LOGINElian menatap lelaki yang duduk di sebelahnya dengan kening berkerut. Itu sudah dia lakukan agak lama, sampai Sebastian jadi ikut mengerutkan kening. Biar bagaimana, adu tatap itu rasanya tidak nyaman.
"Maaf menunggu lama." Tiba-tiba saja Pierre muncul dan membuat dua orang yang saling tatap itu langsung menoleh. Lebih tepatnya, Elian yang langsung menoleh dan itu membuat Sebastian tersenyum. "Apa aku mengganggu?" tanya Pierre dengan kedua alis yang terangkat. "Sama sekali tidak." Elian dengan cepat menggeleng dan langsung beranjak dari duduknya. "Kenapa kau malah berdiri?" tanya Sebastian dengan sebelah alis yang terangkat. "Tadinya aku mau bermalam, tapi sepertinya tidak bisa." Elian menjelaskan pada pemilik rumah. "Aku harus pulang dan kerja lagi." "Oh, sayang sekali." Pierre langsung terlihat kecewa. "Padahal aku mau ngobrol lama denganmu." "Kalau kau buru-buru pulang karena aku." Tiba-tiba saja Sebastian ikut berdiri. "Biar aku saja yang pulang." "Ini tidak ada hubungannya dengan kau." Elian langsung membantah. "Aku pulang karena memang ada yang mau dikerjakan." "Ariana tidak bilang apa pun soal kerja," bisik Sebastian agar Pierre yang sudah tua tidak mendengar apa pun. "Jadi satu-satunya yang membuatmu tidak betah hanya aku, jadi tinggal saja." "Pierre sepertinya benar-benar kesepian, jadi kau bisa tinggal saja," lanjut Sebastian masih dalam bisikan. Elian langsung menoleh menatap pria yang dulu pernah merawat dan menyelamatkannya itu. Tatapan matanya memang terlihat lebih hampa, dibanding saat Elian baru datang tadi. "Aku masih bisa mengganggumu lain kali, tapi dia tidak bisa terus menunggu kau datang," bisik Sebastian memberi nasihat dengan senyum tipis menghiasi wajah. "Pierre lebih baik jadi prioritas utamamu, terlepas status kalian yang tidak ada hubungan darah." "Terima kasih," gumam Elian pelan, masih mau menerima nasihat yang masuk akal. "Kalau begitu, Pierre." Sebastian kini mengulurkan tangan para pria tua itu. "Aku harus pergi sekarang, biar Elian bisa tinggal lebih lama." "Oh, apa kalian satu kantor?" tanya Pierre tentu saja akan langsung menerima uluran tangan lelaki muda di depannya. "Aku baru saja bergabung di kantor Elian beberapa waktu lalu." Sebastian tidak sungkan memberi tahu. "Kalau kau suka dengar musik, kapan-kapan datang dan kunjungi kantor kami. Aku akan membiarkanmu mendengar lagu baru kami." "Nanti." Pierre mengangguk ceria. "Nanti aku akan mampir, jadi kau juga mampirlah ke sini kalau ada waktu di hari libur." "Besok aku akan jemput Elian kalau tidak ada halangan, jadi nikmati waktu kalian dan sampai jumpa." Tidak mau membuang waktu lebih banyak lagi, Sebastian segera pamit. Elian hanya bisa melihat lelaki itu lari menuju ke arah helikopter yang sedang parkir. Dia yakin kalau heli yang dipakai bukan punya perusahaan atau keluarga atasannya, jadi Elian tahu kedatangan Sebastian murni karena keinginan sendiri. "Dia benar-benar baik ya." Tiba-tiba saja Pierre bersuara lagi, kali ini disertai dengan senyum yang sangat lebar. "Kau beruntung punya pasangan seperti dia." "Pierre." Elian segera menegur. "Aku kan sudah bilang, dia itu bukan pacarku. Apalagi lebih dari itu." "Tapi dia bilang sudah pernah ajak pacaran." Bukannya menyerah, Pierre malah terus mencecar. "Jadi kenapa kalian belum pacaran juga?" "Pertama aku tidak suka dia." Elian dengan cepat menjauh dan memilih masuk ke dalam rumah kayu sederhana itu. "Kedua, dia bukan tipeku." "Oke, lalu apa ada alasan yang ketiga?" Elian tidak langsung menjawab. Dia malah berhenti melangkah di tengah-tengah rumah dan menarik, lalu mengembuskan napas beberapa kali. Seolah pertanyaan yang diucapkan Pierre sangat susah untuk dijawab. "Apa ada alasan ketiga yang membuatmu menolak Sebastian?" Pierre sekali lagi bertanya. "Kau tahu apa itu." Pada akhirnya, hanya itu yang bisa Elian berikan sebagai jawaban. "Aku tidak perlu menjelaskan lagi padamu kan?" Kali ini, giliran Pierre yang tidak langsung menjawab. Dia terlebih dulu menarik Elian untuk duduk bersama di sofa untuk tiga orang. "Aku tahu apa yang ada di kepalamu dan hatimu." Pierre menunjuk dua hal yang dia maksud dengan telunjuk. "Tapi kau kan bilang semuanya sudah selesai dan penjahat itu sudah membayar. Lantas, apa lagi yang kau takutkan?" "Banyak hal," jawab Elian tanpa perlu berpikir. "Coba bilang padaku." Elian menatap pria tua yang duduk di sebelahnya dengan ragu. Tidak yakin harus bilang apa. "Aku takut dianggap lemah dan pada akhirnya menjadi korban lagi." Setelah berpikir sebentar, Elian pada akhirnya menjawab. "Takut kalau aku hanya dimanfaatkan saja. Takut nyawaku mungkin akan melayang." Elian memegang leher yang tertutup dengan kain dari kaos turtle neck. Dia mengelus bagian itu dengan pelan, seolah ada sesuatu di balik kain dan harus disembunyikan dengan baik. "Pengalamanmu memang sangat mengenaskan." Pierre mengangguk paham. "Aku yang cuma lihat sekilas saja merasa sakit, apalagi kau yang menjalani kehidupanmu. Tapi, bukan berarti kau harus terus membohongi diri sendiri kan?" "Kau tidak perlu terus bersembunyi, Eli. Tidak perlu terus menutupi dirimu yang sebenarnya dan menyamar jadi orang lain. Semua sudah selesai, jadi sudah waktunya kau kembali jadi diri sendiri." "Kembali jadi perempuan yang seutuhnya," lanjut Pierre dengan tatapan sendu.Hola-hola. Tak bosan-bosannya aku nyapa dengan judul baru dan semoga suka ya.
Mata Elian tampak membesar, dengar rahang yang mengetat karena dia menggertakkan gigi dengan keras. Belum lagi kedua tangan yang mengepal erat, walau salah satunya memegang pulpen. Mata besar itu, kemudian melirik benda yang teronggok di atas mejanya. Sebatang cokelat yang sudah dimakan setengahnya dan tentu saja itu adalah pemberian Sebastian tadi. "Dasar sialan," desis Elian pelan. "Kenapa juga pada akhirnya aku terima benda sialan ini," lanjutnya malah mendorong batangan cokelat itu menjauh darinya. "Maaf, tapi apa ada yang salah?" Elian mendongak menatap perempuan yang memegang map di depannya. Hal yang membuatnya sadar kalau sekarang dia sedang bekerja dengan serius. "Tidak ada." Elian berdehem pelan, seraya menyugar pelan rambut super pendeknya. "Aku hanya menggerutu karena kesalahanku sendiri." "Memangnya Eli bisa bikin kesalahan?" tanya perempuan tadi dengan senyum tertahan. "Selain bos Ariana, kau itu masih termasuk orang yang perfeksionis loh. Tapi rambut yang sed
"Hei, jangan cemberut begitu dong," ucap Sebastian menengok ke arah kursi penumpang di sebelahnya. "Bukan aku loh yang bikin kau di-cancel sama taksi online sampai berulang kali." Elian yang duduk di kursi penumpang itu mendengus keras. Dia benar-benar tidak habis pikir, dengan aplikasi taksi online yang sejak tadi tidak mau menerima orderannya. Sudah lima kali cancel dari dua aplikasi yang berbeda dan sekarang dia mau tidak mau menerima tawaran menumpang Sebastian. "Apa ada yang eror dengan aplikasinya ya?" gumam Elian menatap ponselnya dengan kening berkerut, mencoba melihat apa yang salah. "Mau eror atau bukan, kau jadi menghemat ongkos kan?" tanya Sebastian yang sekarang lebih fokus pada jalanan di depannya. "Bonusnya, aku sekarang akan tahu kau tinggal di mana." "Kalau begitu, turunkan saja aku di sini." Elian langsung mengambil keputusan secepat kilat, bahkan langsung melepas sabuk pengaman yang dia pakai. "Loh, bukannya rumahmu masih jauh?" tanya Sebastian terlihat b
Elian menatap selembar foto yang terlihat lusuh. Sebagian dari foto itu sudah terbakar, tapi dia tahu siapa yang ada dalam foto itu. Hal yang membuat Elian menatap foto yang sudah nyaris tidak terlihat apa pun itu dengan sendu. "Kau datang lebih cepat ya." "Akhirnya kau datang juga." Elian dengan cepat menyimpan foto lusuh itu ke dalam tas laptop-nya. "Aku sudah pegal menunggumu, Ariana." "Mungkin kau yang aneh." Ariana tentu saja akan protes. "Ini adalah kantormu juga dan kau ada ruangan sendiri, jadi kenapa malah menunggu di lobi dan sambil berdiri menatap barang lusuh tidak jelas?" "Itu tadi barang berharga untukku," jawab Elian mengikuti langkah atasannya dengan santai. "Lagi pula, aku langsung ke sini dan tidak pulang ke rumah. Aku tidak bawa kunci ruanganmu." "Kau tidak bawa kunci ruanganku?" tanya Ariana yang segera menoleh menatap Elian dengan sebelah alis terangkat, sebelum naik lift. "Apa kau yakin kau itu asistenku?" "Aku asistenmu, tapi aku tidak ada uang lagi u
Elian menatap lelaki yang duduk di sebelahnya dengan kening berkerut. Itu sudah dia lakukan agak lama, sampai Sebastian jadi ikut mengerutkan kening. Biar bagaimana, adu tatap itu rasanya tidak nyaman. "Maaf menunggu lama." Tiba-tiba saja Pierre muncul dan membuat dua orang yang saling tatap itu langsung menoleh. Lebih tepatnya, Elian yang langsung menoleh dan itu membuat Sebastian tersenyum. "Apa aku mengganggu?" tanya Pierre dengan kedua alis yang terangkat. "Sama sekali tidak." Elian dengan cepat menggeleng dan langsung beranjak dari duduknya. "Kenapa kau malah berdiri?" tanya Sebastian dengan sebelah alis yang terangkat. "Tadinya aku mau bermalam, tapi sepertinya tidak bisa." Elian menjelaskan pada pemilik rumah. "Aku harus pulang dan kerja lagi." "Oh, sayang sekali." Pierre langsung terlihat kecewa. "Padahal aku mau ngobrol lama denganmu." "Kalau kau buru-buru pulang karena aku." Tiba-tiba saja Sebastian ikut berdiri. "Biar aku saja yang pulang." "Ini tidak ada
[Sebastian Leclerc: Boleh aku nyusul ke sana?][Sebastian Leclerc: Karena kau lama tidak menjawab, aku anggap itu iya.]Elian menggenggam erat ponselnya. Bahkan dia melakukan itu dengan dua tangan, seolah mau membelah benda persegi panjang dan pipih itu jadi dua bagian. Tapi, itu jelas percuma.Sebastian sudah terlihat berjalan melintasi padang, dengan latar belakang helikopter. Rambut pendek lelaki itu bahkan ikut tertiup angin dari baling-baling."Bonjour," sapa Sebastian dengan senyum lebar. "Aku harap aku tidak mengganggu.""Tentu saja tidak." Pierre tentu akan menggeleng, bahkan menyambut Sebastian yang baru datang itu dengan tangan terbuka. "Apa kau pacarnya Elian.""Bukan.""Oh, senang disebut begitu."Balasan dari Elian dan Sebastian datang nyaris bersamaan. Membuat si tua Pierre sedikit bingung, bahkan melirik dua orang muda di depannya secara bergantian."Mungkin kita semua harus duduk dulu." Pada akhirnya, Pierre memutuskan untuk menjamu Sebastian juga. "Kebetulan
"Aku mau cuti." Elian mengatakan hal itu dengan ponsel yang menempel di telinga."Kau bilang apa?" Suara teriakan yang cukup keras, terdengar dari ponsel."Aku mau mengambil cuti, Ariana." Elian memperjelas apa yang dia ucapkan tadi. "Setelah dua tahun lebih bekerja tanpa cuti, sekarang aku mau cuti.""Tapi tidak lama kan?" tanya Ariana terdengar agak panik."Hanya satu atau dua hari saja. Belum pasti, tapi tidak lama dan maaf karena tiba-tiba." Elian tidak lupa menambah kata maaf itu. "Aku butuh waktu sendiri.""Ya sudahlah." Suara embusan napas terdengar cukup keras dari sambungan telepon. "Tapi aku beneran tidak bisa memberi cuti lama, karena belakangan ini aku gampang sekali capek.""Itu karena hormon ibu hamil dan aku bisa mengerti." Elian mengangguk pelan. "Aku usahakan semua selesai paling lama dua hari.""Oh, jangan lupa kasih tahu aku kau mau ke mana." Ariana menambahkan sebelum menutup telepon. "Siapa tahu aku tiba-tiba perlu bantuanmu, jadi bisa langsung kirim heli







