Beranda / Pendekar / Legenda Pedang Langit Dan Bumi / Bab 6: Bayangan Masa Lalu

Share

Bab 6: Bayangan Masa Lalu

Penulis: Second Lead.77
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-26 09:20:34

Setelah latihan di tebing, Bai Zhen memberi Liang Feng waktu untuk merenung. Namun, malam itu, pikirannya masih dipenuhi oleh kegelisahan. Ia terbangun oleh suara langkah kaki di luar pondoknya.

Dengan hati-hati, ia meraih pedangnya dan keluar. Bayangan-bayangan bergerak di antara pepohonan. Ia segera menyadari bahwa ia sedang diawasi.

"Keluarlah!" Teriak Liang Feng dengan suara tegas.

Dari kegelapan, seorang pria bertopeng muncul. "Kau telah berkembang dengan baik, anak desa. Tapi kau belum cukup kuat."

Liang Feng langsung mengenali simbol di jubah pria itu—Sekte Seribu Bayangan. Ia mencengkeram gagang pedangnya erat-erat dan merubah posisinya untuk bertahan dan bersiap menyerang.

"Ternyata benar dugaanku, kau bagian dari mereka," geramnya.

Pria itu tersenyum tipis. "Aku hanya ingin menguji kemampuanmu."

“Aku tahu bukan hanya itu maksud kedatanganmu. Aku tidak sebodoh itu untuk dapat mengetahui maksud sebenarnya dari Sekte Seribu Bayangan!” ucap Liang Feng dengan suara meninggi.

Tanpa peringatan, pria itu menyerang dengan kecepatan luar biasa. Liang Feng nyaris tak sempat menghindar. Tebasan pedang lawannya datang bagaikan kilat, memaksa Liang Feng bertahan dengan penuh kewaspadaan. Setiap serangan terasa begitu tajam dan akurat, seolah-olah pria itu mampu membaca gerakannya.

Liang Feng mencoba menggunakan teknik yang baru dipelajarinya. Ia menjejak tanah dengan kuat, mencoba menyerap energi chi tanah untuk menjaga kestabilannya. Namun, lawannya terlalu gesit. Ia mencoba mengandalkan angin untuk mempercepat gerakannya, tetapi kontrolnya masih belum sempurna.

Sebuah tendangan keras menghantam dadanya, membuatnya terhuyung ke belakang dan hampir jatuh ke tanah. Napasnya memburu, sementara dadanya terasa sesak akibat hantaman tersebut.

"Kau masih terlalu lamban," sindir pria bertopeng itu.

Liang Feng mengepalkan tangannya, matanya menyala dengan semangat perlawanan. Ia tidak boleh kalah. Dengan tekad yang membara, ia mencoba membaca gerakan lawannya. Kali ini, ia menunggu. Ia membiarkan angin membisikkan arah pergerakan lawannya.

Ketika pria bertopeng itu menyerang lagi, Liang Feng bergerak ke samping, menghindari serangan dengan mulus. Dengan satu tebasan cepat, ia berhasil menyerempet lengan lawannya. Kilatan darah muncul di bawah cahaya bulan, menandakan bahwa ia berhasil melukai lawannya.

Pria itu mundur beberapa langkah, menatap luka di lengannya. "Hmph. Kau memang berbakat. Tapi masih belum cukup."

Tiba-tiba, tubuh pria itu menghilang seperti asap yang ditiup angin. Liang Feng menatap sekelilingnya dengan waspada, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan pria tersebut.

Bai Zhen yang telah menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan melangkah mendekat. "Itu hanyalah peringatan. Sekte Seribu Bayangan tidak akan membiarkanmu hidup begitu saja. Kau harus lebih kuat, atau kau akan menjadi korban selanjutnya."

Liang Feng berdiri terengah-engah, tangannya masih menggenggam pedang erat-erat. Pedang itu bukanlah pedang kayu yang ia gunakan sebelumnya, melainkan sebuah pedang baja sederhana yang diberikan oleh Bai Zhen saat mereka mulai berlatih bersama. Bai Zhen mengatakan bahwa pedang ini bukanlah yang terbaik, tetapi cukup untuk melatih dasar-dasar teknik pedang sebelum menemukan senjata sejatinya.

Ia menyadari satu hal—bahwa masa lalunya tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Dan untuk benar-benar mengalahkan Sekte Seribu Bayangan, ia harus menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

***

Keesokan harinya, Liang Feng tidak bisa melupakan pertarungannya dengan pria bertopeng. Setiap gerakan lawannya masih tergambar jelas di pikirannya. Rasa frustrasi menyelimuti hatinya. Ia merasa belum cukup kuat, dan itu membuatnya marah pada dirinya sendiri.

"Kemarahan adalah pedang bermata dua," kata Bai Zhen saat mereka berlatih di halaman pondok. "Jika kau tidak mengendalikannya, ia akan menusukmu sendiri."

Liang Feng menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Namun, amarah itu seperti bara api yang tak kunjung padam. Ia menghunus pedangnya dan mulai berlatih lebih keras. Setiap ayunan pedang dihantamkan dengan penuh tenaga, setiap gerakan terasa lebih tajam dan lebih agresif.

"Jangan biarkan emosimu menguasai teknikmu!" Bai Zhen memperingatkan, lalu menyerangnya dengan tongkat kayu. Liang Feng nyaris tak sempat menangkis. "Fokus, bukan kemarahan yang akan membuatmu kuat, melainkan kendali atas dirimu sendiri!"

Liang Feng menutup matanya sesaat, menarik napas dalam, lalu kembali ke posisi kuda-kuda. Ia harus menenangkan pikirannya. Ia mencoba membiarkan tubuhnya mengikuti aliran chi tanpa dipenuhi kemarahan. Bai Zhen menyerang lagi, tapi kali ini Liang Feng lebih tenang, lebih terfokus. Ia tidak sekadar menyerang, tetapi juga membaca gerakan gurunya dengan lebih cermat.

Latihan berlangsung hingga matahari hampir tenggelam. Tubuh Liang Feng penuh keringat, napasnya berat, dan ototnya terasa seperti terbakar. Namun, kali ini ia merasa berbeda. Ada keseimbangan dalam dirinya—sebuah pemahaman baru tentang bagaimana kekuatan sejati tidak hanya berasal dari tenaga, tetapi juga dari kejernihan hati.

Saat malam tiba, Liang Feng duduk bersila di bawah pohon, mencoba bermeditasi. Namun, bayangan pria bertopeng itu terus muncul dalam benaknya. Matanya masih dipenuhi dengan api amarah. Ia bertanya-tanya, apakah benar ia bisa mengendalikan perasaannya? Apakah ia bisa menghadapi Sekte Seribu Bayangan tanpa membiarkan amarah menguasainya?

Di kejauhan, suara seruling Bai Zhen mengalun lembut, seolah mencoba menenangkan gejolak di dalam dadanya. Liang Feng menutup matanya, mendengarkan nada-nada lembut yang menembus pikirannya yang kacau. Malam itu, ia bersumpah untuk menjadi lebih kuat—bukan hanya demi membalas dendam, tetapi juga demi melindungi orang-orang yang ia sayangi. Jika ia ingin menang melawan musuh-musuhnya, ia harus menemukan keseimbangan antara kekuatan dan kedamaian dalam dirinya sendiri.

Apakah ia mampu?

Bersambung…

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 27 – Bayangan yang Tak Tersentuh

    Liang Feng melangkah meninggalkan rumah kecil di kaki Gunung Lingyan dengan perasaan yang belum sepenuhnya jelas. Langkah kakinya terasa ringan, namun ada rasa beban yang menggelayuti pikirannya. Pedang yang ia ukir—terbelah namun bersatu oleh akar pohon—berada di punggungnya. Itu bukan hanya simbol kekuatannya yang terbagi, tapi juga gambaran dari dirinya yang telah berubah.Hari mulai terik ketika Liang Feng melintasi jalan setapak yang mengarah ke hutan lebat. Ia meninggalkan desa Luowen yang sederhana, menuju perjalanan panjang yang menantinya. Namun, di dalam hatinya, sesuatu masih belum selesai. Kata-kata Yin He bergema dalam pikirannya, tentang bagaimana ia harus menghadapi bayangannya sendiri, bukan menebasnya."Aku masih tak tahu apa artinya itu," gumamnya pelan, mencoba mencari makna yang lebih dalam dari nasihat yang diberikan pria tua itu.Tak jauh dari tempatnya berjalan, di antara pepohonan yang rindang, sebuah bayangan melintas. Liang Feng menghentikan langkah, merasaka

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 26 – Senandung di Kaki Gunung Lingyan

    Kabut tipis masih menyelimuti kaki Gunung Lingyan saat Liang Feng tiba di desa kecil bernama Luowen. Letaknya tersembunyi, dikelilingi sawah dan hutan lebat, jauh dari hiruk-pikuk dunia sekte atau arena pelatihan. Namun, di sanalah Bai Zhen mengarahkannya, dengan satu pesan: “Kau tak akan belajar jurus baru di sana, tapi kau akan mengenali hatimu sendiri.”Langkah Liang Feng berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pagar bambu. Dari dalam, terdengar suara ketukan halus—seperti palu kecil yang memukul besi. Ia mengetuk pintu, namun tak ada jawaban. Maka ia membuka pagar dan melangkah masuk perlahan.Di balik rumah, seorang pria tua duduk di bawah pohon zaitun tua. Rambutnya telah sepenuhnya putih, namun matanya menyala tajam saat menatap ke arah Liang Feng. Ia mengenakan jubah coklat sederhana dan memegang palu kecil, sedang memahat sesuatu dari batu.“Kau datang lebih cepat dari yang kukira,” ucapnya pelan, tanpa menoleh dari karyanya.“Apakah Anda orang yang dim

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 25 – Nyanyian Angin di Ujung Tebing

    Kabut pagi masih menggantung rendah ketika Liang Feng berdiri di atas tebing yang menghadap lembah luas di bawah Sekte Pedang Langit. Angin membelai jubah putihnya, membawa serta aroma dedaunan dan bunga liar. Di hadapannya, Bai Zhen berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tenang namun matanya tajam seperti pedang yang belum disarungkan.“Hari ini,” ucap Bai Zhen, “kau akan berlatih dalam Formasi Bayangan Langit. Ini bukan sekadar teknik bertarung. Tapi juga ujian kedewasaan jiwa.”Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Latihan semalam telah mengajarinya satu hal penting—bahwa kekuatan sejati tak datang dari Chi semata, tapi dari pengendalian niat.Bai Zhen melangkah ke tengah lingkaran batu yang sudah disusun membentuk formasi rasi bintang. Di sekelilingnya, belasan pilar kecil terukir dengan pola-pola halus. Ketika ia menekan telapak tangan ke batu utama di tengah, formasi itu mulai menyala—garis cahaya biru keperakan merambat membentuk jaringan.“Masuklah

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 24 – Batu Tak Pernah Lupa

    Cahaya pagi menyusup masuk dari celah-celah kecil di dinding ruang semadi. Udara masih dingin, namun tak sedingin malam sebelumnya. Liang Feng duduk bersila di atas lantai batu, matanya masih tertutup, napasnya teratur, dan tubuhnya dikelilingi sisa-sisa gelombang Chi yang belum sepenuhnya menyatu.Semalam, ia nyaris pingsan ketika pusaran Chi dari batu-batu itu menyerbu tubuhnya tanpa peringatan. Namun setelah beberapa siklus napas, ia mulai memahami irama kasar energi yang dipancarkan ruangan itu—seperti seorang murid yang perlahan memahami nada-nada dari alat musik asing.Di depan pintu, Tetua Yin berdiri diam. Jubah abu-abu tuanya nyaris menyatu dengan dinding, membuatnya seperti bayangan yang tak pernah bergerak. Ia mengamati Liang Feng dengan tatapan dalam, bukan sekadar mengawasi, tetapi seolah membaca sesuatu yang lebih dalam dari postur tubuh atau ekspresi wajah.“Dia menyatu dengan ruang ini lebih cepat dari dugaanku,” gumam Tetua Yin pelan.Suara itu cukup untuk membuat Lia

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 23 – Bayangan yang Berakar di Dada

    Udara pagi di kaki gunung terasa berat, seperti menyimpan banyak rahasia yang belum sempat diungkap. Liang Feng duduk bersila di tengah ruangan batu, tempat semedi yang bahkan tak bernama dalam catatan murid-murid Bai Zhen. Cahaya matahari belum mampu menembus masuk ke sela-sela dinding batu, hanya nyala lentera yang redup menjadi satu-satunya sumber cahaya, membentuk bayangan-bayangan panjang di wajahnya.Semenjak ia dipisahkan dari rombongan dan ditahan oleh Tetua Yin untuk menjalani pengujian diam-diam, Liang Feng lebih banyak diam. Bai Zhen tak protes, hanya mengangguk saat Tetua Yin membisikkan sesuatu di telinganya. Entah bentuk kepercayaan, atau karena sang guru tahu, perjalanan muridnya memang bukan untuk terus bersama.Sebuah pertanyaan terus bergema di kepala Liang Feng—bukan tentang pedang, bukan tentang Chi, tapi tentang dirinya sendiri."Mengapa aku terus maju?"Pertanyaan itu sepele bagi orang lain, tapi tidak untuk Liang Feng. Karena sejak langkah pertamanya keluar dari

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 22 – Bisikan Langit dalam Ruang Sunyi

    Ruang Batu milik Tetua Yin bukan tempat yang mudah dimasuki. Dinding-dindingnya seolah bukan hanya terbuat dari batu, tapi juga dari waktu itu sendiri—diam, purba, dan penuh tekanan tak kasat mata.Liang Feng berdiri di tengah ruang itu. Cahaya lilin di sudut-sudut ruangan nyaris padam, seolah tak sanggup menyentuh udara yang berat. Tak ada suara. Tak ada langkah. Hanya detak jantungnya sendiri yang menggema, pelan namun mantap.Tetua Yin telah menguncinya dari luar. Bukan secara kasar, bukan pula sebagai hukuman, tapi sebagai ujian sunyi. “Jika hatimu goyah dalam kesunyian, maka langkahmu akan rapuh di tengah keramaian,” begitu kata Tetua Yin sebelum meninggalkannya.Liang Feng tahu ini bukan sekadar ruang. Ini adalah cermin. Cermin untuk seluruh luka yang pernah ia abaikan, seluruh kemarahan yang ia pendam, dan seluruh keraguan yang diam-diam terus menghantuinya.Ia duduk bersila. Mengatur napas.Malam telah jatuh di luar sana, tapi waktu di dalam ruang ini seperti tak berjalan.***

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status