“Aku tidak percaya aku bisa melakukan hal sebodoh itu hanya karena sebuah kenangan buruk yang menjijikkan!”
Amisha memaki dirinya sendiri kala teringat bagaimana ia membiarkan dirinya berjalan tak tentu arah di bawah derasnya guyuran hujan. Ia mengutuk kelemahan hatinya yang masih saja menangis hanya karena terkenang bagaimana Kenzo mengkhianati kesetiaannya beberapa tahun lalu.
“Aku rasa tidak ada yang lebih bodoh dari diriku! Pantas saja Kenzo mencampakkan aku.” Amisha mengejek diri sendiri dengan lenguhan jengkel.
CEKLEK!
Suara pintu terbuka membuat Amisha, yang berbaring di atas tempat tidur, berpaling ke arah pintu. Tampak Inah datang membawa baki berisi semangkuk bubur dan segelas jus jambu merah segar bercampur madu.
“Bagaimana perasaan Anda pagi ini, Nona Muda?” tanya Inah lembut seraya meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja.
“Memangnya apa yang terjadi padaku, Bi?” Amisha balik bertanya.
“Ya, Tuhan! Nona lupa? Kemarin malam Nona jatuh pingsan di depan pintu lho. Demam tinggi lagi.” Inah terperanjat.
“Oh ya?” Amisha meraba kening. “Badanku nggak panas kok.”
“Syukur deh, Non. Mungkin bibi yang salah ingat,” sahut Inah, tak ingin memperpanjang masalah.
Berbicara dengan Amisha sebaiknya mencari jalan aman saja. Wanita itu tipikal perempuan yang tak ingin dibantah. Ia dapat melakukan apa saja pada orang yang tidak bersesuaian dengannya.
“Sebaiknya Non hari ini istirahat saja dulu di rumah. Nggak usah ngantor, Non,” saran Inah, hati-hati.
“Aku sehat-sehat aja, Bi. Aku harus tetap bekerja. Ada pekerjaan penting yang harus aku selesaikan,” bantah Amisha. Ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu turun dari pembaringan.
“Tapi, Non … kata Dokter Willy, Nona—”
Kibasan tangan Amisha menghentikan ucapan Inah. Ia menundukkan kepala, tidak berani menatap mata Amisha yang melirik tajam ke arahnya, seolah-olah sepasang mata indah itu akan menelannya hidup-hidup.
“B–bibi permisi, Non!” Buru-buru Inah pamit undur diri dari hadapan Amisha.
Amisha hanya mendengkus, lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.
Amisha keluar dari kamar mandi masih dengan berbalut sehelai handuk. Ia mengeringkan rambutnya sambil bercermin. Sejenak ia menghentikan kegiatannya. Matanya terpaku, menatap pantulan dirinya di cermin itu.
Seorang gadis cantik berdiri di sana. Wajah ovalnya tampak pucat. Namun, tetap tak mampu menyembunyikan rupanya nan menawan. Rambut panjangnya, yang berwarna pirang keemasan, berkibar indah ditiup angin dari pengering rambut, yang masih menyala dalam genggamannya.
Matanya besar dengan pupil berwarna merah jambu keunguan. Sungguh sepasang manik mata yang unik dan sangat jarang ditemui. Keunikan itu bertambah indah lantaran dipagari oleh bulu mata yang panjang dan lentik. Dipayungi oleh sepasang alis tebal yang tertata rapi.
Hidung kecil yang bangir bertengger manis di atas bibir mungil nan seksi. Kecantikan gadis di cermin itu makin sempurna dengan adanya andeng-andeng kecil di bawah bibir bagian kanan, hampir mendekati dagu.
Amisha mengempaskan napas kencang. Ia tak percaya bahwa di usianya yang menjelang tiga puluh tahun, paras cantiknya seakan tak berarti.
“Untuk apa semua keindahan raga ini jika tak ada seorang pun yang menginginkannya dengan tulus?” tanya Amisha dengan nada gundah.
Ia mematikan pengering rambut, menaruhnya di atas meja rias. Dengan langkah gontai, ia beranjak menuju lemari pakaian. Dikeluarkannya setelan kantor berwarna kuning cerah.
Entah kenapa kali ini Amisha ingin tampil sedikit berbeda dari biasanya. Mungkin ia ingin menyamarkan keresahan hatinya dengan warna cerah itu. Mungkin juga ia bermaksud menyemangati dirinya sendiri agar tak lagi terpuruk dalam bayang kelabu masa lalu. Entahlah! Apa pun alasannya, Amisha harus mengenakan pakaian itu secepatnya dan berangkat ke kantor, seolah tak terjadi apa-apa pada dirinya.
Sebagai pewaris tunggal kerajaan bisnis Harist, Amisha harus terus berdiri kokoh. Tak peduli sekeras apa pun badai memporak-porandakan hatinya, ia mesti selalu tegar, setegar bongkahan karang di laut sana.
Selesai berpakaian, Amisha menyantap sarapan yang dihidangkan Inah. Sebenarnya ia lebih suka menikmati sarapan di meja makan, tetapi sepertinya Inah membawakan sarapannya ke kamar, karena mengira dia tidak akan keluar dari kamar itu.
Amisha menyeruput jus jambu merah kegemarannya. Tenggorokannya terasa segar. Ia juga merasa lebih bertenaga dan siap menjalani rutinitas hari itu.
Sekali lagi Amisha tegak, mematut diri di depan cermin. Jilbab cokelat karamel yang dikenakannya terlihat sangat serasi dengan setelan baju kuning lemonnya. Tak lupa dia memakai kacamata hitam kebesarannya. Lalu, ia melangkah dengan sedikit terhuyung menuju pintu. Kepalanya mendadak terasa pusing.
“Aku tidak boleh terlihat lemah.” Amisha menyemangati diri sendiri dan kembali melanjutkan langkah, keluar dari kamar.
“Aku berangkat, Bi!” teriak Amisha, pamit pada Inah.
Mendugas Inah berlari, mengantar Amisha ke depan pintu. Ia mengembuskan napas kuat ketika melihat mobil Amisha telah berlalu dan menghilang di ujung belokan jalan.
“Nona Muda benar-benar keras kepala!” Inah mengunci pintu dan berjalan menuju dapur untuk meneruskan pekerjaannya yang tertunda.
Keikutsertaan Zaina dalam pameran lukisan di Bastille Design Center tergolong sukses. Gelombang pujian terus bergulir mengagumi bakat istimewa Zaina.Pagi ini, Zain dan keluarganya mengikuti Deanis ke Desa Mittelbergheim. Mereka ingin tahu seperti apa tempat tinggal Zaina selama lima tahun berpisah dari mereka.Amisha dan Zain terkagum-kagum menyaksikan keindahan desa tempat tinggal Zaina. Jajaran rumah bernuansa klasik dikelilingi hamparan kebun anggur sungguh sangat menyegarkan mata.Dengan bangga, Zaina membawa Amisha dan Kaina memasuki sanggar seninya dan Deanis. Ia berceloteh riang memamerkan hasil karyanya. Bahkan, ia menawarkan Amisha dan Kaina untuk menjadi model lukisannya.Sementara Deanis mengajak Zain berjalan menyusuri perkebunan anggur di dekat tempat tinggal mereka.“Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih atas jasamu merawat Zaina selama ini,” cetus Zain.“Aku malu mendengarnya,” balas Deanis.
Yoshi tengah duduk santai di sela jam kerjanya. Ia merilekskan otot-otot lehernya yang terasa kaku. Selang beberapa waktu, ia meraih tablet yang tergeletak di atas meja. Ia membawa tablet itu ke sofa dan berbaring di sana. Meluruskan otot pinggangnya yang terasa penat akibat duduk lama.Tangan Yoshi bergerak lincah, mencolak-colek layar tablet. Ia sibuk berselancar di dunia maya. Tiba-tiba matanya melotot, menyaksikan artikel sebuah berita. Ia pun langsung terlonjak duduk.“Mirip sekali!” desisnya.Ia memperbesar potret yang terpampang pada artikel berita itu. Ia juga mendekatkan wajah pada layar monitor agar dapat melihat dengan lebih jelas.“Tak salah lagi! Ini pasti dia!” teriaknya.Yoshi langsung bangkit berdiri, berlari menuju ruang kerja Zain. Ia merangsek masuk ke dalam ruangan bosnya tanpa mengetuk pintu. Tak ia pedulikan tatapan sinis Zain kepadanya.“Zain, lihat ini!” serunya, menyodorkan potret seorang gadis kecil dari
Di atas sebuah sofa, seorang gadis kecil usia tujuh tahun tertidur pulas sambil memeluk boneka kelinci.Sementara tidak jauh dari gadis kecil itu, seorang lelaki usia akhir tiga puluhan terlihat sibuk dengan tarian kuas di atas sebuah kanvas. Rupanya ia tengah mengabadikan pose gadis cilik itu. Sesekali ia menoleh pada gadis kecil itu dengan tatapan penuh kekaguman. Kejelian mata seninya merekam dengan teliti gurat-gurat ekspresi gadis kecil yang menjadi modelnya.Lelaki itu tersenyum dan meninggalkan tempat duduknya, beranjak mendekati gadis kecil itu untuk membetulkan posisi gaunnya yang sedikit tersingkap. Diusapnya kening gadis kecil itu penuh kasih, lalu kembali ke hadapan kanvasnya.Gadis kecil itu masih tertidur lelap. Namun, perlahan raut mukanya berubah. Sepertinya ia tengah bermimpi.Sesosok bocah perempuan usia dua tahun tengah berdiri di samping mamanya sembari mendekap sebuah buku gambar.Merasa bosan menunggu mamanya yang ma
Kabut pagi telah berlalu tersaput hangatnya sinar mentari. Zain dan keluarganya baru saja bersiap hendak mengikuti Kadir meninjau sawah yang lain ketika ponselnya berdering nyaring.“Ya?” sahut Zain, mengangkat panggilan teleponnya.Dadanya berdegup kencang ketika membaca nama salah seorang aparat polisi tertera di sana. Bayangan wajah Zaina langsung terlintas di benaknya.“Seseorang baru saja melaporkan penemuan anak hilang ke kantor kami, Pak. Usia dan ciri-cirinya mirip sekali dengan anak Bapak. Kami harap Bapak bisa segera datang untuk mengecek langsung,” beritahu aparat polisi itu dari seberang telepon.“Baik, Pak. Tunggu! Aku akan melesat ke sana,” sahut Zain, sigap.Detak jantungnya makin berpacu cepat. Ia sungguh memendam harap bahwa gadis kecil yang ditemukan itu benar-benar Zaina.“Sayang, Kai sama mama dan bibi ya. Papa pergi sebentar,” pamit Zaina pada Kaina yang tiba di sisinya. Ia berjongkok sembari mengusap lembut
“Ayo, Nona Cilik … habiskan sarapannya ya … biar cepat besar,” rayu Siti, membujuk Kaina agar mau membuka mulut.Alih-alih termakan rayuan Siti, Kaina malah membekap mulut dengan kedua tangan mungilnya. Kepalanya menggeleng kuat.“Sedikit lagi,” bujuk Siti.Kaina kembali menggeleng. Semenjak kembarannya menghilang, selera makan Kaina pun terbang. Saat Zaina masih ada, ia dan Zaina akan berlomba menghabiskan makanan mereka, disuapi Zain dan Amisha. Keduanya tampak bersemangat untuk menjadi pemenang.“Sudahlah, Bi. Tidak usah dipaksa kalau memang dia tidak mau,” ujar Amisha, menengahi Siti dan Kaina yang saling bersitegang dengan keinginan masing-masing.“Tapi, perjalanannya cukup jauh, Non. Nanti Non Kaina kelaparan,” kilah Siti.“Tidak apa-apa, Bi. Bawa bekal saja.”Siti tak lagi membantah. Ia meletakkan piring nasi yang dipegangnya di atas meja makan.Kaina menurunkan kedua tangan yang masih menutupi mulutnya.
"Aaargh! Zainaku mana? Zaina!" jerit Amisha histeris sambil menjambak rambut dengan kasar. Kedua bola matanya bergerak liar ke segala arah, mencari keberadaan sosok Zaina.Kaina yang baru muncul di kamar mamanya sontak berdiri dengan tubuh gemetar. Wajah imutnya seketika memucat. Kaki mungilnya spontan menapak mundur secara perlahan.Zain refleks menyambar tubuh Kaina dan mengangkat tubuh mungil itu dalam gendongannya."Bawa Kaina bermain, Bi!" pinta Zain pada Siti.Asisten rumah tangganya itu juga sekonyong-konyong berlari ke lantai atas begitu mendengar jeritan Amisha.Zain menghampiri Amisha, mendekapnya dengan penuh kasih."Ini semua salahku. Aku yang membawanya ke mal itu. Aku yang membuat Zaina menghilang," racau Amisha dalam isak tangisnya.Sudah tiga bulan waktu berlalu. Namun, Amisha masih belum bisa menerima kenyataan hilangnya Zaina dengan lapang dada. Setelah melewati fase kehilangan yang membuatnya tampak li