Dua Puluh Tahun Kemudian
Tanaka sedang bertarung dengan Sa, Si, Su dan Se di dalam hutan rimba itu. Sekarang dia sudah berumur hampir dua puluh tahun. Wajahnya memakai topeng kayu yang dibuat oleh Sa untuknya, topeng yang digunakannya sehari-hari. Sementara untuk merampok, Sa sudah menyiapkan topeng khusus untuknya. Topeng kayu yang diwarnai dengan warna hitam dari arang.
Tanaka melompat dengan cepat ke atas hampir sejajar dengan dahan pohon yang paling bawah. Tak lama kemudian dia berputar lalu menggunakan jurus tendangannya hingga empat sekawan itu terpelanting jauh ke belakang.
“Hahaha! Aku bilang apa? Ayah dan Paman ke satu, ke dua dan ke tiga tidak akan bisa menyaingi kehebatanku!” ucap Tanaka dengan sombongnya.
Sa bangkit dengan emosi. Begitupun dengan Si, Su dan Se. Mereka saling menatap dengan raut kesalnya.
Si mencoba bangkit. “Sombong sekali anak itu! Dia pikir siapa yang mengajarinya ilmu bela diri?! Aku!” geram Si. Tubuh gemuknya hampir saja oleng saat menghentakkan kaki ke tanah malah menginjank batu. Untung saja dia langsung melakukan gerakan untuk menyeimbangkan tubuhnya.
“Kau hanya mengajarkan jurus pertama saja, selebihnya dia mendapatkan jurus tendangan itu dari aku!” protes Su hingga terlihat jelas keompongannya.
“Yang paling membuat dia hebat begitu adalah aku!” protes Se. “Paman ke tiganya! Aku yang mengajarkan teknik tenaga dalam padanya!” Kepala botaknya tampak berkilau terkena sinar matahari dari sela dedauan di atasnya.
Sa geram melihat mereka malah berdebat.
“Sudah-sudah! Sekarang yang harus kita pikirkan bagaimana mengalahkan anakku! Kalau dia menang terus begini, bisa-bisa dia tidak mau berbakti lagi padaku!” geram Sa.
Tanaka yang mendengarnya malah tertawa.
“Ayo ayah! Ayo paman-pamanku! Aku tidak sabar membuat kalian cedera!” sombong Tanaka.
Mendengar itu Empat sekawan semakin geram. Mereka pun terbang dengan jurus meringankan tubuhnya ke arah Tanaka lalu mendarat tepat di hadapan, belakang dan samping kiri kanan. Kini Tanaka dikelilingi oleh empat sekawan itu.
“Kenapa diam? Takut?” ledek Tanaka.
Empat sekawan semakin geram. Mereka bersiap mengeluarkan jurus masing-masing. Saat mereka hendak menyerang, Tanaka malah menghilang. Semua saling menatap dengan heran.
“Kemana dia?” tanya Sa bingung.
“Ini gara-gara kakak pertama mengajarinya jurus menghilang!” geram Se pada Sa.
“Kenapa aku disalahkan?! Bukannya kalian yang memintaku untuk mengajarinya ilmu yang paling tinggi aku miliki?” protes Sa.
“Sudah-sudah! Cari anak sombong itu! Nanti bisa-bisa dia menyerang kita dari belakang!” pinta Si.
Semuanya pun mencari-cari keberadaan Tanaka. Merika tidak melihat Tanaka di mana-mana. Tiba-tiba terdengar suara tawa di atas pohon sana.
“Hahaha! Ayo lawan aku di sini kalau bisa!” tantang Tanaka.
Empak sekawan melotot ke arah Tanaka yang nangkring di atas pohon sana. Mereka pun langsung terbang menggunakan jurusnya. Setibanya mereka di sana, Tanaka kembali mehilang. Semua kaget lalu kembali mendarat ke atas tanah. Seketika sebuah tinju mengenai dada masing-masing lalu semuanya kembali tersungkur.
Tanaka kembali tertawa meledek. Sa yang sangat geram karena terpancing emosi terus akhirnya mengeluarkan tenaga dalamnya lalu mengarahkannya ke Tanaka. Dengan cepat Tanaka menghindar hingga cahaya tenaga dalam itu mengenai batang pohon hingga batang pohon itu meledak lalu tumbang.
Tanak terkejut melihatnya. Sa bangkit dengan senyum penuh kemenangannya.
“Saaaaaaa!!!!”
Suara teriakan seorang perempuan itu membuat semuanya terkejut. Rupanya Laras istri Sa sudah berdiri bekacak pinggang dengan mata melotot geram. Sa langsung ciut melihatnya.
“Siapa yang suruh ayah bertarung menggunakan serangan tenaga dalam?! Kalian cuman latihan! Kalau tenaga dalamnya mengenai tubuh Tanaka! Tanaka bisa celaka!” teriak Laras dengan marah.
“Benar, Bu! Ayah curang!” tambah Tanaka.
Sa melotot ke Tanaka. Laras semakin geram melihatnya.
“Saaaa?!”
Sa kembali ciut sambil menatap Laras. “Maaf, istriku, tadi tenaga dalam biasa saja kok. Itu tak akan membahayakan Tanaka,” ucap Sa.
“Tidak bahaya apa? Lihat saja pohon itu jadi tumbang karena serangan tenaga dalammu!”
Sa menunduk diam. Sementara Si, Su dan Se berpura-pura sibuk sendiri. Laras melotot pada mereka semua.
“Jangan pura-pura tidak ikut andil! Saya tahu kalian berempat sudah bekerjasama untuk menyakiti anak kesayanganku!”
Tiga sekawan langsung ciut mendengar itu. Laras langsung menarik tangan Tanaka.
“Ayo, Nak. Ikut Ibu. Kita kepasar sekarang! Ke depan jangan mau diajak latihan bertarung lagi sama ayahmu!” ajak Laras.
“Siap, Ibunda!” ucap Tanaka.
Tanaka pun mengikuti langkah Laras untuk keluar hutan. Tanaka menoleh ke belakang sebentar sambil menjulurkan lidahnya. Sa dan tiga sekawan melotot pada Tanaka. Saat Laras dan Tanaka menghilang, Empat Sekawan langsung duduk sambil memegangi bagian tubuh mereka yang kesakitan.
“Kalau tahu dia bakal lebih hebat dari kita, aku tak akan mungkin mau mengajarkan semua jurusku padanya,” ucap Sa sambil menguruti kakinya.
“Harusnya kakak pertama tak perlu protes begitu!” ucap Si.
“Kenapa?” tanya Sa.
“Semenjak dia hebat begitu, sekarang aksi perampokan kita bisa lebih cepat dari biasanya! Lihatlah ke dalam gua sana! Simpanan harta benda kita sudah menggunung karena Tanaka!” jawab Si.
Sa terdiam mendengar itu.
“Benar juga!” jawab Sa. “Bagaimana pun semenyebalkan Tanaka, dia anakku dan keponakan kalian semuanya!”
Semuanya pun terdiam mendengar itu.
Tanaka menaiki kuda bersama Laras ibunya. Mereka hendak menuju ke pasar. Mereka melewati jalanan yang membelah hutan. Jalanan yang sering dilalui orang-orang untuk menuju perbatasan kerajaan Manggala.“Kau tidak kenapa-napa?” tanya Laras padanya.“Aku tidak apa-apa, Ibu. Ilmu yang diajarkan ayah dan ketiga pamanku sudah aku kuasai semuanya. Sekarang aku hebat, Ibu. Aku tak akan takut lagi pada orang-orang yang mengejek parasku,” ucap Tanaka.Laras sedih mendengarnya.“Kau harus selalu menggunakan topeng itu agar mereka tidak mengejekmu,” pinta Laras.Tanaka menghentikan kudanya. Laras heran.“Kenapa berhenti? Pasar masih jauh! Kita harus buru-buru biar ibu bisa makan makan malam untuk kalian!”“Kenapa wajahku begini, Bu?” tanya Tanaka dengan mata sayunya.Laras tampak menarik napas dan menghembuskannya mendengar itu.“Ibu kan dulu pernah bercerita kalau kau pernah keluar dari rumah sewaktu kecil lalu kau mendekati api unggun yang diyalakan ayah. Kau terjatuh hingga wajahmu mengenai ba
Tanaka dan Laras akhirnya menoleh ke belakang. Dia terkejut melihat seorang prajurit datang padanya dengan menaiki kuda.“Aku mendapat pesan dari Putra Mahkota. Beliau mengatakan jika kamu ingin menjadi prajuritnya, silakan datang ke istana,” ucap Prajurit itu.Tanaka ingin meludah mendengar itu. Namun dia menahannya khawatir membuat prajuritnya panah hati melihatnya.“Ucapkan rasa terima kasihku atas tawaran Putra Mahkota. Aku akan berembuk dulu dengan keluargaku,” jawab Tanaka.“Kami tunggu di istana,” pinta prajurit itu lalu bergegas memutar arah kudanya lalu pergi meninggalkan mereka di sana.“Aku tidak mau menjadi prajurit istana, Ibu,” kesal Tanaka.“Ibu juga tidak akan mengizinkanmu,” sahut Laras. “Ayo kita pergi!”Tanaka pun mengangguk. Dia pun kembali memacukan kudanya dengan kencang menuju pasar.***Malam itu, Tanaka sedang makan malam bersama ayah, ibu dan ketiga pamannya. Mereka menikmati jagung rebus dan ayam bakar dengan lahap.“Apa malam ini ayah akan berburu lagi?” ta
Semua sudah berkumpul di hadapan pondok perundingan. Sa memberikan bambu kecil dan jarum-jarum bambu yang ujungnya sudah diolesi racun katak pada Tanaka dan ketiga sekawan.“Sekali saja mereka terkena jarum-jarum bambu ini, racun diujung jarum ini akan langsung menyebar ke tubuh mereka semuanya dengan cepat,” ucap Sa.Semua memandangi bambu kecil dan jarum-jarum yang sudah dimasukkan ke dalam kantong kain kecil.Sa melanjutkan ucapannya. “Ingat, gerakan kita jangan sampai ada yang tau,” pinta Sa.Semua mengangguk.“Tujuan kita membunuh Tuan Kepala Wilayah lalu curi pedang emas yang disimpan di bawah kasurnya, setelah itu kita harus segera pergi dari sana,” lanjut Sa.Semua mengangguk. Terdengar suara-suara tak jauh dari mereka. Tanaka langsung memasukkan jarum bambu ke dalam bambu lalu meniupnya dengan tenaga dalam. Tak lama kemudian terdengar suara rusa yang kesakitan.Sa melotot marah ke Tanaka.“Kenapa kau gunakan itu?” tanya Sa geram.“Aku ingin mencobanya ayah! Siapa tahu mereka
Tanaka berjalan mengendap-endap menuju pintu kamar Tuan Kepala Wilayah. Dia melihat dua prajurit penjaga sedang berjalan ke arahnya karena heran dengan suara pertarungan di ruangan lain. Tanaka pun terpaksa meniupkan jarum-jarum bambu itu hingga dua prajurit itu langsung menggelepar mengeluarkan busa dimulutnya.Tanaka pun langsung memasuki kamar Tuan Kepala Wilayah. Tanaka terkejut mendapati Tuan Kepala Wilayah sedang turun dari atas ranjangnya.“Siapa kamu?!” teriak Tuan Kepala Wilayah. Wajahnya berkumis tebal dengan kepala botak.Tanaka pun langsung meniupkan jarum bambu beracun itu ke arah tubuh Tuan Kepala Wilayah, namun dengan sigap Tuan Kepala Wilayah menggunakan jurusnya hingga menendang jarum yang melesat cepat itu ke arah Tanaka. Jarum itu berhasil ditendangnya hingga berbalik melesat ke arah Tanaka. Tanaka terbelalak lalu dengan cepat menghilang dari sana.Tuan Kepala Wilayah tampak heran melihat lelaki bertopeng itu menghilang dari hadapannya. Dia pun mengitari kamarnya ta
Pagi sekali terdengar teriakan Laras di depan pintu kamar Tanaka.“Tanaka! Bangun Tanaka!” teriak Laras di luar sana.“Iya, Ibu! Ini aku sudah bangun!” teriak Tanaka.Tanaka pun turun dari kasur. Dia meraih topengnya lalu menggunakannya. Kemudian dia berjalan membuka pintu kamarnya. Takana terkejut melihat Laras sudah membawa guci besar.“Ambilkan air di sungai,” pinta Laras sambil menyerahkan guci besar itu pada Tanaka.“Sekarang?” tanya Tanaka dengan wajah malas.“Iya, sekarang! Kalau tidak, ibu tak akan membuatkan sarapan untuk kalian,” ancam Laras.Tanaka menghela napas.“Baik, Ibu,” ucap Tanaka tampak malas. Tanaka pun keluar dari kamarnya sambil membawa guci itu keluar rumah.Laras menarik napas lalu menghembuskannya sambil geleng-geleng. Dia pun kembali ke arah dapur.Tanaka pun tiba di pinggir sungai yang tampak jernih itu. Dia meletakkan guci di atas batu lalu membuka topengnya. Tanaka melihat wajahnya di permukaan air sungai yang tampak tenang. Dia menatap lekat-lekat wajahn
Tanakan meletakkan guci berisi air di tempatnya. Laras tampak sedang menyiapkan sarapan untuk semuanya. Laras tampak heran melihat sorot mata anak lelakinya tampak sayu dan bingung. Sejak Tanaka sering menggunakan topeng, Laras semakin tahu perasaan anak lelakinya itu melalui sorot matanya.“Kau baik-baik saja?” tanya Laras.Tanaka hanya mengangguk. Dia pun pergi begitu saja menuju kamarnya. Setiba di kamarnya dia membaringkan tubuhnya di atas kasur jeraminya. Dia membuka topengnya hingga terlihat jelas wajah buruk rupanya. Tanaka menatap langit-langit kamarnya. Dia masih terpana menatap wajah gadis cantik itu tadi. Bersamaan dengan itu juga dia merasa bersalah telah membunuh ayahnya semalam.Tanaka gelisah. Dia membolak-balikkan tubuhnya tak menentu. Sesaat kemudian dia duduk sambil memegangi bibirnya.“Aku sudah menciumnya,” gumam Tanaka tak percaya. “Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku telah membunuh ayahnya.”Tanaka bingung sendiri. Laras yang sengaja mengintipnya karena pena
“Dia kerasukan, Nyi. Dia harus kita kurung ke dalam kandang. Kita sudah lima bulan tidak mengirim sesajen ke batu besar itu.Laras terbelalak mendengarnya.“Jadi hal aneh tadi itu karena Tanaka kerasukan?” tanya Laras dengan terkejutnya.Sa mengangguk. Laras pun pasrah melihat anak lelakinya digotong mereka menuju kandang. Sementara Tanaka tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk bergerak, berbicara saja dia tidak bisa.Tanaka digotong empat sekawan menuju kandang yang dulu dibuat untuk mengurung Se ketika kerasukan. Ketika Tanaka sudah di masukkan ke dalam kandang, Sa langsung menggunakan ajian penguat dinding kandang. Ajian yang tak akan bisa ditembus siapapun meskipun harus menggunakan tenaga dalam untuk merusak kandang. Setelah Sa selesai membacakan ajiannya, dia pun menggunakan jurusnya untuk melepas ajian totokannya pada Tanaka.Tanaka pun kembali bisa bergerak dengan lemas.“Aku... tidak... kerasukan,” ucap Kantata lemah. Ajian totokan memang sangat berbahaya. Siapapun yang
Semua pun kembali menggunakan jurus meringankan tubuhnya dengan melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Ketika mereka sudah tiba di depan kandang, mereka melihat Laras sedang menangis meraung-raung di hadapan kandang. Sa dan semua heran.“Kenapa istriku?” tanya Sa heran.“Roh jahat itu telah membawa Tanaka pergi, Suamiku!” isak Laras.Sa dan tiga sekawan menoleh ke dalam kandang. Mereka terkejut melihat Tanaka sudah tidak ada di dalam sana. Tanaka pun dengan rapihnya menutupi lubang itu dengan jerami yang ada di dalam kandang itu hingga tak terlihat oleh semuanya.“Arwah penunggu itu memang benar-benar hebat! Dia bisa meloloskan diri dari ajian pelindungku,” ucap Sa tak percaya.“Ayo kita cari Tanaka!” ajak Si dengan paniknya.Empat sekawan pun bergegas pergi mencari Tanaka ke arah batu besar pinggir lembah. Sementara Laras masih menangis sesenggukan di hadapan Kandang itu.***Tanaka yang berhasil meloloskan diri tampak berjalan menyusuri sungai dengan kesalnya. Dia sudah mengguna