Share

Bab 6 Seseorang Yang Baru

Setelah memarkir mobilnya di garasi, Melody melenggang santai masuk rumah dengan lagak tanpa dosa. Padahal aslinya, jangan di tanya seberapa dag dig dug jantung ini saat  membayangkan omelan panjang kedua orang tuanya nanti. Apalagi di garasi tadi sudah di lihatnya mobil papa bertengger dengan gagahnya.

Jika sekedar beradu mulut dengan Alfa, semenjak acara kenal-kenalan kapan hari sudah menjadi hal biasa bagi Melody selayaknya iklan pemutih atau pengharum cucian yang tiap hari mondar mandir di layar televisi tanpa pernah mau mengerti pemirsanya pada pengin lihat atau enggak. Namun untuk menerima omelan panjang kedua orang tuanya, terlebih omelan papa, yang parahnya lagi bisa-bisa di bumbui fitnah si tukang jilat calon menantu kesayangan mereka itu benar-benar membuat nyali Melody menciut. Selain karena harus repot-repot menyiapkan jiwa dan raga mendengar omelan yang harus dia terima, mengingat sikap penjilat seorang Alfa yang suka berkata manis di depan orang tuanya membuat amarah dalam dada kembali berkobar dan berkibar penuh dengan berjuta rasa dan warna mirip martabak aneka rupa yang sedang viral saat ini.

Begitu masuk ke dalam rumah di temukannya kondisi ruang tamu yang sepi tanpa orang. Melangkah beberapa meter lagi dia akan bertemu dengan ruang keluarga. Disinilah detak jantung Melody mulai menghebat bertalu-talu. Dengan niat menenangkan diri di tariknya nafas panjang kemudian dia hembuskan lagi dengan perlahan.

Benar saja, mama dan papa sedang duduk santai berdua nonton televisi di ruang keluarga. Secara otomatis gadis itu celingukan mencari sosok Alfa yang tak dia temukan di ruang itu.

“Datang-datang bukanya nyapa orang tua malah celingak celinguk kayak orang mau maling jemuran,” sedikit berjingkat kaget Melody mendengar suara papa yang tak di sadarinya.

Melody meringis sambil berjalan menuju ke arah kedua orang tuanya. Setelah salim dan mengucap salam selamat sore pada keduanya, Melody mengambil duduk di dekat mereka.

“Alfa di taman samping tuh, lagi ngasih makan ikan,” kali ini suara mama yang terdengar.

“Oke, Melody susul dulu, ya?” pamit Melody bergegas berdiri dan beranjak mau pergi.

“Duduk dulu,” suara papa menginterupsi.

Tanpa kata bantahan Melody kembali menjatuhkan pantatnya di kursi, bersiap menerima petuah panjang yang entah pakai bumbu apa, bumbu nasi goreng pedas atau bumbu bikin sambel geprek pake cabe lima belas.

“Mampir kemana aja kamu, Mel? Pulang kuliah jam dua tapi baru masuk rumah jam sekarang?”

Melody menunduk, belum ada ide dia harus menjawab apa. 

“Kalau di tanya orang tua wajib jawab, jangan diam aja.”

“Mundur juga nggak sampai tiga jam, Pa,” bukan menjawab tapi Melody justru melayangkan protesnya.

“Papa bukan mau dengar protes kamu, tapi jawaban darimana yang papa butuhkan.”

“Dari kafe deket kampus aja, kok.”

“Kamu itu statusnya sudah hampir tunangan, Melody Cinta Efenira. Kurang-kurangin nongkrong nggak pentingnya yang seperti itu.”

Melody ngedumel dalam hati, sumpah serapah buat Alfa yang selalu saja jadi penjilat hebat memenuhi relung dadanya. Entah apa saja yang sudah di katakan cowok itu pada kedua orang tuanya.

“Nak, jangan di ulangi lagi, ya. Pulang kuliah segera pulang ke rumah, jangan mampir-mampir ke tempat nongkrong nggak penting seperti itu. Pamali buat cewek yang udah mau di ikat sama seorang lelaki,” suara lembut mama kali ini justru bikin perut Melody berasa teraduk, mual pengin muntah.

“Ya udah, kamu temuin Alfa sana, baik-baik sama dia, jangan bertengkar aja. Jangan jutek-jutek jadi cewek, nanti cowoknya kabur. Alfa itu bibit yang baik, dia ganteng, baik hati, sopan pada orang tua dan pinter, kamu juga harus pinter-pinter pertahanin dia, jangan sampai lepas di ambil orang.”

Oh Papa, sebenarnya anak kandungmu itu gue atau dia? Kalau dia denger pujian seperti itu sombongnya bisa nambah setinggi langit. Kalaupun dia kabur sama cewek lain itu berkah buat gue tanpa susah-susah nyari celah buat kabur duluan, kedumel Melody dalam hati.

“Melody ke tempat Alfa dulu, Pa, Ma,” pamit Melody tanpa menjawab petuah papa barusan. Kedua orang tuanya hanya mengangguk dan mengikuti langkah Melody dengan pandangan.

“Pa, apakah kita nggak terlalu keras sama anak kita? Dia masih butuh adaptasi buat nerima Alfa, lho,” protes Meira tertuju pada suaminya begitu Melody keluar dari ruang keluarga menuju taman samping rumah.

“Biarin aja, Ma, cinta akan datang karena terbiasa, jadi biarkan mereka untuk lebih sering bersama dan berkomunikasi. Melody harus di paksa seperti itu supaya mau dekat-dekat dengan Alfa. Udah ada contoh nyata, kan? Dulu mama cuek juga sama papa, tapi lama-lama cinta, kan?” goda Fendy pada istrinya yang mendapat hadiah cubitan ringan karena kegenitannya.

Melody duduk di bangku taman, memperhatikan Alfa yang asyik memberi makan puluhan ikan koi penghuni kolam di taman itu. Biasanya Melody yang duduk di situ, melihat ikan-ikan yang selalu antusias menerima makanan yang di lempar kepada mereka menjadi hiburan tersendiri baginya. Entah mengapa mereka ini kok nggak ada kenyangnya, ya? Hal itulah yang selalu menjadi pemikiran Melody setiap kali melemparkan pelet-pelet kecil makanan khas buat ikan-ikan peliharaannya.

Alfa sudah tahu kedatangan Melody, tapi hampir sepuluh menit duduk, tak ada tegur sapa ataupun nampak niatan Alfa akan mengakhiri aktifitasnya. Melody tak sabar juga, segera beranjak kemudian menjatuhkan pantatnya dengan kasar di samping Alfa. Tanpa kata dia segera merebut tempat pelet yang di pegang oleh Alfa. Menaburkannya menggantikan aktifitas Alfa yang tadi bersikap cuek padanya.

Melody menatap Alfa dengan sadis, namun keheranan menyapanya melihat cowok itu hanya menatapnya. Kemudian tersenyum memamerkan gigi taring mungilnya yang membuat senyuman cowok itu terlihat begitu manis dan khas. Cup! Seperti biasa, tanpa ijin hidung mancung cowok itu mampir di pipi mulus Melody. Meski sudah cium pipi yang ketiga kalinya, tapi tetap saja Melody masih merasa terkejut.

“Elo selalu seenaknya.”

“Sama cewek gue sendiri, calon tunangan gue, masih wajar,” jawab Alfa dengan senyum yang belum hilang dari bibirnya.

“Sama Bu Hesta kayak gimana? Sama kayak gini juga?” entah kenapa pertanyaan itu yang mampir di otak Melody dan terucap lancar dari bibir.

“Emmm … gimana, ya? Lebih dari itu kayaknya,” jawab Alfa nampak sengaja. Kening Melody mengernyit berfikir.

“Mau gue tunjukin?” lanjut Alfa melihat Melody yang tak kunjung bersuara.

Tatapan Alfa tertuju lurus ke wajah Melody. Jika di tarik garis lurus, maka akan terlihat garis dari mata elang ke bibir pink tanpa lipstik. Wajah tampan itu maju perlahan ke arah wajah Melody.

Tiba-tiba fikiran kotor mampir lagi di otak Melody, dengan segera gadis itu menoleh cepat menghindari wajah Alfa yang tinggal berjarak beberapa senti saja.

Alfa kembali menarik mundur kepalanya, ada senyum smirk di bibirnya, “Sudah bisa lo bayangin, ya? Makanya jangan terlalu dodol, usia dua puluh tahun hal begituan masih pake tanya segala,” Alfa sengaja memanas-manasin Melody.

“Biarin gue dodol soal begituan, yang penting gue masih bersih, nggak kayak elo yang entah kayak apa dalemannya.”

“Daleman gue bersih juga, ya. Tiap hari ganti, kok.”

Mendengar jawaban Alfa, mau nggak mau tawa gadis itu pecah juga. Alfa hanya diam, sepertinya tidak merasa jika dia di tertawakan, atau mungkin hanya pura-pura nggak merasa.

“Ngapain lo sore-sore ke sini?” tanya Melody yang sudah kembali jutek.

“Buat ketemu camer lah, ngomongin bisnis.”

“Alah … bisnis macam apa yang lo omongin sama papa gue?”

“Eh, pantes aja nilai dan IPK elo nggak pernah lebih dari gue, dari sini aja udah kelihatan, papa elo lebih percaya sama calon menantunya daripada sama anaknya sendiri soal bisnis.”

“Nggak usah bertele-tele, ngomong aja to the point.”

“Gue bantu papa gue dan papa elo buat jalanin bisnis mereka, yang mungkin elo aja belum tahu mereka sekarang lagi bisnis apa?”

Melody mendengus pelan tanpa mampu membantah karena yang Alfa bilang barusan sama sekali tidak salah. Dia sama sekali tidak tahu bisnis baru apa yang sekarang lagi di jalankan papanya dan Om Rudi, papa Alfa. Hanya saja mereka nampak sibuk akhir-akhir ini, sering telepon, sering ketemuan dan sekarang eh, si Es Batu ini bilang dia sedang bantuin bisnis orang tua mereka. Melody tak mau ambil pusing. Yang dia fikirkan sekarang hanyalah dia akan semakin malas ketemu Alfa karena cowok itu akan semakin sombong di hadapannya.

Jam sembilan malam bahkan belum tepat jarum penunjuknya di angka dua belas dan sembilan, masih lima menit lagi. Melody sudah menguap berulang kali. Namun tangan mungilnya masih sibuk mengetik chat balasan untuk pesan-pesan Sisil. Sesekali senyum mengembang, ah iya, dia rindu sahabatnya ini. Hampir seharian mereka tak ketemu dan bertukar cerita. Tadi mereka sudah bertelepon ria hampir sejam dan saat ini Sisil sedang memamerkan gambar desain dekor panggung untuk acara tunangannya nanti. Berkesan cantik, minimalis dan kekinian. Selera Sisil patut di acungin jempol, dua cewek bersahabat itu memiliki selera yang hampir sama. Tak banyak protes dari Melody, meskipun dia bukan yang punya acara tapi sesungguhnya ide panggung Sisil nanti juga di dapat dari masukkannya. Melody ikut tersenyum puas, dia sudah membayangkan Sisil akan nampak cantik pada hari itu. Nampak berbahagia bersama Kevin.

“Hai, selamat malam, Cinta” sebuah sapaan muncul di layar chat Melody. Bad, nama pengirim pesannya. Melody tersenyum, dia jelas-jelas mengenali nama itu, nama yang seharusnya tertulis Ansya, entah kenapa ketika tadi dia memasukkan nomor itu di phone contactnya justru “Bad” yang terlintas untuk dia jadikan nama cowok itu.

“Hai Bad, selamat malam juga,” balas Melody.

“Eh, elo bener-bener ngerubah nama gue, ya?”

“Skor sama dong, elo juga manggil gue pake nama yang tidak biasanya.”

“(emot tertawa) okelah, apa sih yang enggak buat elo, Cinta.”

“Gombal, Lo. Betewe kok gue ngerasa romantis gitu ya jadinya (emot tertawa ngakak)”

“Ya emang gue ini aslinya orangnya romantis, Cinta.”

“Elahhh … gitu ya, Bang? Sono bang ikutan audisi raja gombal aja biar terbukti kemampuannya.”

Meskipun sekedar berbalas chat, sepertinya Ansya berhasil mendekati Melody. Dia benar-benar hadir di saat yang tepat. Ketika gadis itu membutuhkan seseorang untuk di dekatnya, ketika gadis itu sudah bertekad untuk benar-benar membuka hatinya, sesuatu hal yang selama ini sama sekali belum pernah dia lakukan.

“Bad, elo masih kuliah atau sudah kerja? Umur berapa, sih?”

“Gue kuliah sambil kerja, umur dua puluh satu tahun bulan depan, lebih tua setahun dari elo. Elo ulang tahun ke dua puluh masih dua bulan lagi, kan?”

Melody menutup mulutnya. Cowok ini bukan sekedar omong doang, tapi banyak hal tentangnya yang emang benar dia tahu.

“Elo emang bener udah stalk banyak akun sosmed gue, ya? Tapi masalahnya elo tahu darimana ulang tahun gue? Gue nggak pernah pasang dimana-mana, boro-boro … “

“Boro-boro pasang, ngerayain aja kalau nggak di surprise sama orang tua juga elo bakal lupa kalau ulang tahun, sepertinya begitu, kan?”

“Astaga, Bad, elo tahu tentang gue dari mana, sih? Elo temennya Sisil, ya?”

“Sisil? Gue nggak kenal Sisil, tapi gue tahu, Sisil satu-satunya sahabat elo yang paling baik sedunia.”

“Ah, elo pasti bohong, ya udah kalo nggak mau ngomong, besok gue tanya sendiri ke Sisil.”

“Iya tanya aja kalau nggak percaya, udah malem, segera bobok, gih. Selamat istirahat, Cinta.”

“Oke Bad, selamat istirahat juga.”

….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status