Kurang dari tiga puluh menit, Amisha sudah tiba di kantor. Ia berjalan menuju lift. Langkahnya nan elegan selalu saja menarik perhatian karyawan pria yang berselisih jalan dengannya.
“Selamat pagi, Nona!” sapa Seno yang bertemu Amisha di depan lift.
Amisha mengangguk ringan tanpa membalas sapaan Seno. Seno sangat maklum. Ia mengiring Amisha memasuki lift dan berdiri kaku di samping bosnya itu. Sesekali ia melirik Amisha dengan sudut matanya.
Sudah hampir lima tahun Seno bekerja untuk Amisha. Belum sekali pun ia dapat melihat dengan jelas seperti apa wajah asli junjungannya itu. Rumor yang didengarnya simpang siur. Selentingan kabar angin mengatakan bahwa Amisha adalah wanita yang memiliki kecantikan luar biasa tanpa cela. Sementara kabar lainnya mengatakan Amisha tak lain merupakan wanita berwajah jelek.
Ia memiliki cacat pada matanya. Itu sangat memalukan bagi orang kelas atas sehingga ia selalu menutupinya dengan kacamata hitam yang lebar.
Bahkan, sebagian rumor juga mengatakan bahwa Amisha tidak lancar berbicara. Mungkin itulah sebabnya Amisha lebih banyak diam dan mendengarkan. Dalam rapat pun Amisha lebih sering diwakili oleh sekretarisnya. Amisha hanya menuliskan apa yang ingin disampaikannya. Selanjutnya, sang sekretarislah yang akan menyampaikannya kepada forum.
“Ehem!” Amisha mendeham. Ia merasa risi ditatap terus-terusan oleh Seno.
Dehaman Amisha membuat Seno tersadar dari keterpanaannya. Lekas-lekas ia meluruskan pandangannya ke depan hingga pintu lift terbuka. Ia membungkuk hormat pada Amisha, lalu keluar dengan perasaan gugup.
‘Apa rasa penasaran terhadap Nona Amisha yang mengundang CEO perusahaan besar untuk bekerja di sini?’
Tiba-tiba Seno teringat permintaan mendadak Zain melalui telepon kemarin malam. Jika benar, ia tak habis pikir rumor yang beredar tentang Amisha bisa mengusik hati Zain, seorang lelaki yang terkenal anti wanita sedari dulu.
“Ah! Terserahlah! Itu bukan urusanku!” Seno melanjutkan langkah menuju kantornya.
Ketika ia membuka pintu ruangannya, seorang lelaki telah menunggu di depan meja kerjanya. Lelaki itu berdiri membelakangi pintu masuk. Begitu mendengar derit pintu dibuka, ia memutar tubuh.
“Kamu terlambat dua menit,” kata lelaki itu seraya melirik arlojinya.
“Ini bukan kantormu. Di sini kau hanya seorang office boy,” sahut Seno, tegas.
“Oh, maaf! Aku lupa.” Lelaki yang tak lain adalah Zain itu menyahut dengan nada mengejek. Kedua bola matanya berkilat jenaka. Seno mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya.
“Ganti bajumu! Aku tidak akan bersedia mengeluarkan ganti rugi untuk pakaian mahalmu itu.”
Seno mengulurkan pakaian seragam office boy itu kepada Zain. Zain menerima baju pemberian Seno dengan kening berkerut.
“Kenapa kau mengganti bajumu di ruanganku?” protes Seno saat dilihatnya Zain langsung membuka baju. Ia menutup mukanya dengan sebelah tangan seakan-akan sangat tabu baginya melihat tubuh Zain.
“Terus maumu aku membawa baju ini keluar agar orang lain mengetahui penyamaranku?” Zain menyahut sambil terus saja mengganti pakaiannya.
“Lagi pula, kamu bukan penyuka sesama jenis. Kenapa harus sok malu begitu?” ledek Zain. “Oke. Aku keluar. Terima kasih atas pinjaman ruangannya. Aku akan bekerja sekarang.”
Zain memakai masker hitam dan topi untuk menyempurnakan penyamarannya. Ia juga memakai tag nama di dada kanannya untuk memudahkan orang lain memanggilnya.
“Aku hanya bisa membantumu sampai di sini. Selanjutnya kuserahkan padamu.” Seno mengibaskan tangannya sebagai bentuk pengusiran halus terhadap Zain.
Zain berjalan dengan langkah tegap, meninggalkan ruangan Seno. Ia membawa perlengkapan kebersihan yang sudah disiapkan Seno.
Gara-gara permintaan Zain, pagi-pagi sekali Seno telah menghubungi bagian kebersihan dan memintanya menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan Zain.
“Sepertinya anak itu sudah gila!” umpat Seno seraya mengempaskan pantat di atas kursi kebesarannya.
HATSYIN!
Zain bersin dan menggosok hidungnya dengan jari telunjuk kanan. Ayunan kakinya kontan terhenti beberapa langkah sebelum mencapai pintu ruang kerja Amisha.
“Sialan! Berani-beraninya seseorang mengumpat di belakangku,” gerutu Zain.
Zain mendekati pintu ruangan Amisha. Baru saja ia hendak memutar gagang pintu itu, seseorang meneriakinya.
“Hei! Kamu karyawan baru ya?” seru Gianna.
Dia menyipitkan mata, memperhatikan penampilan Zain.
Zain membungkuk hormat dan menyahut sopan, “Iya, Nona. Saya baru bekerja hari ini.”
“Apa kamu tahu ruangan siapa yang akan kamu masuki itu?” tanya Gianna lagi.
“Saya ditugaskan menjadi office boy untuk Nona Amisha, Nona.”
Gianna manggut-manggut sambil berjalan mengitari Zain. Postur tubuh lelaki yang berdiri di hadapannya itu sangat tidak cocok untuk menjadi seorang office boy. Nada suaranya pun terdengar tegas dan berwibawa. Gianna membaca nama yang tertera di dada kanan Zain.
“Oke, Dede. Welcome to the jungle. Semoga beruntung!”
Selesai berkata begitu, Gianna bergerak menuju ruangannya sendiri, meninggalkan Zain alias Dede yang berdiri mematung tanpa kata.
“Huh? Maksudnya apa berkata begitu?”
Zain dibuat bingung oleh ucapan penuh teka-teki Gianna. Untuk beberapa lama matanya mengikuti gerakan Gianna memasuki ruang yang berhadapan dengan ruang kerja Amisha.
Zain meletakkan peralatan kebersihan yang dibawanya di luar ruangan Amisha. Ia baru ingat pesan Seno untuk tidak membersihkan ruangan bosnya itu saat Amisha sedang berada di dalam ruangan. Amisha sangat membenci itu. Jadi, Zain memutuskan untuk memastikan keberadaan Amisha terlebih dulu.Zain mengetuk pintu beberapa kali. Tak ada sahutan. Ia mendorong daun pintu pelan dan melangkah masuk dengan hati-hati. Kekosongan dan kesunyian menyambut kehadiran Zain di ruangan itu. Ia melirik jam dinding. Pukul 8.17.“Bukankah rumornya Amisha Harist adalah wanita yang sangat disiplin waktu? Kenapa dia belum muncul?” Zain bertanya heran.Tatapan jeli Zain menyapu seisi ruang kerja Amisha. Alisnya terangkat saat melihat tas Amisha sudah teronggok manis di atas meja.“Ah! Ternyata dia sudah datang, tapi … di mana dia?” Zain masih mempertanyakan keberadaan bosnya itu. Entah kenapa kecemasan menyergap hatinya. Membayangkan kemungkinan hal buruk telah menimpa Amisha. Bukankah kemarin malam hujan sangat
Gianna dan Amisha saling lempar pandang, lalu serentak menoleh ke arah sumber suara yang menyela obrolan mereka.Seorang lelaki berpakaian seragam office boy datang menghampiri mereka sambil menenteng bingkisan berisi makanan dan minuman.“Dia Dede. Lelaki yang telah membawamu ke sini dalam gendongannya,” bisik Gianna di telinga Amisha.“Apa? Kamu pasti bercanda, ‘kan?” sergah Amisha, terperangah.Gelengan kepala Gianna membuat tatapan mata Amisha mendadak sayu. Ia merasa malu.“Aku membawa sesuatu. Nona Amisha dan Nona Gianna pasti lapar. Makanlah!” Dede mengeluarkan kotak makanan yang dibawanya da
Seminggu telah berlalu semenjak Amisha diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Ia telah kembali ke kesibukan semula. Berjibaku dengan waktu dan berkutat dengan setumpuk berkas serta seribu satu agenda pertemuan dengan rekan bisnis.Amisha ingin sekali bisa menendang Dede hengkang dari perusahaannya. Namun, kenyataan bahwa Dede bukanlah seorang office boy biasa seperti rekan-rekannya memaksa Amisha untuk tidak pernah menjalankan niat hatinya itu.Cara kerja Dede sungguh cekatan. Ia juga memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Tak jarang Dede ikut memberi masukan kepada Amisha saat ia merasa otaknya buntu, tidak mampu memikirkan solusi terhadap permasalahan perusahaannya. Meski Amisha tidak ingin mengakui itu di hadapan Dede, jauh di lubuk hatinya ia memuji cara pikir Dede. Amisha baru saja selesai menghadiri pertemuan dengan beberapa orang kolega. Ia kembali ke kantor membawa setumpuk lelah di kedua pundaknya.BRAK!Amisha mengempaskan berkas yang dibawanya ke atas meja dengan kasar, lal
“Tangkap!” seru Amisha, melemparkan sesuatu kepada Dede tatkala mereka tiba di pelataran parkir.Dede memperhatikan benda yang dilempar Amisha dan kini berada dalam genggaman tangannya. Sebuah kunci mobil. Ia menatap Amisha dengan sorot mata penuh tanya.“Jangan bilang kamu tidak bisa menyetir mobil!” ujar Amisha, dingin.“Oh! Oke!”Buru-buru Dede menyusul Amisha yang sudah berjalan menuju mobil. Dede membukakan pintu untuk Amisha.Amisha mengenyakkan pantat di jok belakang dan menyandarkan kepala dengan santai. Sungguh hari yang sangat melelahkan. Ia harus menahan hati, bertemu dengan kolega yang menyebalkan dan haus akan pujian, sebelum akhirnya bersedia menandatangani kontrak kerja sama.
Amisha tak pernah menyangka akan ada hari untuknya bertemu lagi dengan Kenzo. Seseorang yang ingin dihindarinya seumur hidup. Lelaki yang telah memperkenalkannya pada indahnya cinta sekaligus menorehkan jejak luka yang mendalam di relung hatinya.Masih terbayang jelas pengkhianatan Kenzo bertahun-tahun silam. Juga senyum mencemooh yang baru saja dipertontonkan lelaki itu dengan pongah bersama perempuan jalang simpanannya. Perempuan yang tak memiliki rasa empati sedikit pun terhadap sesama wanita.Luka lama Amisha seakan berdarah kembali. Namun, air matanya tak lagi tersisa untuk menangisi semua kepedihan itu. Air matanya telah terkuras habis bersama derasnya hujan di malam itu. Malam ketika terik kehampaan membakar hangus keyakinannya akan adanya cinta suci di hamparan bumi ini.Dede berulang kali melirik Amisha dar
Kacamata hitam di tangan Amisha jatuh ketika tahu-tahu Dede sudah berdiri di depannya, menghidangkan secangkir cappuccino.Amisha mendongak. Pandangan mata kagetnya bersirobok dengan tatapan tajam Dede. Sesaat Amisha membatu kaku.Di usianya yang menjelang kepala tiga, untuk pertama kalinya seorang lelaki yang bukan keluarga dan orang terdekatnya melihatnya tanpa kacamata, mempertontonkan bentuk asli kedua netranya.‘Oh My God! Manik mata itu sungguh indah luar biasa!’ Dede berseru takjub dalam hati.Malam itu ia telah terpesona dengan kecantikan Amisha tanpa kacamata. Kini, dalam jarak yang begitu dekat ia seakan terbius oleh sepasang iris merah jambu keunguan, menatapnya dengan panca
“Apa? Mama diopname karena serangan jantung?” Amisha terlonjak kaget dari tempat duduknya.“Iya, Misha.” Suara berwibawa papanya menyahut lesu dari seberang telepon.“Kenapa bisa begitu, Pa?” tanya Amisha sedih.“Belakangan ini mamamu selalu memikirkan tentang pernikahanmu. Darah tingginya kambuh gara-gara stres.”“Maafkan aku, Pa.” Amisha merasa bersalah.Andai cinta suci dapat ia temukan di pasar loak, mungkin telah lama ia mencarinya di sana. Tak masalah ia bukan yang pertama. Selama ia menjadi pemilik terakhir, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bahagia. Bukankah cinta terakhir hanya akan terpisahkan oleh kematian?“Sayang, papa sangat berharap kamu bisa menjenguk mam
Amisha mengira Dede akan dengan senang hati menyetujui kontrak yang ditawarkannya. Mengingat ia sudah sangat royal memberikan kompensasi sepuluh kali lipat dari gajinya sebagai office boy, ditambah dengan beragam fasilitas mewah lainnya selama ia menjadi tunangan kontrak. Ia benar-benar tak menduga jika lelaki itu akan jual mahal dan mencoba bernegosiasi dengannya.‘Apa dia tidak takut dipecat?’ pikir Amisha, semakin heran dengan sosok Dede.“Terserah Nona kalau memang Nona keberatan. Aku hanya mencoba menciptakan suasana kerja yang nyaman untukku, supaya aku bisa menjalankan peranku dengan baik. Hak Nona untuk menolak persyaratanku, tapi jika mau Nona seperti itu, maaf, aku tidak bisa membantu Nona.”Selesai berkata begitu Dede b
“Pak, Tunggu!” teriak seseorang, menghentikan langkah Zain yang hendak memasuki lobi kantornya.Ia memang selalu melewati lobi untuk menuju ruang kerjanya jika tidak sedang dalam kondisi terburu-buru atau sedang ingin menghindari sesuatu.Ia sengaja membudayakan kebiasaan itu agar bisa menyapa para karyawan yang ditemuinya, sebagai bentuk apresiasi atas kedisiplinan mereka untuk selalu hadir tepat waktu.Kebiasaan sepele itu cukup ampuh untuk meningkatkan hubungan baik antara atasan dan bawahan. Mengendurkan kekakuan hubungan yang sudah sangat lazim di kalangan pekerja dan bosnya. Selain itu, keramahan seorang atasan juga mampu menyuntikkan semangat kerja pada karyawannya. Ya, hal positif juga akan memberikan dampak positif. Kebaikan itu menyebar lebih cepat dari yang dapat diperkirakan.Zain menoleh ke belakang. Sepasang netra gelapnya langsung mengenali sosok lelaki yang berjalan terburu-buru menyusulnya. Wajah lelaki itu tampak pucat dengan ker
“Pelan-pelan dong … sakit!” rungut Amisha, sedikit menjauh dari Zain sambil meringis.“Iya. Maaf! Ini sudah pelan,” sahut Zain, memperlambat gerakannya. Bagaimanapun, ia tak pernah berniat untuk menyakiti Amisha.Ia seorang pria tulen. Tentu saja setiap gerakan tangan ataupun langkah kakinya tak segemulai wanita.“Bagaimana? Kau suka?” tanya Zain, menatap mata Amisha yang memantul dari cermin.Ia baru saja membantu Amisha menyisir rambut panjangnya usai mandi dan mengenakan pakaian. Ia menjalinnya dengan mencontoh gaya rambut yang belakangan ini sering dipelajarinya dari tutorial tata cara menata rambut panjang di channel y*u*u*e.Hampir satu jam ia menghabiskan waktu berkutat dengan perjuangannya. Untung Amisha sedang ingin bermanja-manja dengannya. Kalau tidak, mungkin ia tidak akan mau menjadi kelinci percobaan Zain.“Lumayan rapi. Suka kok, tapi tadi kamu menariknya terlalu kuat. Rasanya sakit sekali,” aku Amisha jujur, terus
“Jadi, yang meninggal itu si penjaga makam?” tanya Yoshi dengan nada prihatin begitu Zain selesai menjabarkan kronologis kejadian yang berhubungan dengan dirinya.Zain menggeleng lemah dengan kepala tertunduk lesu. Membuat semua yang mendengar ceritanya saling lempar pandang dengan tatapan heran.“Terus siapa?” Gianna ikut penasaran.Lagi-lagi Zain menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kencang, seolah-olah ia ingin melonggarkan impitan beban dari dadanya.“Aku juga tidak mengenalnya, tapi menurut pihak kepolisian dia adik ipar si penjaga makam,” sahut Zain lirih.Ketiga orang yang menanti jawabannya kembali ternganga. Mereka ikut merasakan kesedihan si penjaga makam.“Kasihan sekali lelaki itu,” gumam Gianna tanpa sadar.“Ajal memang tak bisa ditebak. Semua nyawa makhluk di muka bumi ini milik Allah semata. Dan Dia berhak mengambilnya kapan saja tanpa bisa ditunda barang sedetikpun,” jelas Zain.Amis
Amisha masih mengulurkan tangannya untuk meraih kain putih di hadapannya. Getaran jari-jarinya makin kentara. Sejenak ia memejamkan mata, sekuat hati memberanikan diri untuk menyibak kain penutup sosok yang sedang terbujur kaku.Perlahan helai demi helai rambut hitam menyembul dari ujung kain yang mulai tersibak. Menambah berat beban emosi yang mengimpit dada Amisha. Rasa sedih, rasa kehilangan dan ketakutan menyatu dalam kalbu. Namun, semua rasa itu terkalahkan oleh rasa penasaran yang menggelayuti hatinya.Detak jantung Amisha makin berpacu kala puncak kening yang berlumuran darah mulai mengintip dari ujung Kain. Gianna dan Yoshi bahkan ikut menarik napas dalam saking deg-degannya mereka menanti apa yang akan terpampang di depan mata mereka.“Amisha!” teriak seseorang, berseru lantang menghentikan gerakan tangan Amisha.“Suara itu ….” Sesaat Amisha tercekat mendengar suara yang menyerukan namanya. Ia merasa sangat mengenal suara itu.Ta
“Amisha ada di ruangannya sekarang?” tanya Yoshi, tanpa tedeng aling-aling dari seberang telepon begitu Gianna mengangkat panggilannya.Pandangan mata Gianna segera bergerak menembus dinding kaca yang memisahkan ruangannya dan ruang kerja Amisha. Tampak Amisha sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya.“Ada. Kenapa?” Gianna balik bertanya dengan dada yang tiba-tiba berdebar tidak enak.“Baguslah. Jauhkan dia dari semua akses berita,” perintah Yoshi, tanpa menjawab pertanyaan Gianna.“Beritahu aku alasannya!” Nada bicara Gianna sedikit meninggi, merasa agak kesal lantaran Yoshi mengabaikan pertanyaannya.“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang. Lakukan saja perintahku! Aku harus segera pergi,” sergah Yoshi, dengan nada tegas. Terdengar jelas bahwa ia sedang terburu-buru. Terlebih lagi setelah ia memutuskan sambungan telepon tanpa menanti respons dari Gianna.Gianna mengernyit memandangi ponsel di tangannya.“Ada
“Yaaah … hujannya makin deras,” keluh Amisha, mengintip dari balik tirai jendela kamar.“Kenapa memangnya? ‘Kan malah bagus! Jadi lebih adem,” sahut Zain, berjalan menghampiri Amisha dan berdiri tepat di belakangnya. Ia ikut mengintip keluar melewati pundak Amisha. Tangan kanannya bertengger manis di pinggul istrinya.“Tapi, aku pengin menyaksikan bintang-bintang,” rengek Amisha, bersandar manja di dada Zain.Tangan kanannya bergelayut pada tengkuk sang suami. Sementara pandangan matanya berusaha menembus kaca jendela yang berembun.“Hem … bintang ya?” tanya Zain, berbisik lirih di telinga Amisha. Amisha mengangguk.“Kita bisa menghadirkan ribuan, bahkan jutaan bintang dengan cara kita,” bisik Zain lagi dengan nada menggoda, menggigit pelan daun telinga Amisha.“Ish! Geli tahu!” protes Amisha seraya mendorong mundur wajah Zain dari telinganya. Zain terkekeh pelan.“Sengaja!” sahutnya, mendekatkan kembali wajahnya ke teli
Gianna melangkah gontai memasuki lift apartemennya. Menyelesaikan tumpukan tugas yang menggunung seharian penuh di kantor benar-benar menguras tenaga. Ia merasa sangat lelah. Satu-satunya keinginannya saat ini hanyalah menikmati berendam diri dalam air hangat sembari menghirup wanginya aroma terapi.“Tunggu!” Pintu lift yang akan segera menutup tiba-tiba ditahan oleh sepasang tangan.HAH!Gianna terperangah ketika mengenali wajah sang penahan pintu lift.“Sonny? Kok kamu ke sini?” tanya Gianna, tanpa membalas senyuman manis Sonny.Ia menggeser posisi berdirinya sedikit ke kanan agar tercipta cukup jarak antara dirinya dan Sonny yang berdiri di sebelah kirinya.Sonny tak merespons pertanyaan heran Gianna. Ia hanya tersenyum misterius sembari membungkuk hendak memencet tombol lift. Di saat bersamaan, Gianna juga bergerak ingin menekan tombol dengan angka yang sama. Tanpa sengaja jari mereka menyatu.Baik Sonny maupun Giann
Belakangan ini cuaca Jakarta sangat tak menentu. Terkadang panas, lalu mendadak hujan dalam sekejap. Tak ingin terjebak pergantian cuaca yang sulit diprediksi, Amisha dan Gianna memutuskan untuk menikmati makan siang di kantin kantor daripada pergi ke kafe terdekat.Mereka memilih duduk di meja pojok agar tidak terlalu mencolok dan menarik perhatian karyawan lainnya yang juga bersantap siang di kantin itu.“Kamu kencan sama Yosh, Gi?” tanya Amisha, menyesap jus naga merah dengan pipet yang terselip di antara jari-jari lentiknya.UHUK!Gianna yang tengah menyeruput jus jeruknya terbatuk kecil mendengar pertanyaan Amisha yang tak terduga. Ia menatap Amisha dengan mata membulat sempurna lantaran kaget.“Aiyyaaa … siapa bilang? Jangan suka asal menyimpulkan deh!” rungut Gianna, sedikit kesal.Ia tak habis pikir mengapa Amisha sampai menafsirkan hubungannya dengan Yoshi sejauh itu. Mukanya mengeras ketika kemungkinan Yoshi yang mengak
Waktu bergulir bagai mata air yang terus mengalir. Dua minggu paska Gianna dirawat di rumah sakit, hubungan Sonny dan Gianna tampak semakin akrab. Melihat itu, Yoshi seperti kebakaran jenggot karena merasa kalah start. Ia pun makin mempergencar serangan pendekatannya pada Gianna.“Hai!” sapa Yoshi begitu tiba di hadapan meja kerja Gianna. Ia masuk tanpa mengetuk pintu.Gianna mendongak dengan sorot mata dingin, menunjukkan ketidaksenangannya akan kebiasaan Yoshi yang masuk tanpa permisi.“Kebiasaan jelek dipelihara. Ketuk pintu dulu kenapa!” ketus Gianna, bersungut-sungut.“Sengaja. Surprise!” kilah Yoshi, dengan nada berkelakar.“Maksud kamu, kamu sengaja ingin membuatku terkena serangan jantung?” semprot Gianna, dengan nada sewot. Baginya kelakar Yoshi tidak lucu sama sekali. Malah ia sangat membenci itu.“Ya ampun, Gianna! Mana mungkin aku berniat begitu. Tuduhanmu terasa sangat menyakitkan di hatiku,” bantah Yoshi, sedikit le