Share

Bab. 7

“Apa?! Rumah?” tanya Kalila pura-pura kaget.

“Jangan pura-pura tidak mengerti, Kalila!” bentak Dewa kesal.

Kalila tersenyum jahat, dia sudah tahu Dewa pastinya sangat mengincar hartanya. Karena tidak ada yang dicari oleh orang miskin seperti Dewa melainkan sebuah harta kekayaan. Apalagi Dewa adalah seorang mantan narapidana, tidak akan mudah mencari pekerjaan yang layak yang bisa menghasilkan uang yang banyak.

"Enak sekali kau minta rumah. Kau pikir beli rumah itu seperti beli kacang goreng," jawab Kalila dengan tersenyum sinis.

Dewa menatap lekat mata Kalila. Dia tersenyum miring melihat tingkah sang istri. Kalila seolah memang sengaja memancing emosi Dewa.

"Sesuai dengan janji yang pernah kau ucapkan, kalau kau akan menjamin kehidupan yang layak untukku dan ibuku," jawab Dewa dengan santai namun dengan penuh penekanan.

Dewa tidak mau terpancing emosi. 

"Kita baru saja sah menjadi suami istri, kau langsung meminta rumah. Apakah tidak bisa menunggu besok, atau di hari lain. Masih banyak hal yang harus aku kerjakan. Kau benar-benar seperti benalu yang hanya bisa menghisap dan menggerogoti inangnya," ujar Kalila pelan.

Kalila benar-benar dibuat kesal, seolah-olah yang ada di dalam pikiran Dewa itu hanyalah harta dan harta.

"Apakah artinya kau tidak mau membelikannya? Dan mau mengingkari janji? Sungguh kau manusia yang munafik!" teriak Dewa kesal.

"Kau yang tidak tahu malu! Dan kau benar-benar seorang lelaki miskin yang tidak berguna dan hanya bisa mengincar hartaku saja!" jawab Kalila tidak mau kalah.

"Baiklah kalau begitu, aku akan mengajak ibuku tinggal disini kalau kau tidak mau membelikan rumah untuknya!" teriak Dewa kesal dan menggebrak meja.

Tidak ada pilihan lain bagi Dewa, dia harus segera mengajak ibunya untuk pergi dari sana. Karena, kalau masih tinggal di lokalisasi ibunya pasti akan tetap melayani pelanggan secara diam-diam. Mucikarinya tidak akan membiarkan orang tinggal di sana tanpa menghasilkan uang. Dan seluruh wilayah itu dibawah kekuasaan mucikari yang bekerja sama dengan preman daerah sana.

"Jangan sembarangan mengajak orang lain tinggal di rumah ini, Dewa!" teriak Kalila marah. Kalila sangat kenal siapa Rasti, tidak akan mungkin membiarkan dia tinggal satu rumah dan hidup bersama.

"Dia bukan orang lain, dia adalah ibuku!" jawab Dewa marah.

Dewa begitu marah dan emosi ketika mendengar Kalila mengatakan Rasti adalah orang lain. Padahal dia sudah menikah dengan Dewa, dan itu artinya Rasti adalah mertua Kalila.

"Iya, dia juga adalah seorang perempuan jalang penjaja tubuh," jawab Kalila santai dan seolah dia tidak pernah mengatakan sesuatu yang menyakitkan bagi Dewa. Tangannya terus menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Kalila, kau…!" teriak Dewa marah dengan tangan terkepal.

"Bukankah yang aku katakan benar?" tanya Kalila yang sengaja memancing kemarahan Dewa.

"Siapapun ibuku, kau tidak berhak menghinanya!" teriak Dewa yang semakin marah.

Mata Dewa memerah menahan amarah. Apalagi saat melihat Kalila yang tampak santai. Kalila seolah tidak memiliki perasaan bersalah sama sekali setelah menghina mertuanya sendiri.

"Aku tidak menghinanya, Dewa. Tapi, aku mengatakan yang sebenarnya. Bukankah itu adalah kenyataannya!" jawab Kalila ketus.

"Kau benar-benar kurang ajar, Kalila! Apakah kau tidak pernah diajarkan sopan santun?!" tanya Dewa marah.

"Kau tidak perlu bertanya tentang pelajaranku! Karena bahkan yang tidak pernah kau pelajari sudah aku dapatkan!” jawab Kalila dengan berang.

"Aku tidak akan membiarkan orang yang menghina ibuku hidup dengan tenang!" teriak Dewa menunjuk muka Kalila dengan marah.

"Bagaimanapun kau mengingkarinya, yang aku katakan tidak salah. Aku tahu siapa ibumu! Bahkan aku sangat tahu, jangan lupa kalau aku tahu semuanya, Dewa!" teriak Kalila lagi tidak mau kalah dari Dewa.

Braaaak!

Dewa menggebrak meja hingga membuat beberapa makanan tumpah dan bahkan piring yang tadi digunakan untuk makan pecah berantakan di lantai. Dewa tidak peduli, dia sudah benar-benar emosi.

Bi Karni, pembantu di rumah Kalila, tampak sangat terkejut ketika melihat Dewa yang sangat kasar seperti itu.

"Walaupun kita menikah hanya karena sebuah kontrak! Tapi bukan berarti kau bisa semena-mena denganku, Kalila. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, aku bukan pembantumu! Apapun nama pernikahan kita, kau tetap harus menghargai dan menghormati aku sebagai suamimu! Kau adalah istriku, dan ibuku adalah mertuamu yang wajib kau panggil ibu!" teriak Dewa tepat di depan muka Kalila.

Bahkan terlihat Dewa mengangkat tangannya ingin menampar Kalila, saking kesalnya. Namun, Dewa mengurungkannya dan menurunkan kembali tangannya. Dia tidak akan pernah bermain kekerasan kepada seorang wanita, bagaimana pun emosinya.

“Dan berhenti menghina ibuku, Kalila. Karena ibuku adalah ibumu juga, setidaknya sampai kontrak kita berakhir!” ujar Dewa dengan penuh penekanan.

Dewa benar-benar marah, wajahnya terlihat sangat beringas. Bahkan sebenarnya di dalam hati Kalila merasa sangat ketakutan melihat wajah Dewa yang semarah itu.

Pengawal yang sedari tadi memperhatikan mereka, tampak ingin mendekat ketika melihat Dewa yang terus-terusan berteriak kepada Kalila.

"Silakan tinggalkan kami, Desti. Ini hanyalah kesalahpahaman," ujar Kalila sambil melengos.

Desti mengangguk, kemudian meninggalkan Dewa dan Kalila yang masih bertahan di meja makan dan dengan argumennya masing-masing.

"Bi, ambilkan minuman di lemari!" teriak Kalila dengan santainya meminta bi Karni untuk mengambilkan minuman beralkohol yang disimpan di lemari untuk stok di rumahnya.

Dewa hanya menggeleng melihat gaya hidup Kalila yang sangat bebas dan membingungkan itu.

"Duduklah, Dewa!" teriak Kalila saat melihat Dewa masih berdiri memandang ke arahnya dengan pandangan yang tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status