Cukup lama Liang Feng mempelajari elemen tanah, bahkan di awal dirinya selalu gagal dan kekuatannya menjadi tidak terkendali.
Untungnya Bai Zhen selalu memberi arahan secara perlahan, dan membuat Liang Feng berhasil menguasai diri kembali. Walaupun begitu, Liang Feng tidak terlihat putus asa sedikitpun dan kembali terus mencoba.
“Aku berhasil!” Teriak Liang Feng kegirangan.
“Bagus! Kau bisa berhasil memahaminya dengan cukup cepat di pelajaran pertama ini. Apa yang kau rasakan sekarang?” sahut Bai Zhen dengan senyum tulus dan bangga.
“Entahlah, tubuhku terasa lebih ringan dibanding sebelumnya. Dan sepertinya pendengaran ku menjadi lebih tajam,” jawab Liang Feng ragu-ragu sambil melihat dan merasakan bagian tubuhnya yang mengalami perubahan.
Bai Zhen hanya menanggapi dengan senyuman lebar. Dia cukup yakin dengan penilaian awalnya tentang Liang Feng. Mengingat kecepatannya dalam mempelajari sesuatu, membuatnya teringat kembali dengan masa mudanya.
Setelah yakin Liang Feng berhasil memahami elemen tanah seutuhnya, Bai Zhen memutuskan untuk menguji kemampuan Liang Feng dengan elemen yang lebih sulit dikendalikan—angin.
“Baiklah kita lanjutkan untuk pelajaran kedua!” ucap Bai Zhen dengan tatapan tegas.
“Secepat ini?” tanya Liang Feng bingung.
Bukannya Liang Feng tidak ingin untuk mempelajari semuanya dengan cepat, tapi dia ragu dirinya mampu untuk dapat menguasai beberapa ilmu elemen sekaligus dalam satu hari.
"Kau tidak perlu bingung, aku tidak akan mengajarkan apa yang belum siap kau terima!” sahut Bai Zhen mengembalikan kepercayaan diri Liang Feng. Dan langsung mendapat respon anggukan kepala mantap dari sang murid.
“Angin tidak terlihat, tetapi ia ada di sekeliling kita," kata Bai Zhen saat mereka berdiri di atas tebing tinggi di Gunung Wudang. "Jika kau bisa merasakannya, kau bisa menggunakannya."
Liang Feng menatap jurang di depannya. Angin bertiup kencang, menerpa tubuhnya dengan kasar. Ia mencoba menenangkan pikirannya, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan kelam masa lalunya dan keraguan.
"Tutup matamu," perintah Bai Zhen. "Rasakan pergerakan angin. Biarkan ia membimbingmu, bukan melawannya."
Liang Feng menarik napas dalam dan menutup matanya. Ia mulai fokus pada suara desiran angin yang melewati pepohonan, meniupkan daun-daun kering ke udara. Perlahan, ia bisa merasakan kehadiran angin di sekelilingnya, seperti tangan-tangan tak terlihat yang membelai kulitnya.
"Sekarang, melompatlah!" ujar Bai Zhen tiba-tiba.
Liang Feng membuka matanya, terkejut. "Apa?! Aku akan jatuh!"
"Percayalah pada angin. Percayalah pada chi-mu. Jika kau bisa menyatu dengan aliran angin, kau tidak akan jatuh."
Keraguan kembali menyelimuti hati Liang Feng, tetapi ia juga tahu bahwa Bai Zhen tidak akan menyuruhnya melakukan sesuatu yang mustahil. Dengan hati-hati, ia mengambil ancang-ancang, menarik napas panjang, dan melompat dari tebing.
Saat tubuhnya melayang, rasa takut menyelimuti dirinya. Angin berdesir kencang di telinganya. Merasakan kepanikan, dirinya mencoba meraih-raih udara kosong untuk mencoba tidak terjatuh.
Namun, semua usahanya sia-sia. Dan saat hampir menyentuh ujung jurang, dia hanya bisa memejamkan mata dengan rapat, berharap dirinya masih bisa selamat dan tidak mati konyol karena melompat sendiri dari atas tebing.
Beberapa saat yang seharusnya tubuhnya menghantam tanah, tidak merasakan apapun dengan udara yang masih terasa menerpa wajahnya. Dengan perlahan, Liang Feng mencoba membuka matanya kembali untuk melihat apa yang terjadi.
Dia cukup terkejut, saat menyadari tubuhnya masih melayang. Awalnya dia kira berhasil menguasai elemen angin dalam satu kali coba, tapi ternyata ada sebuah Chi yang menyelimutinya yang dia yakin itu adalah milik Bai Zhen.
Tubuh Liang Feng perlahan kembali naik ke atas bukit. Dengan wajah lesu, dia menatap ke arah Bai Zhen dengan tatapan bersalah karena telah gagal.
“Tenanglah, tidak ada yang berhasil menguasainya hanya dalam satu kali percobaan,” ucap Bai Zhen kembali mencoba menyemangati Liang Feng.
“Benarkah? Jadi wajar jika aku gagal di percobaan pertama bukan?” tanya Liang Feng ragu.
“Memang tidak pernah ada yang bisa dalam satu kali percobaan…, selain aku!” jawab Bai Zhen menyombongkan diri.
Liang Feng menatap sang guru dengan tatapan takjub. Dia merasa keputusannya tepat, saat menyetujui belajar dari orang yang kini berada di hadapannya.
“Cobalah sekali lagi! Tapi ingat jangan pikiran burukmu menguasai, dan fokuskan untuk merasakan Chi dan angin untuk menyeimbangkan tubuhmu!” ucap Bai Zhen menekankan setiap kata-katanya agar bisa lebih dipahami.
Liang Feng mempersiapkan diri untuk kembali melompat. Degupan jantung yang cepat berkat lompatan sebelumnya, masih terasa dan bahkan bertambah karena rasa gugupnya.
Liang Feng membuat ancang-ancang dan kembali melompat, setelah mempersiapkan diri dengan lebih fokus. Awalnya rasa gugupnya masih menguasai, yang membuat tubuhnya masih tidak terkendali.
Namun, dalam sekejap, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda—seolah tubuhnya menjadi lebih ringan. Ia mencoba mengontrol postur tubuhnya, membiarkan angin menahannya. Sesaat kemudian, ia berhasil mendarat dengan selamat di tanah yang lebih rendah.
"Bagus," kata Bai Zhen dari atas tebing. "Tapi kau masih perlu banyak berlatih. Angin adalah teman sekaligus musuh. Jika kau tidak bisa memahami alirannya, kau hanya akan terbawa arus."
Bersambung…
Liang Feng melangkah meninggalkan rumah kecil di kaki Gunung Lingyan dengan perasaan yang belum sepenuhnya jelas. Langkah kakinya terasa ringan, namun ada rasa beban yang menggelayuti pikirannya. Pedang yang ia ukir—terbelah namun bersatu oleh akar pohon—berada di punggungnya. Itu bukan hanya simbol kekuatannya yang terbagi, tapi juga gambaran dari dirinya yang telah berubah.Hari mulai terik ketika Liang Feng melintasi jalan setapak yang mengarah ke hutan lebat. Ia meninggalkan desa Luowen yang sederhana, menuju perjalanan panjang yang menantinya. Namun, di dalam hatinya, sesuatu masih belum selesai. Kata-kata Yin He bergema dalam pikirannya, tentang bagaimana ia harus menghadapi bayangannya sendiri, bukan menebasnya."Aku masih tak tahu apa artinya itu," gumamnya pelan, mencoba mencari makna yang lebih dalam dari nasihat yang diberikan pria tua itu.Tak jauh dari tempatnya berjalan, di antara pepohonan yang rindang, sebuah bayangan melintas. Liang Feng menghentikan langkah, merasaka
Kabut tipis masih menyelimuti kaki Gunung Lingyan saat Liang Feng tiba di desa kecil bernama Luowen. Letaknya tersembunyi, dikelilingi sawah dan hutan lebat, jauh dari hiruk-pikuk dunia sekte atau arena pelatihan. Namun, di sanalah Bai Zhen mengarahkannya, dengan satu pesan: “Kau tak akan belajar jurus baru di sana, tapi kau akan mengenali hatimu sendiri.”Langkah Liang Feng berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pagar bambu. Dari dalam, terdengar suara ketukan halus—seperti palu kecil yang memukul besi. Ia mengetuk pintu, namun tak ada jawaban. Maka ia membuka pagar dan melangkah masuk perlahan.Di balik rumah, seorang pria tua duduk di bawah pohon zaitun tua. Rambutnya telah sepenuhnya putih, namun matanya menyala tajam saat menatap ke arah Liang Feng. Ia mengenakan jubah coklat sederhana dan memegang palu kecil, sedang memahat sesuatu dari batu.“Kau datang lebih cepat dari yang kukira,” ucapnya pelan, tanpa menoleh dari karyanya.“Apakah Anda orang yang dim
Kabut pagi masih menggantung rendah ketika Liang Feng berdiri di atas tebing yang menghadap lembah luas di bawah Sekte Pedang Langit. Angin membelai jubah putihnya, membawa serta aroma dedaunan dan bunga liar. Di hadapannya, Bai Zhen berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tenang namun matanya tajam seperti pedang yang belum disarungkan.“Hari ini,” ucap Bai Zhen, “kau akan berlatih dalam Formasi Bayangan Langit. Ini bukan sekadar teknik bertarung. Tapi juga ujian kedewasaan jiwa.”Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Latihan semalam telah mengajarinya satu hal penting—bahwa kekuatan sejati tak datang dari Chi semata, tapi dari pengendalian niat.Bai Zhen melangkah ke tengah lingkaran batu yang sudah disusun membentuk formasi rasi bintang. Di sekelilingnya, belasan pilar kecil terukir dengan pola-pola halus. Ketika ia menekan telapak tangan ke batu utama di tengah, formasi itu mulai menyala—garis cahaya biru keperakan merambat membentuk jaringan.“Masuklah
Cahaya pagi menyusup masuk dari celah-celah kecil di dinding ruang semadi. Udara masih dingin, namun tak sedingin malam sebelumnya. Liang Feng duduk bersila di atas lantai batu, matanya masih tertutup, napasnya teratur, dan tubuhnya dikelilingi sisa-sisa gelombang Chi yang belum sepenuhnya menyatu.Semalam, ia nyaris pingsan ketika pusaran Chi dari batu-batu itu menyerbu tubuhnya tanpa peringatan. Namun setelah beberapa siklus napas, ia mulai memahami irama kasar energi yang dipancarkan ruangan itu—seperti seorang murid yang perlahan memahami nada-nada dari alat musik asing.Di depan pintu, Tetua Yin berdiri diam. Jubah abu-abu tuanya nyaris menyatu dengan dinding, membuatnya seperti bayangan yang tak pernah bergerak. Ia mengamati Liang Feng dengan tatapan dalam, bukan sekadar mengawasi, tetapi seolah membaca sesuatu yang lebih dalam dari postur tubuh atau ekspresi wajah.“Dia menyatu dengan ruang ini lebih cepat dari dugaanku,” gumam Tetua Yin pelan.Suara itu cukup untuk membuat Lia
Udara pagi di kaki gunung terasa berat, seperti menyimpan banyak rahasia yang belum sempat diungkap. Liang Feng duduk bersila di tengah ruangan batu, tempat semedi yang bahkan tak bernama dalam catatan murid-murid Bai Zhen. Cahaya matahari belum mampu menembus masuk ke sela-sela dinding batu, hanya nyala lentera yang redup menjadi satu-satunya sumber cahaya, membentuk bayangan-bayangan panjang di wajahnya.Semenjak ia dipisahkan dari rombongan dan ditahan oleh Tetua Yin untuk menjalani pengujian diam-diam, Liang Feng lebih banyak diam. Bai Zhen tak protes, hanya mengangguk saat Tetua Yin membisikkan sesuatu di telinganya. Entah bentuk kepercayaan, atau karena sang guru tahu, perjalanan muridnya memang bukan untuk terus bersama.Sebuah pertanyaan terus bergema di kepala Liang Feng—bukan tentang pedang, bukan tentang Chi, tapi tentang dirinya sendiri."Mengapa aku terus maju?"Pertanyaan itu sepele bagi orang lain, tapi tidak untuk Liang Feng. Karena sejak langkah pertamanya keluar dari
Ruang Batu milik Tetua Yin bukan tempat yang mudah dimasuki. Dinding-dindingnya seolah bukan hanya terbuat dari batu, tapi juga dari waktu itu sendiri—diam, purba, dan penuh tekanan tak kasat mata.Liang Feng berdiri di tengah ruang itu. Cahaya lilin di sudut-sudut ruangan nyaris padam, seolah tak sanggup menyentuh udara yang berat. Tak ada suara. Tak ada langkah. Hanya detak jantungnya sendiri yang menggema, pelan namun mantap.Tetua Yin telah menguncinya dari luar. Bukan secara kasar, bukan pula sebagai hukuman, tapi sebagai ujian sunyi. “Jika hatimu goyah dalam kesunyian, maka langkahmu akan rapuh di tengah keramaian,” begitu kata Tetua Yin sebelum meninggalkannya.Liang Feng tahu ini bukan sekadar ruang. Ini adalah cermin. Cermin untuk seluruh luka yang pernah ia abaikan, seluruh kemarahan yang ia pendam, dan seluruh keraguan yang diam-diam terus menghantuinya.Ia duduk bersila. Mengatur napas.Malam telah jatuh di luar sana, tapi waktu di dalam ruang ini seperti tak berjalan.***