Share

4. Putra Mahkota

Tanaka menaiki kuda bersama Laras ibunya. Mereka hendak menuju ke pasar. Mereka melewati jalanan yang membelah hutan. Jalanan yang sering dilalui orang-orang untuk menuju perbatasan kerajaan Manggala.

“Kau tidak kenapa-napa?” tanya Laras padanya.

“Aku tidak apa-apa, Ibu. Ilmu yang diajarkan ayah dan ketiga pamanku sudah aku kuasai semuanya. Sekarang aku hebat, Ibu. Aku tak akan takut lagi pada orang-orang yang mengejek parasku,” ucap Tanaka.

Laras sedih mendengarnya.

“Kau harus selalu menggunakan topeng itu agar mereka tidak mengejekmu,” pinta Laras.

Tanaka menghentikan kudanya. Laras heran.

“Kenapa berhenti? Pasar masih jauh! Kita harus buru-buru biar ibu bisa makan makan malam untuk kalian!”

“Kenapa wajahku begini, Bu?” tanya Tanaka dengan mata sayunya.

Laras tampak menarik napas dan menghembuskannya mendengar itu.

“Ibu kan dulu pernah bercerita kalau kau pernah keluar dari rumah sewaktu kecil lalu kau mendekati api unggun yang diyalakan ayah. Kau terjatuh hingga wajahmu mengenai bara api,” jawab Laras berbohong. Dia tidak mungkin menceritakan bagaimana mereka mendapatkannya sewaktu Tanaka masih bayi.

“Tapi kenapa wajahku tidak seperti habis terbakar?”

“Umurmu sudah dua puluh tahun, lagi pula ayahmu sibuk mencari obat kemana-mana. Makanya tidak seperti habis terbakar lagi!” jawab Laras.

Tanaka terdiam. Dia masih tidak percaya.

“Sudah! Cepat jalankan lagi kudanya! Hari sudah mau petang!” pinta Laras.

Tanaka pun memacukan kudanya kembali. Saat hampir tiba ke pasar. Tanaka langsung menghentikan kudanya dan menepikannya ketika melihat rombongan Putra Mahkota hendak menuju mereka dengan kereta kencana dan dikawal puluhan kuda.

“Ayo Turun, Tanaka! Kita harus memberi hormat pada Putra Mahkota,” pinta Laras.

“Kenapa kita harus memberi hormat pada Putra Mahkota yang suka semena-mena terhadap rakyaknya?” protes Tanaka.

“Ini bukan waktunya berdebat! Ayo segera turun!” pinta Laras.

Tanaka pun menghela napas. Dia dan Laras turun dari kuda lalu berlutut menunggu Putra Mahkota lewat di hadapan mereka. Rombongan Putra Mahkota pun melewati Tanaka dan Laras yang sedang berlutut hormat. Putra Mahkota pun meminta pengawalnya untuk menghentikan kereta kencana. Mereka pun berhenti.

Putra Mahkota turun dari kereta kencana. Tanaka dan Laras terkejut melihatnya. Para pengawalnya pun heran.

“Ampun, Pangeran. Pangeran hendak kemana?” tanya pengawalnya.

“Mau kemana aku itu terserah aku!” tegas Putra Mahkota.

Pengawalnya pun terdiam mendengar itu. Putra Mahkota berwajah rupawan itu pun berjalan ke arah Tanaka dan Laras. Tanaka dan Laras tampak bingung. Langkah Putra Mahkota akhirnya terhenti tepat di hadapan mereka berdua.

“Buka topengmu!” tegas Putra Mahkota.

Tanaka dan Laras terkejut mendengarnya.

“Kenapa aku harus membuka topengku?” tanya Tanaka dengan geram.

Putra Mahkota terbelalak mendapati rakyatnya tampak melawan padanya.

“Jaga ucapanmu di hadapanku!” tegas Putra Mahkota. “Sekarang buka topengmu atau mau aku tebas dengan pedangku?!”

“Ampun yang mulia! Ampuni anak hamba,” ucap Laras memohon. “Jika anakku harus dihukum, hukumlah aku saja. Akulah yang gagal mendidiknya.”

Tanaka tak terima melihat ibunya berkata begitu. Namun melihat ketakutan di wajah ibunya dan dia tidak ingin bertarung dengan Putra Mahkota, akhirnya Tanaka mengalah.

“Ampuni hamba, yang mulia. Hamba akan membuka topeng hamba,” ucap Tanaka pada akhirnya.

“Cepat buka!” teriak Putra Mahkota.

Tanaka pun perlahan membuka topengnya. Putra Mahkota terbelalak melihat wajah Tanaka yang terlihat sangat menyeramkan. Semua pengawalnya pun tampak terkejut melihat wajah seburuk itu. Tak lama kemudian Putra Mahkota tertawa.

“Pantas saja kau menggunakan topengmu! Rupanya.... sudahlah! Aku memintamu membuka topengmu karena aku penasaran siapa dirimu! Akhir-akhir ini banyak perampok yang suka menggunakan topengnya!” ucap Putra Mahkota yang masih terkekeh lalu berjalan meninggalkannya menuju kereta kencana.

Tanaka tampak geram sambil memakai kembali topengnya. Dia ingin bangkit lalu menyerang bangsawan itu karena tidak terima melihatnya menertawai rupanya. Laras langsung memegang tangan Tanaka. Dia tahu anaknya paling tidak bisa menahan amarah. Melihat wajah Laras yang tampak melarangnya, Tanaka akhirnya menahan emosinya sambil mengatur napasnya. Hanya pada perempuan tua itulah Tanaka menurut.

Saat rombongan Putra Mahkota sudah menghilang dari hadapan mereka berdua, Tanaka dan Laras bangkit.

“Sombong sekali Putra Mahkota itu! Percuma dia memiliki wajah rupawan kalau suka menghina rakyatnya sendiri!” geram Tanaka.

“Sudah-sudah!” pinta Laras menenangkannya.

Tanaka pun akhirnya terdiam.

“Mereka hendak kemana, Bu?” tanya Tanaka kemudian.

“Sepertinya mereka hendak mengunjungi kediaman Tuan Kepala Wilayah. Menurut orang-orang, Putra Mahkota sedang jatuh cinta kepada anak gadisnya,” ucap Laras.

“Kasihan sekali gadis yang dicintainya. Putra Mahkota pasti hanya ingin mempermainkannya saja,” ucap Tanaka.

“Terserah dia mau seperti apa, yang penting mereka tidak mengganggu hidup kita,” ucap Laras. “Ayo kembali naik ke kuda! Kita harus segera membeli keperluan di rumah lalu pulang secepatnya.”

Tanaka mengangguk. Mereka pun kembali menaiki kuda. Saat mereka sudah naik ke punggung kuda, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari belakang.

“Tunggu!!!”

Tanaka dan Laras terkejut mendengarnya. Mereka khawatir itu dari rombongan Putra Mahkota Tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status