Angin berembus cukup kencang saat Tanaka dan Bimala berhasil turun dari bukit kedua. Bimala tampak lelah, sementara hari sudah hampir petang. Tanaka tampak kasihan melihatnya.“Apa sebaiknya kita istirahat dulu saja?” tanya Tanaka.Bimala menoleh dengan napas tak beraturan pada Tanaka.“Kita istirahat di perkampungan saja,” jawab Bimala. Dia ingin segera tiba pada tujuannya. Dia tak ingin berlama-lama dalam perjalanan. Dia yakin, saat ini pasukan yang dikirim oleh Putra Mahkota pasti sedang mengejarnya.“Memangnya dekat sini ada perkampungan?” tanya Tanaka heran.“Kau belum pernah ke sini sebelumnya?” tanya Bimala heran. Kini dia berhenti.Tanaka ikut berhenti lalu menggeleng.Bimala menunjukkan senyum indahnya. “Pantas saja,” celetuk Bimala.Tanaka heran. “Pantas saja bagaimana?”“Kau tidak tahu kalau di sini ada perkampungan yang sangat terkenal di seluruh penjuru Kerajaan Banggala?” jawab Bimala.Tanaka mengernyit mendengarnya. “Perkampungan terkenal?”“Iya!” jawab Bimala, “Perkamp
Malam sudah datang. Tanaka tampak lelah mengejar langkah pamannya Se yang begitu cepat. Tanaka heran, jalanan yang mereka lalui sepertinya bukan jalan menuju kediamannya.“Tunggu!” teriak Tanaka.Se berhenti melangkah.“Ada apa keponakanku? Sudah paman bilang, jangan dulu banyak tanya! Nanti aku jelaskan padamu kenapa aku mengikutimu ketika kita sudah sampai di rumah,” ujar Se sedikit geram.“Ini bukan jalan pulang,” ujar Tanaka dengan bingung.“Kau pikir hanya jalan yang dilalui gadis itu saja yang harus dilewati?” tanya Se geram.Tanaka memejamkan matanya. Dia menggunakan ajiannya. Se menghela napas. Dia tahu apa yang dilakukan keponakannya itu. Keponakannya pasti sedang menggunakan jurus kucing mengendus. Ajian yang mampu membaui sesuatu yang mencurigakan.“Paman bohong padaku,” ucap Tanaka.“Memangnya apa yang kau endus hingga bisa mengatakan aku berbohong?” tanya Se mencoba memastikan.“Paman tidak membawaku ke rumah, tapi paman mencoba memutar arah untuk kembali ke arah perkampu
Bimala duduk termenung di teras rumahnya. Malam kian larut. Kakek dan Neneknya datang dari dalam rumah menghampirinya. Sepiring ubi rebus dan segelas teh manis dibawa Neneknya lalu dihidangkan di dekat Bimala.“Takdir telah datang kepada ayahmu. Jangan kau bersedih lagi. Sekarang ada Kakek dan Nenek yang akan selalu bersamamu,” pinta Kakeknya.Bimala mencoba tersenyum pada Kakeknya. Dia tidak ingin kesedihannya terbaca di mata Kakek dan Neneknya itu.“Aku sudah menerima takdirnya meski sulit, Kek,” sahut Bimala.Kakeknya tersenyum lega melihatnya.“Makan dan minumlah dulu,” pinta Neneknya. “Setelah ini ada sesuatu yang ingin Kakek dan Nenek lakukan untukmu.”Bimala mengernyit heran mendengarnya.“Apa itu, Nek?” tanya Bimala heran.“Makan dan minumlah dulu,” pinta Neneknya.Bimala langsung meraih gelas teh hangat lalu menyeruputnya. Dia membiarkan sepiring ubi di dekatnya.“Aku sudah kenyang, bukan kah tadi kita sudah makan. Jika ada sesuatu yang ingin Nenek dan Kakek katakan, katakanl
“Mau tidak mau kita harus melawan mereka,” jawab Se.“Jumlah mereka sangat banyak,” keluh Si.Su mengitari tempat itu. Putra Mahkota dan ratusan prajuritnya tampak sudah mengepung tempat itu. Putra Mahkota telah membawa prajurit terbaiknya.“Bukan kah kita sudah terbiasa menghadapi orang banyak?” tanya Si dengan percaya dirinya.Putra Mahkota tertawa.“Pucuk dicinta ulam pun tiba,” ucap Putra Mahkota. “Rupanya musuh lamaku tengah berada di sini. Sepertinya Dewata sengaja mengirimkan kalian pada kami!”Se, Si dan Su tampak bersiap menghadapi mereka.“Kau pikir kami takut?” tanyang Se.Putra Mahkota kembali tertawa.“Ada urusan apa kalian dengan calon ratuku?” tanya Putra Mahkota kemudian. Dia heran mereka ada di sana dan rumah itu tiba-tiba lenyap berikut penghuninya.“Bukan urusanmu!” teriak Su geram.Putra Mahkota tertawa lagi. “Kalian berada di tempat Ratuku, itu artinya kalian menjadi urusanku!” Putra Mahkota pun melihat tiga prajurit terbaiknya. “Cari Bimala sampai ketemu!”“Siap
Cahaya begitu terang dari celah-celah gua. Sa terbangun karena sorot cahaya matahari itu. Di melihat Tanaka sedang tertidur lelap di sebelah kirinya, sementara di sebelah kanannya, Laras masih tampak terlelap. Dia kelelahan menunggu Tanaka. Sa terkejut saat melihat Si, Su dan Se berdiri di hadapan mereka. Melihat itu, Sa langsung mengajak Si, Su dan Se keluar dari dalam gua itu untuk menanyakan apakah mereka berhasil mendapatkan benda pusaka itu.Sa Sa sudah berada di luar bersama ketiga adik-adiknya. Dia langsung memandang mereka bertiga dengan curiga ketika melihat benda pusaka itu tidak berada di tangan mereka.“Mana benda pusaka itu?” tanya Sa.“Kami gagal mendapatkannya, Kakak Pertama,” ucap Se.Sa geram mendengarnya.“Kenapa kalian bisa gagal? Benda pusaka itu berada di rumah yang penghuninya tidak memiliki ilmu bela diri yang mumpuni. Harusnya kalian dengan mudah mendapatkannya,” kecewa Sa.“Kami sudah berhasil menyandera seisi rumah itu. Tiba-tiba cucu perempuan mereka berhasi
Siang itu Laras tengah menghidangkan ayam bakar untuk Tanaka, Suaminya dan ketiga adik iparnya. Wajah Laras tampak kesal melihat ketiga adik iparnya itu. Dia masih kesal karena tidak berhasil mencari Tanaka dan membiarkan Tanaka bertarung sendirian menghadapi Panglima dan pasukannya. Sa yang menyadari itu tampak merasa bersalah.“Sudah lah. Maafkan lah mereka,” pinta Sa sambil menikmati makan siangnya. “Mereka sudah berusaha mencari anak kita.”“Aku hanya kesal melihat Tanaka menghadapi Panglima dan prajurit itu sendirian. Sekarang katakan padaku, kenapa mereka mencari kita? Ada apa sebenarnya?” tanya Laras yang tidak mengetahui semuanya. Dia tidak tahu kalau pihak kerajaan mencari mereka karena ulah perampokan yang mereka lalukan selama ini.Tanaka, Sa, dan ketiga adik Iparnya itu tampak bingung untuk menjawabnya. Rahasia itu merekalah yang tahu. Sa tidak menginginkan Laras tahu tentang semuanya.“Pihak kerajaan tak ingin kita mendiami hutan,” jawab Sa berbohong.“Kalau begitu, ayo k
Sang Raja tampak gelisah di kediamannya. Dia bingung harus bagaimana untuk menggagalkan kehamilan Sang Ratu. Dia tidak mau memiliki anak yang buruk rupa lagi seperti dahulu. Sang Raja pun bangkit lalu pergi dari kediamannya, dia menuju kediaman tabib istana. Sesampainya di sana Tabib langsung bersimpuh di hadapannya.“Ampun, Yang Mulia. Seharusnya biar hamba yang menghadap Yang Mulia,” ucap Tabib menyembunyikan keheranannya.“Apa benar istriku tengah hamil?” tanya Sang Raja memastikan sekali lagi.“Benar, Yang Mulia. Usia kandungannya sudah sebulan ini,” jawab Tabib itu.“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Selama ini istriku selalu diberikan ramuan agar setiap kali aku berhubungan dengannya dia tak akan pernah hamil?” tanya Sang Raja pada dirinya sendiri.Sang Tabib pun menunggu kata-kata Sang Raja selanjutnya. Sang Raja pun menatap Sang Tabib dengan tatapan tajamnya.“Bagaimana pun kau harus menggagalkan kandungan istriku,” pinta Sang Raja.Tabib itu terbelalak mendengarnya.“Ampun,
Tanaka bingung harus bagaimana. Dia sangat yakin yang sedang bertarung itu adalah ayah dan paman-pamannya. Pihak Kerajaan pasti telah mengirimkan prajurit terbaiknya untuk mengepung mereka di hutan ini. Akhirya Tanaka bergegas memasuki gua. Dia ingin pamit pada Ibunya. Saat sudah berhasil memasuki gua, dia melihat Ibunya sudah terlelap. Dengan pelan dia membangunkan Ibunya.“Bu,” panggil Tanaka lembut.Laras terbangun dengan heran.“Kenapa, anakku?” tanya Laras.“Aku mendengar suara pertarungan di kejauhan sana. Aku khawatir itu ayah dan paman-paman sedang serang pihak kerajaan,” jawab Tanaka.Laras terbelalak mendengarnya.“Sudah aku bilang. Harusnya dalam keadaan genting begini jangan dulu berburu,” kesal Laras.“Aku pergi ke sana ya, Bu. Aku ingin membantu ayah dan paman-pamanku,” izin Tanakan.Laras tampak bingung. Satu sisi dia takut sendirian di sana, tapi suami dan paman-pamannya pasti membutuhkan pertolongan anaknya. Laras tahu, ilmu bela diri yang dikuasai Tanaka sudah mumpun