Minaki krisis dan kering akan perhatian juga saran. Padahal ia membutuhkan itu untuk bekalnya terjuna ke masyarakat luas. Karena tidak selamanya Minaki akan bergantung pada orang tua. Dia harus belajar mandiri. "Jangan mengatakan kamu cacat. Cita rasa terbak dari sebuah kue berasal dari resep dan pemanggangannya. Ayo bangkit, aku akan membantumu berdiri hingga mandiri." Minaki memelukku dengan entengnya di atas ranjang. Kata orang bed talk bisa menjadi pilihan untuk membicarakan hal penting. Saat berpelukan begini, aku melihat Nyonya Tatsuo tengah mengintip aktivitas berpelukan kami. Tanganku reflek hampir menyingkirkan tubuh Minaki namun beliau malah memberi aba-aba menggunakan tangan agar aku tidak melepaskan pelukan. Beliau menunjukkan gesture terima kasih lalu menutup pintu kamar Minaki. "Minaki, aku harus pulang karena besok harus bekerja." Minaki melepaskan pelukan kami. Lalu aku bergegas turun dari ranjangnya sembari membetulkan baju yang sedikit berantakan. Terpergok be
Siulanku di dalam kamar mandi begitu nyaring saat mencukur rambut halus di sekitaran dagu. Penampilan seorang DJ tidak boleh mengecewakan dan harus bisa membuat penonton terbius dengan pesonaku sebagai lelaki berkulit coklat. Warna kulit yang tidak lazim ada di Jepang. Karena rata-rata laki-laki dan perempuan di negara ini berkulit putih. Sedang Harumi malah menyukai kulit coklat-ku yang menurutnya sangat macho dan eksotis. Aaah.... siang ini aku akan membawanya menuju tempat resepsi, ia pasti sangat senang begitu juga denganku. Selesai membersihkan diri, aku bergegas memakai setelan terbaik. Dan itu tidak luput dari pantauan Rinto. "Kemarin pulang duluan. Sekarang pergi duluan." Aku menoleh ke arahnya saat tengah mengatur rambut. "Kencan Rin." "Kencan terooosss." Cibirnya lalu duduk di tengah. "Kamu kenapa sih? Galau gara-gara dijodohin sama emak bapak di kampung?" "Ck.... Iyalah Jak. Siapa yang nggak seneng punya cewek kayak Harumi. Cantik, seksi, setia, pinter pula." Aku
Acara menjadi DJ di resepsi pernikahan telah usai. Para tamu telah pulang, menyisakan tempat acara yang berantakan dan tugas para office boy dan girl untuk membersihkannya. Sedang aku masih memasukkan laptop di tas lalu membereskan DJ Player. "Jayka, ini honormu." Matshusima datang sambil menyerahkan amplop coklat padaku. Aku menerimanya dengan binar bahagia. "Terima kasih." "Mungkin aku bisa menjadi manajermu kelak jika sudah terkenal." Ucapnya terkekeh. Aku menghitung jumlahnya dengan uang masih berada di dalam amplop. "Senang bekerja sama denganmu kawan." 15.000 Yen untuk tiga jam manggung perdana. Bukan nominal yang buruk dan harus kusyukuri agar rezekiku dimudahkan esok hari. Setelah beres, aku menggandeng tangan Harumi menuju halte menunggu bus tujuan mall. Sengaja, aku ingin mengajaknya bersenang-senang dulu sebelum kembali ke asrama. "Suka baju itu?" Tunjukku di sebuah etalase stand baju di Miyako City Shopping Mall. Harumi mengangguk senang. "Belilah, aku yang baya
Hari ini, gudang begitu kewalahan mengepak barang-barang produksi yang telah jadi. Ini semua karena permintaan pasar yang membludak menjelang musim dingin. Pabrik tempatku bekerja memproduksi makanan setengah jadi. Seperti Ippudo, Kyoto Udon Noodle, Oyakodon, Roasted Crab Rice, dan Salmon Chazuke. Warga Jepang lebih suka menyeduh mi atau nasi hangat ditengah dinginnya cuaca. Ditemani sake atau minuman penghangat lainnya. Setelah berlelah ria demi mendulang Yen di gudang pabrik makanan instan itu, kami para TKI segera menuju halte lalu beristirahat di asrama. Jangan bertanya lagi bagaimana penampilanku saat bekerja di pabrik, amat sangat jauh berbeda saat manggung di Yokoha Club. Baru saja aku mendudukkan diri di bangku bis bersama teman-teman yang lain, ponselku berbunyi. Aku lupa belum membukanya sejak istirahat tadi siang. Minaki mengirim pesan jika telah berbelanja kebutuhan membuat kue. Juga dengan foto-foto bahan membuat kue yang tidak banyak kumengerti. Astaga.... Belum
"Kamu sudah bangun Jayka?" Minaki mendekatiku dengan kursi rodanya. Sedang aku berusaha duduk sambil mengumpulkan nyawa terakhir di atas ranjangnya. Ternyata beristirahat di ranjang Minaki yang nyaman ini menghilangkan lelah yang mendera ragaku karena pekerjaan di pabrik. Kusingkap selimutnya lalu menurunkan kakiku ke lantai namun tetap duduk di tepi ranjang Minaki. "Kuenya sudah matang. Mau coba sekarang?" Rainbow cake utuh itu sudah ada di meja lengkap dengan pisau dan piring kecilnya. Aku mengangguk karena begitu melihat tampilannya yang meyakinkan membuat perutku lapar seketika. Minaki menuju kue itu dan memotongnya perlahan. Menaruhnya di atas piring kaca dengan sendok kecil di tepi. Lalu menyodorkannya padaku. "Enak?" Tanyanya setelah aku menyuapkan sendok pertama. Aku mengangguk. "Agak terlalu manis. Aku kurang suka manis-manis." "Besok akan aku kurangi takaran gulanya." "Jangan!" Cegahku. Minaki menatapku heran. "Kenapa? Bukannya kamu tidak suka manis?" Aku menggel
"Apakah berciuman itu rasanya menyenangkan Jayka?" Aku mengambil tisyu dan mengelap jariku yang terkena krim kue. "Biasa saja." Ucapku santai. Minaki nampak berpikir. "Jayka, aku pernah melihatnya di film." Aku memandangnya intens, menunggu ucapan selanjutnya. Sedang Minaki malah menunduk malu. "Kenapa dengan filmnya? Jelek?" Pancingku. Aku tahu ia tengah malu mengakui hal yang bersifat intim padaku. Tapi ini sudah menjadi tugasku untuk membuatnya nyaman berbicara hal intim sekalipun. "Ehm.... Itu...." Dalam perjanjian, Minaki berhak mendapat 'ciuman' dariku. Mungkin ia ingin mendapatkan haknya tapi tidak berani mengatakan terang-terangan. Astaga.... Biasanya, laki-laki yang akan menuntut haknya. Tapi berbeda dengan kasusku ini. "Si itu memangnya kenapa?" Godaku. Minaki malu dan gugup. Tangannya hendak memutar roda kursi rodanya tapi kutahan. Tanpa aba-aba aku menggendongnya ala bridal. Minaki sedikit tersentak lalu tangannya memeluk leherku erat. "Jay.... Jayka! Apa y
Sepulang dari rumah Minaki, aku tidak langsung tidur. Melainkan membuka laptop Minaki yang kutaruh di dalam lemari. Mumpung Rinto sedang telfon orang rumah di balkon kamar. Bagaimanapun aku tidak siap mengatakan rahasia pekerjaan sampinganku sebagai surrogate partner pada Rinto. Sebuah pekerjaan yang mulai umum di Jepang namun masih malu-malu untuk diutarakan. Aku ingin mengecek kembali isi percakapan Minaki dan teman temannya kala membahas tentang diriku di percakapan grup yang terinstall di laptopnya. Setelah tersambung dengan jaringan internet dari ponselku, pemberitahuan pesan masuk dari aplikasi grup kampus yang diikuti Minaki bermunculan. Fukuda : Minaki menghilang? Hitarashi : Mungkin dia patah hati melihat idolanya berciuman dengan seorang gadis. 😝 Fukuda : Minaki, apa kamu patah hati sungguhan? Astaga... Hitarashi : Apa gadis itu kekasih Jayka? Fukuda : Mungkin kekasih sesaatnya. Hitarashi : Sudah kuduga. Tapi dia sangat cantik. Fukuda : Mungkin Jayka sedikit lebi
Pagi yang dingin itu aku terpaksa mandi keramas. Oh ayolah, aku masih sangat ingat ketika mengikuti pengajian remaja masjid saat masih SMA. Bahwa laki laki yang telah mengeluarkan 'cairannya' haruslah mandi besar. Wajib. Dan pagi ini aku melakukannya di tengah musim dingin yang hampir mendekati angka 3 derajat celsius. Mandi air hangat atau air panas adalah solusinya. "Ck.... enak di awal, ribet mandinya." Gerutuku ketika menunggu air dalam wadah mendidih. Kebetulan pemanas air di kamar mandi masih belum sempat kami perbaiki. Aku yang waktu itu berhemat mati matian demi mengirim uang lebih banyak ke kampung halaman demi membeli tanah Bik Sun. "Mandi Jak?" Tanya Rinto dengan mengucek matanya lalu minum air putih di sebelahku. "Hem." Jawabku dengan mengangguk. Dia menatapku heran. "Nggak usah mandi, langsung aja cuci muka." Pasalnya, saat musim dingin di Jepang, warganya jarang mandi karena tidak berkeringat sama sekali. Dan selama tiga tahun disini membuat kebiasaan itu menu