luowen. Letaknya tersembunyi, dikelilingi sawah dan hutan lebat, jauh dari hiruk-pikuk dunia sekte atau arena pelatihan. Namun, di sanalah Bai Zhen mengarahkannya, dengan satu pesan: “Kau tak akan belajar jurus baru di sana, tapi kau akan mengenali hatimu sendiri.”Langkah Liang Feng berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pagar bambu. Dari dalam, terdengar suara ketukan halus—seperti palu kecil yang memukul besi. Ia mengetuk pintu, namun tak ada jawaban. Maka ia membuka pagar dan melangkah masuk perlahan.Di balik rumah, seorang pria tua duduk di bawah pohon zaitun tua. Rambutnya telah sepenuhnya putih, namun matanya menyala tajam saat menatap ke arah Liang Feng. Ia mengenakan jubah coklat sederhana dan memegang palu kecil, sedang memahat sesuatu dari batu.“Kau datang lebih cepat dari yang kukira,” ucapnya pelan, tanpa menoleh dari karyanya.“Apakah Anda orang yang dim
Kabut pagi masih menggantung rendah ketika Liang Feng berdiri di atas tebing yang menghadap lembah luas di bawah Sekte Pedang Langit. Angin membelai jubah putihnya, membawa serta aroma dedaunan dan bunga liar. Di hadapannya, Bai Zhen berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tenang namun matanya tajam seperti pedang yang belum disarungkan.“Hari ini,” ucap Bai Zhen, “kau akan berlatih dalam Formasi Bayangan Langit. Ini bukan sekadar teknik bertarung. Tapi juga ujian kedewasaan jiwa.”Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Latihan semalam telah mengajarinya satu hal penting—bahwa kekuatan sejati tak datang dari Chi semata, tapi dari pengendalian niat.Bai Zhen melangkah ke tengah lingkaran batu yang sudah disusun membentuk formasi rasi bintang. Di sekelilingnya, belasan pilar kecil terukir dengan pola-pola halus. Ketika ia menekan telapak tangan ke batu utama di tengah, formasi itu mulai menyala—garis cahaya biru keperakan merambat membentuk jaringan.“Masuklah
Cahaya pagi menyusup masuk dari celah-celah kecil di dinding ruang semadi. Udara masih dingin, namun tak sedingin malam sebelumnya. Liang Feng duduk bersila di atas lantai batu, matanya masih tertutup, napasnya teratur, dan tubuhnya dikelilingi sisa-sisa gelombang Chi yang belum sepenuhnya menyatu.Semalam, ia nyaris pingsan ketika pusaran Chi dari batu-batu itu menyerbu tubuhnya tanpa peringatan. Namun setelah beberapa siklus napas, ia mulai memahami irama kasar energi yang dipancarkan ruangan itu—seperti seorang murid yang perlahan memahami nada-nada dari alat musik asing.Di depan pintu, Tetua Yin berdiri diam. Jubah abu-abu tuanya nyaris menyatu dengan dinding, membuatnya seperti bayangan yang tak pernah bergerak. Ia mengamati Liang Feng dengan tatapan dalam, bukan sekadar mengawasi, tetapi seolah membaca sesuatu yang lebih dalam dari postur tubuh atau ekspresi wajah.“Dia menyatu dengan ruang ini lebih cepat dari dugaanku,” gumam Tetua Yin pelan.Suara itu cukup untuk membuat Lia
Udara pagi di kaki gunung terasa berat, seperti menyimpan banyak rahasia yang belum sempat diungkap. Liang Feng duduk bersila di tengah ruangan batu, tempat semedi yang bahkan tak bernama dalam catatan murid-murid Bai Zhen. Cahaya matahari belum mampu menembus masuk ke sela-sela dinding batu, hanya nyala lentera yang redup menjadi satu-satunya sumber cahaya, membentuk bayangan-bayangan panjang di wajahnya.Semenjak ia dipisahkan dari rombongan dan ditahan oleh Tetua Yin untuk menjalani pengujian diam-diam, Liang Feng lebih banyak diam. Bai Zhen tak protes, hanya mengangguk saat Tetua Yin membisikkan sesuatu di telinganya. Entah bentuk kepercayaan, atau karena sang guru tahu, perjalanan muridnya memang bukan untuk terus bersama.Sebuah pertanyaan terus bergema di kepala Liang Feng—bukan tentang pedang, bukan tentang Chi, tapi tentang dirinya sendiri."Mengapa aku terus maju?"Pertanyaan itu sepele bagi orang lain, tapi tidak untuk Liang Feng. Karena sejak langkah pertamanya keluar dari
Ruang Batu milik Tetua Yin bukan tempat yang mudah dimasuki. Dinding-dindingnya seolah bukan hanya terbuat dari batu, tapi juga dari waktu itu sendiri—diam, purba, dan penuh tekanan tak kasat mata.Liang Feng berdiri di tengah ruang itu. Cahaya lilin di sudut-sudut ruangan nyaris padam, seolah tak sanggup menyentuh udara yang berat. Tak ada suara. Tak ada langkah. Hanya detak jantungnya sendiri yang menggema, pelan namun mantap.Tetua Yin telah menguncinya dari luar. Bukan secara kasar, bukan pula sebagai hukuman, tapi sebagai ujian sunyi. “Jika hatimu goyah dalam kesunyian, maka langkahmu akan rapuh di tengah keramaian,” begitu kata Tetua Yin sebelum meninggalkannya.Liang Feng tahu ini bukan sekadar ruang. Ini adalah cermin. Cermin untuk seluruh luka yang pernah ia abaikan, seluruh kemarahan yang ia pendam, dan seluruh keraguan yang diam-diam terus menghantuinya.Ia duduk bersila. Mengatur napas.Malam telah jatuh di luar sana, tapi waktu di dalam ruang ini seperti tak berjalan.***