Share

Bab 7

Penulis: Lathifah Nur
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-15 07:58:32

Zain meletakkan peralatan kebersihan yang dibawanya di luar ruangan Amisha. Ia baru ingat pesan Seno untuk tidak membersihkan ruangan bosnya itu saat Amisha sedang berada di dalam ruangan. Amisha sangat membenci itu. Jadi, Zain memutuskan untuk memastikan keberadaan Amisha terlebih dulu.

Zain mengetuk pintu beberapa kali. Tak ada sahutan. Ia mendorong daun pintu pelan dan melangkah masuk dengan hati-hati. Kekosongan dan kesunyian menyambut kehadiran Zain di ruangan itu. Ia melirik jam dinding. Pukul 8.17.

“Bukankah rumornya Amisha Harist adalah wanita yang sangat disiplin waktu? Kenapa dia belum muncul?” Zain bertanya heran.

Tatapan jeli Zain menyapu seisi ruang kerja Amisha. Alisnya terangkat saat melihat tas Amisha sudah teronggok manis di atas meja.

“Ah! Ternyata dia sudah datang, tapi … di mana dia?” 

Zain masih mempertanyakan keberadaan bosnya itu. Entah kenapa kecemasan menyergap hatinya. Membayangkan kemungkinan hal buruk telah menimpa Amisha. Bukankah kemarin malam hujan sangat deras? Zain masih ingat ia melihat sekilas wanita itu di jalanan, bermandikan derasnya hujan.

Jangan-jangan dia pingsan!

Zain berlari, menerobos masuk menuju lorong sempit. Lorong itu sepertinya mengarah pada toilet pribadi Amisha.

GREP!

Zain menangkap tubuh Amisha yang berjalan terhuyung sembari meraba dinding. Gadis itu tiba-tiba jatuh pingsan setelah keluar dari toilet. Zain mengangkat Amisha dalam gendongannya dan membaringkannya di atas sofa. Dirabanya kening Amisha.

Oh My God! Panas sekali!” Zain memekik pelan.

Saat membuka mata, Amisha mendapati dirinya berada di ruangan asing serba putih. Sesaat ia terlihat linglung.

“Di mana aku?” tanya Amisha, bingung. 

Aroma obat menusuk tajam indra penciuman Amisha. Ia pun menyadari bahwa dirinya sedang terbaring tak berdaya di atas ranjang sebuah rumah sakit. Rasa nyeri pada tangannya yang tertusuk jarum infus membuat Amisha meringis.

“Syukurlah Nona sudah sadar,” seru Gianna lega, menghampiri Amisha dengan sisa kecemasan yang masih melekat di wajahnya.

“Nona tadi pingsan. Untung ada Dede,” imbuh Gianna sambil memijat ringan lengan Amisha.

“Dede? Siapa dia?”

Amisha merasa asing dengan nama itu. Seingatnya, tidak ada karyawan perusahaannya yang bernama Dede. Bahkan, ia juga tidak memiliki kenalan dengan nama itu. Lalu, bagaimana lelaki itu bisa muncul tiba-tiba menjadi malaikat penolongnya?

Aku tidak hidup di negeri dongeng, ‘kan?’ tanya Amisha pada diri sendiri.

Andai ia benar-benar hidup di negeri dongeng, tentu ia akan sangat bahagia dapat bertemu dengan seorang pangeran berkuda putih, yang menyelamatkan nyawanya dan berakhir dengan kisah cinta seindah cerita Cinderella atau Putri Tidur, yang terjaga dari tidur panjangnya dan hidup kembali karena ciuman seorang pria.

Sayang, ia tidak hidup di negeri dongeng. Ia hidup di dunia nyata, yang penuh carut-marut dan kejam. Sebuah dunia di mana yang kuat menindas yang lemah. Yang baik dan jujur akan ditipu. Yang bijaksana akan binasa, dan yang berkuasa punya hak di atas segalanya untuk menyingkirkan siapa pun yang menjadi batu sandungannya.

Pun tak berbeda halnya dalam urusan cinta. Keluguan dan kesetiaan menjadi santapan empuk sang predator cinta, yang hanya memburu harta dan takhta. Wanita menjadi alat untuk memperebutkan keduanya. Sungguh menyedihkan!

Amisha memejamkan mata. Hatinya benar-benar miris, mengingat dirinya pernah menjadi objek seorang Kenzo demi mengincar sesuatu yang berlabel harta dan takhta itu.

“Nona! Nona baik-baik saja?” Gianna mengguncang lengan Amisha. Kekhawatirannya kembali meningkat.

“Aku belum mati, Bodoh!” umpat Amisha, kembali membuka mata.

“Aiyaaa … Nona membuatku hampir terkena serangan jantung!” Gianna terduduk lunglai di atas kursi, di samping ranjang Amisha.

“Bisa tidak kamu berhenti memanggilku, Nona? Atau memang hanya aku yang menganggapmu sebagai sahabat?” Amisha memalingkan muka, memasang wajah cemberut.

“Itu … aku selalu merasa sungkan.” Gianna mengaku jujur.

Gianna telah mengenal Amisha semenjak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Orang tua Gianna adalah pelayan setia keluarga Amisha. Sayangnya, mereka meninggal demi menyelamatkan Amisha dan Gianna saat terjadi peristiwa kebakaran puluhan tahun yang lalu. Saat itu Amisha dan Gianna masih duduk di kelas empat sekolah dasar.

Sejak saat itu, Gianna tinggal bersama Amisha dan menjadi tanggung jawab orang tua Amisha. Namun, Gianna sama sekali tidak melupakan statusnya. Meskipun ia mendapatkan fasilitas dan pendidikan yang sama dengan Amisha, ia tetap sadar diri bahwa ia hanyalah anak seorang pelayan. Gianna telah berjanji akan mendedikasikan hidupnya untuk keluarga Amisha.

“Ayolah, Gianna! Kamu tahu bagaimana watakku. Aku tidak peduli dengan semua status itu. Di mataku, semua manusia sama. Tuhan saja yang Maha Segalanya hanya membedakan manusia dari ketakwaannya, lalu kenapa aku yang bersifat fana ini harus memandang manusia dari status sosialnya? Kamu melukai harga diriku, Gianna!” Amisha mendengkus kesal.

“Maafkan aku, Nona … eh A–Amisha!” Gianna berkata gagap.

Lidah Gianna terasa kelu menyebut nama Amisha—teman sekaligus majikannya. Ia merasa bersalah karena selama ini ia seakan telah memberi jarak pada keakraban hubungan pertemanannya dengan Amisha. Di sisi lain, ia juga merasa tidak sopan jika hanya memanggil Amisha dengan nama.

“Nah, begitu dong … ‘kan lebih enak didengar!” puji Amisha, tersenyum senang. “Lagi pula, kita hanya berdua. Tidak ada yang mesti ditakutkan!”

Hati Gianna terasa nyaman melihat senyum tulus Amisha. Bagaimanapun, harus diakuinya bahwa keluarga Amisha memang tak pernah menilai dan memperlakukan orang lain dari status sosial mereka.

“Apa aku tidak diperhitungkan di sini?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 302

    Keikutsertaan Zaina dalam pameran lukisan di Bastille Design Center tergolong sukses. Gelombang pujian terus bergulir mengagumi bakat istimewa Zaina.Pagi ini, Zain dan keluarganya mengikuti Deanis ke Desa Mittelbergheim. Mereka ingin tahu seperti apa tempat tinggal Zaina selama lima tahun berpisah dari mereka.Amisha dan Zain terkagum-kagum menyaksikan keindahan desa tempat tinggal Zaina. Jajaran rumah bernuansa klasik dikelilingi hamparan kebun anggur sungguh sangat menyegarkan mata.Dengan bangga, Zaina membawa Amisha dan Kaina memasuki sanggar seninya dan Deanis. Ia berceloteh riang memamerkan hasil karyanya. Bahkan, ia menawarkan Amisha dan Kaina untuk menjadi model lukisannya.Sementara Deanis mengajak Zain berjalan menyusuri perkebunan anggur di dekat tempat tinggal mereka.“Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih atas jasamu merawat Zaina selama ini,” cetus Zain.“Aku malu mendengarnya,” balas Deanis.

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 301

    Yoshi tengah duduk santai di sela jam kerjanya. Ia merilekskan otot-otot lehernya yang terasa kaku. Selang beberapa waktu, ia meraih tablet yang tergeletak di atas meja. Ia membawa tablet itu ke sofa dan berbaring di sana. Meluruskan otot pinggangnya yang terasa penat akibat duduk lama.Tangan Yoshi bergerak lincah, mencolak-colek layar tablet. Ia sibuk berselancar di dunia maya. Tiba-tiba matanya melotot, menyaksikan artikel sebuah berita. Ia pun langsung terlonjak duduk.“Mirip sekali!” desisnya.Ia memperbesar potret yang terpampang pada artikel berita itu. Ia juga mendekatkan wajah pada layar monitor agar dapat melihat dengan lebih jelas.“Tak salah lagi! Ini pasti dia!” teriaknya.Yoshi langsung bangkit berdiri, berlari menuju ruang kerja Zain. Ia merangsek masuk ke dalam ruangan bosnya tanpa mengetuk pintu. Tak ia pedulikan tatapan sinis Zain kepadanya.“Zain, lihat ini!” serunya, menyodorkan potret seorang gadis kecil dari

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 300

    Di atas sebuah sofa, seorang gadis kecil usia tujuh tahun tertidur pulas sambil memeluk boneka kelinci.Sementara tidak jauh dari gadis kecil itu, seorang lelaki usia akhir tiga puluhan terlihat sibuk dengan tarian kuas di atas sebuah kanvas. Rupanya ia tengah mengabadikan pose gadis cilik itu. Sesekali ia menoleh pada gadis kecil itu dengan tatapan penuh kekaguman. Kejelian mata seninya merekam dengan teliti gurat-gurat ekspresi gadis kecil yang menjadi modelnya.Lelaki itu tersenyum dan meninggalkan tempat duduknya, beranjak mendekati gadis kecil itu untuk membetulkan posisi gaunnya yang sedikit tersingkap. Diusapnya kening gadis kecil itu penuh kasih, lalu kembali ke hadapan kanvasnya.Gadis kecil itu masih tertidur lelap. Namun, perlahan raut mukanya berubah. Sepertinya ia tengah bermimpi.Sesosok bocah perempuan usia dua tahun tengah berdiri di samping mamanya sembari mendekap sebuah buku gambar.Merasa bosan menunggu mamanya yang ma

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 299

    Kabut pagi telah berlalu tersaput hangatnya sinar mentari. Zain dan keluarganya baru saja bersiap hendak mengikuti Kadir meninjau sawah yang lain ketika ponselnya berdering nyaring.“Ya?” sahut Zain, mengangkat panggilan teleponnya.Dadanya berdegup kencang ketika membaca nama salah seorang aparat polisi tertera di sana. Bayangan wajah Zaina langsung terlintas di benaknya.“Seseorang baru saja melaporkan penemuan anak hilang ke kantor kami, Pak. Usia dan ciri-cirinya mirip sekali dengan anak Bapak. Kami harap Bapak bisa segera datang untuk mengecek langsung,” beritahu aparat polisi itu dari seberang telepon.“Baik, Pak. Tunggu! Aku akan melesat ke sana,” sahut Zain, sigap.Detak jantungnya makin berpacu cepat. Ia sungguh memendam harap bahwa gadis kecil yang ditemukan itu benar-benar Zaina.“Sayang, Kai sama mama dan bibi ya. Papa pergi sebentar,” pamit Zaina pada Kaina yang tiba di sisinya. Ia berjongkok sembari mengusap lembut

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 298

    “Ayo, Nona Cilik … habiskan sarapannya ya … biar cepat besar,” rayu Siti, membujuk Kaina agar mau membuka mulut.Alih-alih termakan rayuan Siti, Kaina malah membekap mulut dengan kedua tangan mungilnya. Kepalanya menggeleng kuat.“Sedikit lagi,” bujuk Siti.Kaina kembali menggeleng. Semenjak kembarannya menghilang, selera makan Kaina pun terbang. Saat Zaina masih ada, ia dan Zaina akan berlomba menghabiskan makanan mereka, disuapi Zain dan Amisha. Keduanya tampak bersemangat untuk menjadi pemenang.“Sudahlah, Bi. Tidak usah dipaksa kalau memang dia tidak mau,” ujar Amisha, menengahi Siti dan Kaina yang saling bersitegang dengan keinginan masing-masing.“Tapi, perjalanannya cukup jauh, Non. Nanti Non Kaina kelaparan,” kilah Siti.“Tidak apa-apa, Bi. Bawa bekal saja.”Siti tak lagi membantah. Ia meletakkan piring nasi yang dipegangnya di atas meja makan.Kaina menurunkan kedua tangan yang masih menutupi mulutnya.

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 297

    "Aaargh! Zainaku mana? Zaina!" jerit Amisha histeris sambil menjambak rambut dengan kasar. Kedua bola matanya bergerak liar ke segala arah, mencari keberadaan sosok Zaina.Kaina yang baru muncul di kamar mamanya sontak berdiri dengan tubuh gemetar. Wajah imutnya seketika memucat. Kaki mungilnya spontan menapak mundur secara perlahan.Zain refleks menyambar tubuh Kaina dan mengangkat tubuh mungil itu dalam gendongannya."Bawa Kaina bermain, Bi!" pinta Zain pada Siti.Asisten rumah tangganya itu juga sekonyong-konyong berlari ke lantai atas begitu mendengar jeritan Amisha.Zain menghampiri Amisha, mendekapnya dengan penuh kasih."Ini semua salahku. Aku yang membawanya ke mal itu. Aku yang membuat Zaina menghilang," racau Amisha dalam isak tangisnya.Sudah tiga bulan waktu berlalu. Namun, Amisha masih belum bisa menerima kenyataan hilangnya Zaina dengan lapang dada. Setelah melewati fase kehilangan yang membuatnya tampak li

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status