Beranda / Pendekar / Legenda Pedang Langit Dan Bumi / Bab 7 – Gema dari Dendam Lama

Share

Bab 7 – Gema dari Dendam Lama

Penulis: Second Lead.77
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-03 07:44:45

Suara seruling Bai Zhen masih terdengar lembut saat angin malam menyapu pelataran pondok. Liang Feng duduk bersila di bawah pohon besar di sisi barat halaman, namun meditasinya tak tenang. Wajah pria bertopeng yang ia lawan semalam terus melintas di benaknya—dingin, tanpa ekspresi, menyimpan aura pembunuh yang akrab namun mengusik.

Semakin ia mencoba mengosongkan pikiran, semakin dalam ingatannya menyeretnya ke masa lalu.

Dan malam itu, mimpi lama kembali menghantam.

Ia berdiri di tengah desa yang terbakar, cahaya api menari di genangan darah. Jeritan terdengar di mana-mana, diselingi suara tawa kejam dan derap langkah yang berat. Liang Feng kecil bersembunyi di balik tumpukan kayu, tubuhnya bergetar tak terkendali. Ibunya menutup mulutnya rapat-rapat agar ia tak mengeluarkan suara, sementara dari celah sempit, ia menyaksikan ayahnya bertarung sendirian hingga tubuhnya rubuh.

Kemudian, muncul seorang pria. Bertopeng hitam perak, jubah gelap yang menyapu tanah, dan langkah yang tenang. Dengan satu ayunan pedang, ia mengakhiri sisa perlawanan.

Wajah bertopeng itu menoleh ke arah Liang Feng.

Mimpi pecah seketika.

Liang Feng terbangun dengan tubuh basah oleh keringat, napas tercekat. Subuh baru merayap, kabut tipis menggantung di udara. Ia berdiri, menghela napas panjang, lalu menatap ke kejauhan. Ada yang berubah di dalam dadanya. Ketakutan yang membara mulai padam, digantikan oleh nyala lain: kehendak untuk bertindak.

“Aku tidak akan membiarkan masa lalu mengendalikan langkahku,” gumamnya lirih.

***

Bai Zhen membawanya pagi itu ke sebuah lembah dalam, jauh dari jejak manusia. Mereka berjalan hingga tiba di sebuah jurang sempit. Di bawahnya, aliran sungai berliku mengalir pelan. Di seberangnya, sebuah gua menganga seperti mulut raksasa yang hendak melahap apa pun yang mendekat.

“Tempat ini disebut Gua Bayangan Dalam,” kata Bai Zhen. “Dulu digunakan oleh para pendekar untuk menguji kekuatan batin mereka. Chi tempat ini berbeda, dipenuhi gema dari emosi dan kenangan yang tertinggal.”

“Jadi ini... semacam uji batin?” tanya Liang Feng.

Bai Zhen mengangguk pelan. “Kau tak akan bertarung dengan pedangmu di sana. Tapi dengan sesuatu yang jauh lebih sulit dikalahkan—dirimu sendiri.”

Tanpa berkata-kata, Liang Feng turun, menapaki dinding batu dan melompati batu-batu yang licin. Saat ia menginjak lantai di depan gua, angin dingin bertiup dari dalam, membawa aroma tanah basah dan... sesuatu yang lain. Aroma darah lama. Aroma dendam.

Ia melangkah masuk.

Gelap. Begitu ia melewati batas pintu gua, cahaya seolah tertelan. Tak ada pantulan. Tak ada gema. Hanya kesunyian yang mendesak dari segala arah.

Namun tak lama, suara mulai terdengar.

“Feng’er... mengapa kau membiarkan ibu mati?”

Suara itu lembut, penuh luka—namun juga menyayat seperti pisau.

Liang Feng memutar tubuh, tapi tak melihat apa pun. Lalu, cahaya samar muncul di sekelilingnya. Bayangan-bayangan berkabut mulai membentuk sosok: ibunya, dengan rambut terurai dan tubuh diselimuti luka bakar, berdiri di depannya. Matanya menatap lurus, dingin.

“Tidak... ini hanya ilusi,” bisik Liang Feng, berusaha memusatkan chi di dan tian-nya.

Namun ilusi itu menjawab, “Jika hanya ilusi, mengapa hatimu masih bergetar? Mengapa kau masih takut?”

Bayangan lain muncul. Ayahnya. Adiknya. Tetangga-tetangganya. Semua dengan wajah-wajah yang sama—penuh luka, menyalahkan.

“Kau satu-satunya yang hidup. Kau yang seharusnya mati, Feng’er...”

Tiba-tiba tanah bergetar. Gua itu berubah—lantainya retak, dan Liang Feng terjatuh ke dalam lubang besar. Saat ia membuka mata, ia berdiri di tengah desa masa kecilnya—tapi dalam versi yang hangus, mati, dan tanpa warna.

Dari balik reruntuhan, muncul sosok lain.

Seorang anak kecil, tubuhnya kurus dan lusuh, menatap Liang Feng dengan mata gelap yang menyimpan trauma. Wajahnya... adalah wajah Liang Feng sendiri.

Bayangan Liang kecil itu mengangkat tangan. Di telapak tangannya, ada belati—hitam, melengkung, berdenyut dengan aura gelap.

“Kita bisa menghentikan semua ini, kau tahu...” katanya lirih. “Kita bisa membalas mereka sekarang. Bunuh. Hancurkan. Balas dendam. Kau kuat sekarang, bukan? Kenapa kau menahan diri?”

Liang Feng menggertakkan gigi. “Aku tidak hidup hanya untuk membalas dendam.”

“Bohong!” Bayangan itu berteriak. “Setiap gerakanmu, setiap latihanmu, semua untuk satu tujuan: membunuh mereka yang menghancurkan kita. Mengapa kau berpura-pura jadi pendekar suci, jika hatimu dipenuhi dendam?”

Belati itu dilemparkan ke tanah. Darah mulai merembes keluar dari bebatuan. Langit desa berubah merah. Suara-suara teriakan menggaung dari segala arah.

Liang Feng memejamkan mata. Napasnya berat. Tubuhnya berguncang. Ia tahu ini bukan dunia nyata, tapi rasa sakitnya... sungguh, sangat nyata.

Namun di tengah kekacauan itu, satu suara muncul. Tenang. Terdengar jauh, namun jelas.

“Kau bisa memilih, Feng.”

Suara itu... Bai Zhen?

Tidak. Suara itu seperti dari dalam dirinya sendiri.

“Kau bisa menjadi rantai dendam... atau menjadi tombak yang memutusnya.”

Liang Feng membuka mata. Ia berlutut, menggenggam belati itu. Lalu perlahan, meletakkannya kembali ke tanah. Tidak ia gunakan. Tidak ia bawa. Ia menatap bayangan dirinya, dan berkata dengan suara rendah namun mantap:

“Aku akan membalas mereka. Tapi bukan karena benci. Bukan karena dendam. Tapi karena keadilan.”

Bayangan itu memudar. Tanah kembali padat. Langit kembali gelap seperti gua. Liang Feng berdiri di tengah ruangan batu yang sama saat ia masuk. Tubuhnya terasa ringan. Chi dalam tubuhnya mengalir lancar, tenang. Seolah bebannya terangkat.

Dan untuk pertama kalinya... ia merasa bebas.

***

Ketika ia keluar dari gua, langit sudah siang. Bai Zhen duduk bersandar di batu besar, matanya terpejam. Namun begitu Liang Feng muncul, ia membuka mata dan tersenyum tipis.

“Berapa lama aku di dalam?” tanya Liang Feng.

“Empat hari,” jawab Bai Zhen. “Tapi hanya mereka yang mampu keluar yang bisa tahu waktu berlalu seperti apa.”

Liang Feng menunduk. “Aku pikir aku akan terjebak di dalam sana.”

“Semua orang mengira begitu. Tapi kau tidak terjebak. Karena kau memilih jalanmu sendiri.”

Liang Feng menatap tangannya—masih gemetar, namun terasa lebih kuat.

“Aku siap.”

Bai Zhen berdiri. “Kalau begitu, kita mulai pelatihan yang sesungguhnya.”

Angin berhembus lembut. Di antara pohon-pohon tinggi, suara burung terdengar kembali. Tapi dalam hati Liang Feng, hanya ada satu suara:

“Ini baru permulaan.”

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 27 – Bayangan yang Tak Tersentuh

    Liang Feng melangkah meninggalkan rumah kecil di kaki Gunung Lingyan dengan perasaan yang belum sepenuhnya jelas. Langkah kakinya terasa ringan, namun ada rasa beban yang menggelayuti pikirannya. Pedang yang ia ukir—terbelah namun bersatu oleh akar pohon—berada di punggungnya. Itu bukan hanya simbol kekuatannya yang terbagi, tapi juga gambaran dari dirinya yang telah berubah.Hari mulai terik ketika Liang Feng melintasi jalan setapak yang mengarah ke hutan lebat. Ia meninggalkan desa Luowen yang sederhana, menuju perjalanan panjang yang menantinya. Namun, di dalam hatinya, sesuatu masih belum selesai. Kata-kata Yin He bergema dalam pikirannya, tentang bagaimana ia harus menghadapi bayangannya sendiri, bukan menebasnya."Aku masih tak tahu apa artinya itu," gumamnya pelan, mencoba mencari makna yang lebih dalam dari nasihat yang diberikan pria tua itu.Tak jauh dari tempatnya berjalan, di antara pepohonan yang rindang, sebuah bayangan melintas. Liang Feng menghentikan langkah, merasaka

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 26 – Senandung di Kaki Gunung Lingyan

    Kabut tipis masih menyelimuti kaki Gunung Lingyan saat Liang Feng tiba di desa kecil bernama Luowen. Letaknya tersembunyi, dikelilingi sawah dan hutan lebat, jauh dari hiruk-pikuk dunia sekte atau arena pelatihan. Namun, di sanalah Bai Zhen mengarahkannya, dengan satu pesan: “Kau tak akan belajar jurus baru di sana, tapi kau akan mengenali hatimu sendiri.”Langkah Liang Feng berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pagar bambu. Dari dalam, terdengar suara ketukan halus—seperti palu kecil yang memukul besi. Ia mengetuk pintu, namun tak ada jawaban. Maka ia membuka pagar dan melangkah masuk perlahan.Di balik rumah, seorang pria tua duduk di bawah pohon zaitun tua. Rambutnya telah sepenuhnya putih, namun matanya menyala tajam saat menatap ke arah Liang Feng. Ia mengenakan jubah coklat sederhana dan memegang palu kecil, sedang memahat sesuatu dari batu.“Kau datang lebih cepat dari yang kukira,” ucapnya pelan, tanpa menoleh dari karyanya.“Apakah Anda orang yang dim

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 25 – Nyanyian Angin di Ujung Tebing

    Kabut pagi masih menggantung rendah ketika Liang Feng berdiri di atas tebing yang menghadap lembah luas di bawah Sekte Pedang Langit. Angin membelai jubah putihnya, membawa serta aroma dedaunan dan bunga liar. Di hadapannya, Bai Zhen berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tenang namun matanya tajam seperti pedang yang belum disarungkan.“Hari ini,” ucap Bai Zhen, “kau akan berlatih dalam Formasi Bayangan Langit. Ini bukan sekadar teknik bertarung. Tapi juga ujian kedewasaan jiwa.”Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Latihan semalam telah mengajarinya satu hal penting—bahwa kekuatan sejati tak datang dari Chi semata, tapi dari pengendalian niat.Bai Zhen melangkah ke tengah lingkaran batu yang sudah disusun membentuk formasi rasi bintang. Di sekelilingnya, belasan pilar kecil terukir dengan pola-pola halus. Ketika ia menekan telapak tangan ke batu utama di tengah, formasi itu mulai menyala—garis cahaya biru keperakan merambat membentuk jaringan.“Masuklah

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 24 – Batu Tak Pernah Lupa

    Cahaya pagi menyusup masuk dari celah-celah kecil di dinding ruang semadi. Udara masih dingin, namun tak sedingin malam sebelumnya. Liang Feng duduk bersila di atas lantai batu, matanya masih tertutup, napasnya teratur, dan tubuhnya dikelilingi sisa-sisa gelombang Chi yang belum sepenuhnya menyatu.Semalam, ia nyaris pingsan ketika pusaran Chi dari batu-batu itu menyerbu tubuhnya tanpa peringatan. Namun setelah beberapa siklus napas, ia mulai memahami irama kasar energi yang dipancarkan ruangan itu—seperti seorang murid yang perlahan memahami nada-nada dari alat musik asing.Di depan pintu, Tetua Yin berdiri diam. Jubah abu-abu tuanya nyaris menyatu dengan dinding, membuatnya seperti bayangan yang tak pernah bergerak. Ia mengamati Liang Feng dengan tatapan dalam, bukan sekadar mengawasi, tetapi seolah membaca sesuatu yang lebih dalam dari postur tubuh atau ekspresi wajah.“Dia menyatu dengan ruang ini lebih cepat dari dugaanku,” gumam Tetua Yin pelan.Suara itu cukup untuk membuat Lia

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 23 – Bayangan yang Berakar di Dada

    Udara pagi di kaki gunung terasa berat, seperti menyimpan banyak rahasia yang belum sempat diungkap. Liang Feng duduk bersila di tengah ruangan batu, tempat semedi yang bahkan tak bernama dalam catatan murid-murid Bai Zhen. Cahaya matahari belum mampu menembus masuk ke sela-sela dinding batu, hanya nyala lentera yang redup menjadi satu-satunya sumber cahaya, membentuk bayangan-bayangan panjang di wajahnya.Semenjak ia dipisahkan dari rombongan dan ditahan oleh Tetua Yin untuk menjalani pengujian diam-diam, Liang Feng lebih banyak diam. Bai Zhen tak protes, hanya mengangguk saat Tetua Yin membisikkan sesuatu di telinganya. Entah bentuk kepercayaan, atau karena sang guru tahu, perjalanan muridnya memang bukan untuk terus bersama.Sebuah pertanyaan terus bergema di kepala Liang Feng—bukan tentang pedang, bukan tentang Chi, tapi tentang dirinya sendiri."Mengapa aku terus maju?"Pertanyaan itu sepele bagi orang lain, tapi tidak untuk Liang Feng. Karena sejak langkah pertamanya keluar dari

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 22 – Bisikan Langit dalam Ruang Sunyi

    Ruang Batu milik Tetua Yin bukan tempat yang mudah dimasuki. Dinding-dindingnya seolah bukan hanya terbuat dari batu, tapi juga dari waktu itu sendiri—diam, purba, dan penuh tekanan tak kasat mata.Liang Feng berdiri di tengah ruang itu. Cahaya lilin di sudut-sudut ruangan nyaris padam, seolah tak sanggup menyentuh udara yang berat. Tak ada suara. Tak ada langkah. Hanya detak jantungnya sendiri yang menggema, pelan namun mantap.Tetua Yin telah menguncinya dari luar. Bukan secara kasar, bukan pula sebagai hukuman, tapi sebagai ujian sunyi. “Jika hatimu goyah dalam kesunyian, maka langkahmu akan rapuh di tengah keramaian,” begitu kata Tetua Yin sebelum meninggalkannya.Liang Feng tahu ini bukan sekadar ruang. Ini adalah cermin. Cermin untuk seluruh luka yang pernah ia abaikan, seluruh kemarahan yang ia pendam, dan seluruh keraguan yang diam-diam terus menghantuinya.Ia duduk bersila. Mengatur napas.Malam telah jatuh di luar sana, tapi waktu di dalam ruang ini seperti tak berjalan.***

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status