Share

Bab 7 Menyebalkan Vs Menyenangkan

Melody tersenyum seorang diri di bangku bawah pohon taman kampus. Tangan gadis itu sibuk memencet abjad-abjad di layar touchscreen handphone-nya. Di sebelahnya Sisil tak kalah sibuk, gadis itu asyik bertelepon ria dengan Kevin calon tunangan pujaan hatinya. Semakin mendekati acara pertunangan sepertinya mereka nampak semakin lengket.

"Sil, elo yakin kan si Ansya ini bukan teman atau kenalan elo, dia bener-bener tahu banyak tentang kita, lho," jawil Melody pada sahabatnya yang baru saja mengakhiri acara berteleponnya.

"Gue yakin banget, Mel. Sejak elo cerita kapan hari gue udah nyari info kemana-mana, ke teman-teman gue yang lain juga dan pada yakin nggak ada yang kenal dia."

"Iya nih orang, akrab sama gue tapi kok misterius juga, ya?"

"Di ajak video call sama ketemuan belum mau juga?"

"Belum Sil, tapi gue nyaman aja, sih, pada dasarnya gue juga nggak ngebet banget pengin ketemu dia, terserah dia aja, orang dia yang datang ke gue."

"But, betewe kayaknya elo beneran nyaman sama dia. Pacaran online aja dah, buat hiburan hahaha," saran Sisil yang asal nyeplos.

"Nggak tau deh, seenggaknya dia nggak menyebalkan kayak Es Batu itu, Sil."

Keduanya tertawa ngakak bersamaan.

Belum juga tawa mereka berakhir sebuah bayangan orang berdiri tergambar di depan dua orang gadis itu. Dua kepala mungil mereka mendongak melihat siapa seseorang yang berani-beraninya berdiri tak sopan di depan mereka. Ternyata makhuk itu adalah sesosok dingin yang barusan mereka bicarakan. Tawa Melody berhenti mendadak, raut wajahnya segera berubah menampilkan kejutekannya. Sedangkan Sisil hanya nyengir kuda tanpa ekspresi apa-apa. Hanya tawanya aja yang tiba-tiba terhenti sama halnya dengan yang di lakukan Melody.

"Ada apa? datang tak di undang, ganggu aja. Segera pergi aja sana," pengusiran Melody dengan nada jutek menyambut raut dingin Alfa yang belum mengeluarkan suaranya sampai dengan saat ini.

Tanpa kata, cowok itu hanya menyodorkan satu amplop putih panjang.

"Di tunggu ke ruang dekan," hanya kalimat pendek itu yang Alfa ucapkan. Dengan rasa heran tingkat tinggi Melody menerima amplop yang di sodorkan ker arahnya. Begitu amplop berpindah tangan, tanpa kata dia yang sedingin es batu itu ngeloyor pergi dari hadapan dua manusia cantik yang terbengong takjub dengan sikap antik cowok itu.

"Kalimat elo, salah," celetuk Sisil tiba-tiba, pandangan matanya belum lepas mengikuti langkah Alfa.

"Apa?"

"Harusnya yang elo bilang, datang tak di undang, pulang tak di antar. Tuh lihat ngeloyor aja tanpa pamit."

Tawa Melody menyembur keras, di toyornya kepala sahabat konyolnya itu,  "jailangkung kali."

"Kok ada ya orang macam dia, pinter sih pinter, songongnya minta ampun. Eh lo di kasih amplop apaan, uang belanja bulanan?"

"Eh, gue bukan bininya, ngapain di kasih uang belanja?"

"Kali aja membiasakan elo buat jadi bininya, di latih buat atur uang belanja."

"Haha, resek lo."

Melody segera membuka amplop yang dia terima dari Alfa dengan di temani Sisil yang kepo di sampingnya. Begitu melihat isi amplop itu dan membaca secarik informasi yang tertulis pada surat di dalamnya, jeritan Melody terpekik membahana sampai mengagetkan mahasiswa lain yang juga duduk-duduk tak jauh dari dua gadis itu.

"Sil, makalah karya gue yang kemarin di ikutkan lomba karya ilmiah masuk final. Temenin gue sekarang ke ruang dekan ya, Sil," dengan tak sabar Melody berdiri dan menarik paksa tangan Sisil. Setengah berlari mereka berdua tergesa menuju ruang dekan.

Begitu sampai di ruang dekan, Melody mengatur nafas sejenak. Setelah melihat ke arah sahabatnya sebentar dan mendapatkan anggukan pendukung semangat dari gadis sahabat separuh jiwanya itu, dia segera mengetuk pintu ruang perlahan. Ketika kata silahkan di dengar dari dalam, Melody melangkah masuk sedangkan Sisil setia menunggu di luar ruang karena merasa tidak ikut berkepentingan.B

Begitu memasuki ruang yang cukup luas itu, mata jernih Melody mendapati senyum Bapak Dekan yang menyambutnya sambil duduk di kursi singgasananya. Selain itu ada juga dosen kaprodi fakultasnya dan dosen walinya, di sebelah yang lain nampak pula si Es Batu yang duduk dengan sikap diam dan dingin, di tambah dua orang mahasiswa lagi yang Melody kenal sebagai teman seangkatan satu jurusan tapi beda kelas. 

Beberapa menit para mahasiswa yang berhasil masuk di babak final karya ilmiah remaja itu mendapat beragam pengarahan berarti dari dosen-dosen mereka. Beberapa waktu ada sesi tanya jawab dan tak lama kemudian mereka di persilahkan keluar untuk mengikuti kelas kuliah yang sudah mulai berlangsung kembali.

"Gimana?" tanya Sisil begitu melihat sahabatnya keluar dari ruang. Wajahnya nampak khawatir tapi juga tersirat bahagia yang tertahan. Meski bukan dia yang berhasil tapi dia adalah supporter terbaik untuk sahabatnya. Mimik wajah Sisil segera berubah ketika seseorang keluar juga dari ruang dekan. Es Batu, cowok itu keluar dengan ekspresi datar.

Sisil dan Melody menatap diam ketika Alfa melewati mereka tanpa suara sapa atau sekedar lirikan, hanya berjalan dengan tatapan dan langkah lurus.  Gayanya seperti biasa, seolah menganggap tak ada makhluk lain selain dirinya sendiri di muka bumi ini.

"Ada ya ... " desis Sisil penuh keheranan menilai sikap Alfa.

"Tsut ... udah cuekin aja, elo mau gue ceritain tentang lomba ini apa kagak?"

Sisil menahan diri dari kepenasarannya tentang Alfa, bersiap menyimak cerita Melody tentang lomba yang di ikutinya dan sekarang berhasil masuk final.

Finally, bla-bla-bla Melody menceritakan dengan singkat mengenai lomba karya ilmiah yang sedang di ikutinya sambil berjalan menuju ruang kuliah mereka siang ini. Ketika mereka hampir sampai di ruang kelas, selayaknya terpasang rem cakram pada kedua kaki gadis itu mereka terhenti dengan tiba-tiba. Tak jauh dari pintu kelas, mereka mendapati seorang wanita cantik dan seorang cowok yang tengah berbincang dengan asyik. Wajah si perempuan yang tak lain Bu Hesta, dosen kuliah mereka siang ini nampak berbinar cerah, di depannya ada Alfa yang meskipun tak nampak tertawa ataupun tersenyum, tapi wajahnya terlihat lembut bersahabat. Bukan tampang datar atau kaku yang terbiasa dia perlihatkan sehari-harinya.

"Aku yakin kamu akan berhasil, Al. Doa aku selalu bersamamu," ucapan Bu Hesta yang berhasil dua gadis itu curi dengar. Alfa nampak mengangguk,  kemudian mereka melangkah bersama masuk ke ruang kelas di ikuti Melody dan Sisil di belakang keduanya.

Aku dan Kamu.

Uhuk, kenapa perut gue selalu mual ya kalau denger mereka berkomunikasi seperti itu? batin Melody.

Begitu duduk di bangku, Melody menatap sejenak ke arah Alfa yang berjarak 2 bangku sebaris dengannya. Di lihatnya cowok itu sedang mengeluarkan buku-bukunya dengan santai. Tanpa sengaja, mungkin karena feeling merasa sedang di perhatikan seseorang secara tiba-tiba kepala yang sepaket dengan wajah tampan itu menatap ke arah Melody. Bukan wajah santai lagi yang Melody lihat, tapi sudah kembali menjadi wajah malaikat pencabut nyawa yang datar dan kaku seperti biasanya.

"Es batu pencabut nyawa," bisiknya dari jauh. Alfa melihat bibir gadis itu bergerak mengucapkan kalimat, tapi dengan acuhnya dia abaikan. Di tolehkannya kembali kepalanya untuk melihat ke arah depan karena perkuliahan sudah di mulai.

"Elo kenapa?" bisik Sisil dengan kaki melintang menyepak bangku tempat duduk Melody membuat gadis itu terkejut dengan segera menoleh ke arah Sisil. Melihat ekspresi penuh tanya gadis di bangku sampingnya itu, yang dia lakukan hanyalah menggeleng sambil meringis tak jelas.

"Melody, Sisil, apakah kalian masih berniat mengikuti kuliah?" tiba-tiba Bu Hesta menegur mereka, sepertinya dosen itu cukup mengawasi tingkah dua orang gadis itu sejak masuk kelas tadi.

"Masih, Bu," suara Sisil menggema di kelas, namun tidak dengan Melody. Gadis itu memilih tidak menjawab. Sensi pribadi, boleh di kata seperti itu.

...

Sore yang cerah, sambil duduk di dekat kolam ikan koi kesayangannya Melody memainkan gawai di tangannya.

"Lagi apa, Lo?" tiba-tiba sebuah sapaan mampir di notif pesannya. Es Batu Pencabut Nyawa, nama yang panjang. Iya, gadis itu baru saja me-rename nama di contact handphonenya. Dan, panjang umurnya, seseorang yang baru saja dia ganti namanya justru sekarang menyapa lewat pesan.

"Lagi pacaran," balas singkat Melody, tak lupa di fotonya kolam ikan koi di depannya.

"Nggak nyebur sekalian?"

"Emang gue Mermaid?"

"Mermaid? Hem, nama yang bagus."

"Resek, Lo."

"Belajar sono cara presentasi yang baik, dua hari lagi bukan waktu yang lama. Udah hafalin belum isi makalah elo yang jangan-jangan hasil njiplak itu."

"Sotoy, Lo. Makalah elo sendiri paling yang njiplak. Elo sono yang belajar, ngapain ngurusin gue."

"Dasar Dodol."

"Es Batu."

Sungguh nggak pernah ada manis-manisnya interaksi dua sejoli itu. Entah takdir apa nantinya yang berhasil membawa mereka bersama.

Tring.

Notif pesan lagi.

"Hai, Cinta," sapaan manis itu berhasil membuat senyum manis Melody mengembang sempurna. Beberapa jam saat dia masih sibuk di kampus tadi berhasil untuk melupakan rasa rindunya pada Ansya.

What, rindu? Melody menggeleng mengenyahkan fikiran dan kata hatinya barusan.

"Hai, Bad," balas Melody akhirnya.

"Hahaha, ah rindunya gue dengan panggilan sayangmu ini."

Melody sedikit menelan ludah membaca kata rindu yang di tuliskan oleh Ansya.

"Elo kok nggak marah gue panggil, Bad. Padahal kan dalam Bahasa Inggris tulisan bad itu kalo di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti jelek."

"Nggak lah, gue seneng kok di panggil seperti itu, rasanya manis."

"Gombal, Lo. Bikin hati gue kelepek-kelepek aja."

"Serius hati elo kelepek-kelepek? apakah kira-kira sudah mulai ada cinta buat gue?"

"Ngarep, ih."

"Gue serius ngarep, nih. Karena jujur rasanya gue semakin sayang sama elo. Kita pacaran aja, yuk."

Debar jantung Melody tiba-tiba semakin cepat. Semisal laju mobil, yang tadi awal kecepatannya cuma 60 km/jam sekarang menjadi 120 km/jam, naik dua kali lipat. 

Aih, gue berkali-kali di tembak cowok, tapi nggak pernah deg-deg an kayak gini. Lah kali ini apa yang terjadi sama gue? Kenapa gue gemeter gini, ya? Melody merasa salah tingkah seorang diri.

"Elo ... elo, bercanda kan, Bad?" balas Melody pada akhirnya.

Tiba-tiba sebuah panggilan telepon dengan nama yang tertera pada layar handphone Melody membuat gadis itu serasa semakin ingin pingsan saja

Bad (emot love). Eh sadar nggak sih, mulai kapan Melody nulis contact kayak gitu di handphonenya.

Dengan tangan gemetar Melody memencet tanda telepon berwarna hijau di layar.

"Halo," sapanya dengan berusaha menetralkan detak jantung dan gemetarnya.

"Halo Cinta. Gue fikir elo nggak mau angkat telepon gue karena keburu pingsan."

"Gue masih sadar."

"Syukurlah. Cinta, gue serius, gue nggak bercanda dengan permintaan gue tadi."

"Tap-tapi kita nggak pernah bertemu Bad, gimana elo bisa suka sama gue?"

"Kita pernah bertemu, Cinta. Hanya saja elo nggak pernah menyadari keberadaan gue."

Melody mengerutkan kening mendengar kalimat terakhir yang Ansya ucapkan. Sekilas mendengar logat suara cowok itu dia merasa seperti mengenal. Tapi selama ini dia tidak pernah merasa bertemu dengan seseorang yang istimewa. Hanya teman-teman se-fakultas yang sering menyatakan suka padanya, tapi kemarin Ansya bilang dia tidak kuliah di tempat yang sama dengan dirinya. Atau anak-anak relasi papa yang beberapa pernah di kenalkan dengannya itupun nggak banyak yang berlanjut dengan komunikasi yang intens.

"Ah, elo bikin gue penasaran, Bad."

"Sudahlah, jika sudah tiba saatnya nanti gue pasti datang ke elo. Untuk sementara, gimana dengan permintaan gue tadi, bisakah kita mencobanya?"

"Tapi, Bad?"

"Ah maafkan, ada yang memberatkan hati elo atau gue salah ngomong, ya?"

"Gue, gue suka kenal sama elo, Bad. Kasih gue waktu, ya? Gue perlu waktu untuk berfikir, meskipun mungkin pada akhirnya nanti status kita pacaran online, tapi kalau jodoh kita pasti bertemu, kan? Sebelum ke arah situ ada hal rahasia juga yang harus gue beritahu ke elo."

"Iya, gue tahu elo pasti nggak akan gegabah terima gue dan itu lebih membuat penilaian gue ke elo semakin baik dan tinggi."

"Dan elo semakin membuat gue melayang kayak judul lagunya Ungu album pertama."

Melody dan Ansya tertawa bersama. Sejujurnya, ada yang berkembang dan bermekaran di hati Melody, tapi entah mengapa dia menolak untuk mengungkapkannya sekarang. Hatinya masih berperang dan hal itulah yang membuat Melody tidak bisa serta merta memutuskan kelanjutan kisahnya dengan Ansya.

Ah, apapun yang akan terjadi nanti, Ansya harus mengetahui semua tentang gue biar dia nggak kaget di kemudian hari, terlebih ketika gue nggak bisa melawan kehendak takdir hidup gue, batin Melody. Setelahnya gadis itu beranjak pergi meninggalkan koi-koi di kolam peraduan mereka yang sore ini menjadi saksi bahagia dan galau hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status