LOGIN"Kau tidak bisa seenak hati mengganti paspor yang sudah terbit."
"Tapi di sini ada kesalahan." Elian bersikeras dan menunjukkan kartu tanda penduduknya. "Coba kau lihat ini, di sini tertulis lelaki kan?" "Ck, inilah yang paling aku tidak suka dari kaum kalian." Petugas yang mengurusi Elian berdecak pelan. "Lain kali, kalau kau sudah operasi kelamin, urus dengan benar sebelum bikin paspor." Elian membuka mulut sudah mau protes dengan tuduhan si pegawai pemerintahan yang melayaninya. Sayang sekali, dia harus menunda itu karena si pegawai sudah makin tidak senang melihatnya. "Aku tidak pernah operasi ganti kelamin dan ini bukan kesalahanku," ucap Elian dengan tenang. "Jadi aku ...." "Lalu kau menyalahkan kami?" tanya si petugas malah makin jutek. "Bukan begitu, aku hanya ...." "Kalau begitu kau urus saja sendiri benda ini." Si petugas kembali memotong kalimat Elian dan melempar paspornya begitu saja. "Tidak akan ada orang di sini yang mau membantu." Elian tentu saja terkejut mendengar kalau dirinya langsung ditolak mentah-mentah. Sayangnya, dia tidak bisa pulang begitu saja kan? "Begini saja." Elian mencoba untuk tenang. "Bagaimana kalau aku membayar untuk ...." "Sekarang kau mau melakukan suap?" Lagi-lagi, si petugas memotong kalimat Elian. "Kau membuatku makin tidak mau mengurusimu, jadi sekarang pulang saja." *** "Ada apa dengan mukamu? Kenapa berantakan sekali?" Seorang perempuan bertanya pada keesokan harinya. "Ini adalah hadiah dari seseorang," jawab Sebastian dengan senyum tipis di wajah, walau pipinya terlihat bengkak. "Bisa dibilang jawaban dari proposalku." "Proposal apa dulu?" tanya perempuan tadi dengan sebelah alis yang terangkat. "Proposal kerja atau ...." "Aku melamar seseorang, Ariana. Melamar untuk menikah, lalu ini yang kudapat sebagai jawabannya." Sebastian menunjuki wajahnya. "Oh, dia perempuan yang luar biasa ya." Perempuan yang dipanggil Ariana hanya bisa mengangguk pelan. "Bukan perempuan, tapi lelaki." Ariana yang sedang menulis itu, langsung mendongak dan melotot. Benar-benar sangat terkejut dengan apa yang Sebastian ucapkan barusan. "Aku mungkin salah dengar." Ariana mencoba untuk berpikir positif. "Kau tidak salah dengar, teman. Aku baru saja bilang, kalau aku melamar seseorang dengan jenis kelamin M alias Male tertulis di tanda pengenalnya," jawab Sebastian yang langsung membuat teman bicaranya terkesiap. "Berhenti bicara tidak masuk akal." Suara pukulan keras terdengar mengikuti kalimat barusan, dan membuat semua orang terkejut. Rupanya, Elian baru saja masuk ke dalam ruangan dan langsung memukul Sebastian dengan buku yang dia pegang. "Hei, itu sakit." Tentu saja Sebastian akan langsung protes, sambil mengelus kepalanya yang terkena pukulan. "Bukankah kau tipe lelaki yang suka disakiti?" tanya Elian dengan nada sarkas dan kedua alis terangkat naik. "Terbalik, Eli. Aku itu tipe lelaki yang suka menyiksa," balas Sebastian dengan sebelah mata berkedip pelan. "Yah, walau pun masih siksaan yang ringan-ringan saja." "Oke baiklah." Ariana mengangkat kedua tangan. "Aku tidak mau terlibat dengan percintaan konyol kalian." "Kau barusan bilang apa?" tanya Elian dengan mata melotot. "Siapa yang kau bilang main cinta-cintaan?" Sayangnya, Ariana memilih untuk mengedikkan bahu saja sebagai jawaban. Dia benar-benar tidak mau mencampuri apa pun hubungan dua orang di depannya, karena harus kembali bekerja. "Hei Ari, apa kau tidak mau bilang sesuatu?" Kini Elian mencoba mengalihkan pembicaraan. "Bilang apa?" Ariana malah balik bertanya. "Tentang pasporku," hardik Elian terlihat kesal. "Kau mengubah gender-ku dengan sembarangan dan bikin aku susah waktu di bandara." "Masa sih?" Ariana malah kembali mengedikkan bahu, pura-pura tidak tahu. "Perasaan aku cuma suruh buat sesuai dengan seharusnya saja deh. Lagi pula, berkasnya semua darimu kan? Aku cuma membantu karena waktu itu kau lagi sakit dan tidak bisa bergerak." Elian menggeram kesal. Yang dia dengar barusan itu memang benar, tapi tidak mungkin kan kalau ada yang berubah begitu saja. "Sudahlah. Aku mau kerja lagi, jadi kalian jangan ganggu." Ariana dengan cepat memberi batasan yang tidak mungkin Elian langgar. Sementara Elian hanya bisa misuh-misuh saja, Sebastian memilih untuk melihat Elian dengan tatapan penasaran. Biar bagaimana, dia masih tertarik dengan rekan kerjanya itu. "Hei Eli, aku mau tanya." Sebastian tiba-tiba saja bersuara, tepat ketika pintu ruangan terbuka dan beberapa orang masuk. "Apa lagi yang kau mau tanya?" hardik Elian dengan mata melotot. "Kalau yang aneh-aneh, aku pukul kau." "Menurutku sih ini bukan hal aneh, jadi aku tanya saja ya." Sebastian memperbaiki duduknya, agar dia bisa melihat lawan bicara yang duduk di sampingnya dengan baik. "Aku ini kan tampan, terkenal dan banyak uang." Sebastian mulai bicara dengan kening berkerut. "Jadi, kenapa kau tidak mau menikah atau jadi pacarku?""Leo sudah kembali." Ariana berucap pelan dan membuat Sebastian langsung berdiri.Lelaki dengan wajah kusut itu segera mendekati Leo. Sebastian bahkan menatap lengan Leo yang ditutupi dengan plester khusus."Aku berhasil donor, tapi katanya perlu waktu sampai bisa dipakai," ucap Leo terlihat kusut karena masih merasa khawatir. "Kenapa masih harus menunggu?" tanya Sebastian ikut mengerutkan kening. "Karena katanya harus tes dulu, apakah darahnya cukup bagus dan aku tidak kena penyakit." Leo sampai mengembuskan napas. "Padahal aku pikir sudah bisa menyelamatkan Elian.""Yang akan menyelamatkan Elian itu adalah tim dokter." Ariana yang masih duduk dengan perut buncitnya, langsung bersuara. "Kau memang membantu, tapi pada akhirnya yang menyelamatkan Elian adalah tim dokter dan Tuhan.""Aku rasa Ariana benar." Mau tidak mau, Sebastian ikut mengangguk, walau jelas sekali kalau dia masih merasa sangat cemas. "Jadi, dari pada kalian berdiri seperti orang bodoh di sana, sana pergi d
Semua terjadi begitu cepat. Walau Sebastian tadi sudah berteriak keras, tapi nyatanya teriakan itu nyaris tidak berguna. Apalagi, Lexi rupanya bukan hanya penyanyi yang bagus, tapi dia juga pelari handal.Langkahnya begitu ringan saat berlari mendekati Elian yang jaraknya agak dekat dengannya. Jarak Hugo memang lebih dekat dengan Elian, tapi si pengawal tadi sempat terkejut dan terlambat bergerak. Wajar, karena Lexi memang terlalu tenang dan tidak ada yang melihatnya memegang pisau.Hugo masih sempat menarik tangan Elian, tapi itu pun tidak berguna. Pisau tetap saja menancap ke tubuh Elian."ELIAN!"Sebastian dengan cepat berlari ke arah sang istri. Dia membiarkan Lexi diringkus oleh para pengawal, yang awalnya harus mengawasi dan melindungi bintang utama konferensi. Bahkan Sebastian mendorong Lexi agar dia bisa lewat."Rasakan itu," pekik Lexi dengan tawa lebar, tidak melawan ketika dipegangi banyak orang. "Lebih baik kau mati saja. Aku tidak bisa bersama Sebastian, maka kau ju
Beberapa jam sebelum konferensi pers. "Elian." Yang empunya nama langsung menoleh dengan ekspresi kesal ketika namanya dipanggil. Padahal tadinya Elian sangat buru-buru karena hari ini dia terlambat bangun, bahkan sampai membuat Sebastian harus berangkat duluan. Tapi sekarang langkahnya malah dihalangi. "Ada apa sih?" tanya Elian pada perempuan yang menghampirinya. "Ini ada kiriman untukmu." "Hah? sepagi ini?" tanya Elian kini dengan kening berkerut bingung. "Iya, aku juga bingung. Soalnya waktu aku datang, ini sudah ada di atas meja resepsionis," ucap perempuan yang menghampiri tadi. "Tapi yang penting sekarang sudah aku berikan padamu." Tanpa banyak bicara lagi, Elian langsung mengambil paket itu. Dia lagi buru-buru, jadi tidak banyak bertanya. "Apa yang kau bawa itu?" Leo menyambut Elian. "Aku sudah tunggu dari tadi loh." "Aku terlambat bangun dan mengacau di rumah," ucap Elian membanting kotak yang dia bawa ke atas meja. "Jadi, itu kiriman dari mana?" Leo kemb
"Hei, Nona. Butuh tumpangan?"Elian hanya bisa menggeleng, ketika mendengar suara yang sudah sangat dia kenali. Dia juga tidak perlu mencari arah datangnya suara, karena mobil Sebastian sudah terparkir di depannya dengan jendela terbuka."Aku tidak butuh tumpangan, tapi aku butuh makan," jawab Elian yang akhirnya membuka pintu mobil dan masuk."Bagaimana pertemuanmu dengan Sandy?" Sebastian langsung bertanya, setelah yakin istrinya sudah duduk dengan nyaman."Tidak terlalu buruk, tapi tetap saja menyebalkan." Elian mengedikkan bahu dengan santai. "Dia mengancam.""Mengancam seperti apa?" Sebastian yang kaget, tidak sengaja menaikkan intonasi suaranya.Tadi, Elian memang memberi tahu Sebastian soal ajakan Sandy. Itu pun dia lakukan saat sudah dalam perjalanan menunjuk ke tempat janjian. Biar bagaimana, Elian tetap mau suaminya tahu, tanpa perlu ikut campur. Untung Sebastian mau menjemput dan menunggu dengan tenang."Katanya kalau aku menolak permintaan dia hari ini, dia tidak b
Elian menatap Leo yang melangkah dengan canggung, sambil mengangguk kepala. Pembicaraan mereka sudah selesai dan kini Elian hanya bisa menatap lelaki yang sebenarnya adalah saudara kembarnya itu. "Kau yakin dengan keputusanmu itu?" Ariana bertanya dengan tangan terlipat di depan dada, sambil bersandar di pintu. "Yakin." Elian mengangguk pelan. "Tidak usah ditanya lagi." Sebastian ikut membela sang istri. "Elian juga pasti sudah berpikir dengan baik, sebelum memutuskan untuk tidak memberi tahu Leo." "Biar bagaimana, Leo mengenaliku sebagai Elian Vollen. Bukan Leonie Moretti, saudara kembarnya," lanjut Elian kini memilih untuk melanjutkan pekerjaan. "Lagian, dia sama sekali tidak kenal aku kan?" "Iya sih." Ariana mengangguk pelan. "Padahal tidak terlalu banyak yang berubah darimu, tapi dia masih tidak sadar juga. Apalagi sekarang kau sudah mulai berpenampilan sebagai perempuan." "Dalam pikiran Leo, adiknya Leonie sudah mati," balas Elian diikuti dengan embusan napas pelan. "
"Wah, coba lihat dia." "Apa itu benar Elian?" "Kalau diperhatikan lagi, dia kelihatan seperti Cara Delevingne ya." "Tampan dan cantik." "Sejak dulu dia memang begitu, tapi sekarang jadi lebih gila lagi." Elian berdehem pelan, saat dia masuk ke dalam lift. Itu dia lakukan karena dirinya bisa mendengar semua celotehan orang-orang di sekitar. Bahkan di dalam lift yang tidak banyak orang pun masih ada yang menatapnya dari atas sampai bawah sambil berbisik. "Kau kenapa?" Sebastian bertanya, sambil menatap sang istri. "Apa tenggorokanmu gatal? Gejala batuk?" "Tidak apa-apa kok." Elian dengan cepat menggeleng. "Mungkin kurang minum air." "Oh, aku bawa tumbler." Sebastian segera mengambil ransel yang tersampir di bahunya. "Minum saja dulu ini, lalu nanti aku akan belikan obat pelega tenggorokan." "Wah, kau lihat itu?" "Sebastian manis sekali ya." "Perhatian banget. Aku juga mau suami seperti itu." Mendengar suara bisikan di sekitarnya, Elian yang sedang minum itu sampa







