LOGIN
"Maaf, tapi apa ini beneran paspor milikmu?" tanya seorang petugas bandara dengan kening berkerut. "Aku rasa kau tidak bisa berangkat dengan paspor ini."
"Ya, apa ada masalah dengan pasporku?" Seseorang yang menggunakan kaos turtle neck, menjawab dengan kening berkerut. "Itu paspor atas nama Elian Vollen kan?" "Namanya tidak salah, tapi jenis kelaminnya yang salah." "Ya?" Elian tentu saja akan terkejut. "Di sini ditulis perempuan dan kau tidak kelihatan seperti perempuan." Kedua alis Elian terangkat mendengar pernyataan itu. Dia bahkan sudah mau protes, tapi malah mengerutkan kening karena ada kalimat yang rasanya aneh. "Maaf, tapi tadi kau bilang perempuan?" tanya Elian dengan bahasa Inggris sesopan mungkin. Tanpa banyak bicara, petugas imigrasi yang mengurusi Elian memperlihatkan paspor yang dia pegang. Hanya memperlihatkan, tanpa memberi Elian paspornya kembali. "Paspormu ditulis perempuan, tapi tiketmu ditulis lelaki." Si petugas imigrasi menjelaskan dengan bahasa Inggris berlogat aneh. "Ini jelas saja aneh dan aku bersyukur mesin scan paspor elektrik sedang rusak, dan aku bisa menemukan pencurian identitas seperti ini." "Aku tidak mencuri identitas." Tentu saja Elian akan membela diri. "Itu memang aku." "Kalau begitu coba aku lihat kartu identitas dari negara asalmu untuk dibandingkan." Elian sih mau protes, tapi dia batal melakukannya. Biar bagaimana, memang ada sedikit kesalahan dengan paspornya dan wajar kalau ada yang curiga. Mau tidak mau, Elian pada akhirnya mengeluarkan kartu tanda penduduk miliknya. "Di sini ditulis lelaki." Si petugas imigrasi bersuara, setelah membaca dengan seksama. "Lalu kenapa paspormu ditulis perempuan?" "Jujur saja, aku juga tidak tahu apa yang salah." Elian jelas saja tidak punya penjelasan. "Tapi aku berani bersumpah kalau itu aku, sesuai dengan foto dan nama di tiketku kan?" "Sama sih, tapi ...." Si petugas imigrasi terus menatap tiga dokumen yang sekarang dia pegang. Tiket pesawat, paspor dan kartu tanda penduduk. "Ma'am, aku minta tolong." Elian pada akhirnya memilih untuk memelas. "Aku ada urusan pekerjaan dan bosku sedang menunggu. Aku harus cepat pulang ke negaraku. Jadi kali ini biarkan saja lolos, karena itu memang aku dan aku tidak mencuri data orang lain." "Masalahnya kau mencurigakan." Sayang sekali, petugas imigrasi menggeleng. "Aku tidak bisa biarkan kau terbang begitu saja, tanpa ada konfirmasi yang lebih jelas." "Bagaimana kalau aku telepon bosku dulu?" Tiba-tiba saja, Ariana teringat. "Kebetulan, dia yang mengurus perpanjang pasporku yang terakhir kali." Dengan ekspresi kesal bercampur gelisah, Elian merogoh ponselnya. Dia dengan cepat mencari nomor atasannya dan segera menelepon. Tidak peduli dengan perbedaan waktu yang cukup signifikan. "Kau mau mati atau apa?" tanya suara dari ujung sambungan telepon yang terdengar berat dan lelah. "Nanti saja ngomelnya, sekarang aku mau tahu apa yang kau lakukan dengan pasporku?" tanya Elian to the point. "Apa lagi maksudnya itu?" hardik atasan Elian terdengar kesal. "Aku tidak bisa berangkat karena kau." Elian balas menghardik. "Loh, kenapa karena aku?" "Kau membuat kesalahan pada pasporku, tapi ... suara apa itu?" Elian bertanya dengan kening berkerut ketika dia mendengar suara aneh. Suara itu tidak terlalu keras, tapi masih bisa Elian dengar. Itu adalah suara desahan seorang lelaki. "Menjijikkan," desis Elian dengan kening berkerut. "Kalau kalian memang lagi melakukan sesuatu, jangan angkat telepon." "Kau sendiri menelepon sampai berapa kali?" Suara hardikan kembali terdengar dari balik sambungan telepon. "Apa kau pikir aku tidak terganggu?" "Lalu untuk masalahmu, coba kau tanya Sebastian saja. Dia juga berangkat hari ini kan? Kalau tidak salah, pesawat kalian sama. Jadi, repotkan saja dia, jangan aku." "Apa maksud ...." Elian mau protes, tapi sambungan teleponnya sudah terputus. Hal itu tentu saja membuat Elian menggeram marah karena dia sama sekali tidak mendapat solusi apa pun. Malah yang ditawarkan adalah sebuah bencana lain. "Jadi sudah mau ngaku kalau ini adalah data curian?" tanya si pegawai imigrasi dengan senyum yang sangat lebar. "I swear." Elian masih mencoba membela diri. "Aku tidak mencuri data, walau bosku tidak bisa dihubungi." "Bosmu tidak bisa dihubungi?" Kedua alis petugas imigrasi terangkat naik. Elian hanya bisa meringis pelan melihat reaksi itu. Biar bagaimana, dia tidak bisa bilang kalau bosnya sedang menikmati malam dengan suami. Kesannya malah Elian bisa dianggap mengada-ada lagi. "Begini saja." Elian pada akhirnya mengambil keputusan yang tidak dia suka. "Kita bisa diskusi saja. Mungkin ... kau bisa membiarkan aku pergi dengan harga tertentu?" "Kau mau menyuap?" Mulut Elian sudah terbuka lebar mau membalas, tapi batal dia lakukan. Wajah perempuan pegawai imigrasi itu terlihat tidak senang, jadi tidak mungkin diteruskan. Untungnya, ada penolong yang datang. "Permisi." Seorang lelaki datang dan menyapa pegawai imigrasi dengan senyum lebar. "Apa ada masalah?" "Kau siapa?" Si petugas imigrasi tentu saja akan bertanya. "Ehm, kami bersama dan namaku Sebastian." Lelaki itu malah memperkenalkan diri. "Aku lihat dia lama, jadi aku datang bertanya." "Oh, baguslah. Mungkin kau bisa menjelaskan perbedaan jenis kelamin yang ada pada identitas dia. Atau mungkin, kalian ini komplotan ya?" Dengan kening berkerut, Sebastian ini melihat ke arah Elian yang membuang muka. Tidak lama, karena sekarang dia menatap dua identitas rekannya dengan seksama, dan langsung menemukan apa yang salah. "Aku bisa jamin kalau dia perempuan." Sebastian berucap dengan senyum lebar. "Dia itu istriku." "Kau bilang apa?" Elian langsung protes dengan mata melotot."Leo sudah kembali." Ariana berucap pelan dan membuat Sebastian langsung berdiri.Lelaki dengan wajah kusut itu segera mendekati Leo. Sebastian bahkan menatap lengan Leo yang ditutupi dengan plester khusus."Aku berhasil donor, tapi katanya perlu waktu sampai bisa dipakai," ucap Leo terlihat kusut karena masih merasa khawatir. "Kenapa masih harus menunggu?" tanya Sebastian ikut mengerutkan kening. "Karena katanya harus tes dulu, apakah darahnya cukup bagus dan aku tidak kena penyakit." Leo sampai mengembuskan napas. "Padahal aku pikir sudah bisa menyelamatkan Elian.""Yang akan menyelamatkan Elian itu adalah tim dokter." Ariana yang masih duduk dengan perut buncitnya, langsung bersuara. "Kau memang membantu, tapi pada akhirnya yang menyelamatkan Elian adalah tim dokter dan Tuhan.""Aku rasa Ariana benar." Mau tidak mau, Sebastian ikut mengangguk, walau jelas sekali kalau dia masih merasa sangat cemas. "Jadi, dari pada kalian berdiri seperti orang bodoh di sana, sana pergi d
Semua terjadi begitu cepat. Walau Sebastian tadi sudah berteriak keras, tapi nyatanya teriakan itu nyaris tidak berguna. Apalagi, Lexi rupanya bukan hanya penyanyi yang bagus, tapi dia juga pelari handal.Langkahnya begitu ringan saat berlari mendekati Elian yang jaraknya agak dekat dengannya. Jarak Hugo memang lebih dekat dengan Elian, tapi si pengawal tadi sempat terkejut dan terlambat bergerak. Wajar, karena Lexi memang terlalu tenang dan tidak ada yang melihatnya memegang pisau.Hugo masih sempat menarik tangan Elian, tapi itu pun tidak berguna. Pisau tetap saja menancap ke tubuh Elian."ELIAN!"Sebastian dengan cepat berlari ke arah sang istri. Dia membiarkan Lexi diringkus oleh para pengawal, yang awalnya harus mengawasi dan melindungi bintang utama konferensi. Bahkan Sebastian mendorong Lexi agar dia bisa lewat."Rasakan itu," pekik Lexi dengan tawa lebar, tidak melawan ketika dipegangi banyak orang. "Lebih baik kau mati saja. Aku tidak bisa bersama Sebastian, maka kau ju
Beberapa jam sebelum konferensi pers. "Elian." Yang empunya nama langsung menoleh dengan ekspresi kesal ketika namanya dipanggil. Padahal tadinya Elian sangat buru-buru karena hari ini dia terlambat bangun, bahkan sampai membuat Sebastian harus berangkat duluan. Tapi sekarang langkahnya malah dihalangi. "Ada apa sih?" tanya Elian pada perempuan yang menghampirinya. "Ini ada kiriman untukmu." "Hah? sepagi ini?" tanya Elian kini dengan kening berkerut bingung. "Iya, aku juga bingung. Soalnya waktu aku datang, ini sudah ada di atas meja resepsionis," ucap perempuan yang menghampiri tadi. "Tapi yang penting sekarang sudah aku berikan padamu." Tanpa banyak bicara lagi, Elian langsung mengambil paket itu. Dia lagi buru-buru, jadi tidak banyak bertanya. "Apa yang kau bawa itu?" Leo menyambut Elian. "Aku sudah tunggu dari tadi loh." "Aku terlambat bangun dan mengacau di rumah," ucap Elian membanting kotak yang dia bawa ke atas meja. "Jadi, itu kiriman dari mana?" Leo kemb
"Hei, Nona. Butuh tumpangan?"Elian hanya bisa menggeleng, ketika mendengar suara yang sudah sangat dia kenali. Dia juga tidak perlu mencari arah datangnya suara, karena mobil Sebastian sudah terparkir di depannya dengan jendela terbuka."Aku tidak butuh tumpangan, tapi aku butuh makan," jawab Elian yang akhirnya membuka pintu mobil dan masuk."Bagaimana pertemuanmu dengan Sandy?" Sebastian langsung bertanya, setelah yakin istrinya sudah duduk dengan nyaman."Tidak terlalu buruk, tapi tetap saja menyebalkan." Elian mengedikkan bahu dengan santai. "Dia mengancam.""Mengancam seperti apa?" Sebastian yang kaget, tidak sengaja menaikkan intonasi suaranya.Tadi, Elian memang memberi tahu Sebastian soal ajakan Sandy. Itu pun dia lakukan saat sudah dalam perjalanan menunjuk ke tempat janjian. Biar bagaimana, Elian tetap mau suaminya tahu, tanpa perlu ikut campur. Untung Sebastian mau menjemput dan menunggu dengan tenang."Katanya kalau aku menolak permintaan dia hari ini, dia tidak b
Elian menatap Leo yang melangkah dengan canggung, sambil mengangguk kepala. Pembicaraan mereka sudah selesai dan kini Elian hanya bisa menatap lelaki yang sebenarnya adalah saudara kembarnya itu. "Kau yakin dengan keputusanmu itu?" Ariana bertanya dengan tangan terlipat di depan dada, sambil bersandar di pintu. "Yakin." Elian mengangguk pelan. "Tidak usah ditanya lagi." Sebastian ikut membela sang istri. "Elian juga pasti sudah berpikir dengan baik, sebelum memutuskan untuk tidak memberi tahu Leo." "Biar bagaimana, Leo mengenaliku sebagai Elian Vollen. Bukan Leonie Moretti, saudara kembarnya," lanjut Elian kini memilih untuk melanjutkan pekerjaan. "Lagian, dia sama sekali tidak kenal aku kan?" "Iya sih." Ariana mengangguk pelan. "Padahal tidak terlalu banyak yang berubah darimu, tapi dia masih tidak sadar juga. Apalagi sekarang kau sudah mulai berpenampilan sebagai perempuan." "Dalam pikiran Leo, adiknya Leonie sudah mati," balas Elian diikuti dengan embusan napas pelan. "
"Wah, coba lihat dia." "Apa itu benar Elian?" "Kalau diperhatikan lagi, dia kelihatan seperti Cara Delevingne ya." "Tampan dan cantik." "Sejak dulu dia memang begitu, tapi sekarang jadi lebih gila lagi." Elian berdehem pelan, saat dia masuk ke dalam lift. Itu dia lakukan karena dirinya bisa mendengar semua celotehan orang-orang di sekitar. Bahkan di dalam lift yang tidak banyak orang pun masih ada yang menatapnya dari atas sampai bawah sambil berbisik. "Kau kenapa?" Sebastian bertanya, sambil menatap sang istri. "Apa tenggorokanmu gatal? Gejala batuk?" "Tidak apa-apa kok." Elian dengan cepat menggeleng. "Mungkin kurang minum air." "Oh, aku bawa tumbler." Sebastian segera mengambil ransel yang tersampir di bahunya. "Minum saja dulu ini, lalu nanti aku akan belikan obat pelega tenggorokan." "Wah, kau lihat itu?" "Sebastian manis sekali ya." "Perhatian banget. Aku juga mau suami seperti itu." Mendengar suara bisikan di sekitarnya, Elian yang sedang minum itu sampa







