Tanaka menaiki kuda bersama Laras ibunya. Mereka hendak menuju ke pasar. Mereka melewati jalanan yang membelah hutan. Jalanan yang sering dilalui orang-orang untuk menuju perbatasan kerajaan Manggala.
“Kau tidak kenapa-napa?” tanya Laras padanya.
“Aku tidak apa-apa, Ibu. Ilmu yang diajarkan ayah dan ketiga pamanku sudah aku kuasai semuanya. Sekarang aku hebat, Ibu. Aku tak akan takut lagi pada orang-orang yang mengejek parasku,” ucap Tanaka.
Laras sedih mendengarnya.
“Kau harus selalu menggunakan topeng itu agar mereka tidak mengejekmu,” pinta Laras.
Tanaka menghentikan kudanya. Laras heran.
“Kenapa berhenti? Pasar masih jauh! Kita harus buru-buru biar ibu bisa makan makan malam untuk kalian!”
“Kenapa wajahku begini, Bu?” tanya Tanaka dengan mata sayunya.
Laras tampak menarik napas dan menghembuskannya mendengar itu.
“Ibu kan dulu pernah bercerita kalau kau pernah keluar dari rumah sewaktu kecil lalu kau mendekati api unggun yang diyalakan ayah. Kau terjatuh hingga wajahmu mengenai bara api,” jawab Laras berbohong. Dia tidak mungkin menceritakan bagaimana mereka mendapatkannya sewaktu Tanaka masih bayi.
“Tapi kenapa wajahku tidak seperti habis terbakar?”
“Umurmu sudah dua puluh tahun, lagi pula ayahmu sibuk mencari obat kemana-mana. Makanya tidak seperti habis terbakar lagi!” jawab Laras.
Tanaka terdiam. Dia masih tidak percaya.
“Sudah! Cepat jalankan lagi kudanya! Hari sudah mau petang!” pinta Laras.
Tanaka pun memacukan kudanya kembali. Saat hampir tiba ke pasar. Tanaka langsung menghentikan kudanya dan menepikannya ketika melihat rombongan Putra Mahkota hendak menuju mereka dengan kereta kencana dan dikawal puluhan kuda.
“Ayo Turun, Tanaka! Kita harus memberi hormat pada Putra Mahkota,” pinta Laras.
“Kenapa kita harus memberi hormat pada Putra Mahkota yang suka semena-mena terhadap rakyaknya?” protes Tanaka.
“Ini bukan waktunya berdebat! Ayo segera turun!” pinta Laras.
Tanaka pun menghela napas. Dia dan Laras turun dari kuda lalu berlutut menunggu Putra Mahkota lewat di hadapan mereka. Rombongan Putra Mahkota pun melewati Tanaka dan Laras yang sedang berlutut hormat. Putra Mahkota pun meminta pengawalnya untuk menghentikan kereta kencana. Mereka pun berhenti.
Putra Mahkota turun dari kereta kencana. Tanaka dan Laras terkejut melihatnya. Para pengawalnya pun heran.
“Ampun, Pangeran. Pangeran hendak kemana?” tanya pengawalnya.
“Mau kemana aku itu terserah aku!” tegas Putra Mahkota.
Pengawalnya pun terdiam mendengar itu. Putra Mahkota berwajah rupawan itu pun berjalan ke arah Tanaka dan Laras. Tanaka dan Laras tampak bingung. Langkah Putra Mahkota akhirnya terhenti tepat di hadapan mereka berdua.
“Buka topengmu!” tegas Putra Mahkota.
Tanaka dan Laras terkejut mendengarnya.
“Kenapa aku harus membuka topengku?” tanya Tanaka dengan geram.
Putra Mahkota terbelalak mendapati rakyatnya tampak melawan padanya.
“Jaga ucapanmu di hadapanku!” tegas Putra Mahkota. “Sekarang buka topengmu atau mau aku tebas dengan pedangku?!”
“Ampun yang mulia! Ampuni anak hamba,” ucap Laras memohon. “Jika anakku harus dihukum, hukumlah aku saja. Akulah yang gagal mendidiknya.”
Tanaka tak terima melihat ibunya berkata begitu. Namun melihat ketakutan di wajah ibunya dan dia tidak ingin bertarung dengan Putra Mahkota, akhirnya Tanaka mengalah.
“Ampuni hamba, yang mulia. Hamba akan membuka topeng hamba,” ucap Tanaka pada akhirnya.
“Cepat buka!” teriak Putra Mahkota.
Tanaka pun perlahan membuka topengnya. Putra Mahkota terbelalak melihat wajah Tanaka yang terlihat sangat menyeramkan. Semua pengawalnya pun tampak terkejut melihat wajah seburuk itu. Tak lama kemudian Putra Mahkota tertawa.
“Pantas saja kau menggunakan topengmu! Rupanya.... sudahlah! Aku memintamu membuka topengmu karena aku penasaran siapa dirimu! Akhir-akhir ini banyak perampok yang suka menggunakan topengnya!” ucap Putra Mahkota yang masih terkekeh lalu berjalan meninggalkannya menuju kereta kencana.
Tanaka tampak geram sambil memakai kembali topengnya. Dia ingin bangkit lalu menyerang bangsawan itu karena tidak terima melihatnya menertawai rupanya. Laras langsung memegang tangan Tanaka. Dia tahu anaknya paling tidak bisa menahan amarah. Melihat wajah Laras yang tampak melarangnya, Tanaka akhirnya menahan emosinya sambil mengatur napasnya. Hanya pada perempuan tua itulah Tanaka menurut.
Saat rombongan Putra Mahkota sudah menghilang dari hadapan mereka berdua, Tanaka dan Laras bangkit.
“Sombong sekali Putra Mahkota itu! Percuma dia memiliki wajah rupawan kalau suka menghina rakyatnya sendiri!” geram Tanaka.
“Sudah-sudah!” pinta Laras menenangkannya.
Tanaka pun akhirnya terdiam.
“Mereka hendak kemana, Bu?” tanya Tanaka kemudian.
“Sepertinya mereka hendak mengunjungi kediaman Tuan Kepala Wilayah. Menurut orang-orang, Putra Mahkota sedang jatuh cinta kepada anak gadisnya,” ucap Laras.
“Kasihan sekali gadis yang dicintainya. Putra Mahkota pasti hanya ingin mempermainkannya saja,” ucap Tanaka.
“Terserah dia mau seperti apa, yang penting mereka tidak mengganggu hidup kita,” ucap Laras. “Ayo kembali naik ke kuda! Kita harus segera membeli keperluan di rumah lalu pulang secepatnya.”
Tanaka mengangguk. Mereka pun kembali menaiki kuda. Saat mereka sudah naik ke punggung kuda, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari belakang.
“Tunggu!!!”
Tanaka dan Laras terkejut mendengarnya. Mereka khawatir itu dari rombongan Putra Mahkota Tadi.
Tanaka dan Laras akhirnya menoleh ke belakang. Dia terkejut melihat seorang prajurit datang padanya dengan menaiki kuda.“Aku mendapat pesan dari Putra Mahkota. Beliau mengatakan jika kamu ingin menjadi prajuritnya, silakan datang ke istana,” ucap Prajurit itu.Tanaka ingin meludah mendengar itu. Namun dia menahannya khawatir membuat prajuritnya panah hati melihatnya.“Ucapkan rasa terima kasihku atas tawaran Putra Mahkota. Aku akan berembuk dulu dengan keluargaku,” jawab Tanaka.“Kami tunggu di istana,” pinta prajurit itu lalu bergegas memutar arah kudanya lalu pergi meninggalkan mereka di sana.“Aku tidak mau menjadi prajurit istana, Ibu,” kesal Tanaka.“Ibu juga tidak akan mengizinkanmu,” sahut Laras. “Ayo kita pergi!”Tanaka pun mengangguk. Dia pun kembali memacukan kudanya dengan kencang menuju pasar.***Malam itu, Tanaka sedang makan malam bersama ayah, ibu dan ketiga pamannya. Mereka menikmati jagung rebus dan ayam bakar dengan lahap.“Apa malam ini ayah akan berburu lagi?” ta
Semua sudah berkumpul di hadapan pondok perundingan. Sa memberikan bambu kecil dan jarum-jarum bambu yang ujungnya sudah diolesi racun katak pada Tanaka dan ketiga sekawan.“Sekali saja mereka terkena jarum-jarum bambu ini, racun diujung jarum ini akan langsung menyebar ke tubuh mereka semuanya dengan cepat,” ucap Sa.Semua memandangi bambu kecil dan jarum-jarum yang sudah dimasukkan ke dalam kantong kain kecil.Sa melanjutkan ucapannya. “Ingat, gerakan kita jangan sampai ada yang tau,” pinta Sa.Semua mengangguk.“Tujuan kita membunuh Tuan Kepala Wilayah lalu curi pedang emas yang disimpan di bawah kasurnya, setelah itu kita harus segera pergi dari sana,” lanjut Sa.Semua mengangguk. Terdengar suara-suara tak jauh dari mereka. Tanaka langsung memasukkan jarum bambu ke dalam bambu lalu meniupnya dengan tenaga dalam. Tak lama kemudian terdengar suara rusa yang kesakitan.Sa melotot marah ke Tanaka.“Kenapa kau gunakan itu?” tanya Sa geram.“Aku ingin mencobanya ayah! Siapa tahu mereka
Tanaka berjalan mengendap-endap menuju pintu kamar Tuan Kepala Wilayah. Dia melihat dua prajurit penjaga sedang berjalan ke arahnya karena heran dengan suara pertarungan di ruangan lain. Tanaka pun terpaksa meniupkan jarum-jarum bambu itu hingga dua prajurit itu langsung menggelepar mengeluarkan busa dimulutnya.Tanaka pun langsung memasuki kamar Tuan Kepala Wilayah. Tanaka terkejut mendapati Tuan Kepala Wilayah sedang turun dari atas ranjangnya.“Siapa kamu?!” teriak Tuan Kepala Wilayah. Wajahnya berkumis tebal dengan kepala botak.Tanaka pun langsung meniupkan jarum bambu beracun itu ke arah tubuh Tuan Kepala Wilayah, namun dengan sigap Tuan Kepala Wilayah menggunakan jurusnya hingga menendang jarum yang melesat cepat itu ke arah Tanaka. Jarum itu berhasil ditendangnya hingga berbalik melesat ke arah Tanaka. Tanaka terbelalak lalu dengan cepat menghilang dari sana.Tuan Kepala Wilayah tampak heran melihat lelaki bertopeng itu menghilang dari hadapannya. Dia pun mengitari kamarnya ta
Pagi sekali terdengar teriakan Laras di depan pintu kamar Tanaka.“Tanaka! Bangun Tanaka!” teriak Laras di luar sana.“Iya, Ibu! Ini aku sudah bangun!” teriak Tanaka.Tanaka pun turun dari kasur. Dia meraih topengnya lalu menggunakannya. Kemudian dia berjalan membuka pintu kamarnya. Takana terkejut melihat Laras sudah membawa guci besar.“Ambilkan air di sungai,” pinta Laras sambil menyerahkan guci besar itu pada Tanaka.“Sekarang?” tanya Tanaka dengan wajah malas.“Iya, sekarang! Kalau tidak, ibu tak akan membuatkan sarapan untuk kalian,” ancam Laras.Tanaka menghela napas.“Baik, Ibu,” ucap Tanaka tampak malas. Tanaka pun keluar dari kamarnya sambil membawa guci itu keluar rumah.Laras menarik napas lalu menghembuskannya sambil geleng-geleng. Dia pun kembali ke arah dapur.Tanaka pun tiba di pinggir sungai yang tampak jernih itu. Dia meletakkan guci di atas batu lalu membuka topengnya. Tanaka melihat wajahnya di permukaan air sungai yang tampak tenang. Dia menatap lekat-lekat wajahn
Tanakan meletakkan guci berisi air di tempatnya. Laras tampak sedang menyiapkan sarapan untuk semuanya. Laras tampak heran melihat sorot mata anak lelakinya tampak sayu dan bingung. Sejak Tanaka sering menggunakan topeng, Laras semakin tahu perasaan anak lelakinya itu melalui sorot matanya.“Kau baik-baik saja?” tanya Laras.Tanaka hanya mengangguk. Dia pun pergi begitu saja menuju kamarnya. Setiba di kamarnya dia membaringkan tubuhnya di atas kasur jeraminya. Dia membuka topengnya hingga terlihat jelas wajah buruk rupanya. Tanaka menatap langit-langit kamarnya. Dia masih terpana menatap wajah gadis cantik itu tadi. Bersamaan dengan itu juga dia merasa bersalah telah membunuh ayahnya semalam.Tanaka gelisah. Dia membolak-balikkan tubuhnya tak menentu. Sesaat kemudian dia duduk sambil memegangi bibirnya.“Aku sudah menciumnya,” gumam Tanaka tak percaya. “Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku telah membunuh ayahnya.”Tanaka bingung sendiri. Laras yang sengaja mengintipnya karena pena
“Dia kerasukan, Nyi. Dia harus kita kurung ke dalam kandang. Kita sudah lima bulan tidak mengirim sesajen ke batu besar itu.Laras terbelalak mendengarnya.“Jadi hal aneh tadi itu karena Tanaka kerasukan?” tanya Laras dengan terkejutnya.Sa mengangguk. Laras pun pasrah melihat anak lelakinya digotong mereka menuju kandang. Sementara Tanaka tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk bergerak, berbicara saja dia tidak bisa.Tanaka digotong empat sekawan menuju kandang yang dulu dibuat untuk mengurung Se ketika kerasukan. Ketika Tanaka sudah di masukkan ke dalam kandang, Sa langsung menggunakan ajian penguat dinding kandang. Ajian yang tak akan bisa ditembus siapapun meskipun harus menggunakan tenaga dalam untuk merusak kandang. Setelah Sa selesai membacakan ajiannya, dia pun menggunakan jurusnya untuk melepas ajian totokannya pada Tanaka.Tanaka pun kembali bisa bergerak dengan lemas.“Aku... tidak... kerasukan,” ucap Kantata lemah. Ajian totokan memang sangat berbahaya. Siapapun yang
Semua pun kembali menggunakan jurus meringankan tubuhnya dengan melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Ketika mereka sudah tiba di depan kandang, mereka melihat Laras sedang menangis meraung-raung di hadapan kandang. Sa dan semua heran.“Kenapa istriku?” tanya Sa heran.“Roh jahat itu telah membawa Tanaka pergi, Suamiku!” isak Laras.Sa dan tiga sekawan menoleh ke dalam kandang. Mereka terkejut melihat Tanaka sudah tidak ada di dalam sana. Tanaka pun dengan rapihnya menutupi lubang itu dengan jerami yang ada di dalam kandang itu hingga tak terlihat oleh semuanya.“Arwah penunggu itu memang benar-benar hebat! Dia bisa meloloskan diri dari ajian pelindungku,” ucap Sa tak percaya.“Ayo kita cari Tanaka!” ajak Si dengan paniknya.Empat sekawan pun bergegas pergi mencari Tanaka ke arah batu besar pinggir lembah. Sementara Laras masih menangis sesenggukan di hadapan Kandang itu.***Tanaka yang berhasil meloloskan diri tampak berjalan menyusuri sungai dengan kesalnya. Dia sudah mengguna
Tanaka masih gelisah di dalam kamarnya. Matanya masih mengawang ke langit-langit kamarnya. Tak lama kemudian pintu kamarnya berderak. Tanaka menoleh, kaget melihat kedatangan Laras. Pemuda itu bergegas bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Dia tidak mengenakan topengnya. Wajahnya terlihat jelas sebagaimana aslinya.“Ibu?” ucap Tanakan heran.“Kamu baik-baik saja kan?” tanya Laras heran.Tanaka tersenyum memangguk.“Maafkan atas kebodohan Ayah dan paman-pamanmu,” ucap Laras dengan wajah serius. Dia pun duduk di sebelah Tanaka.“Aku tidak marah sama ayah dan paman-pamanku, Bu,” ucap Tanaka menenangkan hati Ibunya.Laras memperhatikan mimik wajah anaknya dengan heran. Dia bisa melihat jelas ada sendu di kedua bola matanya.“Sebenarnya kamu lagi mikirin apa? Apa ada yang melihat wajahmu terus mengejekmu?” tanya Laras khawatir. “Ibu kan sudah bilang, kamu harus selalu menggunakan topengmu, biar tidak ada yang mengejekmu.”“Bukan karena itu, Bu,” jawab Tanaka.“Terus karena apa?” desak Laras