Beranda / Pendekar / Legenda Pedang Langit Dan Bumi / Bab 8 – Langkah Seribu Bayangan

Share

Bab 8 – Langkah Seribu Bayangan

Penulis: Second Lead.77
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-03 07:54:55

Kabut belum surut ketika fajar mulai merangkak naik di balik barisan pegunungan Wuying. Suasana masih sunyi, seolah alam menahan napas, menantikan sesuatu yang besar akan terjadi. Di tepi jurang yang menjulang, Liang Feng berdiri dalam diam. Jubah abu-abu tuanya berkibar pelan tertiup angin pegunungan. Tatapannya tajam menembus jauh, seolah menantang dunia yang ingin menelannya hidup-hidup.

Di hadapannya, Bai Zhen berdiri membawa secarik gulungan sutra berwarna putih kelam. Tak seperti biasanya yang santai atau menyindir, wajahnya pagi itu serius, hampir seperti sedang menghadiri pemakaman.

“Teknik ini,” ucapnya lirih sambil mengangkat gulungan itu, “bukan untuk mereka yang masih menyimpan keraguan dalam hati.”

Liang Feng mengangguk tanpa kata. Ia tahu. Sudah tahu sejak tadi malam, saat Bai Zhen memintanya untuk menyiapkan diri secara batin, bahwa pelatihan kali ini bukan sekadar latihan gerakan. Ini adalah jalan antara hidup dan mati, antara cahaya dan bayangan. Dan jika ia gagal, mungkin tubuhnya akan tetap ada… tapi jiwanya tak akan pernah kembali utuh.

Bai Zhen melemparkan gulungan itu ke udara, dan angin membawanya perlahan ke arah Liang Feng. Dengan tenang, pemuda itu menangkapnya. Saat tangannya menyentuh permukaan kertas itu, sesuatu mengalir ke tubuhnya—dingin, tajam, dan gelap.

Tulisan dalam gulungan itu bukan tinta biasa. Guratannya seperti diukir dengan darah dan obsidian. Setiap garis memancarkan tekanan, seolah-olah simbol-simbol itu hidup dan mengawasi.

“Langkah Seribu Bayangan,” gumam Liang Feng. “Teknik siluman yang hanya digunakan dalam pertempuran terakhir… atau pembalasan terakhir.”

Bai Zhen menatapnya dengan mata yang untuk pertama kalinya menunjukkan rasa khawatir.

“Teknik ini memecah chi menjadi banyak bagian, mengaburkan bayangan, dan menyelimuti kehadiran. Tapi jika kau gagal menyatukan chi kembali setelah teknik aktif… kau bisa hancur dari dalam. Tubuhmu akan membelah diri menjadi serpihan, dan setiap serpihan bisa menjadi liar.”

“Berapa orang yang mencobanya sebelumnya?” tanya Liang Feng, masih menatap tulisan itu.

“Tujuh dari sepuluh tewas di tempat. Dua hilang… atau mungkin menjadi bayangan itu sendiri. Dan satu… satu orang berhasil.” Bai Zhen berhenti sejenak. “Aku.”

Liang Feng mengangguk, lalu menatap ke depan. “Kalau begitu, sekarang waktuku.”

***

Hari pertama, Bai Zhen menguji pemahaman dasar Liang Feng terhadap ritme langkah. Tidak dengan instruksi panjang, tapi dengan membuatnya berjalan di atas tanah berpasir, lalu menghilang dari belakang dan menyergap tiba-tiba.

“Tahap pertama: Langkah Membelah Arah,” ujar Bai Zhen. “Satu langkah ke depan, dua langkah ke belakang, tapi bayanganmu tetap tertinggal. Buat lawan menebak arahmu.”

Liang Feng mencoba meniru gerakannya. Awalnya lambat. Setiap kali melangkah cepat, langkahnya terlalu keras, menciptakan suara, membuat pasir beterbangan.

“Bukan tentang kecepatan!” bentak Bai Zhen. “Tapi tentang membagi niat! Kakimu ke kanan, niatmu ke kiri! Kau harus menipu dunia ini, bahkan menipu dirimu sendiri!”

Keringat mulai mengalir dari pelipis Liang Feng. Ia mencoba lagi. Kali ini dengan napas tenang. Langkahnya lebih ringan. Tapi tetap… bayangannya tidak tertinggal. Ia masih ‘utuh’, masih terlalu nyata.

***

Hari kedua, Bai Zhen menutup matanya dengan kain hitam. “Jangan andalkan mata. Teknik ini bukan hanya tentang gerakan, tapi tentang menafsirkan ruang dan waktu.”

Liang Feng dipaksa bergerak di medan yang dipenuhi jebakan bambu dan tali. Satu langkah salah, tubuhnya terikat atau terjerat. Berkali-kali ia jatuh, memar, bahkan sempat pingsan sebentar.

Saat ia bangun dengan tubuh penuh luka, Bai Zhen hanya berkata, “Kalau kau tidak bisa menjadi bayangan di dalam kegelapan, kau tidak akan bisa menjadi cahaya yang menusuk kegelapan itu sendiri.”


Hari ketiga, Bai Zhen membawa tiga boneka berbaju hitam dengan wajah kosong. Ketiganya dikendalikan dengan chi, masing-masing mengikuti jejak panas tubuh Liang Feng. Mereka tidak bisa melihat, tapi bisa merasakan niat membunuh dan arah gerak.

“Kau hanya punya tiga napas. Jika kau bisa menghindar tanpa membuat satu pun dari mereka menebak keberadaanmu, kau lulus.”

Tiga napas. Liang Feng menutup matanya, lalu melangkah. Tubuhnya bergerak ringan, tapi bukan melarikan diri. Ia menyatu dengan bayangan pepohonan, menyesuaikan detak jantung dengan angin, menahan napas saat dibutuhkan.

Satu boneka melesat ke kanan… lalu ke kiri… lalu berhenti, kebingungan.

Ketiganya berdiri diam. Tak ada satu pun yang bisa merasakan dirinya lagi.

Saat Liang Feng membuka matanya, ia sudah berada sepuluh langkah di belakang mereka. Napasnya masih terjaga. Jantungnya berdegup pelan.

Bai Zhen tidak mengatakan apa-apa. Tapi senyum tipisnya cukup sebagai pengakuan.

***

Malam keempat, Liang Feng duduk di atas batu menghadap bulan. Pikirannya tak tenang. Semakin ia memahami teknik ini, semakin besar ia menyadari: Langkah Seribu Bayangan bukan hanya tentang fisik, tapi juga jiwa.

“Kenapa hatiku masih terasa berat?” gumamnya.

Dari balik pepohonan, Bai Zhen muncul. “Karena kau masih membawa dendam. Dendam adalah beban. Kau tak bisa melangkah ringan jika punggungmu masih membawa luka lama.”

“Aku harus membalas mereka,” bisik Liang Feng.

“Kau harus menyelamatkan yang belum hancur,” sahut Bai Zhen. “Pembalasan hanya membakar dunia. Tapi perlindungan bisa menyelamatkannya.”

Liang Feng terdiam lama.

Lalu ia berdiri. Menutup mata. Menarik napas panjang.

Untuk pertama kalinya, ia tidak memikirkan pembalasan. Tidak tentang darah. Tidak tentang mereka yang dibantai.

Ia memikirkan orang-orang yang masih hidup. Bai Zhen. Desa yang pernah memeluknya. Langit yang masih biru.

Dan ketika ia melangkah...

Tubuhnya lenyap sempurna.

Bahkan Bai Zhen sempat kehilangan jejaknya selama tiga napas penuh.

Lalu suara pelan terdengar di belakangnya. “Aku mengerti sekarang.”

Liang Feng berdiri di balik bayangan pohon. Cahaya bulan memantul samar dari mata tajamnya. Bayangannya sudah bukan milik satu orang. Tapi milik seribu niat.

“Kau sudah membuka gerbang bayangan keempat,” kata Bai Zhen pelan. “Gerbang di mana kau tidak lagi meniru, tapi menciptakan. Kau bukan lagi murid... tapi bayangan yang berjalan sendiri.”

Liang Feng mengangguk. Tidak sombong. Tidak juga takut.

“Apa yang harus kulakukan sekarang?”

Bai Zhen menatapnya lama, sebelum menjawab.

“Bersiaplah. Karena setelah ini… bayangan yang lebih besar akan datang mencarimu.”

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 27 – Bayangan yang Tak Tersentuh

    Liang Feng melangkah meninggalkan rumah kecil di kaki Gunung Lingyan dengan perasaan yang belum sepenuhnya jelas. Langkah kakinya terasa ringan, namun ada rasa beban yang menggelayuti pikirannya. Pedang yang ia ukir—terbelah namun bersatu oleh akar pohon—berada di punggungnya. Itu bukan hanya simbol kekuatannya yang terbagi, tapi juga gambaran dari dirinya yang telah berubah.Hari mulai terik ketika Liang Feng melintasi jalan setapak yang mengarah ke hutan lebat. Ia meninggalkan desa Luowen yang sederhana, menuju perjalanan panjang yang menantinya. Namun, di dalam hatinya, sesuatu masih belum selesai. Kata-kata Yin He bergema dalam pikirannya, tentang bagaimana ia harus menghadapi bayangannya sendiri, bukan menebasnya."Aku masih tak tahu apa artinya itu," gumamnya pelan, mencoba mencari makna yang lebih dalam dari nasihat yang diberikan pria tua itu.Tak jauh dari tempatnya berjalan, di antara pepohonan yang rindang, sebuah bayangan melintas. Liang Feng menghentikan langkah, merasaka

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 26 – Senandung di Kaki Gunung Lingyan

    Kabut tipis masih menyelimuti kaki Gunung Lingyan saat Liang Feng tiba di desa kecil bernama Luowen. Letaknya tersembunyi, dikelilingi sawah dan hutan lebat, jauh dari hiruk-pikuk dunia sekte atau arena pelatihan. Namun, di sanalah Bai Zhen mengarahkannya, dengan satu pesan: “Kau tak akan belajar jurus baru di sana, tapi kau akan mengenali hatimu sendiri.”Langkah Liang Feng berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pagar bambu. Dari dalam, terdengar suara ketukan halus—seperti palu kecil yang memukul besi. Ia mengetuk pintu, namun tak ada jawaban. Maka ia membuka pagar dan melangkah masuk perlahan.Di balik rumah, seorang pria tua duduk di bawah pohon zaitun tua. Rambutnya telah sepenuhnya putih, namun matanya menyala tajam saat menatap ke arah Liang Feng. Ia mengenakan jubah coklat sederhana dan memegang palu kecil, sedang memahat sesuatu dari batu.“Kau datang lebih cepat dari yang kukira,” ucapnya pelan, tanpa menoleh dari karyanya.“Apakah Anda orang yang dim

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 25 – Nyanyian Angin di Ujung Tebing

    Kabut pagi masih menggantung rendah ketika Liang Feng berdiri di atas tebing yang menghadap lembah luas di bawah Sekte Pedang Langit. Angin membelai jubah putihnya, membawa serta aroma dedaunan dan bunga liar. Di hadapannya, Bai Zhen berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tenang namun matanya tajam seperti pedang yang belum disarungkan.“Hari ini,” ucap Bai Zhen, “kau akan berlatih dalam Formasi Bayangan Langit. Ini bukan sekadar teknik bertarung. Tapi juga ujian kedewasaan jiwa.”Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Latihan semalam telah mengajarinya satu hal penting—bahwa kekuatan sejati tak datang dari Chi semata, tapi dari pengendalian niat.Bai Zhen melangkah ke tengah lingkaran batu yang sudah disusun membentuk formasi rasi bintang. Di sekelilingnya, belasan pilar kecil terukir dengan pola-pola halus. Ketika ia menekan telapak tangan ke batu utama di tengah, formasi itu mulai menyala—garis cahaya biru keperakan merambat membentuk jaringan.“Masuklah

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 24 – Batu Tak Pernah Lupa

    Cahaya pagi menyusup masuk dari celah-celah kecil di dinding ruang semadi. Udara masih dingin, namun tak sedingin malam sebelumnya. Liang Feng duduk bersila di atas lantai batu, matanya masih tertutup, napasnya teratur, dan tubuhnya dikelilingi sisa-sisa gelombang Chi yang belum sepenuhnya menyatu.Semalam, ia nyaris pingsan ketika pusaran Chi dari batu-batu itu menyerbu tubuhnya tanpa peringatan. Namun setelah beberapa siklus napas, ia mulai memahami irama kasar energi yang dipancarkan ruangan itu—seperti seorang murid yang perlahan memahami nada-nada dari alat musik asing.Di depan pintu, Tetua Yin berdiri diam. Jubah abu-abu tuanya nyaris menyatu dengan dinding, membuatnya seperti bayangan yang tak pernah bergerak. Ia mengamati Liang Feng dengan tatapan dalam, bukan sekadar mengawasi, tetapi seolah membaca sesuatu yang lebih dalam dari postur tubuh atau ekspresi wajah.“Dia menyatu dengan ruang ini lebih cepat dari dugaanku,” gumam Tetua Yin pelan.Suara itu cukup untuk membuat Lia

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 23 – Bayangan yang Berakar di Dada

    Udara pagi di kaki gunung terasa berat, seperti menyimpan banyak rahasia yang belum sempat diungkap. Liang Feng duduk bersila di tengah ruangan batu, tempat semedi yang bahkan tak bernama dalam catatan murid-murid Bai Zhen. Cahaya matahari belum mampu menembus masuk ke sela-sela dinding batu, hanya nyala lentera yang redup menjadi satu-satunya sumber cahaya, membentuk bayangan-bayangan panjang di wajahnya.Semenjak ia dipisahkan dari rombongan dan ditahan oleh Tetua Yin untuk menjalani pengujian diam-diam, Liang Feng lebih banyak diam. Bai Zhen tak protes, hanya mengangguk saat Tetua Yin membisikkan sesuatu di telinganya. Entah bentuk kepercayaan, atau karena sang guru tahu, perjalanan muridnya memang bukan untuk terus bersama.Sebuah pertanyaan terus bergema di kepala Liang Feng—bukan tentang pedang, bukan tentang Chi, tapi tentang dirinya sendiri."Mengapa aku terus maju?"Pertanyaan itu sepele bagi orang lain, tapi tidak untuk Liang Feng. Karena sejak langkah pertamanya keluar dari

  • Legenda Pedang Langit Dan Bumi   Bab 22 – Bisikan Langit dalam Ruang Sunyi

    Ruang Batu milik Tetua Yin bukan tempat yang mudah dimasuki. Dinding-dindingnya seolah bukan hanya terbuat dari batu, tapi juga dari waktu itu sendiri—diam, purba, dan penuh tekanan tak kasat mata.Liang Feng berdiri di tengah ruang itu. Cahaya lilin di sudut-sudut ruangan nyaris padam, seolah tak sanggup menyentuh udara yang berat. Tak ada suara. Tak ada langkah. Hanya detak jantungnya sendiri yang menggema, pelan namun mantap.Tetua Yin telah menguncinya dari luar. Bukan secara kasar, bukan pula sebagai hukuman, tapi sebagai ujian sunyi. “Jika hatimu goyah dalam kesunyian, maka langkahmu akan rapuh di tengah keramaian,” begitu kata Tetua Yin sebelum meninggalkannya.Liang Feng tahu ini bukan sekadar ruang. Ini adalah cermin. Cermin untuk seluruh luka yang pernah ia abaikan, seluruh kemarahan yang ia pendam, dan seluruh keraguan yang diam-diam terus menghantuinya.Ia duduk bersila. Mengatur napas.Malam telah jatuh di luar sana, tapi waktu di dalam ruang ini seperti tak berjalan.***

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status