Se connecter"Hei, kau itu ngomong apa sih?" tanya Elian dengan mata melotot dan suara berdesis, setelah dia menyeret Sebastian menjauh dari meja imigrasi.
"Aku lagi berusaha menyelamatkanmu," jawab Sebastian dengan suara yang lebih rendah. "Kau percaya saja padaku, atau kau harus ketinggalan pesawat dan meeting penting?" Elian menggeram kesal, karena itu jelas saja pilihan yang sangat sulit. Dia bisa saja menyerahkan meeting itu pada bosnya, tapi itu tidak mungkin terjadi. Bosnya juga punya meeting lain yang harus dihadiri. "Kalau kau sampai mengatakan hal tidak masuk akal lainnya, aku benar-benar akan membunuhmu," desis Elian pada akhirnya memilih untuk menyerah saja. "Tenang saja kawan." Sebastian tersenyum lebar, sebelum kembali lagi ke meja imigrasi. "Biar aku tebak." Pegawai imigrasi langsung bicara, ketika Sebastian sudah dekat. "Kalian sedang merencanakan sesuatu kan?" "Sama sekali tidak." Sebastian menggeleng pelan, disertai dengan senyum lebar. "Istriku hanya lagi kesal saja, jadi dia marah padaku. Tapi kembali ke topik sebelumnya, dia itu istriku." "Mana bukti yang menyatakan itu?" tanya si pegawai imigrasi dengan kening berkerut. "Aku tidak mungkin membawa surat nikah ke mana-mana, tapi aku ada fotonya," balas Sebastian langsung melihat ponsel yang dia pegang sejak tadi. "Kalau kau mau lebih gampang, aku ini cukup terkenal di negaraku. Mungkin kau bisa langsung cari nama Sebastian Leclerc." Sebelah alis pegawai imigrasi terangkat. Dia jelas tidak langsung percaya, tapi tetap mengambil ponsel dan mencari tahu. Bahkan dia juga meminta paspor lelaki di depannya, agar tidak salah ketik nama. "Produser dan penulis lagu," gumam si pegawai imigrasi, melirik Sebastian dengan sebelah alis terangkat. "Kalau kau mencari nama Elian Vollen, kau mungkin bisa dapat foto kami bersama," lanjut Sebastian masih tersenyum. "Lalu, ini adalah surat nikah kami." Layar ponsel Sebastian menunjukkan selembar surat yang terlihat sangat meyakinkan. Ada logo pemerintahan, ada tanda tangannya juga dan kata-kata yang tidak sepenuhnya dimengerti oleh si petugas imigrasi. "Itu bukan bahasa Inggris." "Tentu saja bukan, karena aku berasal dari Prancis," balas Sebastian masih terus tersenyum. "Kau mungkin berpikir kalau itu palsu kan? Tapi percayalah itu asli." Elian yang menatap percakapan Sebastian dan petugas imigrasi mulai tidak sabar. Dia yang berdiri agak jauh agar tidak mendengar hal yang bisa bikin naik darah, kini memilih untuk mendekat, bertepatan dengan si petugas imigrasi yang mengembalikan ponsel Sebastian. "Untuk kali ini, aku akan membiarkan kalian." "Oh, aku bisa berangkat?" tanya Elian yang terlihat sedikit kaget, bahkan nyaris memekik. "Ya, tapi kau pastikan untuk perbaiki ini." Si petugas imigrasi, mengembalikan paspor dan tanda pengenal Elian dengan sedikit kasar. "Jangan sampai kejadian ini jadi masalah lagi." "Tentu saja." Elian dengan cepat mengambil barangnya, dengan anggukan kepala antusias. "Begitu sampai nanti, aku akan mengurus ini." "Merci," ucap Sebastian sambil melambaikan tangan dan bergegas mengikuti rekannya. Elian melangkah dengan cepat dan terlihat sangat kesal, sementara Sebastian terlihat cukup santai. Tapi, langkah Sebastian yang lebih panjang, tentu saja mampu mengimbangi langkah Elian. "Jadi, siapa yang membuat paspormu jadi seperti itu?" tanya Sebastian dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Padahal waktu aku lihat tadi, sepertinya paspormu itu baru." "Sebaiknya kau tutup mulut saja, sebelum aku pukul kau," balas Elian tanpa menghentikan langkah. "Aku sih tidak masalah dipukul olehmu, tapi kenapa mukamu jelek begitu?" "Karena aku jelas sedang kesal," hardik Elian pada akhirnya menatap lelaki yang mengikutinya itu. "Aku tidak suka alasan kau berikan pada petugas imigrasi tadi." "Soal kita yang adalah pasangan suami istri?" "Memangnya kau ada memberi alasan yang lain?" Elian masih saja menghardik, tidak peduli kalau ada orang yang menatapnya dengan heran. "Alasan itu memang agak absurd, tapi nyatanya berhasil kan? Kau sekarang akhirnya bisa pulang, setelah ditahan cukup lama. Aku rasa, status yang tertulis di identitasmu memang harus diganti deh." Kesal, Elian menghentikan langkah dan berbalik menunjuki lelaki yang tingginya tidak berbeda jauh itu. Tepat di wajahnya dan berucap, "Kau lebih baik berhenti bicara, atau aku benar-benar akan memukulmu sampai pingsan." Sebastian mengangkat kedua tangan, tanda menyerah. Dia sebenarnya masih mau berdebat lagi, tapi terlalu banyak yang melihat. Biar bagaimana, Sebastian juga cukup terkenal dan tidak mau terkena skandal aneh. Tapi sayangnya, Sebastian tidak bisa terus diam. Saat dia sudah boarding dan ternyata duduk di sebelah Elian, lelaki itu malah mengatakan hal yang lebih gila lagi. "Karena sudah terlanjur aku bilang kita adalah pasangan, bagaimana kalau kita menikah beneran saja?" tanya Sebastian yang membuat Elian melotot mendengarnya. "Dan aku serius loh ya, bukan bercanda.""Leo sudah kembali." Ariana berucap pelan dan membuat Sebastian langsung berdiri.Lelaki dengan wajah kusut itu segera mendekati Leo. Sebastian bahkan menatap lengan Leo yang ditutupi dengan plester khusus."Aku berhasil donor, tapi katanya perlu waktu sampai bisa dipakai," ucap Leo terlihat kusut karena masih merasa khawatir. "Kenapa masih harus menunggu?" tanya Sebastian ikut mengerutkan kening. "Karena katanya harus tes dulu, apakah darahnya cukup bagus dan aku tidak kena penyakit." Leo sampai mengembuskan napas. "Padahal aku pikir sudah bisa menyelamatkan Elian.""Yang akan menyelamatkan Elian itu adalah tim dokter." Ariana yang masih duduk dengan perut buncitnya, langsung bersuara. "Kau memang membantu, tapi pada akhirnya yang menyelamatkan Elian adalah tim dokter dan Tuhan.""Aku rasa Ariana benar." Mau tidak mau, Sebastian ikut mengangguk, walau jelas sekali kalau dia masih merasa sangat cemas. "Jadi, dari pada kalian berdiri seperti orang bodoh di sana, sana pergi d
Semua terjadi begitu cepat. Walau Sebastian tadi sudah berteriak keras, tapi nyatanya teriakan itu nyaris tidak berguna. Apalagi, Lexi rupanya bukan hanya penyanyi yang bagus, tapi dia juga pelari handal.Langkahnya begitu ringan saat berlari mendekati Elian yang jaraknya agak dekat dengannya. Jarak Hugo memang lebih dekat dengan Elian, tapi si pengawal tadi sempat terkejut dan terlambat bergerak. Wajar, karena Lexi memang terlalu tenang dan tidak ada yang melihatnya memegang pisau.Hugo masih sempat menarik tangan Elian, tapi itu pun tidak berguna. Pisau tetap saja menancap ke tubuh Elian."ELIAN!"Sebastian dengan cepat berlari ke arah sang istri. Dia membiarkan Lexi diringkus oleh para pengawal, yang awalnya harus mengawasi dan melindungi bintang utama konferensi. Bahkan Sebastian mendorong Lexi agar dia bisa lewat."Rasakan itu," pekik Lexi dengan tawa lebar, tidak melawan ketika dipegangi banyak orang. "Lebih baik kau mati saja. Aku tidak bisa bersama Sebastian, maka kau ju
Beberapa jam sebelum konferensi pers. "Elian." Yang empunya nama langsung menoleh dengan ekspresi kesal ketika namanya dipanggil. Padahal tadinya Elian sangat buru-buru karena hari ini dia terlambat bangun, bahkan sampai membuat Sebastian harus berangkat duluan. Tapi sekarang langkahnya malah dihalangi. "Ada apa sih?" tanya Elian pada perempuan yang menghampirinya. "Ini ada kiriman untukmu." "Hah? sepagi ini?" tanya Elian kini dengan kening berkerut bingung. "Iya, aku juga bingung. Soalnya waktu aku datang, ini sudah ada di atas meja resepsionis," ucap perempuan yang menghampiri tadi. "Tapi yang penting sekarang sudah aku berikan padamu." Tanpa banyak bicara lagi, Elian langsung mengambil paket itu. Dia lagi buru-buru, jadi tidak banyak bertanya. "Apa yang kau bawa itu?" Leo menyambut Elian. "Aku sudah tunggu dari tadi loh." "Aku terlambat bangun dan mengacau di rumah," ucap Elian membanting kotak yang dia bawa ke atas meja. "Jadi, itu kiriman dari mana?" Leo kemb
"Hei, Nona. Butuh tumpangan?"Elian hanya bisa menggeleng, ketika mendengar suara yang sudah sangat dia kenali. Dia juga tidak perlu mencari arah datangnya suara, karena mobil Sebastian sudah terparkir di depannya dengan jendela terbuka."Aku tidak butuh tumpangan, tapi aku butuh makan," jawab Elian yang akhirnya membuka pintu mobil dan masuk."Bagaimana pertemuanmu dengan Sandy?" Sebastian langsung bertanya, setelah yakin istrinya sudah duduk dengan nyaman."Tidak terlalu buruk, tapi tetap saja menyebalkan." Elian mengedikkan bahu dengan santai. "Dia mengancam.""Mengancam seperti apa?" Sebastian yang kaget, tidak sengaja menaikkan intonasi suaranya.Tadi, Elian memang memberi tahu Sebastian soal ajakan Sandy. Itu pun dia lakukan saat sudah dalam perjalanan menunjuk ke tempat janjian. Biar bagaimana, Elian tetap mau suaminya tahu, tanpa perlu ikut campur. Untung Sebastian mau menjemput dan menunggu dengan tenang."Katanya kalau aku menolak permintaan dia hari ini, dia tidak b
Elian menatap Leo yang melangkah dengan canggung, sambil mengangguk kepala. Pembicaraan mereka sudah selesai dan kini Elian hanya bisa menatap lelaki yang sebenarnya adalah saudara kembarnya itu. "Kau yakin dengan keputusanmu itu?" Ariana bertanya dengan tangan terlipat di depan dada, sambil bersandar di pintu. "Yakin." Elian mengangguk pelan. "Tidak usah ditanya lagi." Sebastian ikut membela sang istri. "Elian juga pasti sudah berpikir dengan baik, sebelum memutuskan untuk tidak memberi tahu Leo." "Biar bagaimana, Leo mengenaliku sebagai Elian Vollen. Bukan Leonie Moretti, saudara kembarnya," lanjut Elian kini memilih untuk melanjutkan pekerjaan. "Lagian, dia sama sekali tidak kenal aku kan?" "Iya sih." Ariana mengangguk pelan. "Padahal tidak terlalu banyak yang berubah darimu, tapi dia masih tidak sadar juga. Apalagi sekarang kau sudah mulai berpenampilan sebagai perempuan." "Dalam pikiran Leo, adiknya Leonie sudah mati," balas Elian diikuti dengan embusan napas pelan. "
"Wah, coba lihat dia." "Apa itu benar Elian?" "Kalau diperhatikan lagi, dia kelihatan seperti Cara Delevingne ya." "Tampan dan cantik." "Sejak dulu dia memang begitu, tapi sekarang jadi lebih gila lagi." Elian berdehem pelan, saat dia masuk ke dalam lift. Itu dia lakukan karena dirinya bisa mendengar semua celotehan orang-orang di sekitar. Bahkan di dalam lift yang tidak banyak orang pun masih ada yang menatapnya dari atas sampai bawah sambil berbisik. "Kau kenapa?" Sebastian bertanya, sambil menatap sang istri. "Apa tenggorokanmu gatal? Gejala batuk?" "Tidak apa-apa kok." Elian dengan cepat menggeleng. "Mungkin kurang minum air." "Oh, aku bawa tumbler." Sebastian segera mengambil ransel yang tersampir di bahunya. "Minum saja dulu ini, lalu nanti aku akan belikan obat pelega tenggorokan." "Wah, kau lihat itu?" "Sebastian manis sekali ya." "Perhatian banget. Aku juga mau suami seperti itu." Mendengar suara bisikan di sekitarnya, Elian yang sedang minum itu sampa







