Melody telungkup di sisi ranjang tempat tubuh Alfa tak sadarkan diri. Sebentar pun dia tak mau meninggalkan lelaki yang sama sekali belum membuka mata semenjak kemarin di bawa ke rumah sakit, masuk ruang operasi sampai dengan di pindahkan ke ruang observasi khusus dengan campur tangan kekuasaan uang atas keinginan keluarga. Mimpi buruk seolah mengejar Melody setiap kali matanya terpejam, hingga menjadikannya bertahan berusaha membuka mata. Tangannya menggenggam erat tangan Alfa, doa tak henti dia panjatkan berharap tiba-tiba tangan itu bergerak balik menggenggam erat tangannya. Hampir dua puluh empat jam belum ada tanda-tanda bahwa Alfa akan tersadar, semua peralatan medis lengkap yang di butuhkan berada di kamar yang cukup luas ini.
Meira, Nela, Fendy, Rudi, Boy, Rheiga, Sisil dan Kevin berjaga di luar. Bergantian mereka keluar masuk ruang berusaha membujuk Melody supaya bersedia untuk istirahat sejenak meredakan lelah dan setresnya. Tak henti meyakinkan gadis itu bahwa Alfa
Sebulan berlalu dari semua kejadian dan kisah tentang Bimo. Cowok itu akhirnya harus merasakan indahnya tinggal di dalam penjara, kasusnya cepat di putuskan karena banyak saksi dan diapun cukup kooperatif tak banyak perlawanan ataupun sanggahan atas tindak kejahatannya. Tak hanya kasus melukai Melody dan Alfa, dia terjerat juga kasus penggunaan narkotika. Di luar itu, ternyata Bimo juga terjerat kasus penggelapan uang perusahaan. Karena begitu urusan pekerjaan yang biasanya di pegang oleh Bimo di alih tangankan kepada orang lain nampak banyak kejanggalan pada laporan aliran keuangan. Terutama keuangan perusahaan Pak Edward yang masuk ke perusahaan Fendy Atma. Setelah di telusur lagi oleh tim forensik kepolisian, di temukan Bimo tak main sendiri, dia di bantu oleh Alisa, perempuan berstatus kekasih tersembunyi Bimo yang bekerja di bagian keuangan perusahaan Fendy Atma. Melody hanya menatap sedih gadis bernama Alisa yang sampai bersujud memohon ampun atas kesalahannya. Namun u
Entah berapa jam Melody tak sadarkan diri dia tak mengetahuinya. Ketika matanya terbuka dia hanya menyadari bahwa kini sedang tidak berada di kamarnya. Sebentar memutar bola matanya hanya ruang kamar serba putih yang di lihatnya. Bau obat menyeruak ke indera penciumannya dan tepat di pergelangan tangannya dia merasakan ada rasa menekan dengan sedikit nyeri. Sebentar segera dia coba menggerakkan tangan dan mengangkatnya. Yang di lihatnya pertama kali adalah selang bening kecil, dan ternyata yang membuat pergelangan tangannya terasa tertekan dan nyeri adalah jarum yang menancap di situ, secara reflek Melody mendongak ke atas melihat kantong infus berisi tinggal separuh yang tergantung di situ. Perlahan ingatan Melody kembali, tentang bagaimana pada akhirnya dia bisa berada di sini. Tak salah lagi, ini adalah rumah sakit. Dengan gerakan lemahnya spontan dia mengelus perut ratanya yang sedikit masih terasa nyeri. Matanya memanas, entah kenapa dia merasakan kehilangan bahkan pada
Melody Cinta, gadis berusia dua puluh tahun yang masih berstatus mahasiswi semester enam di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka di kotanya. Terbiasa di manja dan di sayang karena merupakan anak tunggal. Seperti pagi ini, jam dinding sudah menunjuk angka hampir delapan nol-nol, namun dia masih bergelung malas berteman mimpi. Tiba-tiba matanya terpaksa mengerjap silau ketika seseorang membuka tirai jendela kamar tanpa aba-aba atau dengan permisi sebelumnya. “Pagi sayang, ayo segera bangun dan segera mandi,” suara lembut itu mengusik mata sipitnya untuk berusaha keras mengerjap lagi supaya indera penglihatannya itu bisa terbuka lebar. “Ini kan hari minggu, Ma. Mel pengin bangun siang dong sekali-sekali,” suara serak khas pagi hari itu menjawab sapaan sayang mamanya yang tengah mengusap lembut pipi mulusnya bersamaan dengan terjatuhnya kembali kepala mungil itu di bantal dengan mata kembali terpejam. Meira, mama Melody hanya tersenyum mendengar suara
Entah berapa menit Melody terdampar di dunia tanpa kesadaran. Bau minyak kayu putih yang terendus kuat di penciuman membawa matanya kembali terbuka. Secara reflek bibirnya nyengir menahan satu rasa. Rasa panas di antara hidung dan mulut berasal dari minyak kayu putih yang di oleskan di situ. Begitu mata benar-benar terbuka, sekarang berganti dahinya yang mengernyit. Sejenak dia berfikir dan akhirnya menyadari dimana keberadaannya sekarang. Ya betul, dia berada di kamarnya sendiri. Kembali dia berusaha mengingat apa yang menyebabkan dia terdampar di dunia empuk ini dan tak lain karena beberapa saat lalu dia pingsan efek emosi yang tiba-tiba saja meledak karena ulah seseorang dan beberapa orang di sekitarnya saat itu. Kamar tidurnya sepi, dalam hati Melody merutuk sebal. Dia pingsan tapi tak satupun manusia di rumah rela menjaganya. Terutama kedua orang tuanya. Dengan satu dorongan kuat gadis itu merasa tubuhnya kembali segar. Yang jelas bukan kekuatan dari bulan ala Sailormoo
“Alfa, selamat ya, kamu mendapatkan nilai 100 lagi, kamu emang the best,” suara merdu yang di telinga Melody terdengar genit itu mengudara se-antero kelas pagi ini. Bu Hesta baru saja membagikan hasil ujian minggu kemarin. Dengan malas Melody melirik kertas bernilai 98 di mejanya. Lagi-lagi dia kalah dari Alfa, hanya selisih 2 poin saja. Tajam di tatapnya dosen cantik yang duduk di depan sedang bersiap memberi materi kuliah hari ini. "Jangan-jangan dosen ini emang nepotisme ya, masak iya nilai gue sama Alfa selalu aja selisih 2 sampai 5 poin aja, dan selalu kalah," batin Melody penuh suudzon. "Hari ini gue harus membuktikan kebenarannya", niat Melody menyemangati dirinya sendiri. Empat puluh lima menit kemudian. “Alfa, setelah ini segera susul saya ke ruang dosen. Ada yang mau saya sampaikan ke kamu,” pesan Bu Hesta sebelum melangkah keluar setelah jam kuliah hari ini selesai. “Baik, Bu,” jawab Alfa, kemudian den
Sekian menit menumpahkan isi hati, plot, alur, dongeng dan seribu kisah tentang hidupnya, akhirnya Melody bisa bernafas sedikit lega. “Jadi seperti itu, Sil, nasib gue. Sekarang gue harus gimana dong, elo pokoknya harus bisa bantuin gue. Titik,” penyambung kalimat Melody yang sekaligus sebagai penutup curahan hatinya. Kepalanya menunduk dan tangannya sibuk memukul-mukul guling di pangkuannya penuh emosi. Seolah bantal itu adalah punggung keras Alfa yang ingin dia patahkan tulang-tulangnya sampai terpotong-potong menjadi seukuran satu atau dua sentimeter saja. Psycho banget, ya. Di larang ketawa! Beberapa menit tak mendengar suara Sisil. Melody mengangkat kepalanya kemudian menatap ke arah sahabatnya yang tidur tengkurap tak jauh dari posisi duduknya. “Sisil, dasar lo, ya. Kenapa bengong gitu, sih? Jangan kesambet di kamar gueeee …” teriak melody gemas melihat Sisil yang menatapnya dengan muka bego nan bengong plus mulut terbuka. Merasa teriakannya tidak ada h
Melody sedang serius membaca buku di perpustakaan kampus ketika seseorang tiba-tiba duduk di depannya tanpa permisi. Sebuah buku tebal terbuka begitu saja menampilkan deretan abjad yang entah membahas tentang apa. Gadis itu mendongak sekilas, memastikan siapa yang duduk diam-diam tanpa kata permisi padanya padahal banyak bangku kosong yang lain di sana-sini. Begitu mengetahui sosok itu spontan rasa sebal menderanya tanpa ampun. Gadis itu mendengus halus, ungkapan rasa kesal sekaligus penanda kalau dirinya mengakhiri acara membaca di perpustakaan. Padahal sesungguhnya belum genap lima belas menit Melody duduk dan membuka buku yang sejak beberapa hari lalu menjadi incarannya. Tanpa banyak berfikir lagi, gadis itu segera berdiri, menutup buku yang sedang dia baca kemudian berjalan menuju ke meja petugas perpustakaan. “Mbak Atik, buku ini gue pinjem, ya,” ujar Melody sambil menyodorkan kartu anggota perpustakaan. Perempuan setengah baya yang di panggil Melody segera menerima kar
Setelah memarkir mobilnya di garasi, Melody melenggang santai masuk rumah dengan lagak tanpa dosa. Padahal aslinya, jangan di tanya seberapa dag dig dug jantung ini saat membayangkan omelan panjang kedua orang tuanya nanti. Apalagi di garasi tadi sudah di lihatnya mobil papa bertengger dengan gagahnya. Jika sekedar beradu mulut dengan Alfa, semenjak acara kenal-kenalan kapan hari sudah menjadi hal biasa bagi Melody selayaknya iklan pemutih atau pengharum cucian yang tiap hari mondar mandir di layar televisi tanpa pernah mau mengerti pemirsanya pada pengin lihat atau enggak. Namun untuk menerima omelan panjang kedua orang tuanya, terlebih omelan papa, yang parahnya lagi bisa-bisa di bumbui fitnah si tukang jilat calon menantu kesayangan mereka itu benar-benar membuat nyali Melody menciut. Selain karena harus repot-repot menyiapkan jiwa dan raga mendengar omelan yang harus dia terima, mengingat sikap penjilat seorang Alfa yang suka berkata manis di depan o