Setelah memarkir mobilnya di garasi, Melody melenggang santai masuk rumah dengan lagak tanpa dosa. Padahal aslinya, jangan di tanya seberapa dag dig dug jantung ini saat membayangkan omelan panjang kedua orang tuanya nanti. Apalagi di garasi tadi sudah di lihatnya mobil papa bertengger dengan gagahnya.
Jika sekedar beradu mulut dengan Alfa, semenjak acara kenal-kenalan kapan hari sudah menjadi hal biasa bagi Melody selayaknya iklan pemutih atau pengharum cucian yang tiap hari mondar mandir di layar televisi tanpa pernah mau mengerti pemirsanya pada pengin lihat atau enggak. Namun untuk menerima omelan panjang kedua orang tuanya, terlebih omelan papa, yang parahnya lagi bisa-bisa di bumbui fitnah si tukang jilat calon menantu kesayangan mereka itu benar-benar membuat nyali Melody menciut. Selain karena harus repot-repot menyiapkan jiwa dan raga mendengar omelan yang harus dia terima, mengingat sikap penjilat seorang Alfa yang suka berkata manis di depan orang tuanya membuat amarah dalam dada kembali berkobar dan berkibar penuh dengan berjuta rasa dan warna mirip martabak aneka rupa yang sedang viral saat ini.
Begitu masuk ke dalam rumah di temukannya kondisi ruang tamu yang sepi tanpa orang. Melangkah beberapa meter lagi dia akan bertemu dengan ruang keluarga. Disinilah detak jantung Melody mulai menghebat bertalu-talu. Dengan niat menenangkan diri di tariknya nafas panjang kemudian dia hembuskan lagi dengan perlahan.
Benar saja, mama dan papa sedang duduk santai berdua nonton televisi di ruang keluarga. Secara otomatis gadis itu celingukan mencari sosok Alfa yang tak dia temukan di ruang itu.
“Datang-datang bukanya nyapa orang tua malah celingak celinguk kayak orang mau maling jemuran,” sedikit berjingkat kaget Melody mendengar suara papa yang tak di sadarinya.
Melody meringis sambil berjalan menuju ke arah kedua orang tuanya. Setelah salim dan mengucap salam selamat sore pada keduanya, Melody mengambil duduk di dekat mereka.
“Alfa di taman samping tuh, lagi ngasih makan ikan,” kali ini suara mama yang terdengar.
“Oke, Melody susul dulu, ya?” pamit Melody bergegas berdiri dan beranjak mau pergi.
“Duduk dulu,” suara papa menginterupsi.
Tanpa kata bantahan Melody kembali menjatuhkan pantatnya di kursi, bersiap menerima petuah panjang yang entah pakai bumbu apa, bumbu nasi goreng pedas atau bumbu bikin sambel geprek pake cabe lima belas.
“Mampir kemana aja kamu, Mel? Pulang kuliah jam dua tapi baru masuk rumah jam sekarang?”
Melody menunduk, belum ada ide dia harus menjawab apa.
“Kalau di tanya orang tua wajib jawab, jangan diam aja.”
“Mundur juga nggak sampai tiga jam, Pa,” bukan menjawab tapi Melody justru melayangkan protesnya.
“Papa bukan mau dengar protes kamu, tapi jawaban darimana yang papa butuhkan.”
“Dari kafe deket kampus aja, kok.”
“Kamu itu statusnya sudah hampir tunangan, Melody Cinta Efenira. Kurang-kurangin nongkrong nggak pentingnya yang seperti itu.”
Melody ngedumel dalam hati, sumpah serapah buat Alfa yang selalu saja jadi penjilat hebat memenuhi relung dadanya. Entah apa saja yang sudah di katakan cowok itu pada kedua orang tuanya.
“Nak, jangan di ulangi lagi, ya. Pulang kuliah segera pulang ke rumah, jangan mampir-mampir ke tempat nongkrong nggak penting seperti itu. Pamali buat cewek yang udah mau di ikat sama seorang lelaki,” suara lembut mama kali ini justru bikin perut Melody berasa teraduk, mual pengin muntah.
“Ya udah, kamu temuin Alfa sana, baik-baik sama dia, jangan bertengkar aja. Jangan jutek-jutek jadi cewek, nanti cowoknya kabur. Alfa itu bibit yang baik, dia ganteng, baik hati, sopan pada orang tua dan pinter, kamu juga harus pinter-pinter pertahanin dia, jangan sampai lepas di ambil orang.”
Oh Papa, sebenarnya anak kandungmu itu gue atau dia? Kalau dia denger pujian seperti itu sombongnya bisa nambah setinggi langit. Kalaupun dia kabur sama cewek lain itu berkah buat gue tanpa susah-susah nyari celah buat kabur duluan, kedumel Melody dalam hati.
“Melody ke tempat Alfa dulu, Pa, Ma,” pamit Melody tanpa menjawab petuah papa barusan. Kedua orang tuanya hanya mengangguk dan mengikuti langkah Melody dengan pandangan.
“Pa, apakah kita nggak terlalu keras sama anak kita? Dia masih butuh adaptasi buat nerima Alfa, lho,” protes Meira tertuju pada suaminya begitu Melody keluar dari ruang keluarga menuju taman samping rumah.
“Biarin aja, Ma, cinta akan datang karena terbiasa, jadi biarkan mereka untuk lebih sering bersama dan berkomunikasi. Melody harus di paksa seperti itu supaya mau dekat-dekat dengan Alfa. Udah ada contoh nyata, kan? Dulu mama cuek juga sama papa, tapi lama-lama cinta, kan?” goda Fendy pada istrinya yang mendapat hadiah cubitan ringan karena kegenitannya.
…
Melody duduk di bangku taman, memperhatikan Alfa yang asyik memberi makan puluhan ikan koi penghuni kolam di taman itu. Biasanya Melody yang duduk di situ, melihat ikan-ikan yang selalu antusias menerima makanan yang di lempar kepada mereka menjadi hiburan tersendiri baginya. Entah mengapa mereka ini kok nggak ada kenyangnya, ya? Hal itulah yang selalu menjadi pemikiran Melody setiap kali melemparkan pelet-pelet kecil makanan khas buat ikan-ikan peliharaannya.
Alfa sudah tahu kedatangan Melody, tapi hampir sepuluh menit duduk, tak ada tegur sapa ataupun nampak niatan Alfa akan mengakhiri aktifitasnya. Melody tak sabar juga, segera beranjak kemudian menjatuhkan pantatnya dengan kasar di samping Alfa. Tanpa kata dia segera merebut tempat pelet yang di pegang oleh Alfa. Menaburkannya menggantikan aktifitas Alfa yang tadi bersikap cuek padanya.
Melody menatap Alfa dengan sadis, namun keheranan menyapanya melihat cowok itu hanya menatapnya. Kemudian tersenyum memamerkan gigi taring mungilnya yang membuat senyuman cowok itu terlihat begitu manis dan khas. Cup! Seperti biasa, tanpa ijin hidung mancung cowok itu mampir di pipi mulus Melody. Meski sudah cium pipi yang ketiga kalinya, tapi tetap saja Melody masih merasa terkejut.
“Elo selalu seenaknya.”
“Sama cewek gue sendiri, calon tunangan gue, masih wajar,” jawab Alfa dengan senyum yang belum hilang dari bibirnya.
“Sama Bu Hesta kayak gimana? Sama kayak gini juga?” entah kenapa pertanyaan itu yang mampir di otak Melody dan terucap lancar dari bibir.
“Emmm … gimana, ya? Lebih dari itu kayaknya,” jawab Alfa nampak sengaja. Kening Melody mengernyit berfikir.
“Mau gue tunjukin?” lanjut Alfa melihat Melody yang tak kunjung bersuara.
Tatapan Alfa tertuju lurus ke wajah Melody. Jika di tarik garis lurus, maka akan terlihat garis dari mata elang ke bibir pink tanpa lipstik. Wajah tampan itu maju perlahan ke arah wajah Melody.
Tiba-tiba fikiran kotor mampir lagi di otak Melody, dengan segera gadis itu menoleh cepat menghindari wajah Alfa yang tinggal berjarak beberapa senti saja.
Alfa kembali menarik mundur kepalanya, ada senyum smirk di bibirnya, “Sudah bisa lo bayangin, ya? Makanya jangan terlalu dodol, usia dua puluh tahun hal begituan masih pake tanya segala,” Alfa sengaja memanas-manasin Melody.
“Biarin gue dodol soal begituan, yang penting gue masih bersih, nggak kayak elo yang entah kayak apa dalemannya.”
“Daleman gue bersih juga, ya. Tiap hari ganti, kok.”
Mendengar jawaban Alfa, mau nggak mau tawa gadis itu pecah juga. Alfa hanya diam, sepertinya tidak merasa jika dia di tertawakan, atau mungkin hanya pura-pura nggak merasa.
“Ngapain lo sore-sore ke sini?” tanya Melody yang sudah kembali jutek.
“Buat ketemu camer lah, ngomongin bisnis.”
“Alah … bisnis macam apa yang lo omongin sama papa gue?”
“Eh, pantes aja nilai dan IPK elo nggak pernah lebih dari gue, dari sini aja udah kelihatan, papa elo lebih percaya sama calon menantunya daripada sama anaknya sendiri soal bisnis.”
“Nggak usah bertele-tele, ngomong aja to the point.”
“Gue bantu papa gue dan papa elo buat jalanin bisnis mereka, yang mungkin elo aja belum tahu mereka sekarang lagi bisnis apa?”
Melody mendengus pelan tanpa mampu membantah karena yang Alfa bilang barusan sama sekali tidak salah. Dia sama sekali tidak tahu bisnis baru apa yang sekarang lagi di jalankan papanya dan Om Rudi, papa Alfa. Hanya saja mereka nampak sibuk akhir-akhir ini, sering telepon, sering ketemuan dan sekarang eh, si Es Batu ini bilang dia sedang bantuin bisnis orang tua mereka. Melody tak mau ambil pusing. Yang dia fikirkan sekarang hanyalah dia akan semakin malas ketemu Alfa karena cowok itu akan semakin sombong di hadapannya.
…
Jam sembilan malam bahkan belum tepat jarum penunjuknya di angka dua belas dan sembilan, masih lima menit lagi. Melody sudah menguap berulang kali. Namun tangan mungilnya masih sibuk mengetik chat balasan untuk pesan-pesan Sisil. Sesekali senyum mengembang, ah iya, dia rindu sahabatnya ini. Hampir seharian mereka tak ketemu dan bertukar cerita. Tadi mereka sudah bertelepon ria hampir sejam dan saat ini Sisil sedang memamerkan gambar desain dekor panggung untuk acara tunangannya nanti. Berkesan cantik, minimalis dan kekinian. Selera Sisil patut di acungin jempol, dua cewek bersahabat itu memiliki selera yang hampir sama. Tak banyak protes dari Melody, meskipun dia bukan yang punya acara tapi sesungguhnya ide panggung Sisil nanti juga di dapat dari masukkannya. Melody ikut tersenyum puas, dia sudah membayangkan Sisil akan nampak cantik pada hari itu. Nampak berbahagia bersama Kevin.
“Hai, selamat malam, Cinta” sebuah sapaan muncul di layar chat Melody. Bad, nama pengirim pesannya. Melody tersenyum, dia jelas-jelas mengenali nama itu, nama yang seharusnya tertulis Ansya, entah kenapa ketika tadi dia memasukkan nomor itu di phone contactnya justru “Bad” yang terlintas untuk dia jadikan nama cowok itu.
“Hai Bad, selamat malam juga,” balas Melody.
“Eh, elo bener-bener ngerubah nama gue, ya?”
“Skor sama dong, elo juga manggil gue pake nama yang tidak biasanya.”
“(emot tertawa) okelah, apa sih yang enggak buat elo, Cinta.”
“Gombal, Lo. Betewe kok gue ngerasa romantis gitu ya jadinya (emot tertawa ngakak)”
“Ya emang gue ini aslinya orangnya romantis, Cinta.”
“Elahhh … gitu ya, Bang? Sono bang ikutan audisi raja gombal aja biar terbukti kemampuannya.”
Meskipun sekedar berbalas chat, sepertinya Ansya berhasil mendekati Melody. Dia benar-benar hadir di saat yang tepat. Ketika gadis itu membutuhkan seseorang untuk di dekatnya, ketika gadis itu sudah bertekad untuk benar-benar membuka hatinya, sesuatu hal yang selama ini sama sekali belum pernah dia lakukan.
“Bad, elo masih kuliah atau sudah kerja? Umur berapa, sih?”
“Gue kuliah sambil kerja, umur dua puluh satu tahun bulan depan, lebih tua setahun dari elo. Elo ulang tahun ke dua puluh masih dua bulan lagi, kan?”
Melody menutup mulutnya. Cowok ini bukan sekedar omong doang, tapi banyak hal tentangnya yang emang benar dia tahu.
“Elo emang bener udah stalk banyak akun sosmed gue, ya? Tapi masalahnya elo tahu darimana ulang tahun gue? Gue nggak pernah pasang dimana-mana, boro-boro … “
“Boro-boro pasang, ngerayain aja kalau nggak di surprise sama orang tua juga elo bakal lupa kalau ulang tahun, sepertinya begitu, kan?”
“Astaga, Bad, elo tahu tentang gue dari mana, sih? Elo temennya Sisil, ya?”
“Sisil? Gue nggak kenal Sisil, tapi gue tahu, Sisil satu-satunya sahabat elo yang paling baik sedunia.”
“Ah, elo pasti bohong, ya udah kalo nggak mau ngomong, besok gue tanya sendiri ke Sisil.”
“Iya tanya aja kalau nggak percaya, udah malem, segera bobok, gih. Selamat istirahat, Cinta.”
“Oke Bad, selamat istirahat juga.”
….
Melody tersenyum seorang diri di bangku bawah pohon taman kampus. Tangan gadis itu sibuk memencet abjad-abjad di layar touchscreen handphone-nya. Di sebelahnya Sisil tak kalah sibuk, gadis itu asyik bertelepon ria dengan Kevin calon tunangan pujaan hatinya. Semakin mendekati acara pertunangan sepertinya mereka nampak semakin lengket. "Sil, elo yakin kan si Ansya ini bukan teman atau kenalan elo, dia bener-bener tahu banyak tentang kita, lho," jawil Melody pada sahabatnya yang baru saja mengakhiri acara berteleponnya. "Gue yakin banget, Mel. Sejak elo cerita kapan hari gue udah nyari info kemana-mana, ke teman-teman gue yang lain juga dan pada yakin nggak ada yang kenal dia." "Iya nih orang, akrab sama gue tapi kok misterius juga, ya?" "Di ajak video call sama ketemuan belum mau juga?" "Belum Sil, tapi gue nyaman aja, sih, pada dasarnya gue juga nggak ngebet banget pengin ketemu dia, terserah dia aja, orang dia yang datang ke gue." "But
Tiga hari berlalu dari permintaan Ansya. Setiap harinya mereka masih tetap berkomunikasi dengan baik, penuh dengan canda tawa dan perhatian yang manis dari Ansya untuk Melody. Melody belum berani memberikan keputusan untuk cowok itu. Dia sudah jujur pada hatinya sendiri bahwa dia menyukai Ansya. Sejujurnya juga ingin segera memberi jawaban "iya". Tapi keberadaan Alfa meski penuh dengan tingkah menyebalkan dan juga memikirkan hati orang tua mereka tetap menjadi pertimbangan yang utama. Di satu sisi, meskipun belum pernah bertemu, dia tidak mau asal menjawab sekedar untuk bersenang-senang saja. Melody tetap berusaha menghargai perasaan Ansya. Gadis itu selalu begitu, meski banyak hati yang dia tolak, tapi dia selalu berusaha untuk melakukannya dengan baik supaya tidak terlalu menyakiti hati orang itu. Bukan tanpa alasan, apalagi untuk seorang Ansya. Melody bisa merasakan dia cowok yang baik, kedekatan komunikasi mereka beberapa hari ini, pendekatan manis dari Ansya yang tanpa pa
Semilir angin memainkan rambut kecoklatan Melody. Gadis itu duduk santai di balkon kamarnya. Sejauh mata memandang nampak taman kesayangan mama yang segar bersih terawat, kolam ikan koi kesayangannya dan kolam renang tempat biasanya dia dan keluarga bersantai sekaligus berolah raga. "Jadi apa yang pengin elo bicarakan sama gue?" tanya Ansya di telepon mereka sore ini. "Sebelumnya gue minta maaf, Bad. Gue siap apapun yang bakal elo putusin ke gue setelah tahu semua tentang gue." "Iya, Cinta. Gue siap dengerin apapun yang mau elo sampaikan. Gue simak dulu. Sekarang elo bicara dulu aja biar gue sempat memikirkannya." Ini adalah acara bertelepon langsung mereka yang kedua dan kali ini Melody yang berinisiatif menelepon duluan meskipun berawal dengan rasa dag dig dug teleponnya bakal di terima atau enggak. Ada rasa adem dan tenang mendengar suara Ansya yang begitu sabar dan pengertian padanya. "Elo sekarang dimana? Gue ganggu nggak kalau ma
Melody duduk bersebelahan dengan Sisil yang setia menemani di aula gedung tempat di laksanakan presentasi final lomba karya ilmiah remaja. Total peserta ada 25 mahasiswa dan mahasiswi dari seluruh universitas di kota mereka. Dari total peserta, empat orang adalah perwakilan dari almamater Melody. Sungguh pencapaian yang luar biasa dan membuat bangga. Dari 25 peserta tersebut hanya akan di ambil enam orang pemenang yaitu juara 1 sampai dengan juara 3 dan juara harapan 1 sampai dengan juara harapan 3. Pemenang pertama otomatis akan mewakili universitas di kota mereka menuju persaingan nasional universitas se-Indonesia. “Nomor peserta sembilan, Melody Cinta Efenira Atma dari Universitas Saktya Jaya di persilahkan ke atas panggung.” Melody segera berdiri dari tempat duduk, menggenggam sejenak tangan sahabatnya yang mengangguk sambil tersenyum memberikan semangat. Menoleh sebentar ke arah dosen-dosen pendamping sekaligus ke teman-teman satu universitasnya. Senyuman dan ac
“Ayo dong, Ma, dandannya lama banget sih, ngalah-ngalahin gadis yang belum laku kawin,” celetuk Melody yang menunggui mama merias diri di kamarnya. Sudah ketiga kalinya gadis itu menengok ke kamar mama, dan akhirnya dia duduk di ranjang orang tuanya sengaja merecoki Meira yang belum selesai-selesai berdandan sejak tadi.“Aish, kamu nih, ya, sabar dikit dong ah. Ini lho wajah mama banyak kerutan, bikin nggak sempurna penampilan. Iya kalau kamu, pake make up gitu juga udah cantik banget, pasti nanti Alfa terpesona.”“Ngapain bawa-bawa nama Alfa sih, Ma. Emang dia bakal tahu secantik apa Melody malam ini?”“Ya pasti tahulah, kan nanti dia berangkat bareng kita.”“Hah, apa? Ogah ah, Ma, lagian dia nggak di undang tuh sama Sisil.”“Oh, ketahuan nih akhirnya, jangan-jangan Sisil nggak undang Alfa karena kamu, ya? Padahal semua teman sekelasnya katanya di undang, tapi kemarin
Melody mematut diri di depan cermin. Blouse pendek warna biru langit, celana jeans 7/8 warna putih, tas selempang kecil dan flat shoes putih menyempurnakan gaya santainya di minggu pagi ini. Seperti biasa, rambutnya yang tak terlalu panjang dia biarkan tergerai, kali ini sebuah jepit mungil dia sematkan di bagian samping antara rambut poninya, mempermanis tampilannya dan tampak semakin imut. Lipgloss tipis dia ulaskan di bibir pink alaminya, pun begitu dengan bedak tipis yang juga menyapu wajah cantiknya. Wajah putih dan bersih Melody sepertinya emang tak membutuhkan banyak polesan, apalagi karakter gadis itupun adalah type yang santai. Pesolek bukan, tapi di kata tomboi pun enggak. Simple, itulah keseharian Melody. Wajah oriental manadonya yang sedikit bergeser ke wajah gadis ala korea mungkin oleh-oleh dari ngidam Meira yang pada waktu hamil pengin banget pergi ke negeri gingseng yang penuh oppa-oppa cakep dan unnie-unnie cantik itu, namun tak kesampaian karena kondisi kesehatan p
Melody sedang bersenda gurau bersama Sisil dan beberapa teman sekelas mereka di koridor kelas karena jadwal kuliah hari ini batal di sebabkan dosen mereka sedang berhalangan hadir karena kecelakaan ketika menuju kampus untuk mengajar. “Nanti update kondisi Pak Krisna, ya, Dik. Kalau sudah boleh di kunjungi biar kita bisa segera jenguk,” saran Melody pada Dika ketua kelasnya. “Siap, Mel. Nanti gue cari info perkembangan kesehatan Pak Krisna, semoga beliau nggak terlalu parah lukanya.” “Aamiin … “ jawaban serentak Melody dan teman-temannya. “Ke kantin yuk, mumpung kita masih ngumpul di kampus bersama, sekali-kali ngantin bareng,” usul Chacha. “Kayak mau kemana aja, Lo,” ledek Sinta yang sebenarnya tiba-tiba merasa terharu. “Skripsi kita udah pada jalan gess … semoga semua lancar, nanti semester depan tiba-tiba udah ada yang lulus aja, jadi nggak bisa ngumpul kan kayak hari ini,” bela Chacha pada usulnya tadi. “Kok, elo bikin gue
Jam tujuh malam keluarga Melody sudah duduk manis di ruang makan keluarga Alfa. Tak hanya Alfa, nampak juga Boy, cowok tanggung kelas sepuluh yang merupakan adik dari Alfa ikut bergabung di antara mereka. Sejak tadi cowok yang sedang menginjak puber itu suka sekali curi-curi pandang memperhatikan wajah imut Melody.“Ma, beneran Kak Mel ini temen kuliahnya Kak Alfa?” tanya Boy dengan suara seraknya khas remaja baligh, bocah ini sepertinya berpembawaan lebih terbuka. Nela yang sebenarnya sedari tadi memperhatikan tingkah konyol putra keduanya itu tersenyum lebar.“Iya bener, tanya aja sama orangnya mumpung ada di sini.”“Malu mau nanya langsung. Sebenarnya pengin percaya, tapi kok susah percaya, ya?”“Kenapa emangnya? Kak Melody terlalu imut, ya?” goda Melody sambil tersenyum yang sepertinya menyukai sikap terbuka Si Boy.Boy nampak sedikit malu begitu ternyata Melody yang mengeluarkan suara menanggapi